Anda di halaman 1dari 14

ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR

A. Pengantar
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian integral dari sistem keagamaan mayoritas umat
islam. Di mana Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan Tauhid. Lebih dari
itu, disadari atau tidak Aswaja merupakan bagian kehidupan sehari-hari setiap kaum muslimin. Akarnya
tertananam dalam pada pemahaman dan perilaku penghayatan kita masing-masing dalam menjalankan
Islam.
Selama ini proses reformulasi Ahlussunnah wal Jama’ah telah berjalan, bahkan masih berlangsung
hingga saat ini. Tahun 1994, dimotori oleh KH Said Agil Siraj muncul gugatan terhadap Aswaja yang
sampai saat itu diperlakukan sebagai sebuah madzhab (qauli). Padahal di dalam Aswaja terdapat
berbagai madzhab, khususnya dalam bidang fiqh. Selain itu, gugatan muncul melihat perkembangan
zaman yang sangat cepat dan membutuhkan respon yang kontekstual dan cepat pula. Dari latar belakang
tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan isi Aswaja sebagaimana selama ini digunakan, lahirlah
gagasan ahlussunnah wal-jama’ah sebagai manhaj al-fikr (metode berpikir).
PMII melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan perkembangan zaman, selain karena alasan
muatan doktrinal Aswaja selama ini yang terkesan terlalu kaku. Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih
fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan
ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman.
Bagi PMII Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna
bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu.
Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun relevansi dan makna tersebut
sangat tergantung kepada kita, pemeluk dan penganutnya, memperlakukan dan mengamalkan Islam. Di
sini, PMII sekali lagi melihat bahwa Aswaja merupakan pilihan paling tepat di tengah kenyataan
masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya dan agama.
B. Sketsa Sejarah
Ahli as-Sunnah Wa al-Jama'ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di
wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan,
kemudian debat antara Sifat-sifat Allah antara ulama Salafiyun dengan golongan Mu’tazilah, dan
seterusnya.
Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang sejak zaman Nabi muhammad hingga Imam
al-Asy’ari. Secara umum, ada empat pase sejarah pembentukan Aswaja. Pertama. Saat Nabi masih
hidup, beliau pernah bersabda “ma ana alaihi wa ashabi”, siapa yang mengikuti sunnahku dan sunnah
para sahabatku. Hadits tersebut menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang
mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu tidak
sekedar kita maknai secara tekstual, tetapi karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang
ajaran Islam, maka "Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" atau Ahli as-Sunnah Wa al-Jama'ah lebih kita artikan
sebagai "Manhaj Au Thariqoh fi Fahmin Nushus wa Tafsiriha" (metode atau cara memahami nash dan
bagaimana mentafsirkannya).
Dari pengertian diatas maka Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman
Rasulullah Saw. Jadi bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah
yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali (direkonstuksi) oleh
Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada
saat munculnya berbagai golongan, yang pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti
Manhaj atau thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.
Kedua. Ketika Nabi wafat para sahabat kebingungan hingga berselisih tentang ; 1. Apakah Nabi wafat
atau tidak. 2. Dimanakah Nabi dimakamkan. 3. Siapa pengganti Nabi. dan perselisihan lainnya. Namun
yang paling menonjol diantara perselisihan tersebut adalah lebih kepada permasalahan Imamah,
dimana kaum Anshor dan Muhajirin merasa berhak untuk menggantikan kepemimpinan Nabi. Tapi
permasalahan pada masa itu masih bisa diselesaikan oleh Abu Bakr ra. sehingga permasalahan itu tidak
sampai menyebabkan perpecahan dalam tubuh umat Islam.
Ketiga. Ketika perang Siffin yang melibatkan Khalifah Ali r.a dengan Mu’awiyah. Bersama kekalahan
khalifah keempat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Mu’awiyah,
umat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Diantara mreka terdapat Syi’ah yang secara
umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung
Ali r.a yang membelot karena tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang
melegitimasi kepemimpinan Mu’awiyah.
Diantara kelompok-kelompok itu, ada sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan
ibn Hasan Yasar al-Basri (21-110 H / 639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan al-Basri,
yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat kultural (Syaqofiyah), ilmiah dan
berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara
berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem
keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstream. Dengan sistem keberagamaan
seperti itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam
pertikaian politik.
Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-ulama setelah beliau, diantaranya
Imam Abu Hanifah an-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H),
Ibn Kullab (w. 204 H), dan Imam Ahmad ibn Hambal (w. 241 H).
Keempat. Ketika masa Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) dan Abu Mansur al-Ma’turidi (w. 333 H)
menggagas Aswaja secara formal sebagai bentuk perlawanan terhadap ajaran-ajaran Islam yang
menyeleweng dari al-Qur’an dan as-Sunnah, yang kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya
sampai kepada kita. Kepada dua ulama inilah permulaan Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila
ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak 3 abad sebelumnya.
Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut paham Ahl as-Sunnah wa al-
Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut Madzhab Syafi’i,
dan sebagian terbesarnya tergabung -baik tergabung secara sadar maupun tidak- dalam jam’iyah
Nahdlatul Ulama yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahl as-Sunnah wa al-
Jama’ah.
C. Pengertian Aswaja
Secara semantik arti Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika
dikaitkan dengan aliran atau madzhab, maka artinya adalah penganut aliran atau penganut madzhab
(ashab al-madzhab).
As-Sunnah mempunyai arti “jalan”, disamping memiliki al-hadits. Disambungkan dengan Ahl,
keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para sahabat dan tabi’in. Al-Jama’ah berarti sekumpulan orang
yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah berarti
segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, para sahabat dan tabi’in.
Nahdlatul Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berpaham
Aswaja. Dalam Qonun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim
Asy’ari juga tidak disebutkan devinisi Aswaja, namun tertulis di dalam qonun tersebut bahwa Aswaja
merupakan sebuah paham keagamaan di mana dalam bidang Akidah menganut pendapat Abu Hasan al-
Asy’ari dan al-Ma’turidi, dalam bidang fiqih menganut pendapat dari salah satu madzhab empat
(Madzahibul Arba’ah -Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali), dan dalam bidang tasawuf –akhlak
menganut Imam Junaedi Al-Bagdadi dan Imam Abu Hamid Al-Gozali.

Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan
di tubuh Nahdlatul Ulama. Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahl as-Sunnah wa al-
Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para ulama dimaksud.
Secara doktrinal, pengertian Aswaja di atas sama sekali tidak salah. Pengertian ini merupakan definisi
operasional yang ditujukan untuk memudahkan pemahaman Aswaja. Definisi ini memang
diperuntukkan bagi mereka yang karena profesi dan tingkat keilmuan yang dimiliknya, tidak mungkin
melakukan penelitian kesejarahan terhadap Aswaja. Jadi untuk memudahkan pemahaman, maka
disediakanlah jawaban yang praktis-operasional. Ini seperti Nabi yang ditanya Malaikat Jibril tentang
pengertian Iman, Islam dan Ihsan. Jawaban yang diberikan Nabi merupakan jawaban praktis
operasional. Meskipun Nabi yakin persoalan iman tidaklah sesederhana seperti yang digambarkannya,
tapi Nabi tidak memberikan pengertian yang njlimet, abstract dan filosofis.
Dalam proses memahami dan mengamalkan ajaran Islam, NU mengembangkan dua cara bagi dua
kelompok umat yang berbeda, Alim atau Kader Mujtahid (orang yang memiliki manhaj al-fikr sendiri)
dan Awam. Bagi seorang alim, ia harus berijtihad untuk memahami dan mengamalkan ajaran
agamanya. Adapun bagi seorang awam, ia harus bertaqlid kepada mujtahid, entah secara qauli (taqlid
kepada pandangan-pandangan parsial dari Imam) atau secara manhaji (taqlid kepada model berpikir
atau pola pikir imam). Pada titik inilah, kejelasan metode berpikir aswaja bagi para kader pemikir PMII
menjadi penting, hal ini terjadi karena tuntutan untuk dapat menjawab berbagai problematika yang
terjadi di zamannya.
D. Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr
Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr.
Tahun 1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan Sahabat Chatibul Umam Wiranu berjudul membaca
ulang Aswaja (PB PMII, 1997). Buku tersebut merupakan rangkuman hasil simposium Aswaja di tulung
Agung. Konsep dasar yang dibawa dalam Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr tidak dapat dilepas dari
gagasan KH. Said Aqil Siradj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya Aswaja di Tafsir ulang
dengan memberikan kebebasan lebih bagi para Intelektual dan Ulama untuk merujuk langsung kepada
Ulama dan pemikir utama yang tersebut dalam pengertian Aswaja.
Sebagai manhaj al-fikr, PMII memandang bahwa Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah orang-orang
yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan
berlandaskan atas dasar Tawasut (moderat), tawazun (keseimbangan), Ta’adul (proporsional) dan
Tasamuh toleran. Aswaja bukan hanya sebuah Madzhab (qauli), melainkan juga memiliki metode dan
prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan;
inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.

Sebagai manhaj al-fikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip Tawasut (moderat), Tawazun
(keseimbangan), Tasamuh (toleran) dan ta’adul (proporsional). Moderat tercermin dalam pengambilan
hukum (istinbat) yaitu memperhatikan posisi akal disamping memperhatikan nash. Aswaja memberi
titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (al-qur’an dan al-hadits) dengan penggunaan akal, berarti
Tawasut adalah sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan.
Ini diberdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah: 143 Artinya, “Dan demikianlah kami
jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi
(ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi
(ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian”.
At-Tawazun (keseimbangan) dan toleran (tasamuh) terepleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul
dalam kondisi sosial-budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul PMII
sebagai muslim dengan golongan muslim atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia
yang plural, dalam budaya, etnis, idiologi politik dan agama, PMII memandang bukan semata-mata
realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah Swt memang dengan sengaja
menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu tidak ada pilihan sikap yang
lebih tepat kecuali tawazun dan tasamuh.
Firman Allah SWT dalam surah al-Hadid: 25 Artinya “Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami
dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan
neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.

Sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki
prinsip hidup yang tidak sama (al-Hujurat ayat 13). Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan
keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT dalam
surah Thaha: 44, artinya “Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS)
kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut.”

Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata
dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan
ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah
menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya
lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah".

Ta’adul atau proporsional dalam segala hal. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman dalam surah al-
Maidah: 8, artinya “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang
yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan
janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah
karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena
sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
E. Rumusan metode berpikir Aswaja
Setiap pola pikir yang dilakukan oleh manusia selalu berangkat dari iman. Salah satu pengertian -dari
kekayaan makna- iman adalah percaya kepada sumber pemikiran, ilmu atau sumber kebenaran.
Seperti yang terlihat dari objek iman (muta’aliqotul iman), atau yang lebih populer disebut rukun iman.
Objek iman yang pertama adalah Allah sebagai sumber kebenaran. Kemudian malaikat dan rasul-
rasulNya sebagai perantara dan penyampai kebenaran atau ilmu. Al-Qur’an (Alkitab) sebagai rumusan
Ilmu dan Yaum al-Akhir serta Takdir sebagai materi ilmu.

Kita meyakini bahwa Allah adalah sumber segalanya. Ia menciptakan tiga hal besar sebagai dalil
(tanda) dari keberadaanNya (wujud) dan sekaligus sebagai dalil kebenaran. Dalil kebenaran yang Allah
ciptakan adalah al-Kitab –bisa juga disebut al-dien atau al-qur’an dan al-sunnah–, Manusia yang
memiliki fitrah, indra dan akal. Serta Alam yang merupakan hidayah bagi umat manusia. Interaksi
antara empat unsur (Allah, Alkitab, Manusia dan Alam) tersebut sering kali terjadi, salah satu dari
interaksi itu menyebabkan proses studi atau proses berpikir yang kemudian melahirkan Metodologi
Studi Islami (manhaj al-fikr).

Dalam proses studi, hal pertama yang dilakukan adalah bagaimana melakukan pencarian, penggalian
dan pengumpulan dalil atau data (input data), baik yang berupa data tertulis yaitu Nash (ayat qauliyah)
maupun data yang tidak tertulis (ayat kauniyah), dengan menggunakan indra (alat pencari data) yang
berupa al-sam’a (penglihatan) dan al-abshar (pendengaran). Kemudian diolah dan diproses oleh hati
(fuad) dengan cara ya’qil (memikirkan), yafqoh (memahami) dan ya’lam (mengtahui) menggunakan
metode al-istinbat (deduktif) dan al-Istiqra (Induktif) sebelum ditarik menjadi kesimpulan (output) yang
berupa petunjuk dalil (madlul), teori, pemikiran atau ilmu. Dalam keadaan-keadaan tertentu, data-data
tersebut diproses langsung oleh Allah Swt di dalam hati manusia. Pengolahan seperti ini disebut
sebagai ilmu al-Mauhibah (ilmu pemberian) dari Allah Swt. kepada seseorang yang dikehendaki-Nya.

Pola Pikir Pengembangan Studi Islam


Pendekatan Input – output (Skema Horizontal)
Dalil / data INPUT PROSES OUTPUT

Feedback / masukan
ALKITAB
Sam’a dan
ALLAH MANUSIA abshar
(Pancadria)
Af’idah Ilmu
ALAM
Ilmu al-mauhibah

Pola Pikir Pengembangan Studi Islam Versi Aswaja

Interaksi
- U. Qur’an - Filsafat,
- U. Hadits ALLAH - Sejarah
- Tafsir - Antropologi
- Hadits ALKITAB ALAM - Sosiologi
- Ilmu Kalam - Ekonomi
- Ilmu Fiqih MANUSIA - Geografi
- Ilmu Tasawuf - Politik
- Ushul Fiqih - Hukum
- Filsafat Islam PROSES STUDI - Psikologi
- Tarikh Islam ISLAM
- Fisika
- Ilmu Nahwu - Kimia
- Ilmu Shorof METODOLOGI
STUDI ISLAM - Biologi
- Ilmu Bahagoh - Botani
- Ilmu Arudh/Qofiah STUDI/FAHAM - Matematika
- Ilmu Mantiq ISLAM INTEGRAL
- Bahasa/Sastra
- Ilmu Lughoh - Seni/Budaya
- ....................... PENGEMBANGAN - .......................
- AQAID
- MA’ARIF
- MANAHIJ

KEHIDUPAN
ISLAMIY
Manhajul fikr ini seharusnya melahirkan dua produk pemikiran, yaitu Paham Islam Integral dan
Pengembangan atau Paham Islam Parsial. Paham Islam Integral, merupakan paham yang memandang
bahwa Islam dan Kehidupan adalah satu kesatuan yang utuh, Islam adalah kehidupan, dan kehidupan
adalah Islam. Paham integral ini kemudian menjadi pola atau arah kehidupan yang Islami, yakni
kehidupan yang berawal dari allah dan berujung kepada Allah Swt. Paham integral ini kemudian dibagi
menjadi tiga kategori ilmu, yakni ilmu tentang realitas, aktifitas dan idealitas.

Ilmu tentang realitas, yaitu studi tentang realitas Allah, qodar, Kitab, Malaikat, Rasul, Alam, Sorga,
Neraka, Manusia, Jin / Syetan, Faham Hidup (World View), Peradaban dan lain sebagainya. Adapun
tentang aktivitas kehidupan dibagi kepada tiga aktivitas, yakni aktifitas batin yaitu keimanan dan
keilmuan. Aktifitas maqosid yaitu aktifitas yang dituju seperti shalat, dll. Dan amal-amal wasail
(penguat). Fitnah yang memiliki arti gangguan, ancaman, hambatan dan tantangan, akan selalu datang
menghadang untuk setiap aktifitas pada pelaksanaan semua ini. Kemudian jika kita mampu untuk
melalui fitnah tersebut, maka idealitas kehidupan menuju kehidupan dunia yang baik dilanjutkan
dengan kehidupan akhirat yang baik, sehingga sampai kepada Allah, liqo’ allah (bertemu dengan allah)
atau mendapatkan ridho Allah Swt (kehidupan Islami), terbuka dengan lebar.

Paham Islam Parsial merupakan studi terhadap bidang-bidang khusus, dan apabila dikelompokkan
menjadi tiga bidang, yakni Aqoid, Ma’arif dan Manahij. Kelompok Aqoid adalah kelompok yang
melakukan studi terhadap objek-objek keimanan. Ma’arif adalah kelompok yang melakukan studi
terhadap ilmu-ilmu empirik. Dan manahij, yakni kelompok yang melakukan studi terhadap teknologi
atau cara-cara hidup yang akan melahirkan kehidupan yang Islami.

Kelompok manahij ini terbagi atas studi keagamaan, sosial-politik, sosial-ekonomi dan sosial-budaya.
Hal ini dikarena manusia sekarang cenderung mengelompokkan persoalan-persoalan kehidupan
kedalam empat bidang ilmu tersebut, berbeda dengan ulama dahulu yang merumuskan persoalan-
persoalan kehidupan itu terbagi kedalam tiga bidang keilmuan, yakni Tauhid, Fiqh dan Tasawuf.

Realitas
Paham Islam
Aktivitas Integral
Idealitas
Manhaj
Ilmu objek iman Aqoid
Paham Islam
Ilmu empirik Ma’arif Parsial
Keagamaan Manahij
Sosial-Ekonomi
Sosial-Budaya
Sosial-Politik

Selanjutnya, karena apa yang dipikirkan itu banyak, maka cara berfikir pun harus bersama-sama
(Holistik), baik dengan cara diskusi, simposium, seminar dan lain sebagainya. Sebagai langkah dalam
meninjau sesuatu dari segala aspeknya. Pada titik ini, meski istilah manhaj al-fikr memiliki berbagai
makna, namun kita bisa menganggapnya sebagai cara atau metode untuk menjawab persoalan-
persoalan yang dihadapi dalam hidup. Dengan demikian para kader PMII diharapkan mampu
menjawab semua persoalan-persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sekarang dengan Manhaj al-
Fikr sebagaimana yang selama ini telah dilakukan oleh para ulama Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah.
Demikianlah pokok-pokok pola atau kerangka integral tentang Islam dan kehidupan.
Konsep Metode berpikir Aswaja

I. Langkah Berfikir
 Mengumpulkan dalil (al-istidlal) atau data dengan menggunakan alat, as-sam’a (pendengaran) dan
al-abshor (penglihatan).
 Mengolah dalil (an-nadhor) dengan menggunakan alat, al-fuad (hati) dengan proses ya’qil
(memikirkan), yafqoh (memahami) dan ya’lam (mengetahui).
II. Metode Berfikir
 Deduktif (al-istinbat)
 Induktif (al-istiqro)
 Mengikuti (al-ittiba’, taqlid, al-ikhroz)
III. Rujukan Berpikir
 Al-qur’an
 As-Sunnah
 Ijtihad atau Akal
IV. Dalil (data)
 Ayat Qauliyah atau dalil Lafdziah (al-Qur’an dan as-Sunnah)
 Ayat Kauniyah atau dalil ghaer Lafdziah (Manusia dan Alam)
V. Norma Berfikir
 Dalam kerangka ta’at kepada Allah, Rosul dan Ulil Amri
 Keahlian atau Propesional (al-ahliyah)
 Kecenderungan (Naz’ah) berfikirnya Moderat (tawassut), berkeseimbangan (tawazun),
berkeadilan (ta’adul) dan toleran (tasammuh).
 Tidak mengikuti bid’ah (adamul ibtida) terbagi: (adamu al-iftiro ala allah), tidak mengikuti hawa
nafsu (adamu ittibaul hawa)
 Tidak mengeluarkan orang lain dari jama’ah (‘adamu al-ikhroj), Mempertahankan jama’ah atau
persatuan (luzumul jama’ah), mengikuti jalan kaum mu’minin (sabilu al-mu’minin), Mengikuti
mayoritas (ittiba sawaul a’dhom).
 Tidak merasa pemikirannya benar sendiri (adamu al-ujub bi al-ro’yi)
 Tidak mengkafirkan sesama ahli kiblat (adamul takfir li ahl al-qiblat)
 Tidak berkomplot atau bergontok-gontokkan (adamu at-tasayyu)
 Memilih yang paling bermaslahat (ikhtiyar al-aslah)
VI. Gambaran Umum Manhaj dan Aqwal
 Ijma
 Ikhtilaf
Firkoh Madzhab Mujma’ alaih
Umat Firkoh Madzhab Manhaj Koul
Firkoh Madzhab Mukhtalaf fihi

F. Prinsip – Prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah


Sebagaimana dijelaskan dalam buku biru PMII, dalam prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah, KH. Hamdun
Ahmad menambahkan beberapa poin prinsip yang harus dapat ada, diantaranya :

1. Bidang Keilmuan
Pada dasarnya sumber ilmu pengetahuan itu adalah ayat qouliyah dan ayat kauniyah. Dalam bidang
keilmuan yang menjadi epistemologi ilmu dalam Aswaja sandarannya adalah qur’an ayat An-Nahl 78
dan qur’an surat al-isra ayat 36, dari ayat-ayat tersebut diperoleh kesimpulan bahwa manusia itu
memiliki dua potensi. Pertama, potensi alat pencari data/dalil, yaitu al-Sam’a dan al-Abshor. Kedua,
potensi alat pengolah data/dalil yaitu al-Afidah. Dengan dua potensi yang dimiliki itu,
memungkinkan manusia untuk melakukan penggalian ilmu secara lebih mendalam. Prinsip Aswaja
dalam bidang keilmuan ini sangat penting dan harus lebih dahulu dari prinsip lainnya, sebagaimana
ijma’ (konsensus) ulama Aswaja karangan al-Baghdadi, terlebih di Aswaja ada doktrin tentang iman,
dimana iman itu ada iman ‘ala ilmin (Imam atas dasar ilmu) dan iman ‘ala taqlidin (Iman atas dasar
taqlid). Sebab keilmuan ini akan menopang seluruh aspek terutama berkaitan dengan kualitas hidup
dan kehidupan, sebagaimana ayat yang berbunyi “Allah akan mengangkat derajat orang-orang
yang beriman dari kalian, dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”.
2. Aqidah
Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah
diantaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait dengan ikhwal eksistensi
Allah SWT.

Pada tiga abad pertama Hijriyah, terjadi banyak perdebatan mengenai Esksitensi sifat dan asma Allah
SWT. Dimana terjadi diskursus terkait masalah apakah Asma Allah tergolong dzat atau bukan. Abu
Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan yang dinamai
(musamma), Sifat bukanlah yang disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-
nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.

Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan yang
teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara
dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.

Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu
kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan
juga acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat,
serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus
meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa
risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap
manusia.

Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan
dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan
perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan
mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka
yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.

Pilar yang keempat adalah Amal Shaleh. Aswaja menekan pada perealisasian terhadap pemahaman
uluhiyah, nubuwat dan al-Ma’ad dalam kehidupan sehari-hari kader, sehingga amal shaleh yang
dilakukan kader PMII merupakan manifestasi dari penghayatannya terhadap konsep Uluhiyyah,
Nubuwwat dan al-Ma’ad tersebut. Adapun implementasi aspek aqidah dalam kehidupan ini
diantaranya senantiasa harus mempunyai keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil
naqli, Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam dan tidak gampang menilai salah atau
menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.

3. Bidang Sosial Politik


Islam tidak memiliki patokan yang baku tentang sebuah konsep negara. Dalam tindakan politik,
aswaja lebih menekankan pada hukum Islam yang sangat penting tentang tata hubungan antara
penguasa dan rakyatnya. Sebagaimana dalam kaidahnya:
Tasharruf al-Imam ‘ala al-Ra’iyyah mann’utun bi al-Mashlahah,“tindakan pemerintah terhadap
rakyatnya harus mengacu kepada kemaslahatan ummat”.

Kewajiban pemerintah untuk memperhatikan kemashlahatan dalam mengatur urusan rakyatnya


terkait erat dengan ajaran islam tentang kedudukan pemerintah dihadapan rakyatnya. As-syafii
menegaskan “ manzilatu al-imam min ar-raiyyah manzilatul al-waliiyyi min al-yatim” (kedudukan
pemerintah bagi rakyatnya adalah seperti kedudukan wali bagi anak-anak yatim)”. Kekuasaan politik
pemerintahan harus dipandang sebagai amanah, ijarah dan wakalah.

Oleh sebab itu Islam juga menganjurkan pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah. Al-Imam Abu
Yusuf, misalnya menulis dalam Al-Kharaj: “wa laisa li al-imam an yukhorrija syaian min yadi
ahadin illa bi haqqi tsabatin ma’rufin” bahwa tidak ada hak bagi pemerintah untuk mengeluarkan
sesuatu dari tangan seseorang kecuali berdasarkan hak yang telah tetap ma’ruf.”
Bagi Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia
untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah). Sebuah negara
boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara modern / demokrasi, asal mampu
memenuhi syarat-syarat atau keriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat
tersebut tidak terpenuhi, maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-
syarat tersebut adalah :
a. Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan, kebijakan dan
peraturan demi terwujudnya kemaslahatan umat (rakyat). Prinsip ini didasarkan pada firman Allah
QS asy-Syura 42: 36-39:
“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan
yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya
kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa
besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan
sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila
mereka diperlakukan dengan dzalim mereka membela diri.” (Q.S. Al-Syura; 42 : 36-39)
Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman
billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba’ir), memberi ma’af setelah marah,
memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan-akan
musyawarah merupakan suatu bagian integral dari hakekat Iman dan Islam.
Didalam ayat lain juga menjelaskan untuk melakukan musyawarah sebagaimana pada QS. Ali
‘Imran ayat 159: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan …….”.
Dalam urusan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan umum, yakni yang berkaitan dengan
pengaturan umat, baik dalam situasi perang maupun dalam situasi damai dan dalam dunia umat
manusia. Pendapat ini sesuai dengan para ulama Seperti ibnu Taimiyah yaitu:
“Tidak boleh bagi penguasa untuk mengesampingkan musyawarah, karena allah SWT telah
memerintahkan Nabi-nya untuk itu (Musyawarah)”
Bahkan mufassir Andalusia Ibnu ‘Athiyah dengan tegas juga menyatakan sebagai berikut:
“Syura termasuk kaidah syariat dan hukum yang pokok. Barang siapa yang tidak bermusyawarah
dengan ahli ilmu dan agama, maka wajib dimakzulkan. Ini merupakan hal yang tidak
diperselisihkan lagi”.
Syura hanyalah salah satu elemen dari demokrasi. Ia merupakan sekadar cara pengambilan
keputusan dengan melibatkan berbagai pihak yang di anggap kompeten. Agar pengambilan
keputusan seperti yang diharapkan dapat mewakili kepentingan umat, maka diperlukan eleme-
elemen lain dari demokrasi sebagai pelengkapnya. Karena tanpa eleme-elemen itu, prinsip Syuro
bisa menjelma menjadi sekadar ritus politik yang sangat simbolik, sehingga demokrasi yang
dihasilkan sekadar berupa demokrasi yang “seolah-olah” demokrasi (formalistik). Elemen-elemen
demokrasi yang lainnya antara lain: prinsip keadilan, kesetaraan dan kebebasan.
b. Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini
tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu. Berikut ini
adalah salah satu ayat yang memerintahkan keadilan.
Keadilan dalam pengertian PMII adalah mampu menempatkan/ memposisikan sesuatu pada
tempat/ posisinya. Oleh sebab itu, tujuan gerakan yang dilakukan dalam menegakkan keadilan
itu adalah terwujudnya keadilan yang proporsional. Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan
agar manusia berlaku adil. Sebab perintah berlaku adil (menegakkan keadilan) merupakan salah
satu nilai universal yang terdapat di dalam agama. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah
pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu. Menegakkan keadilan merupakan suatu
keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan
(hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa’ 4:58:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS An-Nisa, 4: 58)
Surat al-An’am ayat 152:
“...dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat,
hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak
memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya.dan apabila kamu
berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu) dan penuhilah
janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.”
c. Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib
hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Kebebasan dalam arti bebas dari dan
bebas untuk. Dengan kebebasan dimungkinkan bagi setiap orang untuk berani mengekspresikan
segala kebenaran yang diyakininya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara-cara yang berkhlakul
karimah dalam rangka “al’amru bi al-ma’ruf wa an-nahy an al-munkar”. Maka tidak ada alasan
agama yang bisa membenarkan penguasa untuk membungkamnya.

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-
hak mereka, dalam hal ini juga berarti bebas dari fitnah. Fitnah yang dimaksud adalah suatu
upaya yang dilakukan untuk menghalang-halangi dalam mencari kebenaran. Hak-hak tersebut
dalam syari’at dikemas dalam Maqasid as-Syar’iyyah (maksud-maksud syariat) yang menjadi
kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Prinsip-prinsip tersebut adalah termasuk
mendapatkan hak-hak atas Maqosid al-Syar’i (arkanu al-hayat) antara lain:
Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah, yaitu:
 Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk
menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk
hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
 Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin
kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya.
Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga
negara.
 Hifdzul `aqli (menjaga akal); adalah kewajiban setiap pemimpin untuk menjamin kebebasan
berfikir dan berpendapat agar setiap warga Negara bisa mengembangkan kreativitas keilmuan.
 Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin
keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan
keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
 Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis
keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh
mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus
memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
 Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan
setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan
pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi
setiap warga negara.

Maqasid as-Syar’iyyah identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia
modern. Pokok atau Prinsip-prinsip di atas menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah
kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kemudian
hari.
d. Prinsip al-Musawah (kesetaraan derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain,
bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa
lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu
dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia
dan bangsa yang lain. Dalam surat Al-Hujuraat disebutkan:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.(Al-Hujuraat, 49: 13).
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan
proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah.
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji
kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya
kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah
kamu perselisihkan itu.” (Al-Maidah; 5: 48).
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Semua warga negara memiliki
kewajiban dan hak yang sama, dan haruslah mendapat perlakuan yang sama pula. Sistem kasta
atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah
dibenarkan. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama
sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani
dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata
hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam
wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan
politik.

Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya
sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang
dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan
negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil society) sebagai amanat dari Allah.
Harus kita akui, bahwa istilah “demokrasi” tidak perah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun
wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun,
harus diakui bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip
yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.
Di era globalisasi dimana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak
mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini
sudah tidak dikenal lagi, bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi “perkampungan dunia”,
maka demokrasi harus dapat ditegakkan.

Pada masa lalu banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian
negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi.
Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada
tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah
merupakan satu-satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman
aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal
yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi
ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam, sebab pemekaran
tersebut pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam
harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-
hal yang sudah paten (qath’iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bernegara (baca: demokrasi),
umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau
wanita.
Prinsip kesetaraan harus menjadi landasan bergerak, karena pada dasarnya manusia memiliki
kedudukan yang sama dihadapan Tuhan kecuali masalah kualitas ketaqwaannya. (QS. Al-
Hujuraat, 49:13).

Oleh karena itu kesetaraan yang harus jadi acuan gerak agar semua masyarakat mendapat
perlakuan yang sama/ setara. Sebab semua warga memiliki hak dan kewajiban yang sama pula.
Kesetaraan ini harus mewujud dalam bentuk setiap warga mendapatkan penghidupan dan
pekerjaan yang layak dari Negara, kesetaraan dalam bidang pendidikan, kesetaraan dimuka
hukum dan kesetaraan diwilayah gender serta kesetaraan dalam mendapatkan hak-hak politik.
Sehingga tidak benar adanya penindasan yang dilakukan oleh satu manusia atau sebuah bangsa
terhadap manusia dan bangsa lainnya. Dan jangan sampai ada diskriminasi dalam bentuk
apapun.

4. Bidang Istinbath Al-Hukm


Hampir seluruh kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah menggunakan empat sumber hukum yaitu:
 Al-Qur’an
 As-Sunnah
 Ijma’
 Qiyas
Al-Qur’an sebagai sumber hukum dan utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak
dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan. Al-
Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
Sementara As-Sunnah, meliputi al-hadits dan segala tindak dan prilaku Rasul SAW, sebagaimana
diriwayatkan oleh para Sahabat dan Tabi’in. penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm
tidak ditemukan dalam al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang
telah dinyatakan dalam al-Qur’an.

As-Sunnah sendiri mempunyai tingkat kekuatan yang bervariasi, ada yang terus menerus
(mutawatir), terkenal (masyhur), ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat As-Sunnah sendiri
tersebut dilakukan oleh ijma’ shahabah.

Menurut Abu Hasan Ali ibn Muhammad Al-Amidi, ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif
(ahl al-ahl wa al-aqdli) dan umat Muhammad pada satu masa terhadap suatu hukum dari suatu
kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammad pada suatu masa
terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Dalam Al-Qur’an, dasar Ijma’ disebutkan :
“Dan barang siapa menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” (QS An-Nisa’, 4: 115)

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (prbuatan) kamu dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang)
melainkan agar Kami mengtahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang
memblot dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang
telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Ssungguhnya
Allah maha pngasih lagi maha penyayang kepada manusia” (QS Al-Baqarah, 2: 143)

Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para ‘ulama. Qiyas yaitu
mempertemukan sesuatu yang taka da nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya
karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.

5. Tasawuf
Pada awal kemunculannya, tasawuf merupakan perwujudan kritik (gerakan perlawanan) –
merevolusi rohani, yang dilakukan oleh para sahabat yang wara’ ketika menyikapi prilaku para
penguasa – realitas politik, yang telah disilaukan oleh kekuasaan dan segala fasilitas yang ada
didalamnya seiring dengan semakin luasnya daerah yang berhasil ditaklukan. Pada akhirnya mereka
terlena dan lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pimpinan yang harus mengayomi,
melindungi, menciptakan dan menjaga kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Dan bukan hanya
sebatas perwujudan ritual an sich dalam merasakan kenikmatan ber-Tuhan.

Imam al-Junaidi bin Muhammad al-Baghdadi menjelaskan “Tasawuf artinya keadaan dimana Allah
memisahkan (mematikan) kamu dari dirimu, dan memberimu kehidupan dalam kematian tersebut,
yaitu eksistensi dirimu tiada jarak dari Allah; Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama
allah SWT tanpa keterikatan apapun.”

Imam Hamid al-Tusi al-Ghozali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain
Allah… aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di jalan Allah, dan perilaku mereka
adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah
pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah mensucikan hati mereka dari berbagai hal selain
Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-
ilmu dari Allah.”

“berada semata-mata bersama allah SWT tanpa keterikatan apapun” kata Imam al-Junaidi, lalu
“menyucikan hati dari apa saja selain Allah… mereka (kaum sufi) telah mensucikan hati mereka
dari berbagai hal selain Allah” kata Imam al-Ghozali.

Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
Keterikatan kepada Allah SWT adalah proses batin dan prilaku yang harus dilatih bersama
keterlibatan kita dalam urusan duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk
melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa?
Karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi proses manusia sebagai Hamba dan fungsi sebagai
Khalifah harus diwujudkan.

Banyak contoh sufi atau ahli sufi yang telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita
lihat saja Imam al-Junaidi adalah pengusaha botol yang sukses, al-Hallaj sukses sebagai pengusaha
tenun, Umar ibn Abd Aziz adalah sufi yang sukses sebagai pemimpin Negara, Abu Sa’id al-Kharraj
sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Musa al-Syadzily sukses sebagai petani dan Fariduddin al-
Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah sufi yang maqomnya tidak lagi terikat
dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan urusan duniawi.

Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian
berbuntut kepada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan
soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial budaya. Dalam tasawuf urusan-urusan
tersebut tidak harus ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan
duniawi secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di
situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap
diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang
baik.

G. Penutup
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis dan sangat terbuka bagi pembaruan-
pembaruan. Sebagai sebuah metode pemahaman dan penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat
disamakan dengan metode akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas
pendekatan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi prosedur yang teliti dan nyaris pasti. Namunpun
demikian dalam ruang akademis pembaharuan atau perubahan sangat mungkin terjadi.

Ini merupakan langkah lanjutan dari sebuah upaya penyempurnaan terhadap konsep Aswaja di PMII,
yang merupakan wadah bagi kader pemikir dari kalangan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah. Pada akhirnya,
Aswaja yang selama ini diperjuangkan oleh Hadratus Syaik Muhammad Hasyim Asy’ari dapat menjadi
Aswaja yang dinamis sehingga memungkinkan bagi para kader PMII dalam melakukan pencarian
jawaban atas persoalan-persoalan yang terjadi di masa sekarang.

Dan kami menyadari, bahwa setiap apapun yang dilakukan oleh manusia, jauh dari kesempurnaan,
maka oleh karenanya penyempurnaan demi penyempurnaan terhadap konsep Aswaja di PMII harus
terus dilakukan oleh generasi selanjutnya, hal ini dimaksudkan agar kader-kader PMII dapat terpandu
dalam setiap langkah berpikir dan kemudian bergeraknya, hingga akhirnya mampu memberikan
sumbangsih yang layak bagi kelangsungan sejarah umat manusia. Wallahu ‘alam...

Ditetapkan
Di : Jambi
Tanggal : ....., ..... 2014
Pukul : ............ WIB

PIMPINAN SIDANG KOMISI II KONGRES XVIII


PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA

(...............................) (...............................) (.............................)


Ketua Wakil Ketua Sekretaris
KEHIDUPAN ISLAMIY
(Kerangka Pemahaman Integral tentang Islam dan Kehidupan)

Realitas Kehidupan Aktivitas Kehidupan Idealitas Kehidupan


X
(al-Maujudat) (al-Masyru’at) (al-Ma’mulat)

- Kitab Allah - Iman - Syahadat - Silaturrahim


- Malaikat kepada - Sholat - Tabliq
- Rasul Allah dan (do’a/dzikr) - Menyelenggarak
- Alam - Shoum an pendidikan
apa yang
- Sorga - Haji/umrah - Mengembangka
- Neraka dibawa - Berakhlak n masyarakat KEHIDU KEHIDU
Q F PAN PAN
- Manusia Nabi terpuji - Menetapkan
o I DUNIA AKHIRA
- Jin / Syetan SAW - Bekerja Undang-undang T YANG T YANG
Allah d N Allah
- Faham Hidup - Mengilmu - Berkarya/berk - Melaksanakan BAIK BAIK
a A
- Peradaban i segala reasi Undang-undang
r H
- ................... sesuatu - Berkeluarga - Menyelenggarak
- Bertolong an peradilan
yang
menolong - Perang membela
bermanfaa - Menjauhi yang benar
t bagi keburukan - Perbaikan/
hamba - ..................... perubahan
Allah - ...........
REKOMENDASI KOMISI 2
NDP
(Tidak ada perubahan)

Paradigma dan Idiologi


Tawaran Paradigmatik
 Paradigma moderat Transformatif
 Paradigma Kritis Transformatif
 Penguatan ideologi atas penguasaan leading sector
 Paradigma rekonstruksi Kritis Transformatif
 Paradigma realistis transformatif
 PKT masyarakat Santri
 Paradigma masyarakat Madani
 Paradigma kritis berbasis fakultatif

1. Aswaja
2. Islam Nusantara
3. Islam Rahmatan Lil ‘Alamin

Ideologi PMII = Aswaja


Aswaja sebagai Ideologi gerakan dan pemikiran

GARIS BESAR = DIPERLUKANNYA SIMPOSIUM ASWAJA, PARADIGMA DAN


IDEOLOGI UNTUK DIBERLAKUKAN DI PMII.

Anda mungkin juga menyukai