Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

PENDIDIKAN KADER LANJUT

“PENYEBARAN FAHAM AHLUSSUNAH WAL JAMAAH DIKAMPUS


UMUM”

Disusun Oleh :

AHMAD YUSUF

PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (PMII)


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ahlus Sunnah Wal-Jama‟ah (ASWAJA) merupakan salah satu


kelompok atau sekte dalam agama islam yang berfingsi memahami nilai-
nilai dalam islam yang seharusnya ada. ASWAJA ini sangat penting untuk
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan
bermasyarakat, tapi sebelum masuk sebagai salah satu masyarakat,
sebagian orangg di Indonesia berkecipung terlebih dahulu dalam dunia
akademika, dunia kampus.

Di kampus, peran ASWAJA begitu menjadi tumpuan dasar dalam


mengamalkan ilmu, terutama ke ilahiyahan juga ke manusiaan. Sebelum
diamalkan tentunya harus tahu terlebih dahulu bagaimana penyebaran
ASWAJA dalam ranah Kampus. Kalau di kampus yang basisnya agama
maka tentu begitu mudah menciptakan suasana ASWAJA di dalamnya.
Beda halnya kalau kampus yang basisnya umum. Tentu diperlukan strtegi
lain yang berbeda, demi kemaksilan penyebaran dan eksistensi ASWAJA.

B. Rumusan masalah

Dari latar belakang masalah diatas, terdapat beberapa macam


rumusan masalah yang terdapat didalamnya:

1. Pengertian dan sejarah ASWAJA?


2. Strategi Penyebaran Faham Ahlussunnah Wal-Jamaah di Kampus-
Kampus Umum.?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian ASWAJA
Menurut bahasa, Ahlussunnah Wal jamaah (ASWAJA) terdiri atas
tiga kata yaitu :

1. Ahl (Ahlun ) berarti “golongan” atau “pengikut”.


2. Al-Sunnah berarti “tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakup
ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW”.
3. Wa, huruf „athf yang berarti “dan” atau “serta”.
4. Al-Jama‟ah berarti “kumpulan” atau “ kelompok”[1].

Sedangkan menurut istilah ASWAJA adalah mereka yang mengikuti


dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammad
SAW. Dan membelanya[2].

Menurut Ibnu Hajar al-Haitamiy menyatakan bahwa yang dimaksud


dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah orang-orang yang mengikuti
rumusan yang digagas oleh Imam Asy'ariy dan Imam Maturidi. Gagasan
tersebut berisi:

a. Hukum Islam di dasarkan atas Al-Quran dan al-Hadits


b. Mengakui Ijmak dan Qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam
c. Menetapkan adanya sifat-sifat Allah - Al-Quran adalah Qodim bukan
hadits
d. Orang Islam yang berdosa besar tidaklah kafir [3]

Definisi seperti di atas adalah konsepstual ASWAJA secara mendasar.


Karena itu bisa definisikan sendiri dengan lebih lengkap dan konkrit.
Tentunya selama tidak menyimpang dengan tujuan utama itu.

Jadi, penggunaan ASWAJA sangatlah universal tidak khusus kepada


suatu golongan atau sekte. ASWAJA bisa disandarkan ke Golongan apa saja
selama masih konsisten dengan ajaran Nabi muhammad beserta Sahabatnya.
Ketika sudah menyampingkan asas ke-Nabian dan ke-sahabatan berarti itulah
yang menyimpang dari ASWAJA dan tidak termasuk di dalamnya.

Al Qur‟an tidak memberikan pengertian secara langsung (harfiyah)


untuk kata al-Sunnah dan al-Jamaah, seperti halnya yang menjadi
pengertian popular tentang dua kata tersebut. Dalam Al-Qur‟an memang
terdapat kata al-Sunnah di banyak tempat, akan tetapi penyebutannya
menunjukkan pengertian ketetapan Allah bagi pola hidup manusia, baik
sebagai individu maupun kelompok. Demikian halnya dengan kata al-
Jama‟ah, tidak dijumpai dalam al-Qur‟an sekalipun memang bayak kata
derivasinya, seperti jami‟an, yajma‟un, jami‟un, dan lain-lain
dengan pengertian yang beragam.[4]

Sedangkan mengenai dasar hukum ASWAJA, yang harus ada di


dalamnya ada empat dasar:

1. Al Quran

Dalil Alquran adalah dasar yang paling kuat diantara lainya untuk
menentukan hukum islam, karena Alquran merupakan wahyu Allah SWT
yang diturunkan kepada Junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW
melalui perantara Malaikat Jibril.

2. Hadist Nabi

Dasar pokok yang kedua setelah Alquran adalah Hadist Nabi


Muhammad SAW yang berupa suri tauladan dan anjuran-anjuran Nabi yang
meliputi Aqwal (ucapan), Af‟al (perbuatan) dan Taqrir (ketetapan) Nabi.

3. Ijma‟

Ijma‟ adalah kesepakatan para mujtahid mengenai hukum, ijma‟ baru


digunakan sebagai dalil terhadap suatu perkara, setelah tidak ditemukan
dalilnya dari Alquran dan Hadist.

4. Qiyas

Qiyas adalah menyamakan hukum suatu masalah yang belum


diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah diketahui hukumnya.[5]
Dalam perkembangan ASWAJA, terjadi sebuah pemilahan antara
ASWAJA sebagai sebagai Mazhab dan ASWAJA sebagai Manhaj. Untuk itu
saya akan mengupas di sini:

1. ASWAJA Sebagai Mazhab

ASWAJA sebagai mazhab yaitu kelompok yang secara akidah


mengikuti salah satu dari aliran Imam Abu Al-hasan Al-Asy‟ari (w. 324
H) atau aliran Imam Abu Al-Manshur Al-Maturidi (w. 333 H). Dalam
soal-soal ‘ubudiyah mengikuti dari salah satu imam mazhab yang empat,
yaitu Abu Hanifah (w. 150 H), Malik ibn Anas (w. 179 H), Muhammad
ibn Idris Asy-Syafi‟I (w. 204 H) dan Ahmad ibn Hanbal (w. 230 H). dalam
ber-tasawuf mengikuti salah satu dari dua imam besar sufi, yakni Abu Al-
Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi (w. 297 H) dan Abu Hamid A;-Ghazali (w.
505 H)[6].

2. ASWAJA sebagai Manhaj

Konsep Aswaja sebgai manhaj fikr lebih adaptif, eklektik dan


mengakui pemikiran yang filosofis dan sosiologis. Pemahaman Aswaja
tersebut dipopulerkan para kiai muda seperti Abdurrahman Wahid, Said
Aqil Siraj dan tokoh-tokoh muda lainnya. Dalam sejarah PMII, kata
independen bisa disebut kata suci. Bagi organisasi kemahasiswaan ini,
perdebatan tentang independensi organisasi mempunyai sejarah paling
panjang dan tidak habis-habisnya melahirkan kontroversi. Karena
persoalan independensi itulah, melalui Mubes di Murnajati (Jatim) 14 juli
1971 PMII menyatakan diri putus hubungan dengan NU (organisasi yang
pada awalnya menjadi induk PMII) secara struktural (baca deklarasi
Murnajati). Meskipun demikian dilihat dari pola pikirnya dan landasan
teologinya, ada kesamaan antara PMII dan NU, keduanya mencoba
menjadi pengawal gerbang ajaran Ahlussunnah Wal Jama‟ah. Hanya
hanya saja PMII lebih mengembangkan Aswaja sebagai Ideologi elektik
dan adaptif demi terwujudnya Islam rahmatan lil „alamin. Sebagaian besar
kader PMII yang lahir dari kalangan pesantren masih memegang hirarki
yudisial dalam sistem bermadzhab meskipun terkesan liberal dalam
berfikir. Meskipun demikian penggunaan metodologi keilmuan seperti
filsafat, sosiologi, linguistik, tidak bisa dipungkiri sangat dibutuhkan untuk
menterjemahkan sumber hukum tersebut dalam konteks kekinian. Dengan
pola pikir seperti itu, tokoh seperti KH. Said Aqiel, Gus Dur dan juga Ulil
Abshar sering menjadi referensi bagi kader-kader PMII. Dalam
perkembangan pemikiran selanjutnya, dalam konteks sosial keagamaan
Aswaja diterjemahkan sebagai manhaj yang mengakui proses dialektika
sejarah pemikiran dan pergerakan. Konsepsi Aswaja yang mengakui
pemikiran yang filosofis yang sosiologis. Hal tersebut tentunya tidak lepas
dari hasil perjuangan para kyai muda seperti Said Aqiel Siraj. Ia
menawarkan definisi baru mengenai Aswaja sebagai manhaj. Secara
sempurna definisi Aswaja menurutnya adalah; “ Manhaj Al-fikr Al-Diny
al Syiml „Ala Syu‟un Al Hayat wa Mu‟tadlayatiha Al Khaim Ala Asas Al
Tawasuh Wal Tawazzun Wal Al i‟tidal Wa Al Tasamuh (metode berfikir
keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan dan berdiri di atas
prinsip keseimbangan, balancing, jalan tengah dan netral dalam aqidah
penengah dalam permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan serta
keadilan dan toleransi dalam politik). Dari paparan diatas sekiranya dapat
diambil kesimpulan bahwa, PMII lebih condong untuk memakai Aswaja
sebagai Manhaj Al-Fikr dari pada sebagai madzhab. Said Aqil Siraj
mengatakan bahwa aswaja akan menjadi paradoks ketika Aswaja hanya
dipahami sebagai madzhab. Karena hal ini bertentangan dengan fakta
sejarah kelahiran Aswaja itu sendiri. Aswaja adalah paham inklusif bagi
seluruh umat islam. Bukan milik organisasi atau institusi tertentu.

B. Strategi Penyebaran Faham ASWAJA di Kampus-Kampus Umum

Ketika bebicara masalah strategi, tentunya harus ada konsep secara


matang dan terarah. Dalam hal ini ketika ada kampus umum yang belum
teraplikasikan dan membumingkan ASWAJA-nya. Maka perlu beberapa
langkah yang harus dilakukan.

1. Membiasakan diskusi ke- ASWAJAAN di Kampus


Hal ini dapat menarik simpatisan yang begitu antusias dari
mahasiswa yang belum tersentuh hatinya. Sehingga bisa mengajak
atau bahkan ikut diskusi dengan sendirinya melalui kesadarannya.

2. Melakukan pendekatan

Artinya, setiap pengurus sering-sering melakukan pendekatan


persuasi, tidak terlalu formal, atau bahkan dipacari sekalian demi
tercapainya tujuan yang lebih subtantif.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Kelompok ASWAJA adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten
semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dan
membelanya.
2. Ada dua strategi agar ASWAJA bisa tersebar di Kampus yang berbasis
umum yaitu dengan membiasakan diskusi dan melakukan pendekatan.
DAFTAR PUSTAKA

http://khairulmufid.blogspot.com/2016/12/strategi-penyebaran-aswaja-di-
kampus.html 29 September 2021

Anda mungkin juga menyukai