PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebelum munculnya aliran teologi al-Asy’ariyyah, aliran Mu’tazilah menjadi
pusat pemikiran kalam pada saat itu yang memperkenalkan pemikiran teologi
dengan pendekatan-pendekatan logika rasional di kalangan umat Islam. Aliran ini
memberikan seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya kepada akal dalam memilah
dan memilih baik dan buruk. Jika terdapat Hadis yang bertentangan dengan nalar
mereka, maka akal yang dijadikan sebagai tolok ukur, sehingga ia dikenal sebagai
kaum yang rasional.[1]Akan tetapi, pemikiran-pemikiran rasional
Mu’tazilah,[2] sepertinya hanya bisa dicerna oleh kalangan masyarakat terdidik saja.
Sementara kalangan masyarakat awam yang lebih luas, ajaran Mu’tazilah sulit
dipahami karena keterbatasan kemampuan berpikir ilmiah filosofis dan pola
kehidupan yang terkait dengan tradisi lama.[3]
Setelah Khalifah al-Mutawakkil membatalkan aliran Mu’tazilah yang tentu saja
merugikan aliran tersebut, tampillah Abu al-Hasan ibn Ismail al-Asy’ari - yang
semula adalah pengikut Mu’tazilah - memperkenalkan teologi baru beserta
ajarannya dengan menempuh jalan tengah yakni mengambil sikap tengah-tengah
antara dua kutub akal dan naql, antara kaum salaf dan Mu’tazilah, dengan acuan
yang bertumpu pada al-Qur’an dan al-Sunnah.[4] Sebagai mantan pengikut
Mu’tazilah, maka pemikiran-pemikiran logis/rasional sebagaimana yang
dikembangkan oleh Mu’tazilah juga turut mewarnai teologi Asy’ari dalam satu hal,
tetapi pada sisi lain iapun banyak membantah doktrin-doktrin dari
Mu’tazilah.[5] Karena berada pada posisi jalan tengah antara dogmatis dan
liberalisme, maka aliran al-Asy’ariyyah menjadi cepat populer di kalangan
umat.[6] Utamanya setelah disebarkan oleh para tokoh-tokohnya yang termasyhur
seperti al-Baqillani, al-Juwaeni, al-Bagdadi, al-Ghazali serta murid-murid al-Asy’ari
yang lainnya.
Paham teologi Asy’ari termasuk paham teologi tradisional yang mengambil
posisi antara ekstrim rasionalis yang menggunakan metafor dan golongan ekstrim
tekstualis yang leterlek. Ia mengambil posisi di antara aliran mu’tazilah dan
salafiyah.[7]
Di samping itu, penalaran al-Asy’ari disebut ortodoks karena lebih
setia pada sumber-sumber Islam sendiri, seperti kitab Allah dan Sunnah Nabi
dari pada penalaran kaum mu’tazilah dan para filosof, meskipun mereka ini
semuanya dalam analisa terakhir, harus dipandang secara sebenarnya, tetap
dalam lingkaran islam.[8] Ajaran-ajaran al-Asy’ari inilah yang nantinya akan
berkembang menjadi aliran ahl al-Sunnah wal Jama’ah dan mempunyai
pengaruh dalam dunia islam sampai sekarang.
B. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy.
Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail
bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat
Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan
demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia
di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang
fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i,
seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang
pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam
sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya
untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah.
Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami
kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah.
Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-
Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat
Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang
mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali,
yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari
yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam
mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia
keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf
dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada
pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada
madzhab Ahmad bin Hambal.
1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang
pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
Teologi Asy’ariyah yang kemudian menjadi bibit dalam aliran Ahl al-
Sunnah wal Jama’ah ini, kelihatannya timbul sebagai reaksi terhadap faham
golongan mu’tazilah dalam menyebarkan ajaran-ajarannya, setelah al-
Asy’ariy[9]menjadi pengikut setiap dari golongan tersebut selama kurang
lebih 40 tahun, sebuah catatan waktu yang cukup panjang.
Abu Hasan Ibn Ismail al-Asy’ari menyatakan diri membelot dari
golongan mu’tazilah dan memproklamirkan sebuah ajaran teologi baru yang
dinisbahkan dirinya sendiri (al-Asy’ariyah).[10] Ia tampil dan mengokohkan
dirinya sebagai pemikir teologi dengan penalaran ortodoks di bidang aqidah,
penalaran ini lebih mengutamakan kepada sumber-sumber Islam sendiri
seperti al-Qur’an dan sunnah Nabi.[11]
Aliran teologi al-Asy’ari yang tak lepas dari refleksi sosial dalam
menyikapi kultur masyarakat saat itu dengan menggambarkan bahwa daya
beserta kekuatan yang dimiliki oleh manusia di saat berhadapan dengan
kekuatan yang absolut tidak akan berdaya sama sekali, di samping
menjadikan senjata dan kekuatan anggapan bahwa akal menusia itu
mempunyai keterbatasan.[12] Kedatangan teologi ini, banyak diterima oleh
masyarakat umum setelah menyatakan bahwa ia merupakan golongan yang
mengutamakan kepada sunnah dan sepaham dengan Ahmad Ibn Hanbal.
Pada dasarnya al-Asy’ari mencoba menempuh jalan tengah antara
dua ekstremitas, yaitu para rasionalis mu’tazilah yang membuat wahyu di
bawah penalaran, dan para eksternalis yang berbeda pendekatannya yang
menolak peranan nalar dan kembali bersandar pada makna ayat-ayat al-
Qur’an dan Hadis.[13]
Sementara itu, gologan mu’tazilah tidak begitu setia berpegang pada
al-Sunnah dikarenakan oleh keraguannya terhadap keorisinilan al-Sunnah
tersebut sehingga dianggap sebagai golongan yang tidak berpihak pada al-
Sunnah.[14]Sementara al-Asy’ari dalam menguatkan pendapatnya terlebih
dahulu merujuk kepada al-Sunnah (hadis). Dasar inilah yang menjadi titik
tolak bagi para pengikut al-Asy’ari sehingga aliran tersebut dinamakan ahl al-
Sunnah.
Pada saat masyarakat luas memberi respon yang sangat positif
terhadap aliran al-Asy’ariyah bahkan menyatakan sebagai pengikutnya, maka
semenjak itulah ia menjadi golongan yang mayoritas dan mu’tazilah menjadi
golongan minoritas, apalagi setelah khalifah al-Mutawakkil melihat bahwa
posisinya sebagai khalifah perlu dukungan mayoritas dari masyarakat,
sehingga dibatalkanlah aliran mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara, dan
aliran ini semakin lama semakin berkurang yang kemudian hampir hilang
oleh dominasi al-Asy’ariyah. Dari sinilah muncul term jama’ah al-
muslimin.[15]
Bertolak dari kedua hal tersebut di atas yaitu teologi al-Asy’ariyyah
yang berpegang teguh kepada al-sunnah, lalu dikatakanlah ahl al-Sunnah
dan sisi lain sebagai golongan mayoritas (al-Jama’ah) yang dianut oleh umat
Islam. Penggabungan dari kedua hal tersebut menjadi ahl al-Sunnah wa al-
jama’ah.
Istilah ahl al-Sunnah wal Jamaah tidak dikenal, baik pada zaman
Nabi saw. maupun pada masa pemerintahan khulafa al-Rasyidin, bahkan
tidak dikenal pada zaman pemerintahan Bani Umaiyyah (41-133 H/611-750
M). Istilah ini untuk pertama kalinya dipakai pada masa pemerintahan
khalifah Abu Ja’far al-Mansur (137-159 H/754-775M) dan khalifah Harun al-
Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya dari dinasti Abbasiyah ( 750-1258
M). Istilah ahl al-Sunnah wal Jamaah semakin tampak ke permukaan pada
zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218 H/813-833M.)[16]
Penggunaan istilah ahl al-Sunnah wal Jamaah semakin populer
setelah munculnya Abu Hasan al-Asy’ari pada (260-324 H./873-935 M.) dan
Abu Mansur al-Maturidi yang melahirkah aliran Asy'ariah dan Maturidiyah di
bidang teologi. Dengan demikian, bila dikatakan ahl al-Sunnah wal-
Jamaah maka yang dimaksudkan adalah penganut paham Asy’ariah atau
Maturidiyah di bidang teologi.[17]
Istilah ahl al-Sunnah wal Jamaah atau Sunni tidak terbatas hanya
bidang teologi saja, tetapi meliputi semua aspek ajaran agama Islam, baik
fiqh, tauhid, maupun tasauf.[18]
Pada abad ke-9 Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Bagdad mengirimkan delegasi
dakwah yang terdiri dari orangorang Arab yang berakidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Asy’ariyah dan bermadzhab Syafi’i ke wilayah Sumatera Utara. Pada tahun 1042
berdiri kerajaan Islam Samudera Pasai dan pada tahun 1025 berdiri Kerajaan Islam
Aceh. Al-Malikus Shaleh merupakan kerajaan yang menganut faham Asy’ariyah dan
menganut madzhab Syafi’i.[1]
Sementara Islam masuk ke Pulau Jawa diperkirakan pada akhir abad ke-14
atau awal abad ke-15. Pada saat itu, dengan dukungan Walisongo, Raden Patah
mendirikan Kerajaan Demak. Berkat dakwah yang dilakukan Walisongo, Islam
berkembang pesat sehingga dalam waktu yang relatif singkat hampir seluruh
masyarakat Jawa memeluk agama Islam. Menyusul kemudian berdiri beberapa
kerajaan Islam di Ternate, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Pada
abad ke-16, Islam telah menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk
Indonesia.[2]
Seiring dengan dibukanya Terusan Suez tahun 1869, terjadi kontak langsung
antara umat Islam di Indonesia dan dunia Islam Iainnya, termasuk negara-negara
Arab. Tidak saja melalui jamaah haji, tetapi juga melalui sejumlah pelajar Indonesia
di negara-negara Arab, sehingga perkembangan agama dan ilmu pengetahuan Islam
makin pesat. Seiring dengan perkembangan pengetahuan Islam melalui kontak
langsung tersebut, telah masuk faham-faham Islam Iainnya yang bertentangan dengan
faham Aswaja yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia.[4]
Oleh karena itu, untuk membendung arus faham-faham lain tersebut maka
para ulama Ahlussunnah Wal jamaah bangkit secara proaktif mendirikan jam’iyyah
(organisasi) yang diamakan Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama.[5]
Paham Asy’ariyah sangat kental sekali dalam tubuh umat Islam dan akidah tersebut
terus menyebar di tengah kaum muslimin. Mereka tidak menyadari bahwa paham yang
mereka anut adalah paham yang menyimpang dari akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, paham
yang baru ada setelah berakhirnya generasi utama umat ini: sahabat, tabi’in, dan tabiut
tabi’in. Jika kita telaah, berkembangnya paham Asy’ariyah di berbagai negeri disebabkan
beberapa faktor, di antaranya:
1. Anggapan bahwa paham Asy’ariyah adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Padahal kita telah
ketahui betapa banyak penyimpanganAsy’ariyah dalam masalah akidah,sehingga para
ulama menyatakan Asy’ariyah bukanlah AhlusSunnah.
2. Di sejumlah negara, paham ini didukung oleh para penguasa. Di kawasan Asia, aliran
Asy’ariyah dijadikan aliran resmi Dinasti Gaznawi di India (abad 11-12 M) yang didirikan oleh
Mahmud Gaznawi. Berkat jasa Mahmud Gaznawi itulah, aliran ini menyebar dari India,
Pakistan, Afghanistan, hingga Indonesia. Aliran Asy’ariyah berkembang sangat pesat pada
abad ke-11 M, tepatnya pada masa kekuasaan Aip Arsalan dan Dinasti Seljuk (abad 11-14
M). Menurut sejarah, sang khalifah dibantu oleh perdana menteri yang begitu setia
mendukung aliran Asy’ariyah, yakni Nizam alMulk. Pada masa itu, penyebaran paham
Asy’ariyah mengalami kemajuan yang sangat pesat melalui lembaga pendidikan bernama
Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk.
4. Paham ini banyak dianut tokoh-tokoh di mazhab fikih. Sebagai contoh, al-Baqilani, adalah
tokoh Asy’ariyah yang merupakan tokoh mazhab Maliki.
7. Adanya sebagian orang yang masih memasukkan Asy’ariyah dalam kelompok Ahlus
Sunnah.
10. Banyak lembaga pendidikan baik perguruan tinggi maupun lainnya memasukkan akidah
Asy’ariyah dalam kurikulum mereka.
Sebelum kita bahas lebih jauh tentang kekuatan dan kelemahan paham Asy’ariah,
alangkah baiknya kita pahami dulu metode pemikiran aliran Asy’ariyah. Menurut
Drs.H. Mawardy Hatta, M.Ag., dalam bukunya Aliran-Aliran Kalam/Teologi dalam
Sejarah Pemikiran Islam bahwa ; Imam Asy’ari sebagai tokoh pendiri aliran
Asy’ariyah sebenarnya penganut salafiyah, ia lebih berpegang pada Al-Qur’an dan
Sunnah. Hal ini terlihat dalam pengakuannya di awal kitab Al-Ibanah ‘an Ushul al-
Diyanah yaitu; “Pendapat yang kami ketengahkan dan akidah yang kami pegangi
adalah sikap berpegang pada Kitab Allah, sunnah nabi dan apa-apa yang
diriwayatkan para sahabat, tabi’in, dan imam-imam hadis. Kami mendukung semua
itu, mendukung pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal. Sebaliknya menjauhi orang-
orang yang menyalahi pendapatnya”.
Al-Asy’ari walaupun mengaku sebagai pengikut salafiyah, namun dalam
metodologinya ia ingin mencari jalan tengah atau sintesa. Ia ingin benar-benar berada
antara dua posisi, yakni antara Salafiyah dan Mu’tazilah, dan juga antara rasional dan
tekstual, dimana selama puluhan tahun dididik dan dibina oleh aliran rasional
Mu’tazilah, yang pada akhirnya dia berusaha melepaskan diri untuk menjadi pengikut
Salafiyah yang tekstual.
Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa metode pemikiran Al-Asy’ari yang secara
garis besarnya meliputi dua hal, yaitu :
Asy’ari berusaha mencari jalan tengah atau memadukan antara dua pemikiran atau
paham yang saling berlawanan, misalnya mengenai perbuatan hamba, kaum
Qadariyah dan juga Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan hamba dikehendaki dan
diwujudkan oleh hamba sendiri, sementara kaum Jabariyah berpendapat perbuatan
hamba dikehendaki dan diwujudkan oleh Tuhan. Al-Asy’ari mengemukakan jalan
tengah yaitu dengan paham Al-Kasb, yaitu perbuatan yang diciptakan Tuhan melalui
usaha manusia. Dalam hal ini manusia masih punya peranan yaitu berusaha untuk
berbuat dan menerima perbuatan yang diciptakan Tuhan.
Menurut Nurcholis Majid, bahwa paham Asy’ariyah menjadi unggul terletak pada
segi metodologi. Ia mengambil jalan tengah dari pelbagai kubu ekstrim. Ketika
terdapat ayat al-Qur’an yang sangat krusial untuk dimengerti dan membutuhkan
ta’wil, ia tidak terlalu rasional sebagaimana paham Mu’tazilah dan tidak terlalu
harfiah seperti pendekatan kaum Hanbali, tetapi ia mengambil jalan tengah di antara
keduanya.
Jadi dapatlah kita simpulkan bahwa metode pemikiran Asy’ariyah inilah yang
menjadi keunggulan atau kekuatan paham Asy’ariyah, dimana beliau mampu
menggunakan dalil naqli dan aqli secara seimbang, dan berusaha mengambil jalan
tengah dari paham aliran yang berlawanan.
Nurcholis Majid lebih sepakat dengan syair yang dikemukakan oleh Ibnu
Taymiah, tokoh reformis Islam yang pada substansinya mengatakan bahwa semua
tindakan manusia tidak dapat keluar dari ketentuan-Nya. Hanya saja manusia tetap
mempunyai kemerdekaan bertindak (free will) karena Allah telah menciptakan
kehendak (iradah) yang dengannya manusia mampu memilih jalan hidup. Sangat
tampak kritisisme Nurcholis Majid dalam hal ini. Ia ingin membetulkan kebekuan
dan absurditas pemahaman teologi karena pemikiran-pemikiran tidak akan lepas dari
kelemahan-kelemahan. Ia hendak memperbaiki kelemahan itu sehingga konsep yang
dimaksud lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam sekalipun. Barangkali apa
yang dimaksudkan Al-Asy’ari bagi kaum intelektual tidak akan terlalu problematic
sekalipun dalam syairnya secara tersurat ditulis kasb tidak akan berpengaruh. Dan
tentu saja hal itu tidak dimaksudkan untuk itu karena dengan tegas pula dikatakan
manusia tidak bebas dan tidak pula terpaksa.