Anda di halaman 1dari 7

ASWAJA SEBAGAI MANHAJUL FIKR WAL HAROKAH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi persyaratan


mengikuti Pelatihan Kader Lanjut (PKL) PC PMII Metro 2022

Di susun oleh :
PANESA PARADIS

PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA KOMISARIAT


IAIM NU METRO
CABANG METRO

Dzikir Fikir Amal Sholeh


A. Prawacana
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan organisasi gerakan dan kaderisasi
yang berlandaskan islam ahlussunah waljamaah. Berdiri sejak tanggal 17 April 1960 di Surabaya
dan hingga lebih dari setengah abad kini PMII terus eksis untuk memberikan kontribusi bagi
kemajuan bangsa dan negara.
Kontribusi dan kemajuan tersebut tidak terlepas dari cara pandang PMII dalam menyikapi
persoalan-persoalan sosial serta tantangan zaman yang lebih adaptif. PMII menjadikan ASWAJA
bagian integral dari sistem keorganisasian. Di dalam nilai dasar pergerakan (NDP) PMII juga
menyebutkan bahwa ASWAJA merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan
tauhid. Lebih dari itu, disadari atau tidak ASWAJA menjadi ruh dan nafas dikehidupan sehari-hari
para kader PMII.
PMII meyakini ASWAJA sebagai metode pemahaman sangat relevan dengan perkembangan
zaman saat ini. ASWAJA menjadi lebih fleksibel, dan memungkinkan pengamalnya lebih memiliki
ruang kreativitas serta gagasan baru untuk menjawab perkembangan zaman. Selain itu, bagi PMII
ASWAJA juga menjadi tempat untuk menunjukan bahwa islam adalah agama sempurna yang
Mampu masuk dimanapun tempat dan kapanpun waktu itu ada.

B. Sejarah dan Pengertian ASWAJA


1. Sejarah
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan
sejarah.Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia
makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan
golongan Mu’tazilah,  dan seterusnya.
Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’ ar-
rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib
RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui
melalui taktik arbitrase (tahkim)  oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam
berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada
pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot
karena tidak setuju dengan tahkim,  dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi
kepemimpinan Muawiyah.
Selain tiga golongan tersebut masih ada Murjiah  dan Qadariah, faham bahwa segala
sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (af’al al-ibad min
al-ibad) berlawanan dengan faham Jabariyah.
Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam
Abu Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama
Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat
kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini
menghindari pertikaian politik antara berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu.
Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk,
moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah
untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika
itu.
Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama

Dzikir Fikir Amal Sholeh


setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w.
179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingg
tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H).
Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan. meskipun bila
ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.
Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah
wal Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut
madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya tergabung-baik tergabung secara sadar maupun
tidak dalam jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai
pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.
2. Pengertian
Secara semantik arti Ahlussunnah wal jama’ah adalah sebagai
berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya
adalah pengikut aliran atau pengikut madzhab  (ashab al-madzhab).
Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadist. Disambungkan
dengan ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para Sahabat dan tabi’in. Al-
Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan,
Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Shahabat
dan tabi’in.
Nahdlatul ‘Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri
berfaham Aswaja. Dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan
oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis
di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan dimana dalam
bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh
menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah –  Imam Hanafi,
Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut
Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.
Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja
tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990
tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab,
atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?
Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahlussunnah wal Jama’ah
menggunakan produk hukum atau pandangan para Ulama dimaksud. Pengertian ini dipandang
sudah tidak lagi relevan lagi dengan perkembangan zaman mengingat perkembangan situasi
yang berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk menghadapinya.
Selain itu, pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana mungkin
terdapat madzhab di dalam madzhab?
Dua gugatan tersebut dan banyak lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin maupun
metodologi, yang menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai
madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau metode
berpikir.

C. ASWAJA Sebagai Manhaj Al-Fikr


Terdapat dua konsep utama yaitu aswaja sebagai madzhab fiqih dan aswaja sebagai manhaj

Dzikir Fikir Amal Sholeh


al-fikr. Perbedaan mendasar antara keduanya, konsep pertama meletakkan fiqih sebagai sebuah
kebenaran ortodoksi, sedangkan konsep kedua menempatkan fiqih sebagai strategi untuk
melakukan interpretasi sosial. Dalam konteks implementatif, konsep pertama senantiasa berusaha
menundukkan realitas sosial kepada kebenaran fiqih yang secara tekstual jawaban dari
permasalahan telah ‘disediakan’ oleh sumber-sumber rujukan yang disepakati. Konsep kedua
menempatkan fiqih sebagai lawan diskusi (counter discourse) dalam melakukan pencarian dan
penemuan ragam permasalahan sosial yang tengah berlangsung. Bahan-bahan rujukan
dipersiapkan secara lintas batas antar madzhab guna menemukan materi jawaban permasalahan
yang sedang dicari solusinya.
Cara pertama dirasa oleh para kader banyak menemukan kebuntuan dalam mencari berbagai
macam pemecahan atas munculnya beragam permasalahan sosial. Hal semacam ini membuat
mereka mengalami ‘kejumudan’ dan cenderung tidak berkembang. Selain tidak terbiasa melintas
rujukan antar barbagai macam madzhab (intiqol al-madzhab), faktor kemampuan serta
keterbatasan referensi menambah alasan yang kuat untuk tetap berada pada pemahaman aswaja
menurut makna pertama. Dampaknya muncul sikap pasif, karena ada kekhawatiran mendapat
‘marah atau teguran’ dari para Kyai (masyayih) terhadap hasil kajiannya yang mungkin dianggap
‘menyesatkan’.
Berbeda dengan konsep aswaja sebagai manhaj al-fikr, yang belakangan dikembangkan juga
sebagai manhaj al-amal (pendekatan melakukan kegiatan), aswaja diposisikan sebagai metode
berpikir dan bertinadak yang berarti menjadi alat (tools) untuk mencari, menemukan, dan
menyelesaikan berbagai permasalahan sosial. Sebagai alat, maka sikap pro aktif untuk mencari
penyelesaian menjadi lebih bersemangat guna melahirkan pikiran-pikiran yang kreatif dan orisinil.
Dalam hal ini pendapat para ulama terdahulu tetap ditempatkan dalam kerangka lintas-komparatif,
namun tidak sampai harus menjadi belenggu pemikiran yang dapat mematikan atau membatasi
kreativitas.
Terdapat lima ciri yang perlu diperhatikan dalam memosisikan aswaja sebagai manhaj al-fikr
atau manhaj al-amal :
1. Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari
konteksnya yang baru
2. Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauly) menjadi
bermadzhab secara metodologis (madzhab manhajy)
3. Melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang
cabang (furu’)
4. Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif
5. Melakukan pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah masalah
sosial dan budaya.
Rumusan aswaja seperti itu memberi peluang untuk melakukan terobosan baru dalam
menyikapi berbagai perkembangan sosial, ekonomi, politik maupun budaya menjadi terbuka lebar.
Proses akomodasi aneka ragam (pluralitas) permasalahan akan berjalan sejalan dengan tuntutan
perubahan. Hal ini menjadi daya tarik bagi generasi muda kita untuk mengembangkan kreativitas
berpikir dan berekspresi. Tidak ada alasan bagi mereka untuk menyatakan hengkang dari
komunitas Islam aswaja dengan alasan merasa ada pembatasan berkreasi dalam banyak hal.
Munculnya pemahaman aswaja sebagai madzhab manhaj sesungguhnya sebuah pemahaman
kembali terhadap esensi “realitas teks-teks” (sumber rujukan) hukum Islam. Menyadari bahwa

Dzikir Fikir Amal Sholeh


realitas teks sebenarnya tidak pernah netral, selalu berhubungan dengan motif-motif dibalik
turunnya teks atau yang dikenal sebagai asbabun al nuzul atau asbabun al wurud. Dibutuhkan
pemahaman mendalam hal-hal yang melingkupi proses turunnya teks sehingga melahirkan
ketentuan hukum. Ketika hukum dirasa tidak lagi berkesesuaian dengan realitas sosial, maka
dibutuhkan kembali kontekstualisasi perumusan hukum dengan memperhatikan apa esensi tujuan
hukum (maqasid asy-syari’ah). Untuk memenuhi hal itu kaderisasi aswaja menjadi salah satu
alternatif yang mesti dilakukan agar di kemudian hari tidak terjadi kekosongan kader.
Sebagai manhaj alfikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun
(netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran). Moderat tercermin dalam pengambilan
hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja
memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an dan al-Hadist) dengan
penggunaan akal. Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal Masehi antara golongan yang sangat
menekankan akal (mu’tazilah) dan golongan fatalis.

D. ASWAJA Sebagai Manhajul Harokah


1. Perspektif Sosial Ekonomi
Menyangkut bagaimana Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dikerangkakan sebagai alat baca, perlu
kiranya kita mulai pembacaan dan identifikasi persoalan yang dilanjutkan dengan perumusan
kerangka teoritis dengan dilengkapi kerangka tawaran langkah-langkah yang akan kita ambil
baik strategis maupun taktis. Pertama, perlunya pembacaan yang cukup cermat atas realitas
sosial ekonomi Indonesia. Ini diperlukan terutama untuk mengurai lapis-lapis persoalan yang
ada dan melingkupi kehidupan sosial-ekonomi kita. Di antara beberapa persoalan yang harus
kita dekati dalam konteks ini adalah :
a. Fenomena kapitalisme global yang termanifestasikan melalui keberadaan WTO, world
bank dan juga IMF, serta institusi-institusi pendukungnya.
b. Semakin menguatnya institusi-institusi ekonomi kepanjangan tangan kekuatan global
tersebut di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan tersebut memanifest melalui kekuatan bisnis
modal dalam negeri yang berkolaborasi dengan kekutaan ekonomi global, ataupun melalui
TNC atau MNC.
c. Liberalisasi barang dan jasa yang sangat berdampak pada regulasi barang dan jasa
ekspor -impor.

Hal lain yang juga menyangkut persoalan ekonomi adalah perlunya elaborasi atas rujukan-
rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh) bagi kerangkakerangka operasional Ahlu Sunnah wa al-
Jama’ah sebagai manhaj al-fikr. Kebutuhan akan elaborasi ini dirasa sangat mendadak,
terutama mengingat adanya kebingungan di beberapa tempat menyangkut ideologi dasar PMII
dan kerangka paradigmanya terlebih jika dikaitkan dengan kemapuan Ahlu Sunnah wa
alJama’ah untuk menyediakan kerangka operatif yang akan memandu kader-kader PMII
dilapangan masing-masing. Pembicaraan mengenai berbagai persoalan tersebut mengantar
kita untuk menawarkan langkah praktis berupa kerangka pengembangan ekonomi yang
kemudian kita sebut sebagai konsep ekonomi bedikari. Konsep ini secara umum bisa kita
definisikan sebagai konepsi pengelolaan ekonomi yang dibangun di atas kemampuan kita
sebagai sebuah Negara. untuk mendukung tawaran tersebut, lima langkah stategis diusulkan
a. Adanya penyadaran terhadap masyarakat tentang struktur penindasan yang terjadi.

Dzikir Fikir Amal Sholeh


b. Penghentian hutang luar negeri
c. Adanya internalisasi ekonomi Negara.
d. Pemberlakuan ekonomi political dumping.
e. Maksimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dengan pemanfaatan tekhnologi berbasis
masyarakat lokal (society-based technology).

2. Perspekif sosial Politik Hukum dan HAM


Akar permasalahan sosial, politik, hukum dan HAM terletak pada masalah kebijakan (policy).
Satu kebijakan seyogyanya berdiri seimbang di tengah relasi “saling sadar” antara pemerintah,
masyarakat dan pasar. Tidak mungkin membayangkan satu kebijakan hanya menekan aspek
kepentingan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Dalam satu kebijakan harus senantiasa
melihat dinamika yang bergerak di orbit pasar. Dalam kasus yang lain tidak bias jika kemudian
pemerintah hanya mempertimbangkan selera pasar tanpa melibatkan masyarakat didalamnya.
Persoalan muncul ketika:
a. kebijakan dalam tahap perencanaan, penetapan, dan pelaksanaannya seringkali monopoli
oleh pemerintah. Dan selama ini kita melihat sedikit sekali preseden yang menunjukan
keseriusan pemerintah untuk melibatkan masyarakat.
b. kecendrungan pemerintah untuk selalu tunduk kepada kepentingan pasar, sehingga pada
beberapa segi seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat.
Kedua kondisi tersebut jika dibiarkan akan menggiring masyarakat pada posisi yang selalu
dikorbankan atas nama kepentingan pemerintah dan selera pasar. Dan akan menciptakan
kondisi yang memfasilitasi tumbuhnya dominasi dan bahkan otoritarianisme baru.
Kemudian kaitannya dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang juga menjadi nilai dasar (NDP)
PMII, dimana substansinya adalah jalan tengah, maka sudah sepatutnya bahwa PMII
memposisikan diri di tengah untuk mencari titik temu sebagai solusi. Dengan sikap seperti itu,
PMII mengikuti nilai Ahlussunnah wal Jama’ah. Nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah seperti
tawazun, akan dapat melahirkan nilai Ahlussunnah wal Jama’ah yang ta’adul. Dalam hal ini,
yang menjadi titik tekan adalah dengan strategi dapat meruntuhkan kekuasaan dominan dan
otoriter yang pada akhirnya bermuara menjadi gerakan revolusiner. Sekali lagi, cara
revolusioner merupakan langkah akhir . ketika ada alternatif lain win win solution atau ishlah
bisa ditawarkan, maka cara revolusioner meski dihindarkan. Saat ini kondisi sosial politik
Indonesia mengalami degradasi luar biasa.

3. Perspektif Sosial Budaya


Persoalan social-budaya di Indonesia dapat dilihat dengan menggunakan pertama analisa
terhadap kondisi social budaya masyarakat, baik pada tingkatan lokal atau pada tingkat global.
Kedua, analisa nilai-nilai budaya yang kemudian didalamnya terdapat nilai-nilai ke-
Ahlussunnah wal Jama’ah-an sebagai nilai yang terpatri untuk melakukan perubahan ketika
kondisi sosial budaya menjadi dasar pijakan. Dari itu semua, pembentukan karakter budaya
menjadi tujuan akhirnya. Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks sosial budaya dijadikan
nilai-nilai yang kemudian menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial budaya. Ekplorasi
terhadap permasalahan lokal maupun global merupakan cara untuk mengetahui akar
persoalan sosial budaya yang terjadi. Bahwa pada kenyataannya globalisasi ternyata mengikis
budaya lokal didalam seluruh aspek kehidupan. Globalisasi tanpa kita sadari telah merusak

Dzikir Fikir Amal Sholeh


begitu dalam sehingga mengaburkan tata sosial budaya Indonesia. Ironsnya, masyarkat
menikmati produk-produk globalisasi sementara produk lokal menjadi teralienasi. Berangkat
dari kondisi tersebut, perlu adanya strategi budaya untuk melakukan perlawanaan ketika
hegemoni kapitalisme global semakn “menggila”. Salah satu straegi itu mnejadikan nilai-nilai
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai dasar strategi gerakan. Strategi yang dimaksud bisa dalam
bentuk penguatan budaya-budaya lokal. Dalam konteks sosial budaya, posisi Negara dengan
masyarakat bukanlah vis a vis tetapi sebagaimana Negara, pasar dan globalisasi secara umum
dapat sejajar. Terkait denga itu, PMII harus dapat menjembatani keinginan-keinginan
masyarakat terhadap Negara agar kebijakan-kebijakan Negara tidak lagi merugikan
masyarakat dan tidak lagi menguntungkan kapitalis global. PMII harus secara tegas mengambil
posisi ini untuk membantu mengantisipasi dampak ekonomi pasar dan globalisasi terhadap
masyarakat.Terutama untuk penerjemahan kebijakan Negara, kebijakan ekonomi pasar
kemudian globalisasi secara umum yang berdampak pada pihak local yang sebetulnya
menjadi sasaran distribusi barang. Juga mempengaruhi budaya. Disisnilah peran PMII dengan
seperangkat nilai-nilai idealnya seperti tawazun,tasamuh dan ta’adul menjadi dasar guna
menjembatani kesenjangan antara wilayah internal masyarakat Indonesia. Berdasarkan hal itu
maka pilihan agregasi PMII harus senantiasa diorientasikan untuk mengerangkakan formulasi
rekayasa sosial yang diabdiakn sebesar-besarnya bagi pemberdayaan masyarakat dihadapan
Negara maupun pasar. Sehingga dapat tercipta perimbangan kekuatan yang akan
memungkinkan terbentuknya satu tatanan masyarakat yang relasionalpartisipatif antara
Negara, pasar, PMII dan masyarakat, dimana PMII dengan masyarakat merupakan kesatuan
antara system dengan subsisitem yang mencoba menjembatani masyarakat, Negara dan
pasar. PMII dengan demikian berdiri dalam gerak transformasi harapan dan kebuthan
masyarakat dihadapan Negara dan pasar.

Dzikir Fikir Amal Sholeh

Anda mungkin juga menyukai