Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH MUNCULNYA ASWAJA

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliyah Aswaja
Dosen Pengampu Hollan riyadi.M,pd.I

Oleh :
Gilang Ramadhan: 2023700001585
Aisyah: 2023700001578
Arzeti Zulfahira Fahluvi: 2023700001581
Toyyibah: 2023700001615
Moch Miftahul Ulum: 2023700001598
Maulana Lafif Assayauqi: 2023700001597

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) MIFTAHUL ULUM
BANGKALAN
2023
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kepada tuhan alam semesta


yang mana telah memberikan taufik dan hidayah kepada kami, sehingga
kami bisa menyelesaikan makalah Pancasila dalam pembangunan
pancasila dalam rangka memenuhi tugas Aswaja

Shalawat ma’assalam tetap tercurah limpahkan pada revolusi besar


kita Nabi Muhammad SAW. Karena berkat beliaulah kita terangkis dari
zaman kegelapan menuju alam yang terang benderang yakni addinu islam
wal-iman.

Dalam penulisan makalah ini kami masih banyak kekurangan


dalam tekhnik penulisan dan materi, karena kami hanyalah manusia biasa
yang tidak lepas dari salah dan dosa.

Oleh karena itu, kami sebagai penyusun makalah mengharapkan


kritik dan saran demi menyempurnakan makalah ini.

Semoga makalah ini bisa bermanfaat kepada pembaca dan


khususnya pada kami sendiri. Terima kasih.

Modung, 07 Oktober 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memahamai sejarah ASWAJA sangatlah penting. Ada berbagai macam
prespektif tentang sejarah bagaimana munculnya Aswaja. Aswaja dapat diartikan
sebagai perkumpulan orang-orang yang berpedoman sunnah nabi Muhammad
S.A.W berdasarkan Alquran dan hadits. Bermula dari wafatnya nabi Muhammaad
dan perpecahan antar golongan. Pada masa kepemimpinan tiga sahabat nabi (Abu
bakar Assidiq, Umar bin khatab, dan Utsman bin affan) kecuali Ali bin Abi
Thalib. Perselisihan ini terjadi karena ada beberapa golongan yang menentang
bahwa kepempinan ketiga sahabat nabi kecuali Ali Thalib itu tidak sah atau tidak
diakui.
Perselisihan tersebut semakin menjadi jadi, akibatnya banyak orang yang
kafir pada saat itu kecuali golongan yang percaya dan iman kepada Ali bin abi
thalib. Perselisihan di antara golongan-golongan umat Islam semakin memuncak
ketika Muawiyah, yang beraliran Sunni, mendirikan Daulah Umayyah pada tahun
661 dan mengubah sistem kekhalifahan menjadi monarki absolut pendidikan,
sebagai suatu proses, belajar hampir selalu mendapat tempat yang luas dalam
berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan upaya pendidikan.
Terminologi aswaja (ahlussunnah waljamaah) bukanlah terma baru di mata
masyarakat muslim nahdhiyin. Ia adalah terminologi keagamaan klasik yang telah
mengakar kuat dalam keyakinan eskatologis masyarakat muslim nahdhiyin. Lebih
dari itu mereka telah mengklaimnya bahwa aswaja adalah faham keagamaan khas
yang tidak dimiliki oleh golongan manapun kecuali hanya golongan nahdhiyin.
Namun dalam perkembangannya sebagian di antara mereka telah menyadari
bahwa aswaja adalah faham yang diakui dan dimiliki oleh banyak faham dan
tanpa terasa telah memberikan arah dan corak model keberagamaan yang sangat
varian bagi masyarakat muslim sesuai dengan hasil pendekatan tafsir para imam
yang diikutinya.
Dengan demikian, varian model keberagamaan yang termanifestasi dari
konstruksi pemahaman aswaja mereka, tidak sedikit menyisakan problematika di
kalangan internal umat Islam itu sendiri, utamanya yang berkenaan dan
menyentuh langsung pada aral teologis (aqidah) dan politis faham keagamaan
mereka. Banyak pihak mengatakan bahwa akar permasalahan terma keagamaan
tersebut sejatinya bersumber dari kepentingan politis yang bermuara pada simbol-
simbol teologis dan hajat keagamaan lainnya. Sebaliknya, mereka menganggap
bahwa permasalahan yang muncul dari aswaja itu murni sebagai isu teologis an
sich, hanya saja semangat perjuangannya banyak menggunakan muatan politik-
praktis.
Disadari atau tidak, perhelatan panjang yang menuai benturan dan gesekan
ketat yang dipicu oleh kepentingan politis masing-masing, maupun kepentingan
teologis dengan paradigma truth claimnya berpotensi bagi munculnya fragmentasi
di antara mereka, hingga malahirkan sejumlah fraksi-fraksi maupun golongan
yang cukup varian. Tidak hanya itu, sebab lain yang lebih dominan bagi
munculnya perpecahan di antara mereka adalah masing-masing fraksi/ golongan
secara normatifteologis senantiasa saling memposisikan kelompoknya sebagai
seperti kelompok yang paling memiliki otoritas penuh dalam hal keaswajaan.
Masing-masing mengklaim bahwa hanya kelompoknyalah kelak yang akan masuk
surga, sementara yang lainnya adalah masuk neraka. Dengan kata lain kelompok
di luar dirinya tidak dianggap sebagai komunitas aswaja. Uniknya mata rantai
pemahaman sejenisnya tidak berhenti di eranya, namun ia banyak memberi
inspirasi baru bagi model keberagamaan terkemudian. Itulah sebabnya tidak
sedikit di antara organisasi-organisasi sosial keagamaan yang secara fanatis dan
ekslusif merasa paling memiliki aswaja.
Berdasarkan paparan latar belakang diatas penulis tertarik mengenai
pembahasan Aswaja secara luas, seperti halnya sejarah dan lain sebagainya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Aswaja?
2. Bagaimana sejarah munculnya Aswaja?
3. Bagaiman nilai-nilai Aswaja?

C. Manfaat/Tujuan
1. Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa definisi Aswaja
2. Untuk mengetahui sejarah munculnya Aswaja
3. Untuk mengetahui nilai-nilai Aswaja
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Aswaja
Pengertian Ahlussunah Wal jama’ah secara sistematik terdiri dari tiga suku
kata yaitu: pertama Ahlun atau Ahli berarti pemeluk atau pengikut kalau kita
nisbatkan pada madzhab maka bisa dikatakan sebagai pengikut madzhab. Kedua
Al sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al- Hadits. Dalam
konteks ini terjadi beragam penafsiran dalam memaknai kata al sunnah maupun al
hadits ini. Dari sudut istilah secara teoritis oleh ulama juga memberikan
pengertian al hadits yang berbeda-beda menurut disiplin ilmu masing-masing.
Seorang ahli fikih, Ibnu al Subki (wafat tahun 771 H/1370 M) sebagimana
dipaparkan oleh Sa’dullah Assa’di dalam memberikan pengertian hadis juga
menyebutkan dengan istilah al sunnah yang artinya adalah segala sabda dan
perbuatan Nabi Muhammad SAW.1 Sedangkan dalam perspektif fiqih menurut
Sa’di Abu Jaib dalam al qamus al fiqhi lughatan wa ishthilahan, halaman 184
sebagaimana dikutip Saifuddin Chalim, definisi al sunnah adalah sesuatu yang
dianjurkan dalam agama, tanpa diwajibkan. Definisi terakhir ini tentunya tidak
tepat jika diterapkan dalam memaknai istilah ASWAJA.
Oleh karenanya peneliti mencoba menyajikan pendapat lain yang menurut
peneliti lebih rasional. Sebagaimana yang disampaikan Imam Ibn Rajab
alHanbali, berkaitan dengan definis al sunnah dalam istilah ASWAJA, beliau
memberikan statemen bahwa yang dimaksud dengan kata al sunnah oleh para
Ulama’ yang menjadi panutan adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad
SAW dan para sahabatnya yang selamat dari keserupaan (Syubhat) dan Syahwat.2
Jika dirangkai dengan kata Ahl maka bermakna pengikut jalan nabi, para
sahabat, dan tabi’in. Kemudian kata Al-Jama’ah berarti sekumpulan orang yang
memiliki tujuan. Bila dirangkai dari ketiga suku kata tersebut maka menjadi:
Segolongan orang yang mengikuti Nabi, sahabat, dan tabi’in.

1
Drs. Sa’dullah Assa’idi, MA, Hadis- hadis Sekte, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996). hlm. 3
2
Asep Saifuddin Chalim, Membumikan ASWAJA, (Surabaya: Chalista, 2012). Hlm.8.
Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan ormas terbesar yang ada di
Indonesia dan merupakan ormas yang pertama di Indonesia yang menegaskan diri
berfaham Aswaja, tidak secara terperinci menyebutkan arti Aswaja. Dalam Qonun
asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim
Asy’ari hanya merumuskan bahwa Aswaja merupakan faham keagamaan dimana
dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan AlAsy’ari dan Al Maturidi.
Dalam bidang fiqih menganut salah satu dari madzhab empat (imam Hanafi,
imam Malik, imam Syafi’I, dan imam Hanbal). Dan dalam bidang tasawuf atau
akhlak menganut Imam Junaidi alBagdadi, dan Abu Hamid al- Ghozali.
KH. Hasyim Asy’ari mendifinisakan Aswaja secara operasional atau secara
prakteknya dengan pertimbangan atau alasan bahwa penganut aswaja khususnya
di Indonesia terdiri dari berbagai elemen masyarakat. Bukan hanya orang Alim
saja melainkan orang Awam (umum) sehingga dalam pemaknaan Aswaja bersifat
oprasional dengan tujuan memudahkan dalam pelaksanaanya. Dalam konteks
inilah Aswaja disebut sebagai Madzhab atau Ideologi.
Dalam buku Risalah Ahlis-Sunnah wal Jama’ah: fi Haditsil Mawta’ wa
Asyrathis-Sa’ah wa Baya Mafhumis-Sunnah wal Bid’ah (Paradigma Ahlussunnah
wal Jama’ah: Pembahasan tentang orang-orang mati, tandatanda zaman dan
penjelasan tentang sunnah dan bid’ah), Kiai Hasyim memulai paparannya tentang
makna sunnah, baik secara literal maupun istilah, sebagaimana dikenal dalam
khazanah Islam. Makna awal sunnah, menurut Abul Baqa’, adalah jalan meskipun
tidak dikehendaki. Sedangkan dalam istilah, sunnah adalah jalan yang
dikehendaki oleh agama karena dilakukan Rasulullah SAW, para sahabat dan
ulama’ saleh. Hal ini mengacu pada hadits yang sangat populer, “hendaknya
kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para pemimpin setelah aku. 3 Pemaparan
sederhana tersebut cukup memberikan pemahaman kepada kita bahwa, mereka
yang tergolong ahlussunnah bukan hanya mengacu pada glorifikasi di zaman
Rasulullah SAW dan para sahabat beliau, akan tetapi juga mereka yang mengikuti
ajaran para wali Allah dan ulama’ yang mengikuti ajaran Raulullah SAW. Sebab

3
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari:moerasi, keumatan dan kebangsaan,
(Jakarta:Kompas Gramedia, 2013), hlm. 106.
dalam sebuah hadits lain disebutkan bahwa ulama’ adalah ahli waris nabi. Oleh
karena itu mengikuti ulama’ pada hakikatnya juga mengikuti Rasulullah SAW.
Kemudian mengenai pemaknaan kata al jama’ah setelah kata ahlussunnah,
di sini diartikan sebagai komunitas, yaitu mereka yang tergolong pengikut sunnah
Rasulullah SAW. Kata tersebut menunjukkan bahwa mereka yang termasuk
ahlussunnah adalah golongan atau komunitas yang berpegang teguh pada sunnah
beliau, para sahabat serta mengikuti warisan para wali dan ulama’. Dalam hal ini,
Kiai Hasyim memberikan sebuah penekanan karakter terhadap implementasi
paham ahlussunnah wal jama’ah. Yaitu, dalam bidang fikih, menganut madzhab
Syafi’i, Maliki, Hambali dan Hanafi. Dalam bidang akidah menganut madzhab
Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Sementara dalam bidang tasawwuf menganut
madzhab Imam al-Ghozali dan Imam Abul Hasan al-Syadzili. 4 Jadi Islam Ahlus
Sunnah wal Jama’ah adalah ajaran (wahyu Allah SWT) disampaikan Nabi
Muhammad SAW kepada sahabat-sahabat-Nya dan beliu amalkan serta
diamalkan para sahabat.5

B. Sejarah Munculnya Aswaja


Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad
SAW maupun di masa pemerintahan al-khulafa‟ alrasyidin, bahkan tidak dikenal
di zaman pemerintahan Bani Umayah (41-133 H /611-750 M). Terma Ahlus
sunnah wal jama‟ah sebetulnya merupakan diksi baru, atau sekurangkurangnya
tidak pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi dan pada periode Sahabat.6
Pada masa Al-Imam Abu Hasan Al-Asy‟ari (w. 324 H) umpamanya, orang
yang disebut-sebut sebagai pelopor mazhab Ahlus sunnah wal jama‟ah itu, istilah
ini belum digunakan. Sebagai terminologi, Ahlus sunnah wal jama’ah baru
diperkenalkan hampir empat ratus tahun pasca meninggalnya Nabi Saw, oleh para
Ashab Asy‟ari (pengikut Abu Hasan Al-Asy‟ari) seperti Al-Baqillani (w. 403 H),

4
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari:moerasi, keumatan dan kebangsaan,
(Jakarta:Kompas Gramedia, 2013), hlm. 106.
5
Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, (Surabaya:Khalista, 2010), cet.3., hlm. 3.
6
Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, hlm. 6
Al-Baghdadi (w. 429 H), AlJuwaini (w. 478 H), Al-Ghazali (w.505 H), Al-
Syahrastani (w. 548 H), dan al-Razi (w. 606 H).
Memang jauh sebelum itu kata sunnah dan jama’ah sudah lazim dipakai
dalam tulisan-tulisan arab, meski bukan sebagai terminologi dan bahkan sebagai
sebutan bagi sebuah mazhab keyakinan. Ini misalnya terlihat dalam surat-surat Al-
Ma‟mun kepada gubernurnya Ishaq ibn Ibrahim pada tahun 218 H, sebelum Al-
Asy‟ari sendiri lahir, tercantum kutipan kalimat wa nasabu anfusahum ilas sunnah
(mereka mempertalikan diri dengan sunnah), dan kalimat ahlul haq wad din wal
jama’ah (ahli kebenaran, agama dan jama‟ah).7
Pemakaian Ahlus sunnah wal jama‟ah sebagai sebutan bagi kelompok
keagamaan justru diketahui lebih belakangan, sewaktu Az-Zabidi menyebutkan
dalam Ithaf Sadatul Muttaqin, penjelasan atau syarah dari Ihya Ulumuddinnya Al-
Ghazali yang artinya:
“jika disebutkan ahlussunnah, maka yang dimaksud adalah pengikut Al-
Asy’ari dan Al-Maturidi.”

Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang


teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi ciri khas
aliran ini, baik dibidang fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut
akidah sunni (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy‟aryah
dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi,
Maliki, Syafi‟I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur‟an, al-hadits,
ijma‟ dan qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut
metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-
Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat
dan makrifaat.

C. Nilai-Nilai Aswaja
Dalam kittah Nahdlaul ulama yang merupakan dasar dalam berfikir,
bersikap dan bertindak menyebutkan bahwa dalam menentukkan kittah Nahdlatul

7
Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Pres,
2008), hlm. 65.
ulama dalam faham Ahlusunnah waljamaah disesuaikan dengan kondisi yang ada
di indonesia, meliputi keagaman dan kemasyarakatan, kitah NU juga digali dari
perjalanan sejarah dari masa kemasa. Dasar-dasar pendirian Nahdlatul ulama
dalam faham Ahlusunnah waljamaah menekankan pada keagamaan yang
menumbuhkan sikap an sifat yang bermasyarakat dalam tercapainnya keadilan,
kedamaian dan kesejahteraan bangsa indonesia, nilai-nilai yang ditanamkan
Ahlusunnah waljamaah ada 4 diantarannya;
1. (Tawasut) Moderat dan I’tidal adil yaitu Tawasuth jika dilihat dalam
konteks pendidikan diartikan sebagai sikap menerima keberagaman dan
kemasyarakatan yang melandasi ajaran aswaja sejak dulu, dengan adanya
sikap tersebut diharapkan siswa dapat menjadi generasi yang selalu bertidak
adil, lurus dan tidak ekstrem.8
2. Amar Ma’ruf Nahi Munkar Secara harfiah Amar Ma’ruf Nahi munkar
adalah menyuruh kepada perbuatan yang baik dan melarang kepada
perbuatan yang mungkar. Secara etimologi ma’ruf berarti yang dikenal
sedangkan munkar adalah suatu yang tidak dikenal. Menurut pendapat
Muhammad Abduh mendefinisikan Ma’ruf berarti apa yang di kenal (baik)
oleh akal sehat dan hati nurani. Sedangkan Munkar adalah sesuatu yang
tidak di kenal baik oleh akal maupun hati nurani.9
3. Berimbang (tawazun) yaitu barimbang dalam konteks mempersatukan dan
menyatukan dalil-dalil dengan kenyataan yang ada sehingga dapat
menghasilkan keputusan yang bijak dan diterima dengan baik. Berimbang
(tawazun) merupakan modal dari sikap keberagaman yang menghindarkan
dari sifat eksterm. Radikalisme merupakan bagian dari kelompok ekstrem
karena tidak dapat menghargai pendapat orang lain dan menerima
keberagaman dalam khasanah kehidupan. Tawazun juga diartikan sebagai
sikap seimbang dalam berkhidmah.Menyerasikan khidmah kepada Allah
SWT, khidmah kepada sesama manusia serta khidmah kepada lingkungan

8
Anwar Rifa’i Dkk, Pembentukan Karakter Nasionalisme Melalui Pembelajaran Pendidikan
Aswaja Pada Siswa Madrasah Aliyah Al Asror Semarang, Jurnal Of Educational Social
Studie,Vol. 6 No. 1 (2017), hlm. 7–19.
9
Yunahar ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2011), hlm. 241.
hidupnya.Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa
mendatang.10
4. Toleransi (tasamuh) Pluralisme dalam pemikian umat muslim mendapatkan
apresiasi yang tinggi, keterbukaan yang luas dalam menerima berbagai
pendapat maupun masukan menjadikan aswaja mampu meredam berbagai
konflik umat islam. Corak ini sangat terlihat dalam wacana pemikiran
hukum islam. Dalam wacana hukum islam dinilai para ahli bahwa tasamuh
merupakan wacana hukum islam yang paling realistik dan sangat
menyentuh dalalam hubungan sosial. Dalam diskurus sosial budaya, aswaja
banyak melakukan sikap toleransi terhadap tradisi-tradisi yang berkembang
dimasyarakat tanpa melibatkan diri dalam substansinya bahkan mampu
untuk mengarahkannya. Sikap toleransi yang diterpkan aswaja dalam
menyikapi tradisi budaya lebih menekan pada hubungan dimensi
kemanusiaan yang lebih luas.11

10
A. BusyairiHarits, ISLAM NU Pengawal Tradisi Sunni Indonesia,…, hlm, 120.
11
Ngainun Naim, Pengembangan Pendidikan Aswaja sebagai Strategi Deradikalisasi Ngainun
Naim, Jurnal Walisongo, Vol. 23 No. 1, (2015), hlm. 69–88.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana telah di uraikan pada bab
sebelumnya, pada bagian akhir penulisan makalah ini dapat ditarik beberapa poin
yang berupa kesimpulan sebagai berikut :
1. Dari beberapa definisi yang telah penulis paparkan dapat di ambil
kesimpulan bahwa definisi Aswaja ialah: Ahlussunnah Wal Jamaah atau
yang biasa disingkat dengan ASWAJA secara bahasa berasal dari kata
Ahlun yang artinya keluarga, golongan atau pengikut. Ahlussunnah
berarti orang orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau
amal perbuatan Nabi Muhammad SAW.) Sedangkan al Jama’ah adalah
sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Jika dikaitkan dengan
madzhab mempunyai arti sekumpulan orang yang berpegang teguh pada
salah satu imam madzhab dengan tujuan mendapatkan keselamatan
dunia dan akhirat
2. Pada masa Al-Imam Abu Hasan Al-Asy‟ari (w. 324 H) umpamanya,
orang yang disebut-sebut sebagai pelopor mazhab Ahlus sunnah wal
jama‟ah itu, istilah ini belum digunakan. Sebagai terminologi, Ahlus
sunnah wal jama’ah baru diperkenalkan hampir empat ratus tahun pasca
meninggalnya Nabi Saw, oleh para Ashab Asy‟ari (pengikut Abu Hasan
Al-Asy‟ari) seperti Al-Baqillani (w. 403 H), Al-Baghdadi (w. 429 H),
AlJuwaini (w. 478 H), Al-Ghazali (w.505 H), Al-Syahrastani (w. 548
H), dan al-Razi (w. 606 H).
3. Nilai-nilai Aswaja ada 4 diantaranya ialah: Tawassut, Amar Ma’ruf
Nahi mukar, tawazub dan toleransi.

B. Saran
Adapun saran yang dapat saya sampaikan adalah:
Agar para pembaca dapat mempelajari makalah yang kami buat dan
mengerti isi serta ruang lingkupnya sehingga dapat diambil pelajaran dan
diterapkan dalam kehidupan, Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang
membutuhkannya.
Daftar Pusaka

A. BusyairiHarits, ISLAM NU Pengawal Tradisi Sunni Indonesia.

Anwar Rifa’i Dkk, Pembentukan Karakter Nasionalisme Melalui Pembelajaran


Pendidikan Aswaja Pada Siswa Madrasah Aliyah Al Asror Semarang,
Jurnal Of Educational Social Studie,Vol. 6 No. 1 (2017).

Asep Saifuddin Chalim, Membumikan ASWAJA, (Surabaya: Chalista, 2012).

Drs. Sa’dullah Assa’idi, MA, Hadis- hadis Sekte, (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar,1996).

Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan,


(Jakarta: UI Pres, 2008).

Ngainun Naim, Pengembangan Pendidikan Aswaja sebagai Strategi


Deradikalisasi Ngainun Naim, Jurnal Walisongo, Vol. 23 No. 1, (2015).

Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis.

Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, (Surabaya:Khalista, 2010).

Yunahar ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2011).

Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari:moerasi, keumatan dan


kebangsaan, (Jakarta:Kompas Gramedia, 2013).

Anda mungkin juga menyukai