Anda di halaman 1dari 14

ALIRAN Al-ASY’ARIYAH

Muhammad Nur Ikhsan

Fakultas Agama Islam Universitas Islam 45 Bekasi

Muhammadnurikhsan01@gmail.com

Abstract : Ahlu sunnah wal jama'ah is a theological school


built by Abu Hasan Al-Asya'ri, this theology is often called
"moderate theology". Al-Asy'ari's theological formulation, in
addition to using textual arguments in the form of sacred
texts from the Qur'an and Al-Sunnah as carried out by the
Hadith experts he supports, also uses rational arguments in
the form of logic or Aristotelian logic. The approach used by
Al-Asy'ari in the theology of sunnah waljama'ah experts is
unique, he takes the good from the textual approach of the
Salafiyah, so that he uses reason and naughty arguments
critically, exploits reason to the fullest but is not as free as
the Mu'tazilah, holds naql strongly but he is also not as strict
as Hanabillah in their rejection of logical arguments.

Abstrak : Ahlu sunnah wal jama’ah adalah sebuah aliran


teologi yang dibangun oleh Abu Hasan Al-Asya’ri, teologi
ini sering disapa dengan sebutan “Teologi moderat”.
Rumusan teologi Al-Asy’ari selain menggunakan argumen
tekstual berupa teks-teks suci dari Al-qur’an dan Al-Sunnah
seperti yang dilakukan oleh ahli Hadits yang ia dukung, juga
menggunakan argumen rasional berupa mantik atau logika
Aristoteles. Pendekatan yang dipakai Al-Asy’ari dalam
teologi ahli sunnah waljama’ah tergolong unik, beliau
mengambil yang baik dari pendekatan tekstual Salafiyah ,
sehingga ia menggunakan argumen akal dan nakal secara
kritis, mengesksploitasi akal secara maksimal tetapi tidak
sebebas Mu’tazilah, memegang naql dengan kuat tetapi ia
juga tidak seketat Hanabillah dalam penolakan mereka
terhadap argumen logika.

Katakunci : Ahlu sunnah wal jama’ah, Teologi moderat.

Pendahuluan

Aliran Asy’ariah, salah satu madzhab di bidang


akidah dalam Ilmu Kalam, digagas oleh al-Asy’ari.
Penisbahan aliran Asy’ariah kepada al-Asy’ari lebih
dikarenakan oleh kenyataan bahwa al-Asy’ari memang
dipandang sebagai tokoh pendirinya. Relevan dengan ini
kemudian tepat kalau dinyatakan, “aliran Asy’ariah atau
Asy’ariah adalah aliran yang mengikuti dan dinisbahkan
kepada pendirinya yakni Abu Hasan al-Asy’ari”. Meskipun
demikian, dalam konteks kapasitas Asy’ariyah sebagai Ahl
as-Sunnah wa al-Jama’ah, tidaklah benar kalau dikatakan
bahwa Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah baru lahir pada masa
Abu Hasan al-Asy’ari, karena ajaran itu sudah ada jauh
sebelumnya. Tasyi Kubra Zadah, sebagai dirujuk Idrus
Ramli, menegaskan bahwa Abu Hasan al-Asy’ari tidaklah
membuat ajaran baru, melainkan lebih sebagai pelopor
gerakan kembali kepada ajaran-ajaran sahabat dan generasi
salaf yang saleh dalam bidang akidah Islam. Memang
pernyataan itu menunjukkan kesepahaman bahwa al-Asy’ari
itu melanjutkan ajaran yang sudah ada sebelumnya, namun
masih ada perbedaan pendapat mengenai siapa tokoh-tokoh
pendahulu yang dimaksudkan, karena perbedaan dalam
konteks. Jika Ahl as-Sunnah dilihat dalam konteks rival ahl
bid’ah, maka ada yang menyebut tokoh awal Ahl as-Sunnah
dimulai sejak Ali bin Abi Thalib, ketika melawan ahl bid’ah
Khawarij. Sementara itu ketika Ahl as-Sunnah dimaknai
dalam konteks sikap non partisan dalam politik praktis dan
moderat atau tidak ekstrims, maka ada yang memposisikan
Hasan al-Bashri sebagai tokoh awal Ahl as-Sunnah, karena
sikap dan pemikirannya merupakan refleksi sikap orang
Sunni, sehingga sebenarnya sejak beliaulah ajaran Ahl as-
Sunnah dimulai.

yang jelas dan benar-benar merupakan fakta sejarah


adalah bahwa pada saat Abu Hasan al-Asy’ari menyatakan
dirinya keluar dari aliran Mu’tazilah dan kemudian
membentuk sebuah aliran baru, ketika pada saat itu
Mu’tazilah sedang berada dalam fase kemunduran
(kelemahan). Yaitu setelah Khalifah Abbasiyah al-
Mutawakkil mengambil kebijakan melakukan pembatalan
keberadaan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara, yang
selanjutnya kemudian diikuti oleh sikap sang Khalifah itu
lebih berpihak kepada Ahmad bin Hanbal, tokoh utama Ahl
as-Sunnah Salafiah, yang biasa disingkat dengan Salafiah
atau sering juga dinamakan Ahl al-Hadis, rival Mu’tazilah
pada waktu itu. Dalam hal ini, Abu Hasan al-Asy’ari
menegaskan dirinya sebagai pengikut Ahmad bin Hanbal
(dan atau para ulama’Hanabilah), kaum dan atau tokoh
Salafiah yang disebutnya sebagai Ahl al-Sunnah di kala itu.

Terhadap perjalanan al-Asy’ari tersebut, hingga


berkembanya aliran Asy’ariah, ada pendapat yang
mendeskripsikannya dengan membaginya atas empat tahapan
berikut. Pertama, tahap pertumbuhan al-Asy’ari dimulai
sejak kelahiran hingga berusia 10 tahun. Pada tahapan ini al-
Asy’ari mempelajari al-Qur’an dan al-hadis serta dasar-dasar
ideologi Ahl as-Sunnah kepada sejumlah ulama’ Ahli Hadis
kenamaan. Kedua, tahap perkembangan al-Asy’ari dimulai
sejak usia 10 tahun sampai 40 tahun. Poin penting pada tahap
kedua ini, al-Asy’ari menjadi penganut, bahkan tokoh,
Mu’tazilah, karena terpengaruh oleh al-Juba’i, tokoh besar
Mu’tazilah yang menjadi gurunya sekaligus ayah tirinya,
karena menikahi ibunya. Ketiga, tahap mulai berdirinya
madzhab Asy’ariah dan peletakan dasar-dasarnya. Diantara
hal penting pada tahapan ini adalah terjadinya berbagai
perdebatan dialogis antara al-Asy’ari dengan berbagai aliran,
baik dalam forum terbuka maupun yang bersifat polemis.
Berkaitan dengan tahap ketiga ini, setelah karya-karya al-
Asy’ari tersebar luas ke berbagai daerah, maka ketokohan
Abu Hasan al-Asy’ari menjadi sangat populer sebagai tokoh
besar aliran Ahl as-Sunnah. Dan keempat, tahap tersebar dan
tersosialisasinya madzhab al-Asy’ari atau Asy’ariah. Tahap
empat ini ditandai oleh tampilnya sejumlah ulama’ kreatif
dan produktif dalam menulis dan menyebarkan ajaran al-
Asy’ari, baik ajaran maupun metodologi. Tahap ini dimulai
sejak paruh kedua abad keempat Hijriah sampai dengan
sekarang ini.18 Pada tahap ini tampillah generasi kedua
pengikut madzhab al-Asy’ari seperti Abu Bakar bin Furak,
Abu Bakar al-Baqillani, Abu Ishaq al-Firayini, dimana
mereka berperan penting dalam penyebaran madzhab al-
Asy’ari, sehingga meraih sukses menjadi aliran yang diikuti
oleh mayoritas ummat Islam, dan kemudian disusul oleh para
pengikut al-Asy’ari generasi berikutnya.

Asy’ariyyah adalah salah satu aliran teologi dalam


islam yang sampai saat ini masih tetap hidup di masyarakat
Islam yang berasal dari nama seseorang pendiri yaitu Hasan
Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Abdillah bin Musa bin
Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari. Aliran ini lahir pada
dasawarsa kedua abad ke-10 (awal abad ke-4). Pengikut
aliran ini, bersama pengikut Maturudiyah dan Salafiyah.
Dalam memahami teks, kaum Mu’tazilah mempergunakan
akal dan kemudian memberikan interprestasi pada teks atau
nash wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asy’ariyah
sebaliknya, terlebih dahulu kepada teks wahyu dan kemudian
membawa argumen-argumen rasional untuk teks wahyu itu.
Kaum mu’tazilah banyak memakai ta’wil sedangkan
asy’ariyah banyak berpegang pada arti lafdzi atau letterlek
dari teks wahyu. Dalam penggolongan teologi Islam ,
Asy’ariyah dan Maturidiyah keduanya disebut Ahlu sunnah
wal jama’ah. Aliran maturidiyah banyak dianut umat islam
sekarang ini yang bermadzhab kepada imam Hanafi,
sadangkan aliran Asy’ariyah pada umumnya dianut oleh
umat Islam yang bermadzhab sunni 1

Kajian Terdahulu yang Relevan

Sebuah artikel yang ditulis oleh Hadi Rafitra


Hasibuan, menerangkan tentang Aliran Asy’ariyah yang
berkembang pesat sejak abad ke-11 Masehi. Bersamaan
dengan menyebarnya tasawuf . pemahaman Asy’ariyah
menurutnya sangat kuat di tubuh umat Islam dan aqidah terus
menyebar dikalangan umat Islam.

Disamping itu menurut al-Syahrastani, perdebatan-


perdebatan dan dialog yang sering terjadi antara Asy’ari
dengan gurunya tidak bisa dilepas dalam rangka
menginterpretasi sebab peralihannya itu. Perdebatan-
perdebatan itu tercatat di berbagai sumber dan referensi
menyebabkan sikap pro-kontra di kalangan para ilmuan.

Latar belakang munculnya Asy’ariyah

Teologi Asy’ariyah muncul tidak terlepas dari situasi


yang berkembang pada saat itu. Teologi ini muncul
sebagai tandingan dari aliran Mu’tazilah yang bercorak
rasionil. Aliran Mu’tazilah2 ini mendapat tantangan keras
dari golongan tradisional islam terutama golongan
Hambali. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Pertama, pada tahun 827 M, Khalifah Abasiyah al-
Makmun menerima teori mu’tazilah secara resmi dan

1
Ahlu sunnah wal jama’ah
2
Salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat dikelompokkan
sebagai kaum rasionalis islam, kompassiana.com
dilanjutkan pada pemerintahan dua khalifah setelahnya.
Orang-orang yang teguh memegang tradisi, khususnya
Ahmad bin Hanbal disiksa bahkan lebih dari itu, orang-
orang yang tidak memahami dogmatis Mu’tazilah yang
cerdas atau menolak menerima mereka dan kadang-
kadang sebagian besar dianggap kafir. Serangan
Mu’tazilah terhadap para fuqaha dan muhadisin semakin
gencar. Tak seorangpun pakar fiqh yang populer dan
pakar hadits yang mashur luput dari gempuran mereka.
Serangan dalam bentuk pemikiran disertai dengan
penyiksaan fisik oleh penguasa dalam bentuk suasana al-
mihnah (inkuisisi), yang dalam sejarah islam
dikategorikan sebagai fitnah ke dua (setelah fitnah
pertama dalam perang Jamal dan Siffin). Banyak tokoh
dan ulama yang menjadi panutan umat menjadi korban
gerakan mihnah, mulai dari penyiksaan fisik,
pemenjaraan, bahkan sampai pada hukuman mati.
Sebagai akibat dari hal itu, timbul kebencian
masyarakat terhadap mu’tazilah dan berkembang
menjadi permusuhan. Masyarakat tidak senang dengan
hasutanhasutan mereka untuk melakukan mihnah
(inkuisisi) terhadap setiap imam dan ahli hadits yang
bertaqwa. Isu sentral yang menjadi topic mihnah waktu
itu adalah tentang “Al-quran sebagai makhluk bukan
kalamullah yang qadim”.
Kedua, Selain faktor politik, latar belakang
munculnya Asy’ariyah juga dipengaruhi oleh kamu
Mu’tazilah (yang mulai redup dan cenderung di
tinggalkan oleh masyarakat) juga tidak banyak
berpegang teguh pada al-Sunnah atau al-Hadits, ini
bukan lantaran mereka tidak percaya pada hadits Nabi
dan kata-kata para sahabat, akan tetapi mereka ragu
dengan originalitas sunah, sehingga mereka dipandang
sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada
sunnah. Kelemahan mu’tazilah pada sisi ini kemudian
dimanfaatkan oleh kalangan Asy’ariyah dengan
terangterangan mengusung sunah dan tradisi sahabat
hingga menyebabkan term Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Seperti melekat pada aliran Asy’ariyah dan ini tentunya
memunculkan dukungan dari masyarakat.
Ketiga, Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang dulunya
penganut dan kampiun Mu’tazilah pada akhirnya
meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan mendirikan aliran
baru yang dinisbahkan pada namanya, yaitu al-
Asy’ariyah. Menurut al-Subki dan AlAsakir, seperti
dikutip Harun Nasution, bahwa Abu Hasan al-Asy’ari
bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW dan dalam
mimpinya baginda Rasulullah mengatakan padanya
untuk meninggalkan paham mu’tazilah dan membela
sunahnya.

Mengenal Asy’ariyah

Aliran Asy’ariyah adalah aliran kalam yang dinisbahkan


kepada Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ariyah. Ia
keturunan Abu Musa al-Asy’ari, salah seorang perantara
dalam sengketa antara Ali bin Abi Thalib dengan
Mu’awiyyah. Al-Asy’ari lahir tahun 260 H/873 M dan wafat
pada 324 H/935 M. al-Asy’ari lahir di Bashra, namun
sebagian besar hidupnya di Bagdad. Pada waktu kecil ia
berguru pada seorang tokoh Mu’tazilah terkenal, yaitu al-
Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan
mendalaminya. Namun, pada tahun 912 dia mengumumkan
keluar dari paham Mu’tazilah, dan mendirikaan teologi baru
yang kemudian dikenal dengan Asy’ariyah.

Ayah al-Asy’ari, Ismail ibn ishaq adalah seorang tokoh


hadits. Ayahnya wafat ketika ia massih kecil.waktu itu
usianya kurang lebih mencapai 10 tahun. Selang beberapa
tahun setelah ayahnya wafat, kemudian ibunya dinikahi oleh
Abu ‘Ali al-Jubbai, seorang professor dari kalangan
Mu’tazilah yang sangat berpengaruh pada waktu itu.

Sebelum berkenalan dengan teologi, al-Asy’ari


(324/935) telah terdidik terlebih dahulu secara intensif dalam
bidang fiqh dan hadits. Sebelum ayahnya wafat, ia telah
dititipkan kepada Zakariyya bin Yahya al-Saji, seorang pakar
hadits pada waktu itu. Dari al-Saji, al-Asy’ari meriwayatkan
beberapa hadits dan belajar fiqh al-Syafi’i. hadits dan fiqh
yang dipelajarinya tidak membuatnya puas. Setelah ibunya
menikah dengan Abu al-Jubbai, ia mulai berkenalan dengan
teologi. Dalam bidang teologi ini, al-Asy’ari belajar lebih
intensif mengenai teologi Mu’tazilah dibawah bimbingan
tokoh-tokoh seperti al-Jubbai dan al-Syahham.

Dari beberapa latihan dan bakat kecerdasannya, dalam


kurun waktu relative singkat al-Asy’ari menjadi salah satu
tokoh Mu’tazilah dengan kredibilitas tinggi. Sekalipun
menempati posisi terhormat dikalangan Mu’tazilah,
pergulatan intelektualnya ternyata mencapai titik kulminasi.
Ia mulai ragu terhadap sisitem keimanan yang dianut dan
diperjuangkannya selama ini. Tepatnya pada usia 40 tahun,
al-Asy’ari mengalami kebimbangan yang disebabkan oleh
berbagai hal sehingga akhirnya membawa konversi
pemikiran teologis. Bahkan dengan kepiawaian logika yang
dipelajarinya dari Mu’tazilah, ia kemudian berbalik
menyerang Mu’tazilah dengan sangat gencar.

Paham Asy’ariyah

Secara umum pandangan kaum Asy’ariyah berlawanan


dengan paham Mu’tazilah . Diantaranya adalah :

a. Sifat Tuhan
Mengenai sifat Tuhan, Mu’tazilah menyatakan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Sebab jika Tuhan
mempunyai sifat, mestilah sifat itu jga kekal seperti Tuhan.
Berbeda halnya dengan Asy’ariyah yang mengemukakan
bahwa Tuhan mempunyai sifat yang menjadi bukti adanya
(wujud) Allah. Sifat-sifat tersebut adalah hidup (hayat),
berkuasa (qudrah), mengetahui (‘ilm), berkehendak (iradah),
melihat (bashar), mendengar (sami’), berbicara (kalam).
Akan tetapi dalam pandangannya, sifat Tuhan bukan esensi
Tuhan itu sendiri, sifat Tuhan dan zat Tuhan adalah dua hal
yang berbeda tetapi satu. Sifat-sifat tersebut lain dari zat-Nya
atau berada diluar zat-Nya dan bukan zat Tuhan itu sendiri.
Oleh karena itu, Tuhan mengetahui bukan dengan zat-Nya
karena jika demikian berarti Allah adalah pengetahuan itu
sendiri seperti mu’tazilah, melainkan mengetahui dengan
pengetahuan-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat lainnya.

b. Kekuasaan dan Keadilan Tuhan

Bagi Asy’ari, Allah adalah zat yang Maha kuasa dan


Maha Adil. Akan tetapi pemahaman mengenai kekuasaan
dan keadilan ini ternyata antara satu pihak dengan pihak lain
tidak sama. Adil, dalam pandangan Asy’ari adalah meletekan
segala sesuatu pada tempatnya (wadh’u al-syai’ fi mahallihi).
Seseorang yang mempunyai kekuasaan berarti seseorang itu
bisa melakukan apa saja terhadaap apa yang dimiliki. Karena
Allah adalah zat yang Maha kuasa berarti Dia bisa berbuat
apa saja terhadap yang dikuasai-Nya. Jika Allah diakui zat
yang Maha kuasa, maka apapun yang dilakukan Allah adalah
sebuah keadilan. Tidak akan pernah ketidakadilan itu
terdapat pada diri-Nya.

c. Melihat Allah di Akhirat

Imam al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah dapat dilihat di


akhirat kelak dengan mata kepala manusia. Menurut al-
Asy’ari sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan
hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti
diciptakannya Tuhan. Sifat “dapatnya Tuhan dilihat” tidak
membawa kepada arti “diciptakannya Tuhan”. Sebab apa
yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia
bersifat diciptakan.

d. Perbuatan Manusia

Pendapat Asy’ariyah yang paling menyita perhatian adalah


pandangan tentang “pandangan manusia”. Asy’ari
meluncurkan teori al-kasb sebagai jalan tengah diantara
pandangan jabariyah dan qadariyah, diantaranya sebagai
berikut: Pendapat Asy’ariyah yang paling menyita perhatian
adalah pandangan tentang “pandangan manusia”. Asy’ari
meluncurkan teori al-kasb sebagai jalan tengah diantara
pandangan jabariyah dan qadariyah, diantaranya sebagai
berikut:

1. Perbauatan manusia bukanlah di wujudkan oleh manusia


sendiri, sebagaimana mu’tazilah, melainkan diciptakan oleh
Tuhan.

2. Bahwa yang menciptakan pekerjaan “iman” bukanlah


orang mukmin (yang tak sanggup membuat iman bersifat
tidak berat dan tidak sulit). Akan tetapi Tuhanlah yang
menciptakannya dan memang menghendaki supaya iman
bersifat berat dan sulit

3. Dalam mewujudkan perbuatan manusia mempunyai usaha


(kasb), hanya saja daya yang ada dalam diri manusia tidak
akan berpengaruh terhadap apa-apa terhadap kegiatannya.

e. Kemampuan Akal Manusia

Keberadaan akal manusia sangat tergantung kepada


pemahaman mengenai kekuasaan dan keadilan Allah serta
perbuatan manusia. Bagi Asy’ari, akal manusia mampu
mengetahui adanya Tuhan, tetapi kewajiban untuk
mengetahui Tuhan tidak ditetapkan oleh akal. Wahyu Allah
yang mewajibkan manusia untuk mengetahui Tuhan, yang
mewajibkan untuk bersyukur kepada-Nya. Sekiranya wahyu
tidak turun kepada manusia maka tidak wajib mengetahui
dan bersyukur sama sekali kepada-Nya. Akal juga tidak
mampu mengetahui baik dan buruk. Baginya, baik dan buruk
tidak melekat pada suatu perbuatan, tetapi tergantung pada
kehendak mutlak Tuhan. Dusta, misalnya adalah jahat karena
dilarang Tuhan. Bila dusta disiruh Tuhan, maka dusta adalah
baik.

f. Kebaikan dan Keburukan

Menurut al-Asy’ari yang disebut kebaikan adalah


seluruh yang diperintahkan, dianjurkan maupun
diperbolehkan oleh Allah SWT. Kebaikan bukanlah semata-
mata kewajiban atau anjuran, tetapi juga segala sesuatu yang
tidak ada larangan secara tegas (ibahah) dari Allah SWT.
Sebaliknya, yang disebut keburukan adalah segala sesuatu
yang dilarang oleh Allah SWT.

g. Kebaruan Alam

Bagi Asy’ari, alam ini adalah sesuatu yang baru. Tidak ada
yang qadim selain Tuhan. Hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa terjadi banyak perbedaan antara berbagai benda dan
bahwa benda-benda tersebut selalu mengalami perubahan,
yang inilah yang menjadi bukti kebaruan alam.17

h. Dosa Besar

Menurut Asy’ari, iman itu akan tetap ada dalam diri


seseorang selama ia masih mengakui dan membenarkan
keberadaan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, orang
mukmin yang melakukan dosa besar dalam pandangan
Asy’ari tetap dianggap mukmin. Nabi akan memberi syafa’at
kepada umatnya, termasuk kepada mereka yang melakukan
dosa besar selama ia masih beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya3. Adapun mengenai dosa besar diserahkan sepenuhnya

kepada Allah, apakah akan diampuni atau tidak.

KESIMPULAN

Tahun 873 M atau bertepatan dengan 260 H,Abu


HasanAli bin Ismail al-Asy'ari lahir di Basra. Ia dididik dan
dibesarkan di kalangan Mu'tazilah. Dan menghabiskan
sebagian besar masa hidupnya di kotaBaghdad, Irak.Tahun
912 M al-Asy'ari memutuskan keluar dari Muktazilah,
setelah bergumul dalam kelompok itu selama kurang lebih
empat puluh tahun. Kemudian ia merumuskan pandangan
teologi (kalam) Islam yang berseberangan dengan pandangan
Mu'tazilah. Kelompok al-Asy'ari ini dikenal
denganAsy'ariyah. Tahun 935 M alAsy'ari wafat.
Perjuangannya memperkuat paham Ahlus Sunnah wa al-
Jamaah dilanjutkan oleh murid-muridnya. Di antarannya
adalah al-Baqillani, al-Juwaini, al-Ghazali, dan alSanusi.
Tahun 1028 M lahir seorang tokoh Asy'ariyah bernama
Abdul Malik bin AbduHah bin Yusuf bin Muhammad bin
Abdullah bin Hayyuwiyah al-Juwaini al-Nisaburi, atau yang
dikenal dengan Al-Juwaini. Ia menjadi pengajar di Madrasah
Nizamiyah Nisyapur selama 23 tahun. Madrasah ini
menjadikan teologi Islam aliran Asyariyah sebagai
kurikulum resmi. Salah satu murid Al-Juwaini yang terkenal
adalahAl-Ghazali.

Tahun 1058 M lahir Abu Hamid al-Ghazali, yang


kemudian menjadi pembela aliran Asy'ariyah paling
berpengaruh sepanjang sejarah pemikiran Islam. Al-Ghazali
juga pernah menjadi guru di Madrasah Nizamiyah. Sejak saat
3
Nasihun Amin, sejarah perkembangan pemikiran islam,
(semarang : karya Abadi Jaya,2015), hal. 142.
itu aliran Asyariyah menyebar ke seluruh pelosok dunia
Islam, dari Andalusia hingga Indonesia. Tahun 1067 M
Nizam al-Mulk, Perdana Menteri Dinasti Seljuk, mendirikan
Madrasah Nizamiyah. Madrasah ini memiliki cabang di
berbagai kota penting dalam wilayah kekuasaan Dinasti
Abbasiyah.Tahun 1427 M. lahir tokoh Asy'ariyah yang lain,
yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi. Imam
yang satu ini, punya pengaruh yang besar di Indonesia,
terutama konsepnya tentang sifat Allah dan Rasul-Nya.

Al-asy’ariyah adalah aliran kalam yang dinisbahkan


kepada Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ariyah. Ia
keturunan Abu Musa al-Asy’ari, salah seorang perantara
dalam sengketa antara Ali bin Abi Thalib dengan
Mu’awiyyah. Al-Asy’ari pada waktu kecil berguru pada
seorang tokoh Mu’tazilah terkenal, yaitu al-Jubbai.

Dengan seiring berjalannya waktu, tepatnya ketika ia


berumur 40 tahun, Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang dulunya
penganut dan kampiun Mu’tazilah pada akhirnya
meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru
yang dinisbahkan pada namanya, yaitu al-Asy’ariyah. Salah
satu faktor ysng menyebabkannya keluar yaitu, bahwa Abu
Hasan al-Asy’ari bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW
dan dalam mimpinya baginda Rasulullah mengatakan
padanya untuk meninggalkan paham mu’tazilah dan
membela sunahnya. Pokok- pokok ajaran Al-Asy’ariyah pun
pada umumnya berbanding terbalik dengan paham
Mu’tazilah.

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun, 1983, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah


Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press.

Nasution, Harun, 2002, Islam Ditinjau dari Berbagai


Aspeknya, Jilid II, Cet. I; Jakarta:UI Press, 2002
Mahmud Subhi, Ahmad, 1964, Fi ilm al-Kalam, Kairo:
Daral-Kutub al-Jami’ah

Ahmad, Hanafi, 2001, Teologi Islam: Ilmu Kalam,


Jakarta:Bulan Bintang

Khursyid, Ibrahim, dkk, Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah,


Kairo: al-Sya’ab,t.th., volumeIII

Amin, Nasihun, 2015, Sejarah Perkembangan Pemikiran


Islam, Semarang: Karya Abadi Jaya

Majid, Nurcholis,1992, Islam Doktrin dan Peradaban:


Sebuah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan
Kemoderenan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina

Mudhofir, Ali, 1996, Kampus Teori dan Aliran dalam


Filsafat dan Teologi, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press

Supriadin, Al-Asy’ariyah (Sejarah, Abu Hasan al-Asy’ari


dan Doktrin-doktrin Teologinya), SULESANA Volume 9
Nomor 2 Tahun 2014

Anda mungkin juga menyukai