Anda di halaman 1dari 21

SALAFIYAH DAN WAHABIYAH

OLEH:

KELOMPOK 9

Nurmadina Rahman (30500122025)


Muh. Rafi Raihan Gani. S (30500122016)
Adi Putra (30500122020)
Muh. Alkaisar (30500122018)

PRODI STUDI AGAMA AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah swt. atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materi.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Gowa, 28 April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
BAB I .................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 1
C. Tujuan .......................................................................................................... 1
BAB II ................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN .................................................................................................... 2
A. SEJARAH PERKEMBANGAN ALIRAN SALAFIYAH ............................ 2
B. POKOK AJARAN SALAFIYAH ................................................................. 4
C. SEJARAH PERKEMBANGAN WAHABI .................................................. 7
D. GERAKAN WAHABI ................................................................................. 9
E. WAHABISME DI INDONESIA .................................................................13
BAB III .................................................................................................................17
KESIMPULAN ....................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan agama peradapan yang membawa rahmat bagi semesta alam,
bukan agama teroris. Dengan misi inilah Allah mengutus Rasul-Nya, Muhammad saw.
Tiga hal penting yang seharusnya menjadi pegangan bagi setiap orang adalah:
toleran, moderat dan akomodatif. Bagi orang muslim, keimanan yang hanya dibalut
dengan simbol-simbol tidaklah cukup. Orang yang telah beriman harus disempurnakan
dengan amal dan ibadah yang baik, serta perilaku yang terpuji (al-akhlaq al-karimah).
Berjenggot panjang , memakai sorban, dan bercelana di atas tumit itu bagus. Tapi
hal-hal yang bersifat simbolik itu tidak cukup untuk dinilai bahwa dia telah mengamalkan
ajaran Islam. Ulama terdahulu, seperti Imam Syafi‟i, Ghazali, Ibnu Sinm dan sejublah
tokoh Islam terkemuka lainnya juga punya jenggot panjang dan memakai sorban saja.
Sebab, ajaran Islam sangat luas dan tidak bisa diwakili hanya dengan simbol belaka.
Dengan adanya sedemikian rupa prespektif akan Islam, dengan berbagai model
dan konsep ke-Islamannya, maka di sini kami akan menguraikan ajaran Salafi dan
Wahabi, agar kita tahu, memahami, apa saja ajaran dari Salafiyah dan Wahabiyah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah perkembangan Salafiyah?


2. Apa saja pokok ajaran Salafiyah?
3. Bagaimana sejarah perkembangan wahabiyah?
4. Apa saja ajaran Wahabiyah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari Salafiyah.


2. Agar dapat memahmi pokok ajaran Salafiyah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERKEMBANGAN ALIRAN SALAFIYAH

Banyak beragam defenisi yang telah dikemukakan oleh para pakar mengenai
defenisi salaf dan khalaf. berikut ini akan dikemukakan beberapa diantaranya, menurut
Thablawi Mahmud Sa‟ad salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan
untuk merujuk generasi sahabat,tabi‟i,tabi‟ tabi‟in para pemuka abad ke 3 H dan para
pengikutnya pada abad ke 4 yang terdi atas muhadditsin dan yang lainnya. Salaf berarti
pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam. Sedangkan menurut
As-Syahrastani ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta‟wil dan tidak
mempunyai faham tasybih. Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-
Islamiyyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi‟in yang dapat diketahui dari
sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang
menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.
W. Montgomeri W menyatakan bahwa gerakan salafiah berkembang terutama di
Baghdad pada abad ke 13 pada masa itu terjadi gairah mengebu-gebu yang diwarnai
oleh fanatisme klangan kaum Hambali, sebelum akhir abad itu terdapat sekolah-sekolah
Hambali di Jerusallem dan Damaskus. Kaum Hambali makin dengan kedatangan para
pengungsi dari Irak yang disebabkab serangan mongol atas Irak. Diantara pengungsi itu
terdapat satu keluarga dari Harran, yaitu keluarga Ibn Taimiyah, Ibn Taimiyah adalah
seorang ulama besar penganut Imam Hambali.
Generasi salaf terdiri atas tiga generasi Muslim pertama. Masa itu membentang
tiga abad, abad pertama para sahabat nabi Muhammad saw (sahabah), yang berakhir
dengan Anas ibn Malik (91 H/710 M atau 93 H/712 M); selanjutnya pengikut mereka
(tabi‟in) (180 H/796 M); dan selanjutnya pengikut dari pengikut mereka (tabi‟ al-
tabi‟in) (241 H/855 M). Ahmad ibn Hanbal (164-241 H/780-955 M) dianggap sebagai

2
orang terakhir dari generasi salaf. Generasi ini dikenal kaum Muslim selanjutnya karena
persahabatan mereka dengan nabi Muhammad saw. dan kedekatan mereka dengan masa
hidup nabi. Pemahaman dan praktik Islam mereka yang murni, serta sumbangan mereka
bagi Islam kemudian digunakan aliran salaf sebagai dasar ajaran mereka yang bertujuan
untuk mengembalikan ajaran Islam seperti yang dilakukan generasi salaf, maka gerakan
ini dikenal dengan nama gerakan Salafiyah.
Pada abad ke-7 H/ ke-13 M, Ibn Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) dengan
kegigihan dan keberanian yang luar biasa melanjutkan paham salafiyah ini. Mula-mula
dalam pengajian-pengajian, dan kemudian dalam tulisan yang tersebar luas dan
menggegerkan ulama-ulama dalam mazhab lain. Ibn Taimiyah mendesak kaum Muslim
dengan gencar untuk kembali kepada ajaran yang utama, Qur‟an dan Hadis nabi
Muhammad saw. Supaya ajaran Islam tidak dipertahankan sebagaimana adanya (das
sein) di dalam masyarakat. Akan tetapi harus diwujudkan sebagaimana seharusnya
(das sollen) seperti yang dikehendaki oleh pembawanya, nabi Muhammad saw. Itu
semua telah dilakukan oleh generasi salaf. Para ulama dalam memahami ajaran Islam,
menurut Ibn Taimiyah, digolongkan menjadi empat kelompok. Pertama para filosof,
yaitu kelompok yang mengatakan bahwa Qur‟an itu dapat ditempuh dengan jalan
menggunakan pengantar yang memuaskan akal manusia. Kelompok ini menyebut
dirinya sebagai ahli keterangan dan ahli keyakinan. Kedua Mutakallimun, yaitu
kelompok Mu‟tazilah. Kelompok ini mendahulukan akal dari pada ayat Qur‟an. Mereka
menggunakan dua sumber, Qur‟an dan akal, hanya saja sumber akal lebih utama
dibandingkan Qur‟an; dan menggunakan takwil Qur‟an sesuai dengan akal. Namun hal
tersebut menurut Ibn Taimiyah tidak sampai keluar dari akidah Islam. Ketiga kelompok
yang melihat apa yang ada dalam Qur‟an sebagai akidah, lalu beriman kepadanya.
Kelompok ini menggunakan Qur‟an bukan karena Qur‟an itu mengandung dalil-dalil
yang pasti dan menunjukkan kepada kebenaran akal, tetapi karena Qur‟an mengandung
ayat-ayat yang bersifat berita yang wajib diimani tanpa menggunakan kandungan ayat
sebagai pengantar konklusi akal. Al-Maturidiyah termasuk dalam kelompok ini, karena
kelompok ini menggunakan akal hanya untuk menjelaskan aqidah Qur‟an. Keempat,
kelompok yang beriman kepada Qur‟an dan dalil-dalilnya, tetapi tetap menggunakan
dalil-dalil akal. Kelompok ini adalah Asy‟ariyah. Namun, Ibn Timiyah menetapkan
3
bahwa paham Salafiyah tidak termasuk dalam keempat kelompok tersebut, karena
paham Salafiyah mempunyai metode tersendiri.1

B. POKOK AJARAN SALAFIYAH

Secara garis besar, Salafiyah bertopang pada tiga prinsip utama yang sekaligus
merupakan metode pemikiran Salafiyah, dalam rangka mewujudkan Islam seperti pada
generasi Salaf. Pertama, mengutamakan teks wahyu di atas akal. Kedua, menolak kalam
(persoalan teologi). Dan ketiga, ketaatan ketat pada Qur‟an, Hadis, dan konsensus
(ijma‟). Pengutamaan teks wahyu di atas akal, dalam hal ini, Salafiyah tidak melihat
kontradiksi antara akal dan kitab suci. Namun, akal pikiran tidak mempunyai kekuasaan
untuk menakwilkan, menafsirkan, atau menguraikan Qur‟an, kecuali dalam batas-batas
yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) dan dikuatkan oleh Hadis.
Kekuasaan akal pikiran sesudah itu tidak lain hanya membenarkan dan tunduk
kepada wahyu, kemudian mendekatkannya kepada alam pikiran. Jadi fungsi akal dalam
hal ini hanya menjadi saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil Qur‟an, bukan hakim yang
mengadili dan menolak dalil-dalil Qur‟an.30 Salafiyah tidak mengunggulkan,
menuhankan, dan tidak menganggap akal dapat berdiri sendiri, tetapi menempatkannya
sesuai kedudukannya. Akal digunakan dalam batas-batas wilayahnya, seperti memikirkan
alam, masalah-masalah fikih, dan menemukan ilmu-ilmu yang bersifat kebendaan yang
bertujuan meningkatkan dan mengembangkan masyarakat.31
Sikap Salafiyah tersebut bukan sikap apatis, skeptis, dan pesimis, melainkan suatu
kesadaran dan pengakuan akan adanya batas-batas kemampuan daya kerja akal manusia
dan lingkupnya dalam bidang aqidah. Salafiyah dalam memahami aqidah menggunakan
lima prinsip dasar, yaitu tidak melakukan dan menggunakan ta‟wil, tamsil, tasybih, ta‟til,
dan tafwid. 32 Salafiyah mengimani seluruh yang ada dalam Qur‟an dan Hadis, tanpa
mengurangi dan menambah, tanpa mentakwil dan menyimpangkan artinya. Karena masa
sahabat, tabi‟in, dan para imam generasi salaf telah berakhir dalam keadaan menerima
mutlak apa yang ada dalam Qur‟an dan Hadis tentang dzat dan sifat-sifat Tuhan, tidak
menolak satu masalahpun.

1
Suhilman, Jurnal ilmu-ilmu keislaman,”Sejarah Perkembangan Pemikiran Gerakan Salafiyah”, vol.9, no.1(2019),
h.70-71.
4
Salafiyah meyakini bahwa nama dan sifat Tuhan bersifat tauqifiyyah (apa adanya
dari Allah dan Rasul-Nya), tidak boleh diisbatkan (ditetapkan) atau dinafikan
(dihilangkan) kecuali dengan izin syara‟, yaitu mengistinbatkan nama dan sifat Tuhan
sesuai dengan Qur‟an dan Hadis. Nama dan sifat Tuhan yang telah ditetapkan dalam
Qur‟an dan Hadis tidak menyerupai makhluk (penciptaan-Nya). Seluruh sifat-sifat
kesempurnaan yang tetap bagi Tuhan yang disebutkan dalam teks Qur‟an dengan jelas
adalah khusus untuk menyifati Tuhan. Apabila ada nama yang ditetapkan untuk Tuhan
tetapi juga ditetapkan untuk makhluk-Nya, maka persamaan tersebut hanya dalam nama
dan arti umumnya, tidak dalam hakikat Tuhan, karena dzat Tuhan tidak sama dengan dzat
makhluk-Nya. Oleh karena itu sifat Tuhan berbeda dengan sifat makhluk-Nya, karena
Tuhan tidak dapat disamakan dengan makhluk-Nya, baikpada dzat maupun sifat-Nya
Qur‟an telah memadukan antara isybah dan tanzih (penyerupaan dan pensucian),
dalam ayat (QS 42:11) yang berarti : tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah,
sedangkan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Tuhan Maha Mendengar lagi Maha
Melihat, tidak sama dengan melihat dan mendengar makhluk-Nya. Adanya persamaan
dalam sifat, tumbuh dari persamaan dalam dzat. Oleh karena dzat Tuhan berbeda sama
sekali dengan dzat makhluk-Nya, maka sifat-Nya pun demikian. Dengan demikian,
pemberian nama kepada Tuhan dengan Yang Kuasa tidak mengharuskan samanya
kekuasaan Tuhan dengan kekuasaan makhluk-Nya,34 dan seterusnya.
Dalam hal tersebut, Salafiyah menolak takwil. Salafiyah menerima takwil dalam
dua hal, pertama, takwil berarti tafsir dan penjelasan maknanya, baik sesuai dengan
lahiriahnya maupun tidak. Dengan pengertian ini, maka makna tafsir identik dengan
takwil. Seperti Imam Muhammad ibn Jarir al-Thabari dalam tafsirnya berkata: Pendapat
tentang takwil ayat ini adalah sebagaimana adanya, dan para ahli takwil berikhtilaf dalam
ayat ini sesuai dengan pendapat mereka. Maksud takwil menurut Salafiyah adalah tafsir.
Dengan makna ini, Qur‟an seluruhnya, baik muhkam maupun mutasyabih, dapat
ditakwil (ditafsir). Kedua, takwil berarti maksud dari ucapan itu sendiri.
Jika suatu ucapan itu perintah atau larangan, maka takwilnya adalah perbuatan
orang yang diperintahkan itu sendiri terhadap perintah atau larangan tersebut,
sebagaimana dituturkan Aisyah : Rasulullah saw itu dalam ruku dan sujudnya membaca
Maha suci Engkau, ya Allah Tuhan kami dan dengan segenap puji kepada-Mu ya Allah
5
ampunilah aku. Sebagaimana pentakwilan terhadap Qur‟an, Hadis tersebut merupakan
pelaksanaan perintah dari Qur‟an: Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan
mohonlah ampun kepada-Nya (QS alNasr : 3). Ucapan tersebut berupa berita, takwilnya
adalah yang diberitakan tersebut (berita itu sendiri).
Oleh karena itu, takwil dari apa yang diberitakan Tuhan tentang diri-Nya dan
tentang hari kiamat adalah hakikat dzat dan sifat-Nya yang tidak diketahui selain Tuhan.
Itulah yang mutasyabih, takwil sebenarnya hanya diketahui Tuhan, tidak seorangpun
yang mengetahui hakikat yang Tuhan beritakan tentang diri dan sifat-Nya tersebut.
Itulahyang wajib kita serahkan kepada Tuhan untuk mengetahuinya.35 Di sini Salafiyah
membatasi makna mutasyabih dan menjelaskan bahwa Qur‟an itu seluruhnya jelas dan
dapat ditafsirkan.
Dalam memahami masalah agama, selain aqidah, Salafiyah menggunakan
ketaatan ketat pada Qur‟an, Hadis, dan konsensus (ijma‟) para generasi Salaf.36 Al-
Qur‟an mencakup dakwah kepada tauhid dan menyebarkan dalil-dalil tauhid ke dalam
jiwa dan pikiran. Al-Qur‟an mengguggah dan mendorong manusia untuk merenung dan
memikirkan dalil-dalil tersebut, di samping menjelaskan penetapan sifat-sifat Tuhan,
kebenaran para rasul, perkara alam gaib, dan masalah prinsip beragama lainnya dengan
dalil akal. Al-Qur‟an menjawab tuduhan orang musyrik, menjelaskan syubhat dan
menolak kekeliruan dalam beragama.
Hadis, bagi Salafiyah merupakan sumber kedua setelah Qur‟an untuk pedoman
hidup, sedangkan ijma‟ merupakan putusan permusyawaratan. Dengan sendirinya karena
menggunakan kemerdekaan berpikir dalam dua sumber, sering terjadi perbedaan paham
satu dengan lainnya, walaupun tidak menyolok, karena Qur‟an dan Hadis masih tetap
dipakai untuk menuntut penetapan hukum. Dalam hal ini, Salafiyah menetapkan
pedoman ketat dalam penggunaan ijtihad (penalaran independen), dan membatasi qiyas
(penalaran analogis), namun tetap mentaati Qur‟an dan Hadis.
Dalam tafsir tentang Qur‟an, Salafiyah mencoba mengaitkan kitab suci dengan
kondisi masa kini. Pendekatan ini turut membangkitkan pesan Qur‟an memulihkan
relevansinya, dan membuatnya mudah dipahami Muslim awam. Pendekatan ini
menawarkan alternatif untuk penafsiran tradisionalis harfiah. Salafiyah menyarankan
jalan untuk pembaruan Islam dan pendekatan baru terhadap fikih dan etika, mengikuti
6
jalan Ibn Taimiyah : membedakan antara yang tidak berubah dan yang berubah dalam
agama.2
C. SEJARAH PERKEMBANGAN WAHABI

Di dunia Islam pada abad pertengahan (1250-1800 M) telah timbul ide-ide


pembaruan dan upaya pemurnian akidah yang merupakan reaksi terhadap kondisi politik
dan paham tauhid di kalangan umat Islam. Di semenanjung Arabia, tampil ke atas pentas
sejarah seorang tokoh terkemuka, Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb, yang memiliki
perhatian yang amat besar terhadap masalah pemurnian akidah dan pembaruan dalam
Islam. Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb nama lengkapnya ialah Abû „Abd Allâh
Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb ibn Sulaymân Abû „Alî
Muhammad ibn Ahmad ibn Rasyîd al-Tamîmî (Al-Jundul, 1979:120). Ia
dilahirkan di Nejd, suatu negeri yang terletak di jantung padang pasir yang masih murni
keislamannya. Buku-buku sejarah pada umumnya mengungkapkan bahwa ia hidup antara
tahun 1703 sampai tahun 1787 M.(Nasution, 1975:23). Dalam watak, pengetahuan, dan
pengalaman hidup Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb terhimpun potensi untuk
mencetuskan ideidenya. Pemikiran yang dicetuskannya dalam memperbaiki kedudukan
umat Islam timbul bukan reaksi terhadap suasana politik seperti yang terjadi di kerajaan
Usmani dan kerajaan Mughal, tetapi sebagai reaksi terhadap paham tauhid di kalangan
umat Islam pada waktu itu. Kemurnian paham tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-
ajaran tarekat yang semenjak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam (Nasution,
1975:23). Gagasan-gagasan Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb untuk memberantas bidah
yang masuk ke dalam ajaran Islam akhirnya berkembang menjadi suatu gerakan yang
disebut “Gerakan Wahabi”.3

2
Suhilman, Jurnal ilmu-ilmu keislaman,”Sejarah Perkembangan Pemikiran Gerakan Salafiyah”, vol.9, no.1(2019),
h.70-71.
3
Mansyur Mangasing, jurnal hunafiah, “Muhammad Ibn‟abd Al-Wahhab dan Gerakan Wahabi”, vol.5. no. 3
(2008), h.320.

7
SEKILAS TENTANG MUHAMMAD IBN ‘ABD Al-WAHHÂB
Muhammad ibn „Abd Wahhâb dilahirkan di dusun Ujainah (Nejd), daerah Saudi
Arabia sebelah timur (Hanafi, 1980:149). Dari ayahnya sebagai kadi, ia memperoleh
pengetahuan di bidang fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Kemudian ia merantau ke
Hijaz. Di negeri ini Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb memperoleh pengetahuan agama
dari ulama-ulama Mekkah dan Madinah. Setelah menyelesaikan pelajarannya di
Madinah, ia merantau ke Basrah dan tinggal di kota ini selama empat tahun. Selanjutnya
ia pindah ke Bagdad dan di sana ia memasuki hidup perkawinan dengan seorang wanita
kaya. Lima tahun kemudian, setelah istrinya meninggal dunia, ia pindah ke Kurdistan,
dan selanjutnya ke Hamdan dan Isfahan. Di kota Isfahan ia berhasil mempelajari filsafat
dan tasawuf. Setelah bertahun-tahun merantau, akhirnya ia kembali ke tempat
kelahirannya, Nejd (Nasution, 1975:23). Setelah beberapa tahun dalam perlawatannya, ia
kemudian kembali ke negeri kelahirannya. Selama beberapa bulan ia merenung dan
mengadakan orientasi, ia kemudian mengajarkan pahampahamnya, terutama di bidang
ketauhidan. Dari sinilah Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb memperoleh pengikut yang
banyak, bahkan banyak di antaranya berasal dari luar Ujainah. Meskipun demikian,
Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb memperoleh banyak tantangan, termasuk tantangan dari
kalangan keluarganya sendiri (Hanafi,1980:149). Karena ajaran-ajarannya telah
menimbulkan keributan-keributan di negerinya, ia diusir oleh penguasa setempat.
Akhirnya, ia bersama keluarganya berpindah ke Dar‟iah, sebuah dusun tempat tinggal
Muhammad ibn Sa‟ûd (nenek Raja Faisal) yang telah menerima ajaran Wahabi, bahkan
menjadi pelindung dan penyiarnya (Gibb & Krames, 1953:618). Dari dukungan yang
diberikan oleh Muhammad ibn Sa‟ûd dan putranya „Abd al-Azîz di Nejd, pahampaham
Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb semakin tersiar dan gerakannya bertambah kuat.
Sebagai seorang teoritis dan pemimpin, Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb secara aktif
berusaha mewujudkan pemikirannya. Akhirnya, pada tahun 1773 M. ia bersama
pengikutpengikutnya dapat menduduki Riyadh. Pada tahun 1787, Muhammad ibn „Abd
al-Wahhâb wafat, namun ajaran-ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran
yang dikenal dengan nama Wahabi (Nasution, 1975:26), dan oleh Gibb disebutnya
dengan “Gerakan Wahabi”. “Gerakan Wahabi” bukan merupakan nama yang diberikan
Muhammad ibn „Abd al Wahhâb, melainkan oleh golongan lain yang menjadi lawan-
8
lawannya dan orang-orang Eropa. Para pengikut Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb sendiri
menamakan dirinya sebagai kaum “Muhammadin” atau “Unitarian”, yaitu orang-orang
yang berusaha mengesakan Tuhan semurni-murninya.4

D. GERAKAN WAHABI

Hasil lawatan Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb ke beberapa wilayah kekuasaan


Islam sebagaimana disebutkan sebelumnya, tampaknya merupakan indikator mengapa ia
mendirikan suat gerakan, yang selanjutnya dikenal dengan nama “Gerakan Wahabi”. Di
setiap negeri Islam yang dikunjungunya, ia melihat berbagai macam tradisi, kepercayaan,
dan adat-istiadat yang dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk ritual-keagamaan. Ia juga
menyaksikan betapa besarnya pengaruh ahli-ahli tarekat di masa hidupnya sehingga
kuburan-kuburan syaikh tarekat yang bertebaran di setiap kota, bahkan kampung-
kampung, ramai dikunjungi oleh orang-orang yang ingin meminta berbagai macam
pertolongan. Karena pengaruh tarekat ini, permohonan dan doa tidak lagi langsung
ditujukan kepada Tuhan, tetapi melalui syafaat para syaikh atau wali tarekat yang
dipandang sebagai orang yang dapat mendekati Tuhan untuk memperoleh rahmat-Nya.
Menurut keyakinan orangorang yang berziarah ke kuburan para syaikh dan wali tarekat,
Tuhan tidak dapat didekati kecuali melalui perantara. Bagi mereka, sebagaimana kata
Ahmad Amin (dalam Nasution, 1975:24), Tuhan menyerupai “Raja Dunia Zalim” yang
untuk memperoleh belas kasih-Nya harus didekati melalui orang-orang besar dan
penguasa yang ada di sekitarnya. Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb melihat di beberapa
negeri Islam yang dikunjunginya itu kehidupan Islam telah lenyap karena telah
meninggalkan ritus yang tidak bernafaskan Islam, dan kemunduran yang merata
(Stoddard, 1966:30). Kondisi umat yang telah rusak tauhidnya itulah yang tampaknya
mendorong Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb untuk memperbaikinya lewat pemikiran
dan ajaran-ajarannya. Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb dengan gerakannya untuk
memurnikan ajaran Islam, khususnya dalam bidang tauhid sebagai ajaran pokok Islam,
tidak ingin mengubah ajaran Islam dengan penafsiran baru terhadap wahyu, melainkan

4
Mansyur Mangasing, jurnal hunafiah, “Muhammad Ibn’abd Al-Wahhab dan Gerakan Wahabi”, vol.5. no. 3
(2008), h.322-325.
9
membawa misi memberantas unsur-unsur luar dari ajaran Islam, seperti bidah, khufarat,
dan takhyul yang masuk ke dalam ajaran Islam. Dengan demikian, ia bermaksud
mengajak umat Islam agar kembali kepada ajaran Islam yang murni (Antonius, 1939:22).
Yang dimaksud dengan ajaran Islam yang murni itu ialah sebagaimana yang dianut dan
dipraktekkan di zaman nabi, sahabat serta tabiin, yaitu sampai abad ke-3 Hijriah
(Nasution, 1975:24). Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb, tokoh dan pendiri Gerakan
Wahabi yang sangat terkemuka di Saudi Arabia, merupakan tokoh Islam yang sangat
terpengaruh oleh pengalaman keagamaan Ibnu Taimiyah pada khususnya, dan Mazhab
Hanbali pada umumnya. (Amin, 1991:34). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
dalam gerakannya, ia lebih banyak memfokuskan diri kepada pemurnian akidah.
Meskipun demikian, pemikiran pembaruan Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb banyak
dipengaruhi oleh Ibnu Taimiyah tidak harus ditafsirkan bahwa Ibnu Taimiyah identik
dengan kaum Wahabi sebab seperti yang dinyatakan oleh Muhammad Amin “walaupun
dipengaruhi oleh pikiran-pikiran reformatif Ibnu Taimiyah, Gerakan Wahabi tidak
sepenuhnya merupakan duplikat pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah” (Donchue & Esposito,
1984:x). Muhammad Amin (1991:34) menyatakan bahwa Gerakan Wahabi bukanlah
gerakan yang taklid kepada Ibnu Taimiyah dan mengingkari pikiran-pikiran
keagamaannya sendiri sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian orang, termasuk
Husyn Hilmi Isikh dalam bukunya Advice for the Wahhabi. Gerakan Wahabi dipelopori
oleh Muhammad ibn „Abd al- Wahhâb itu muncul tampaknya karena diguncang oleh
kelemahankelemahan umat Islam di tempat ia dibesarkan dan tempat-tempat lain yang
dikunjunginya, seperti pemujaan terhadap kuburan para syaikh atau wali dan lain-lain.
Oleh karena itu, Muhammad ibn „Abd al- Wahhâb sangat mengecam kepercayaan umat
Islam terhadap kekuatan yang dimiliki oleh orang-orang yang dianggap keramat dalam
rangka perbaikan moral dan spiritual. Di lain pihak, ia juga merasa kesal terhadap para
ulama yang telah lama membiarkan praktek-praktek semacam itu. Dia juga mengecam
orang-orang yang mau menerima secara taklid buta otoritas pihak-pihak tertentu dalam
masalah keagamaan. Untuk itu, ia juga menyuruh umat Islam agar menyelaraskan nalar
dan hati nurani mereka dengan Alquran dan sunah, dan bukan menyandarkan diri pada
penafsiran-penafsiran tradisional (Mortimer, 1984:51). Oleh karena itu, Muhammad ibn
„Abd al-Wahhâb, terpaksa berhadapan dengan realitas kemapanan tradisional ulama-
10
ulama yang mentolerir masuknya bidah ke dalam ajaran Islam. Ulama-ulama tersebut
telah lama beradaptasi dengan masyarakat dan menjadikan bidah sebagai sandaran
kekuatan moral. Dengan demikian, gerakan pemurnian akidah dan pembaruan Islam
Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb tidak hanya diperhadapkan pada dilema ulama-ulama
tersebut, tetapi lebih luas pada persoalan masal. Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb,
sebagai tokoh yang sangat antusias mencetuskan gagasan-gagasannya, berupaya
mengadakan pendekatan kepada kalangan atas, dan ternyata ia berhasil. Muhammad ibn
„Abd al-Wahhâb memperoleh perlindungan dari pimpinan Nejd, Muhammad ibn Sa‟ûd
dan semangat pembaruannya menjadi kekuatan pendorong ekspansi politik keluarga
Sa‟ûd. Pada akhir abad ke-18, seluruh Nejd dapat ditaklukkannya, dan Irak pun
diserbunya, yang berpuncak pada penjarahan Karbala. Kaum Wahabi memandang
Karbala sebagai pusat takhayul Syi‟ah, dan kota-kota suci Hijaz pun direbut dan
dibersihkannya seluruh yang dianggapnya takhayul. Al-Kindi (dalam Madjid, 1984:61)
menyatakan bahwa dari waktu ke waktu senantiasa ada usaha pembaruan, penyegaran,
atau pemurnian pemahaman umat terhadap agamanya, dan ini merupakan sesuatu yang
telah menyatu dengan sistem Islam dalam sejarah. Nabi dalam sebuah hadis
mengisyaratkan adanya hal itu. Dari sudut pandang ini, dapat dikatakan bahwa wajar saja
bila pada abad ke-18, di Jazirah Arab, telah disaksikan usaha pembaruan yang militan,—
yang dilancarkan oleh Syaikh Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb— yang melahirkan
Gerakan Wahabi. Selain merupakan hampir satusatunya gerakan pembaruan keagamaan
yang paling sukses secara politik karena telah bergabung dengan kekuatan Dinasti Sa‟ûd,
pembaruan di jazirah ini juga sangat menarik karena dilakukan tanpa sedikit pun
persinggungan dengan kemodernan Barat (Madjid, 1984:61). Dari penjelasan terdahulu
terlihat bahwa Gerakan Wahabi, selain sebagai gerakan pemurnian disebut pula dengan
gerakan pembaruan.

AJARAN MUHAMMAD IBN ‘ABD AL-WAHHÂB


Bila dilihat dari karya ilmiah yang ditulis, Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb dapat
dikategorikan sebagai sosok ulama yang produktif. Karya-karya ilmiahnya mencapai
puluhan jumlahnya. Antara lain Tafsîr Sûrat al-Fâtihah, Mukhtasâr Sahîh al-Bukhârî,
Mukhtasâr Sîrat al-Nabawiyyah, Kitâb al-Tauhîd, Usûl al-Imân, Kitâb al-Kabâ’ir, Kasyi
11
al-Subyât, Thalathal al-Usûl, Adab al-Masyî’ ilâ al-Salâh, dan al-Hadîth al-Fitn (Al-
Jundul, 1979:13). Tema dari karya-karya ilmiah Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb ini
tampaknya terfokus pada misi pemurnian tauhid. Ajaran tauhid memang merupakan
ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb memusatkan perhatian pada masalah ini. Ia berpendapat
bahwa
(1) yang boleh dan harus disembah hanyalah Tuhan, dan orang-orang yang
menyembah selain Tuhan telah menjadi musyrik, dan boleh dibunuh;
(2) kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya
karena mereka meminta pertolongan bukan lagi kepada Tuhan, tetapi kepada para
syaikh atau wali dan dari kekuatan gaib. Orang Islam demikian juga telah menjadi
musyrik;
(3) menyebut nama nabi, syaikh atau malaikat sebagai perantara dalam doa juga
merupakan syirik;
(4) meminta syafaat selain kepada Tuhan adalah juga syirik;
(5) bernazar kepada selain Tuhan juga syirik;
(6) memperoleh pengetahuan selain dari Alquran, hadis, dan kias (analogi)
merupakan kekufuran;
(7) tidak percaya kepada kada dan kadar Tuhan juga merupakan kekufuran; dan
(8) penafsiran Alquran dengan takwil (interpretasi bebas) adalah kufur (Nasution,
1975:25).
Bila diamati seluruh butir ajaran tersebut di atas, pada prinsipnya butir-butir
ajaran tersebut bertemakan pemurnian tauhid (akidah). Harun Nasution lebih lanjut
menjelaskan bahwa semua poin di atas oleh Muhammad ibn „Abd al-Wahhâb)
diannggapnya bidah dan bidah adalah kesesatan. Oleh karena itu, untuk melepaskan umat
Islam dari praktek-praktek bidah, merela harus kembali kepada Islam asli (Nasution,
1975:25). Dengan demikian, delapan butir ajaran di atas dapat dijadikan acuan dalam
melihat gerakan pemurnian dalam bidang akidah. Untuk mengembalikan kemurnian
tauhid, kuburan-kuburan yang banyak dikunjungi dengan tujuan mencari syafaat, yang
dapat membawa kepada paham syirik, gerakan ini berusaha menghapusnya (Nasution,
1975:26). Tarekat-tarekat sufi yang mempunyai pengaruh negatif terhadap umat Islam
12
ditentangnya karena tarekat adalah bidah (sesuatu yang berasal bukan dari agama Islam,
tetapi datang dari luar). Tantangan terhadap tarekat dimulai oleh Muhammad ibn „Abd al-
Wahhâb (1703-1787) di Arabia, dan kemudian diteruskan oleh tokohtokoh pembaruan
periode baru sehingga ide perubahan mulai masuk ke dalam masyarakat Islam (Nasution,
1995:168). Harun Nasution (1975:26) mengemukakan tiga pokok pikiran Muhammad ibn
„Abd al-Wahhâb yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan pemikiran
pembaruan abad ke-19, yaitu (1) hanya Alquran dan hadislah yang merupakan sumber
asli ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan sumber; (2) taklid kepada
ulama tidak dibenarkan; dan (3) pintu ijtihad tetap terbuka. Di antara ketiga pokok-pokok
pikiran di atas, mungkin hanya poin terakhir satu-satunya yang dapat dijadikan dasar
untuk menyatakan Gerakan Wahabi sebagai Gerakan Pembaruan. Adapun poin pertama
dan kedua tetap merupakan dasar yang memperkuat untuk menyatakan Gerakan Wahabi
adalah Gerakan Pemurnian dalam Islam, khususnya dalam bidang akidah (tauhid).
Namun demikian, tidak keliru jika dikatakan bahwa Gerakan Pembaruan kaum Wahabi
memberi dampak yang sangat positif bagi dunia Islam. Setelah berdiri kokoh di Nejd,
Gerakan Wahabi segera tersebar ke negara-negara lain, seperti Indi, Sudan, Libia, dan
Indonesia. Di India, ajaran Wahabi dibawa oleh Sayyid Ahmad, yaitu setelah ia
menunaikan ibadah haji pada tahun 1822 dan 1823. Di India, ajaran Wahabi mendapat
pengikut-pengikut yang kemudian siap melakukan perang melawan kaum kafir dan non-
Muslim. Di Indonesia, ajaran Wahabi masuk melalui kaum Paderi di Minangkabau yang
dimotori oleh tiga orang ulama Minangkabau, yaitu H. Sumanik dari Lunak Tanah Datar,
H. Piobang dari Lunak 50 Kota, dan H. Miskin dari Lunak Agam (Atjeh, 1970:87). Dari
informasi sejarah ini, dapat dikemukakan bahwa telah terjadi pergeseran sasaran yang
ingin dicapai oleh gerakan ini. Semula gerakan ini berusaha memurnikan tauhid, tetapi
ternyata dalam perkembangan berikutnya telah jauh memasuki bidang politik. Agaknya
keadaanlah yang memaksa gerakan ini berbuat demikian karena setiap agama yang dianut
oleh suatu umat tidak terlepas sama sekali dari kondisi sosial masyarakat.

E. WAHABISME DI INDONESIA

13
Gerakan ini masuk di Indonesia sekitar tahun 1802 bersamaan dengan pulangnya
Haji Miskin dan para koleganya dari menunaikan ibadah haji dan sementara bermukim,
pulang ke Minagkabau orang-orang inilah yang dikenal dengan julukan “harimau nan
salapan”. Haji Miskin dengan mazhab wahabinya telah memberikan tekanan dan gerakan
reform umat Islam di Indonesia dan pada akhirnya mendirikan perguruan di Bonjol dan
yang ditunjuk sebagai ketuanya Malim Basa dan kemudian dikenal dengan julukan
Tuanku Imam Bonjol.9 Di samping itu pemerintah kolonial Belanda membantu
pergerakan kaum adat untuk melawan gerakan Paderi yang di pimpin oleh Gubernur
Jendral Indenburg dengan tujuan mengkristenkan terhadap seluruh penduduk nusantara.
Tetapi masyarakat pada waktu itu sudah tidak mau diperalat lagi karena politik
pengkristenan itu yang dianggap paling busuk karena memperalat agama untuk
kepentingan politiknya dengan harapan bumi nusantara menjadi milik Nederland. Dan
pada tahun 1905 terbentuklah perkumpulan Jami’at Kahair di Jawa, dari perkumpulan
inilah K.H.A. Dahlan (Muhammad Darwis) pemimpin pertama Muhammadiyah dan
orang-orang terpelajar lainya mengenal bacaan-bacaan kaum reformis yang didatangkan
dari luar. Dan pada tahun 1912 K.H.A. Dahlan mendirikan Muhammadiyah, kemudian
diusul pergerakan al Islam Wal Irsyad di Jakarta 1914, tahun 1923 berdiri prsatuan Islam
PERSIS di Bandung dan tidak lama berdirilah Persatuan Umat Islam di Madjalengka
yang semua perkumpulan itu berideologikan ajaran-ajaran Wahabi atau gerakan reform.
Seorang penulis dari Belanda, C.A.O. Van Nieuwenhuize dalam bukunya yang berjudul
„Aspects of Islam In Post Colonial Indonesia” mengatakan: sesuai dengan teladan yang
telah dilakukan oleh Muhammad „Abduh Mesir, maka di Jogjakarta, Jawa, K.H. Ahmad
Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912, menyalurkan penapsiran yang
sesuai dengan akalatas ajaran Islam yang murni; maka gerakan ini mulai melaksanakan
ajaran-ajaran Islam secara modern dengan mendirikan lembagalembaga perguruan yang
sesuai dengan pelajaran sekolah-sekolah pemerintah dan pada pokoknya ditunjukan
kepada pngajaran yang langsung mengenai soal-soal keislaman, serta mendirikan rumah
sakit, arganisasi kepanduan dan wanita. Dalam berbuat demikian itu Muhammadiyah
mendapat sambutan luas menurut kadarnya dari masyarakat Islam”.10 Pendirian
Muhammadiah yang berideologikan pemurnian ajaran tauhid sudah jelas, seperti apa
yang diajarkan salaf dengan jalur keemasannya, seperti halnya kaum wahabi dan hambali
14
pada umumnya, maka ditolaknya pengantara dalam do‟a yang lazim dikerjakan
masyarakat Islam pada waktu itu, sebagai salah satu intervensi kebudayaan asing
kedalam Islam, segala bentuk “tawassul“ ditolak sekalipun dengan para Nabi atau wali-
wali besar dan sahabat, sebab yang demikian itu dianggapnya syirik, dan manjatuhkan
Tuhan karena yang berhak memiliki dan meberikan syafaat adalah Allah sendiri,
sedangkan manusia yang sempurna sepertu Nabi dan para Waliwali besarpun tidak akan
memberi syafaat. Perbuatan-perbuatan yang di buat-buat oleh umat Islam yang
menyimpang dari garis agama yang benar ditolak mentah-mentah oleh Muhammadiyah.
Muhammadiyah berdiri, tidak hanya didorong oleh sangat reaksionernya pemerinntahan
kolonial Belanda terhadap agama Islam dan perkembangannya, akan tetapi karena
tuntutan sejarah umat 10L. Stoddard. Op, Cit,. 309. Islam yang memerlukan sinar baru
dalam menghadapi dunia modern. Kemajuan zaman yang sangat pesat dan hebat tidak
bisa dihadapi oleh khurafat dan bid‟ah, tetapi juga harus kembali kepada ajaran-ajaran
Rasulullah sendiri, yang telah teruji kebenarannya sepanjang masa; kemunduran dan
pendesakan dunia barat terhadap Islam tidak lain hanyalah disebabkan oleh kesalahan
umat Islam itu sendiri, yang menyelewengkan ajaran agamanya sendiri karena sebab
itulah Muhammadiyah suatu gerakan Islam yang bukan sekedar organisasi sosial, amal
dan bukan juga partai politik yang hanya berkecimpung dalam kancah perjuangan politik,
ia juga sebagai gerakan Islam yang menjiwai segala gerak-gerik dan tingkah laku
seseorang, yang kemudian menjelma dalam perbuatan konkrit, baik dalam
sosial,ekonomi, kultural maupun dalam bidang politik sekalipun.Ajaran Muhammadiyah
tidakmencampuri urusan Islam dengan politik. Namun sebagai pribadi, banyak anggota
Muhammadiyah yang tidak ketinggalan ikut serta duduk dalam badan-badan perwakilan
baik yang bersifat daerah maupun pusat, anggota-anggota itu aktif pula dalam gerakan
nasional yang berikecimpung dalam bidang politik negara seperti PSII11 yang dipimpin
oleh H.O.S Tjokroaminoto, PNI pimpinan Ir. Soekarno dan pada tahun 1926 tokoh
Muahammadiyah K.M. Mas Mansur bersama tjokroaminoto memimpin perutusan untuk
menghadiri kongres Islam sedunia di Makkah yang kemudian melahirkan cabangnya di
Indonesia „MAIHIS‟ (Mukhtamar Alam Islami Hindi As Syarqiyah di Indonesia). Relasi
antara wahabi dan kelompok-kelompok garis keras lokal memang tidak bisa sepenuhnya
ditunjukkan secara organisatoris struktural, karena lazimnya mereka malu disebut kaki
15
tangan wahabi. Di samping ada kontak-kontak dengan tokoh-tokoh garis keras
transnasional, relasi mereka juga berdasarkan kesamaan orientasi, ideologi dan tujuan
gerakan. Kelompok kelompok ini memiliki relasi dengan organisasi transnasional yang
diyakini berbahaya dan mengancam pancasila, nkri, dan UUD 1945, disamping ancaman
bagi islam indonesia yang santun dan toleran.5

5
Zainal Abidin, Wahabisme, Transnasionalisme dan Gerakan-Gerakan Radikal Islam di Indonesia, vol. 12, no. 2,
(2015), h.135-139.
16
BAB III

KESIMPULAN

Bagi sebagian umat Islam, konsep negara Islam bukanlah suatu yang harus disingkirkan
dari pertarungan ide-ide dan gagasan politik pada tingkat global, tetapi bagi sebagian yang lain
negara Islam merupapakan suatu yang menyatu dengan masyarakat. Kelompok yang mendukung
gagasan ini menegaskakan bahwa pemisahan antara wilayah-wilayah pribadi dan umum, negara
dan masyarakat biasa terdapat pada kebudayaan Barat, sehingga tidak dikenal dalam Islam.
Negara adalah suatu pernyataan politik dari suatu masyarakat Islam. Bagi kaum muslimin Islam
adalah lebih dari suatu keyakinan; itulah komunitasnya, bangsanya, ajang tempat mencapai
keperibadiannya yang sejati (kedirian). Negara ataupu masyarakat Islam adalah suatu masyarakat
yang berdasarkan kepada keyakinan bersama mengenai ke-Tuhanan. Indonesia adalah
masyarakat yang sifatnya plural societies (masyarakat majemuk) sebagai ideal type masyarakat
Indonesia yang berbeda dengan negara Islam yang ada berada dibelahan bumi yang lain.

17
DAFTAR PUSTAKA
Suhilman, Jurnal ilmu-ilmu keislaman,”Sejarah Perkembangan Pemikiran Gerakan Salafiyah”,
vol.9, no.1.(2019).
Mangasing, Mansyur, jurnal hunafiah, “Muhammad Ibn‟abd Al-Wahhab dan Gerakan Wahabi”,
vol.5. no. 3 (2008).
Abidin, Zainal, Wahabisme, Transnasionalisme dan Gerakan-Gerakan Radikal Islam di
Indonesia, vol. 12, no. 2, (2015).

18

Anda mungkin juga menyukai