Anda di halaman 1dari 23

Agama Islam V

2013

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala
rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah pada mata kuliah Agama
Islam V dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan
kita, Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan tauladan bagi kita semua di muka
bumi ini.

Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan ungkapan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Allah Swt. Karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan sebaik-baiknya.
2. Kedua orang tua, karena berkat beliau penulis dapat berada di Universitas Islam
Malang tercinta ini.
3. Bapak dosen H.M Ilyas Thohari M.A.g karena berkat bimbingan beliaulah makalah
ini dapat penulis selesaikan dengan sebaik-baiknya.
4. Teman-teman FKIP jurusan Pendidikan Matematika V A dan semua pihak yang telah
membantu penyusunan makalah Firqah Aswaja Dalam Bidang Aqidah ini yang tidak
mungkin penulis sebutkan satu persatu.

Mudah – mudahan amal baik saudara-saudara semua mendapat pahala dari Allah
SWT. Demikian pula penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah Firqah Aswaja
Dalam Bidang Aqidah ini penulis masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dalam segi
substansi maupun tata bahasa, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan
dengan harapan sebagai masukan dalam perbaikan makalah ini. Akhirnya, mudah-mudahan
makalah ini dapat bermanfaat.

Malang, 12 Oktober 2013

Penulis
Agama Islam V
2013

DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Pustaka..........................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan..................................................................................................1
BAB II Pembahasan.................................................................................................4
BAB III Penutup....................................................................................................22
A. Kesimpulan................................................................................................22
Daftar Pustaka........................................................................................................23
Lampiran
Agama Islam V
2013

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Timbulnya aliran-aliran teologi Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang beredar
setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw wafat peran sebagai kepala
Negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut khulafaur Rasyidin yakni
Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Namun, ketika
pada masa Utsman bin Affan mulai timbul adanya perpecahan antara umat Islam yang
disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari
banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam,
dari masalah politik sampai pada masalah teologis.
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula
mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak
menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang
kafir.. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi, yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah.
Aliran Khawarij mengatakan bahwa orang yang telah berbuat dosa besar adalah kafir,
dalam arti telah keluar dari agama islam dan ia wajib dibunuh. Kaum Murji’ah mengatakan
bahwa orang yang telah melakukan dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun
soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT yang mengampuninya atau
tidak. Sedangkan Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat diatas. Bagi
mereka orang yang telah berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Orang
yang seperti ini menurut mereka mengambil posisi diantara dua posisi mukmin dan
kafir yang dalam bahasa arabnya terkenal dengan istilah almanzilah bain al-manzilitain
(posisi diantara dua posisi).
Dalam keadaan seperti ini timbulah dua aliran teologi yang terkenal dengan nama
al-qadariah dan al-jabariah. Menurut al-qadariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam
kehendak dan perbuatannya. Sebaliknya dengan al-jabariah berpendapat bahwa manusia
tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam
tingkah lakunya bertindak dengan paksaan Tuhan dan gerak-gerik ditentukan oleh Tuhan,
menurut jabariah. Selanjutnya, kaum Mu’tazilah dengan diterjemahkannya buku-buku
Agama Islam V
2013

falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani kedalam bahasa Arab, terpengaruh oleh pemakaian
rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani klasik itu.
Dengan pemakaian rasio ini oleh kaum Mu’tazilah membawa mereka untuk mengambil
teologi liberal, dalam arti bahwa sungguhpun kaum Mu’tazilah banyak mempergunakan
rasio mereka, mereka tidak meninggalkan wahyu.
Dengan penggambaran diatas sudah pasti bahwa Mu’tazilah lebih memilih qadariah
dibanding jabariah yang mana golongan yang percaya pada kekuatan dan kemerdekaan akal
untuk berfikir. Teologi mereka yang bersifat rasional dan liberal ini membuat kaum
intelegensia tertarik- akan teologi mereka yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan
Kerajaan Islam Abbasiah dipermulaan abad ke-9 Masehi. Khalifah al-Ma’mun, putra dari
khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 827 M menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai
mazhab yang resmi dianut negara. Karena telah menjadi aliran resmi dari
pemerintahan, kaum Mu’tazilah mulai bersikap paksa dalam menyiarkan ajaran mereka.
Terutama paham mereka bahwa al-Qur’an bersifat makhluq dalam arti diciptakan bukan
bersifat qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.
Aliran Mu’tazilah yang bersifat rasional ini menimbulkan tantangan keras dari
golongan tradisional Islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut- pengikut
mazhab Ibn Hambal. Politik menyiarkan aliran Mu’tazilah secara kekerasan
berkurang setelal al-Ma’mun meninggal pada tahun 833 M, dan akhirnya aliran
Mu’tazilah sebagai mazhab resmi dari negara dibatalkan oleh khalifah al-Mutawwakil
pada tahun 856 M. Dengan demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kadudukan
mereka semula, tetapi kini mereka telah mempunyai lawan yang bukan sedikit dari kalangan
umat Islam.
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang
disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (932 M). Al-Asy’ari sendiri pada mulanya adalah
mu’tazilah, tetapi kemudian menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa
ajaran-ajaran Mu’tazilah dicap Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat, al-Asy’ari
meninggalkan ajaran itu dan membentuk ajaran baru yang terkenal dengan nama teologi al-
Asy’ariah atau al-Asya’irah. Disamping aliran asy’ariah timbul pula di Samarkand
perlawanan menentang aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-
Maturidi. Aliran ini dikenal dengan nama teologi al-Maturidiah yang mana tidak bersifat
setradisional al-Asy’ariah, akan tetapi tidak pula seliberal Mu’tazilah.
Agama Islam V
2013

Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam islam adalah
aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran Khawarij,
Murji’ah, Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih
ada sampai sekarang ialah aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan keduannya disebut Ahl
Sunnah wal-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab
Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah munculnya dua aliran Asy’ariah dan Maturidiah?
2. Apa faktor yang melatarbelakangi munculnya Asy’ariah?
3. Bagaimanakah konsep dan pokok Aqidah Asy’ariah?
4. Apa faktor yang melatar belakangi munculnya Maturidiah?
5. Bagaimanakah konsep dan pokok Aqidah Maturidiah?
6. Apakah perbedaan dan persamaan Asy’ariyah dan Maturidiyah?
7. Bagaimanakah spirit ajaran Asy’ariah dan Maturidiah?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah dibawah ini adalah:
1. Mengetahui sejarah munculnya dua aliran Aswaja yaitu Asy’ariah dan Maturidiah
2. Mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya aliran Asy’ariah
3. Mengetahui konsep dan pokok ajaran Aqidah Asy’ariah
4. Mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya aliran Maturidiah
5. Mengetahui konsep dan pokok ajaran Aqidah Maturidiah
6. Perbedaan dan persamaan asy’ariah dan maturidiyah
7. Mengetahui spirit ajaran Asy’ariah dan Maturidiah

BAB II
PEMBAHASAN
Agama Islam V
2013

A. Sejarah Munculnya Asy’ariah dan Maturidiah


Dalam kajian Ilmu Kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama'ah ini sudah banyak dipakai
sejak masa sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Penyebutan Ahlussunnah wal
Jama'ah ini juga digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain seperti
Syi'ah, Khowarij, Murji'ah dan Mu'tazilah. Dan para Imam Madzhab Fiqh; seperti Imam Abu
Hanifah (wafat 150 H), Imam Malik bin Anas (wafat 179 H), Imam Syafi'I (wafat 204 H) dan
Imam Ibnu Hambal (241 H) dikenal sebagai tokoh-tokoh Ahlussunnah, sebelum munculnya
Imam Al-Asy'ari, Imam Al-Maturidi dan Imam At-Thohawi sebagai tokoh Mutakallimin (ahli
Ilmu Kalam) dari kalangan Ahlussunnah pada abad ke-3 H. Sumber dari istilah tersebut oleh
sebagian banyak para ahli diambil dari hadits Nabi saw yang menerangkan akan terpecahnya
umat Islam menjadi 73 golongan, antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan
At-Turmudzi:
"Nabi saw. memberitahu: Bahwa umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, yang
selamat hanya satu, lainnya binasa. Beliau ditanya: Siapa yang selamat? Beliau menjawab:
Ahlussunnah wal Jama'ah. Ditanya lagi: Siapa itu Ahlussunnah wal Jama'ah? Beliau
menjawab: Yang mengikuti apa yang saya beserta para sahabatku".
Menanggapi hadits ini, para ulama berbeda pendapat, baik terhadap kekuatan hadits itu
sendiri, maupun pengertian subtansi dari apa yang terungkap dalam hadits tersebut.
Pertama; Apakah hadits tersebut cukup kuat digunakan sebagai dasar terhadap kriteria umat
Islam, baik yang selamat maupun yang binasa?
Sebagian besar ulama ahlussunnah menilai hadits tersebut cukup kuat, mengingat sumber
sanadnya banyak dan dapat dinilai sebagai hadits mutawatir (banyak yang
meriwayatkan).Diantara mereka adalah Imam Abdul Qohir Al-Baghdadi, dengan kitabnya
Al-Farqu bain Al-Firoq.Juga Imam Abul Mudhaffar al-Isfarayini, penulis kitab "At-Tabshir
fid Din".Juga Al-Qadli 'Adluddin Abdur Rahman Al-Iji dengan tulisannya "Maqaalat al-
Firqah an-Najiah".
Pada zaman Rasulullah SAW masih ada, perbedaan pendapat di antara kaum muslimin
(sahabat) langsung dapat diselesaikan dengan kata akhir dari Kanjeng Nabi Muhammad.Tapi
sesudah beliau wafat, penyelesaian semacam itu tidak ditemukan.Perbedaan sering
mengendap lalu muncul lagi sebagai pertentangan dan permusuhan di antara
mereka.Sesungguhnya pada mulanya, persengketaan akibat pertentangan imamah, bukan
Agama Islam V
2013

persoalan aqidah.Dari situ, kemudian merambah ke dalam wilayah agama. Terutama seputar
hukum seorang muslim yang berbuat dosa besar dan bagaimana statusnya ketika ia mati,
apakah tetap mukmin atau sudah kafir.
Dari situ, pembicaraan tentang aqidah masa berikutnya meluas kepada persoalan-
persoalan Tuhan dan manusia.Terutama terkait perbuatan manusia dan kekuasaan
Tuhan.Demikian juga tentang sifat Tuhan, keadilan Tuhan, melihat Tuhan, ke-huduts-an dan
ke-qadim-an sifat-sifat Tuhan dan kemakhlukan al-Quran.Dalam mempertahankan pendapat
tentang persoalan tersebut terjadi perbedaan yang sangat tajam dan saling bertentangan.
Di tengah-tengah pertentangan itu, lahirlah dua kelompok moderat yang berusaha
mengkompromikan keduanya. Kelompok ini kemudian dinamakan Ahlus Sunnah wa al-
Jama'ah (Aswaja). Dua kelompok itu adalah Asy'ariyah yang didirikan oleh Imam Abul
Hasan al-Asy'ari (lahir di Basrah, 260 H/873 M, wafat di Baghdad 324 H/935 M) dan
Maturidiyah yang didirikan oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi (lahir di Maturid-
Samarkand, wafat 333 H / Lahir tahun 270 H. Wafat tahun 333 H (khilaf)- Penulis sejarah
tidak dapat memastikan kelahiran Imam al-Maturidy, mereka memperkirakan kelahiran
Maturidy lebih dahulu daripada kelahiran Imam al-Asy'ary, selisih dua puluh tahunan lebih.
Kelahiran Imam al-Maturidy di masa Khalifah al-Mutawakkil dari Abbasiyah,).[1]
B. Latar Belakang Munculnya Asy’ariah
Asy’ariyah diambil dari nama pendirinya yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari. Nama
lengkapnya ialah Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin
Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari. Beliau lahir
pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936
M.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Al-juba’i yang merupakan
seorang pembesar aliran Mu’tazilah. Sehingga, Al-Asy’ari menjadi pengikut Mu’tazilah dan
menguasai ajarannya dengan sempurna. Bahkan terkadang Al-Juba’i menyuruh Al-Asy’ari
untuk menggantikannya dalam pemberian fatwa maupun dalam perdebatan aliran.[2]
Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun(Shubhi, 1992: 45).
Setelah itu tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa dirinya
telah meninggalkan faham Mu’tazilah. Menurut Al-Subki dan Ibnu Asakir, alasan Al-Asy’ari
meninggalkan Mu’tazilah adalah bahwa pada suatu malam Al-Asy’ari bermimpi bertemu
Agama Islam V
2013

Rasulullah. Dalam mimpinya, Al-Asy’ari diperintah untuk meninggalkan aliran Mu’tazilah


dan ia diperintahkan untuk membela sunnah Rasulullah.[3]
Selain itu terdapat pula faktor lain, yaitu suatu ketika Al-Asy’ari pernah berdebat
dengan gurunya yang juga merupakan ayah tirinya, Al-Juba’i. Dalam perdebatan itu, Al-
Juba’i tidak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Al-Asy’ari. Di antara
pertanyaan yang diajukan oleh Al-Asy’ari, menurut Al-Subki, adalah sebagai berikut:
 Al-Asy’ari: Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: mukmin, kafir, dan anak
kecil di akhirat?
 Al-Juba’i: Orang mukmin mendapatkan tempat yang baik di surga, orang kafir masuk
neraka, dan anak kecil terbebas dari bahaya neraka.
 Al-Asy’ari: Kalau anak kecil tersebut ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di
surga, mungkinkah itu?
 Al-Juba’i: Tidak, sebab yang mungkin mendapat tempat yang baik di surga adalah
orang yang patuh kepada-Nya, sedangkan anak kecil belum mempunyai kepatuhan
seperti itu.
 Al-Asy’ari: Kalau anak itu mengatakan kepada Allah: Itu bukan kesalahanku.
Andaikan Engkau membolehkan aku untuk terus hidup, maka aku akan mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik sebagaimana yang dilakukan oleh orang mukmin.
 Al-Juba’i: Allah akan menjawab: Aku tahu bahwa andaikan kamu terus hidup maka
kamu akan berbuat dosa, sehingga kamu akan mendapat siksa. Oleh karena itu, untuk
kepentinganmu, Aku cabut nyawamu sebelum kamu mencapai baligh.
 Al-Asy’ari: Seandainya orang kafir berkata kepada Allah: Engkau mengetahui masa
depanku sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil tersebut. Namun,
mengapa Engkau tidak menjaga kepentinganku?
 Al-Juba’i terdiam.
Setelah itu, Al-Asy’ari semakin yakin untuk meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan ia
merumuskan sendiri pemikiran-pemikirannya yang sering disebut sebagai paham Asy’ariyah.
Ajaran-ajarannya dapat dipelajari melalui kitab-kitab yang ia tulis. Beberapa kitabnya adalah
kitab Al-Luma’ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Ziyagh wa al-Bida’ (Kecemerlangan dalam menolak
orang yang menyimpang dan melakukan bid’ah), Al-Ibanah ‘an Ushul al-Dinayah (Uraian
tentang prinsip-prinsip agama), dan Maqalat al-Islamiyyin (Makalah tentang orang Islam),
serta kitab-kitab yang ditulis oleh para pengikutnya.[4]
Agama Islam V
2013

Tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah yang terkenal antara lain, Al Baqilani (wafat 403 H), Ibnu
Faruak (wafat 406 H), Ibnu Ishak al Isfarani (wafat 418 H), Abdul Kahir al Bagdadi (wafat
429 H), Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H), Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478
H), Al-Ghazali (wafat 505 H).[5]
C. Konsep Aqidah Asy’ariah
Aqidah Asy'ariyah merupakan jalan tengah (tawasuth) di antara kelompok-kelompok
keagamaan yang berkembang pada masa itu.Yaitu kelompok Jabariyah dan Qadariyah yang
dikembangkan oleh Mu'tazilah.Dalam membicarakan perbuatan manusia, keduanya saling
berseberangan. Kelompok Jabariyah berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia
diciptakan oleh Allah dan manusia tidak memiliki peranan apa pun. Sedang kelompok
Qadariyah memandang bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri terlepas
dari Allah.Dengan begitu, bagi Jabariyah kekuasaan Allah adalah mutlak dan bagi Qadariyah
kekuasaan Allah terbatas.
Sikap tawasuth ditunjukkan oleh Asy'ariyah dengan konsep al-kasb (upaya). Menurut
Asy'ari, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam
perbuatannya. Kasb memiliki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan
Tuhan.Kasb juga memiliki makna keaktifan dan bahwa manusia bertanggung jawab atas
perbuatannya.
Dengan konsep kasb tersebut, aqidah Asy'ariyah menjadikan manusia selalu berusaha
secara kreatif dalam kehidupannya, akan tetapi tidak melupakan bahwa Tuhan-lah yang
menentukan semuanya. Dalam konteks kehidupan sekarang, aqidah Asy'ariyah, paling
memungkinkan dijadikan landasan memajukan bangsa. Dari persoalan ekonomi, budaya,
kebangsaan sampai memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan kekinian, seperti HAM,
kesehatan, gender, otonomi daerah dan sebagainya.
Sikap tasammuh (toleransi) ditunjukkan oleh Asy'ariyah dengan antara lain
ditunjukkan dalam konsep kekuasaan mutlak Tuhan. Bagi Mu'atazilah, Tuhan wajib berlaku
adil dalam memperlakukan makhluk-Nya. Tuhan wajib memasukkan orang baik ke dalam
surga dan memasukkan orang jahat ke dalam neraka.Hal ini ditolak oleh
Asy'ariyah.Alasannya, kewajiban berarti telah terjadi pembatasan terhadap kekuasaan Tuhan,
padahal Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada yang bisa membatasi kehendak dan
kekuasaan Tuhan. Meskipun dalam Al-Quran Allah berjanji akan memasukkan orang yang
Agama Islam V
2013

baik dalam surga dan orang yang jahat ke dalam neraka, namun tidak berarti kekuasaan Allah
terbatasi. Segala keputusan tetap ada pada kekuasaan Allah.
Jika dalam paham Mu'tazilah posisi akal di atas wahyu, Asy'ariyah berpendapat wahyu
di atas akal.Moderasi ditunjukkan oleh Asy'ariyah.la berpendapat bahwa meskipun wahyu di
atas akal, namun akal tetap diperlukan dalam memahami wahyu. Jika akal tidak mampu
memahami wahyu, maka akal harus tunduk dan mengikuti wahyu.Karena kemampuan akal
terbatas, maka tidak semua yang terdapat dalam wahyu dapat dipahami oleh akal dan
kemudian dipaksakan sesuai dengan pendapat akal.
Dengan demikian, bagi Asy'ariyah rasionalitas tidak ditolak.Kerja-kerja rasional
dihormati sebagai penerjemahan dan penafsiran wahyu dalam kerangka untuk menentukan
langkah-langkah ke dalam pelaksanaan sisi kehidupan manusia.Yakni bagaimana pesan-
pesan wahyu dapat diterapkan oleh semua umat manusia.Inilah pengejawantahan dari pesan
al-Quran bahwa risalah Islam adalah rahmatan li al-'alamin.Namun, agar aspek-aspek
rasionalitas itu tidak menyimpang dari wahyu, manusia harus mengembalikan seluruh kerja
rasio di bawah kontrol wahyu.
Masalah adanya sifat Allah, Mu'tazilah hanya mengakui sifat wujud Allah.Sementara,
Asy'ariyah berpendapat bahwa Allah memiliki sifat. Walaupun sifat tidak sama dengan dzat-
Nya, tetapi sifat adalah qadim dan azali. Allah mengetahui, misalnya, bukan dengan
pengetahuan-Nya, akan tetapi dengan sifat ilmu-Nya. Dalam memahami sifat Allah yang
qadim ini, Asy'ariyah berpendapat bahwa kalam, satu misal, adalah sifat Allah yang qadim
dan azali, karena itu Al-Quran sebagai kalam Allah adalah qadim, al-Quran bukan makhluk.
Jadi ia tidak diciptakan.[6]
Al-Asy’ari mengembangkan metode pemikirannya berdasarkan pada nash dan akal.
Beberapa ajaran Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
a. Tentang sifat Allah SWT
Menurut Asy’ariyah, Allah mempunyai sifat seperti al-‘Ilm (mengetahui), al-Qudra
(kuasa), al-Hayah (Hidup), al-Sama’ (mendengar), al-Bashar (melihat), dan lain-
lain.Sifat-sifat tersebut berada di luar dzat Allah dan bukan dzat Allah itu sendiri
karena Allah mengetahui bukan dengan dzat-Nya, melainkan mengetahui dengan
pengetahuan-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat yang lain. Tetapi sifat-sifat yang
dimiliki Allah itu unik, berbeda dengan sifat yang dimiliki oleh manusia.
b. Tentang kedudukan Al-Quran
Agama Islam V
2013

Al-Quran adalah kalam Allah (Firman Allah SWT) dan bukan makhluk dalam arti
diciptakan.Karena Al-Quran adalah firman Allah maka pastilah al-Quran bersifat
qadim.
c. Tentang perbuatan manusia
Seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT.Walaupun demikian, Al-
Asy’ari tetap mengakui tentang adanya daya dalam diri manusia, meskipun daya itu
tidak efektif. Karena hanya Allah yang dapat menciptakan sesuatu
d. Tentang dosa besar
Imam merupakan lawan dari kufur, maka jika seseorang tidak beriman, ia dianggap
kafir. Sedangkan apabila ia tidak kafir, maka ia tetap mukmin. Orang mukmin yang
melakukan dosa besar dianggap mukmin fasik atau ‘ashi (durhaka) selama ia masih
beriman kepada Allah. Karena Asy’ariyah berpendapat bahwa iman tidak akan hilang
selain karena syirik. Sedangkan dosa besarnya diserahkan kepada Allah SWT, apakah
akan diampuni atau tidak.
e. Tentang keadilan Allah SWT
Menurut Asy’ariyah, Allah adalah pencipta alam semesta dan mempunyai kehendak
mutlak terhadap makhluk-Nya. Oleh karena itu, Dia dapat berbuat sekehendak-Nya,
memasukkan seluruh manusia ke dalam surga atau neraka. Karena Allah tidak
mempunyai keharusan apa pun terhadap makhluk-Nya.
f. Tentang antropomorfisme
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah SWT mempunyai mata, muka, tangan, dan yang
lainnya. Namun tidak dapat diketahui seperti apa bentuknya. Pendapat ini didasarkan
pada: “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”.
(Q.S al-Rahman: 27)
“Yang berlayar dengan mata kami sebagai balasan bagi orang-orang yang diingkari
(Nuh)”. (QS al-Qamar: 14)
g. Tentang melihat Allah SWT di akhirat
Karena Al-Asy’ari mengakui akan adanya antropomorfisme Tuhan, maka dia pun
berpendapat bahwa Allah akan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala karena
Allah mempunyai wujud. Hal ini didasarkan pada:“Wajah orang-orang mukmin pada
hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (Al-Qiyamah 22-23)
h. Akal dan wahyu
Agama Islam V
2013

Asy’ariyah mengakui akan pentingnya akal dalam diri manusia. Tetapi selain akal,
Asy’ariyah juga menekankan wahyu sebagai sumber hukum pokok.Sehingga dalam
menyelesaikan suatu masalah, Asy’ariyah lebih mengutamakan wahyu daripada akal.
[8]

D. Latar Belakang Munculnya Maturidiah


Pendiri aliran ini adalah Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-
Maturudi lahir di Maturid daerah Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan
Masehi dan meninggal di tahun 944 M. Ia merupakan pengikut Abu Hanifah. Dalam paham-
paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham Abu Hanifah.Karena di
Samarkand hadits tidak berkembang, maka Al-Maturidi lebih menonjolkan akal dalam
pemikiran teologinya. Sistem pemikiran teologi Abu Mansur termasuk dalam golongan
teologi ahli sunnah dan dikenal dengan Maturidiah. [9]
Latar belakang lahirnya teologi ini sama dengan Asy’ariyah, yaitu untuk menentang
pendapat Mu’tazilah yang terlalu rasional. Namun tidak semua pahamnya menentang
Mu’tazilah.Bahkan ada beberapa yang hampir mendekati pemikiran Mu’tazilah.Al-Maturidi
hidup pada zaman dimana sedang gencar-gencarnya terjadi pertentangan antara Mu’tazilah
sebagai kaum rasionalis dan Asy’ariyah yang lebih mengutamakan wahyu daripada akal.Di
tengah-tengah perdebatan ini, munculah Al-Maturidi yang merumuskan pahamnya sendiri
sebagai titik tengah antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Maka, aliran ini juga sering disebut
berada di antara teologi Asy’ariyah dan Mu’tazilah.[10]
Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa hasil karya al-Maturidi serta situasi dan
kondisi masyarakat pada masanya, maka dapat dikemukakan faktor-faktor yang
melatarbelakangi munculnya pemikiran teologinya yang pada perkembangan berikutnya
melahir-kan aliran Maturidiyah:
1. Ketidakpuasan terhadap konsep teologi Mu‟tazilah yang terlalu berlebihan dalam
memberikan otoritas pada akal. Hal ini dapat dilihat dari beberapa judul tulisannya
yang secara eksplisit menggambarkan penolakannya terhadap Mu‟tazilah, seperti
Kitab Radd Awa‟il al-Adillah li al-Ka‟bi, Kitab Radd Tahdhib al-Jadal li al-Ka‟bi
dan Kitab Bayan Wahm al-Mu‟tazilah (Al-Syahrastani, t.th.,: 76-77). Dan pada saat
yang sama al-Maturidi juga tidak puas atas konsep teologi ulama salaf yang
mengabaikan penggunaan akal.
Agama Islam V
2013

2. Kekhawatiran atas meluasnya ajaran Syi’ah terutama aliran Qaramithah yang dengan
keras menentang ulama-ulama salaf. Khusus di wilayah Asia Tengah aliran ini banyak
dipengaruhi oleh paham Mazdakism, sebuah aliran komunis yang dicetuskan oleh
Mazdak bin Bambadh seorang reformis militan pada abad ke-5 M pada masa
kekuasaan Sasania (lihat Nicholson dalam Hansting (ed.), t.th. p. 508-509). Ajaran
aliran ini terkait dengan Manichaeism sebuah ajaran yang merupakan percampuran
antara ajaran Kristen dengan Zoroaster dan ajaran-ajaran Budha (Baven dalam
Hansting (ed.), t.th.,: 394-402). Kitab al-Radd „ala Qaramitah yang ditulis oleh al-
Maturidi merupakan suatu indikasi akan kekhawatirannya atas pengaruh ajaran ini
pada masyarakat.[11]
Terdorong oleh kedua faktor tersebut, al-Maturidi kemudian bangkit mengembangkan
metode sintesis al-Naql dan al-aql dalam pemikiran kalam, jalan tengah antara aliran rasional
ala Mu’tazilah dan aliran tradisional ala Hambali.Menarik untuk dicermati, bahwa dalam
pemikiran teologinya al-Maturidi memberikan otoritas yang cukup besar pada akal, paling
tidak bila dibandingkan dengan al-Asy‟ari yang juga dikenal sebagai tokoh yang memadukan
antara al-aql dan al-naql dalam teologinya.Misalnya, baik dan buruk dapat diketahui melalui
akal meski tak ada wahyu, karena baik dan buruk dinilai berdasarkan substansinya, demikian
menurut al-Maturidi.Sedangkan menurut al-Asy‟ari, baik dan buruk dinilai menurut Syara‟
(Abu Zahrah, 1996: 210).Mengapa demikian?hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor
yang berpengaruh terhadap pemikiran al-Maturidi, yaitu:
Pertama, al-Maturidi adalah penganut mazhab Hanafi, suatu mazhab yang dikenal sebagai
aliran rasional di bidang fikih.Ditambah lagi dengan latar belakang pendidikan al-Maturidi di
bawah asuhan empat ulama terkemuka pada masanya yang juga tokoh-tokoh
Hanafiyah.Dengan demikian, pengaruh pemikiran Hanafi tentu cukup “kental” pada diri al-
Maturidi, bukan hanya di bidang fikih, tapi juga dalam bidang Kalam. Perlu dicatat bahwa
Abu Hanifah, disamping sebagai ahli fikih, beliau juga seorang Mutakallim, salah satu
karyanya dalam bidang ini adalah al-Fiqh al-Akbar, sehingga al-Bagdadiy memasukkannya
kedalam kelompok Mutakallim dari kalangan fuqaha (al-Bagdadiy, 1981: 308). Menurut Abu
Zahrah (1996: 208), dalam beberapa karya Abu Hanifah di bidang Kalam ditemukan
sejumlah pandangan utama yang sama dengan pandangan al-Maturidi. Sehingga ulama
menetapkan bahwa dengan pandangan al-Maturidi.Sehingga ulama menetapkan bahwa
pendapat Abu Hanifah di bidang Kalam merupakan akar yang menjadi landasan
Agama Islam V
2013

perkembangan pemikiran al-Maturidi.Pandangan ini diperkuat oleh Gibb dan Kramers (1953:
362), bahwa Abu Hanifah adalah orang pertama yang mengadopsi metode Mu‟tazilah dan
menerapkannya dalam membahas persoalan-persoalan yang mendasar dalam agama
(Keimanan).
Kedua, situasi dan kondisi masyarakat di daerah kediaman al-Maturidi (Samarqand) dan Asia
Tengah pada umumnya, cukup heterogen dari segi etnis, agama dan aliran teologi.Di samping
itu, diskusi antar aliran teologi dan fikih sudah merupakan tradisi di kalangan ulama
Samarqand.Oleh karena itu, al-Maturidi telah akrab dengan penggunaan argumen-argumen
rasional, apalagi dalam menghadapi tokoh-tokoh Mu‟tazilah seperti al-Ka‟bi yang ahli dalam
filsafat (Amin, 1964: 266-267).[12]
Tokoh-tokoh terkenal dari aliran ini adalah Imam Abul Qasim Ishaq bin Muhammad
bin Ismail Al Hakim Al Samarqandi (wafat 342 H), Abul Qasim Al Hakim (wafat 390 H),
Abu Muhammad Abdul Kareem bin Musa bin Isa Al Bazdawi (wafat 390 H), dan tokoh yang
paling terkenal serta sangat berpengaruh bagi aliran ini adalah Abu Yusr Muhammad bin
Muhammad bin Husain Abdul Kareem Al Bazdawi (421 H – 493 H).
Dalam perkembangannya, Al-Bazdawi tidak sepenuhnya mengikuti paham-paham Al-
Maturidi. Sehingga banyak yang berpendapat bahwa Maturidiyah pecah menjadi dua
golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham Al Maturidi dan
golongan Bukhara yang mengikuti faham-faham Al Bazdawi.[13]

E. Konsep Aqidah Maturidiah


Pada prinsipnya, aqidah Maturidiyah memiliki keselarasan dengan aqidah Asy'ariyah.
Itu ditunjukkan oleh cara memahami agama yang tidak secara ekstrem sebagaimana dalam
kelompok Mu'tazilah. Yang sedikit membedakan keduanya, bahwa Asy'ariyah fiqhnya
menggunakan mazhab Imam Syafi'i dan Imam Maliki, sedang Maturidiyah menggunakan
mazhab Imam Hanafi.
Asy'ariyah berhadapan langsung dengan kelompok Mu'tazilah, tapi Maturidiyah
menghadapi berbagai kelompok yang cukup banyak.Di antara kelompok yang muncul pada
waktu itu adalah Mu'tazilah, Mujassimah, Qaramithah dan Jahmiyah. Juga kelompok agama
lain, seperti Yahudi, Majusi dan Nasrani.
Sikap tawasuth yang ditunjukkan oleh Maturidiyah adalah upaya pendamaian antara al-
naqli dan al-'aqh (nash dan akal). Maturidiyah berpendapat bahwa suatu kesalahan apabila
Agama Islam V
2013

kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash(naql), sama juga salah apabila kita larui
tidak terkendali dalam menggunakan rasio ('aql). Menggunakan 'aql sama pentingnya dengan
menggunakannaql.Sebab akal yang dimiliki oleh manusia juga berasal dari Allah, karena itu
dalam al-Quran Allah memerintahkan umat Islam untuk menggunakan akal dalam memahami
tanda-tanda (al-ayat) kekuasaan Allah yang terdapat di alam raya.Dalam al-Quran misalnya
ada kalimat liqaumin yatafak-karun, liqaumin ya'qilun, liqaumin yatadzakkarun, k'allakum
tasykurun, la'allakum tahtadun dan sebagainya.Artinya bahwa penggunaan akal itu,
semuanya diperuntukkan agar manusia memperteguh iman dan takwanya kepada Allah SWT.
Yang sedikit membedakan dengan Asy'ariyah adalah pendapat Maturidiyah tentang
posisi akal terhadap wahyu. Menurut Maturidiyah, wahyu harus diterima penuh. Tapi jika
terjadi perbedaan antara wahyu dan akal, maka akal harus berperan
mentakwilkannya.Terhadap ayat-ayat tajsim (Allah bertubuh) atau tasybih (Allah serupa
makhluk) harus ditafsirkan dengar arti majazi (kiasan).Contoh seperti lafal yadullah yang arti
aslinya "tangan Allah" ditakwil menjadi "kekuasaan Allah".
Tentang sifat Allah, Maturidiyah dan Asy'ariyah sama-sama menerimanya.Namun,
sifat-sifat itu bukan sesuatu yang berada di luar zat-Nya. Sifat tidak sama dengan zat, tetapi
tidak dari selain Allah. Misalnya, Tuhan Maha Mengetahui bukanlah dengan Zat-Nya, tetapi
dengan pengetahuan ('ilmu)-Nya (ya'lamu bi 'ilmihi).
Sikap tassamuh Dalam persoalan "kekuasan" dan "kehendak" (qudrah dan iradah)
Tuhan, Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh
Tuhan sendiri.Jadi tidak mutlak. Meskipun demikian, Tuhan tidak dapat dipaksa atau
terpaksa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Misalnya Allah menjanjikan orang baik masuk
surga, orang jahat masuk neraka, maka Allah akan menepati janji-janji tersebut. Tapi dalam
hal ini, manusia diberikan kebebasan oleh Allah menggunakan daya untuk memilih antara
yang baik dan yang buruk.Itulah keadilan Tuhan.
Karena manusia diberi kebebasan untuk memilih dalam berbuat, maka -menurut
Maturidiyah- perbuatan itu tetap diciptakan oleh Tuhan.Sehingga perbuatan manusia sebagai
perbuatan bersama antara manusia dan Tuhan.Allah yang mencipta dan manusia meng-
kasab-nya.Dengan begitu manusia yang dikehendaki adalah manusia yang selalu kreatif,
tetapi kreativitas itu tidak menjadikan makhluk sombong karena merasa mampu menciptakan
dan mewujudkan.Tetapi manusia yang kreatif dan pandai bersyukur. Karena kemampuannya
melakukan sesuatu tetap dalam ciptaan Allah.[14]
Agama Islam V
2013

Pokok-pokok ajaran Maturidiyah adalah sebagai berikut:


a. Mengenai sifat-sifat Allah SWT
Maturidiyah mengakui akan adanya sifat bagi Allah. Menurutnya, Allah Mengetahui
bukan dengan zat-Nya tapi dengan pengetahuan-Nya, dan berkusa pun bukan dengan zat-
Nya.
b. Kalam Tuhan
Maturidiah membagi kalam Tuhan menjadi dua, yaitu kalam Nafsi dan kalam yang
tersusun atas suara dan huruf.Kalam nafsi adalah firman Allah yang bersifat
qodim.Sedangkan kalam yang tersusun atas huruf dan suara merupakan hadist atau baru.
c. Perbuatan Manusia
Mengenai perbuatan manusia dalam hal ini manusia bisa diibaratkan seperti wayang yang
di kendalikan oleh sorang wayang karena menurut pandangan Maturidiah manusia tidak
mempunyai daya dan upaya untuk melakaukan perbuatan jadi semua hal yang di perbuat
oleh manusia dalam halini tidak lain hanyalah takdir Tuhan.
d. Pelaku dosa besar
Menurut Maturidiyah pelaku dosa besar tidak akan kekal di neraka.Ia di neraka hanya
sementara sesuai dengan besarnya dosa yang ia perbuat. Karena dosa besar selain syirik
tidak akan membuat seseorang menjadi kafir.
e. Keadilan Tuhan
Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah
ditetapkan-Nya.
f. Melihat Allah Swt.
Menurut maturidiyah,orang-orang yang beriman akan dapat melihat Allah SWT pada hari
kiamat.Tetapi tidak diketahui seperti apa bentuk dan sifat Allah Seperti faham Asy’ariyah,
pendapat ini didasarkan pada Q.S. Al-Qiyamah ayat 22-23. [15]

F. Spirit ajaran As’ariah dan Maturidiah


Munculnya Asy'ariyah dan Maturidiyah merupakan upaya pendamaian antara
kelompok Jabariyah yang fatalistik dan Qadariyah (yang dilanjutkan oleh Mu'tazilah) yang
mengagung-agungkan manusia sebagai penentu seluruh kehidupannya. Sikap moderatisme
keduanya merupakan ciri utama dari kaum Ahlus Sunnah wa al-Jama'ah dalam beraqidah.
Sikap tawasuth ini diperlukan dalam rangka untuk merealisasikan amar ma'ruf nahi munkar
Agama Islam V
2013

yang selalu mengedepankan kebajikan secara bijak. Yang prinsip bagi Aswaja adalah
berhasilnya nilai-nilai syariat Islam dijalankan oleh masyarakat, sedang cara yang dilakukan
harus menyesuaikan dengan kondisi dan situasi masyarakat setempat.
Aswaja menolak ajaran-ajaran aqidah yang dimiliki oleh garis keras. Seperti Mu'tazilah
yang memaksakan ajarannya kepada orang lain dengan cara keras. Apabila orang lain tidak
sepaham, dituduh musyrik dan harus dihukum. Contoh, kasus mihnah.Pada kasus itu,
pemaksaan orang-orang Mu'tazilah kepada kaum Muslimin untuk mengakui bahwa al-Quran
itu baru atau hadits.Karena itu, apabila terdapat kelompok garis keras, seperti FPI, yang suka
menyelesaikan persoalan kemungkaran publik dengan kekerasan dan pemaksaan bahkan
dengan pengrusakan, itu bukanlah tabiat kaum Aswaja an-Nahdliyah.
Ajaran Aswaja juga menolak kelompok-kelompok yang menutup diri dari golongan
mayoritas kaum Muslimin (jama'atul muslimin).Seperti yang ditunjukkan oleh kelompok
Syi'ah dan Khawarij.Sekarang terdapat kelompok tertentu, seperti LDII, dan sebagainya yang
selalu menutup diri dari mayoritas umat Islam, itu bukanlah tabiat kaum Aswaja an-
Nahdliyah.Sebab kaum Aswaja adalah kaum yang selalu diikuti oleh mayoritas dan dapat
menerima masukan-masukan dari dalam dan luar untuk mencapai kebaikan yang lebih utama.
Prinsipnya adalah al-muhafazhah 'alal qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah
(melestarikan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik)[16]

G. Persamaan dan Perbedaan Asy’ariah dan Maturidiah


1. Persamaan Asy’ariah dan Maturidiyah
 Kedua aliran ini lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mu’tazilah.
 Mengenai sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi
mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
 Keduanya menentang ajaran Mu’tazilah mengenai al-Salah wal Aslah dan
beranggapan bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan, tetapi
bersifat qadim.
 Al-Asy’ari dan Al-Maturidi juga berkeyakinan bahwa manusia dapat melihat
Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang tahu
bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya. Hal ini mengingat nash al-Qur’an
pada surat al-Qiyamah : 23 :
Agama Islam V
2013

“Wajah-wajah orang mukmin pada hari kiamat akan berseri-seri. Kepada


Tuhannya mereka melihat.”
 Persamaan dari kedua aliran ini adalah karena keduanya sering menggunakan
istilah ahlu sunnah wal jama’ah. Dan dikalangan mereka kebanyakan
mengatakan bahwa madzhab salaf ahlu sunnah wal jama’ah adalah apa yang
dikatakan oleh Al-Asy’ari an Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan
bahwa ahlu sunnah wal jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah dan salaf.
Az-Zubaidi mengatakan : “Jika dikatakan ahlu sunnah, maka yang dimaksud
dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.”(Ittihafus Sadatil
Muttaqin 2 : 6)
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan : “Ketahuilah bahwa pokok semua
aqaid ahlu sunnah wal jama’ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Al-Asy’ari
dan Al-Maturidi.”(Ar-Raudhatul Bahiyyah oleh Abi Hudibah
2. Perbedaan Asy’ariyah dan Maturidiyah
 Tentang perbuatan manusia. Al-Asy’ari menganut paham Jabariyah sedangkan
Al-Maturidi menganut paham Jabariyah.
 Tentang fungsi akal. Akal bagi aliran Asy’ariyah tidak mampu untuk
mengetahui kewajiban-kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat
Maturidiyah akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk
berterima kasih kepada Tuhan.
 Tentang Janji dan ancaman Tuhan. Al-Asy’ari berkeyakinan bahwa Allah bisa
saja menyiksa orang yang taat, memberi pahala kepada orang yang durhaka,
sedangkan Al-Maturidi beranggapan lain, bahwa orang yang taat akan
mendapatkan pahala sedangkan orang yang durhaka akan mendapat siksa,
karena Allah tidak akan salah karena Ia Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
H. Tentang Ziarah Kubur
Apa hukum ziarah kubur?
Ziarah ke kuburan untuk orang laki-laki sunnah hukumnya. Sebelumnya, yaitu pada
permulaan islam ziarah ke kubur memang dilarang. Lalu hukum larangan ini dinasakh
dengan sabda Nabi SAW dan perbuatannya.
Ada beberapa hadits berkaitan dengan ziarah kuburan
Agama Islam V
2013

‫كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها فإنها ترق القلب وتدمع العين وتذكر األخرة‬
“Dulu saya telah melarang kamu semua ziarah ke kuburan, maka (sekarang)
berziarahlah ke kuburan, sebab ziarah kubur itu dapat melunakkan hati, mencucurkan
air mata dan mengingatkan akhirat.”
Lama menerangkan, bahwa ziarah kubur bagi wanita itu makaruh hukumya, karena
dikhawatirkan jiwanya selau sedih, mengingat kaum wanita gampang susah dan jarang
yang bias menahan sabar terhadap musibah, terkecuali ziarah ke kuburan para wali,
orang-orang sholeh dan lama. Mereka tetap disunahkan untuk mendapatkan barokah.
Menurut ulama ahli tahqiq, hadits tersebut ditakwil, jika ziarah wanita-wanita itu untuk
meratapi dan menangisi yang meninggal, seperti yang berlaku di masyarakat jahiliyah,
maka ziarah kubur seperti itu jelas haram berdasarkan ijma’. Apabila bersih dari hal-hal
tersebut maka tidak diharamkan dan tidak termasuk dalam ancaman hadits tersebut.
Ziarah ke makam Rasulullah SAW, merupakan salah satu perbuatan yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah. Demikian juga perjalanan menuju ke tempat beliau dan
juga ke tempat-tempat para Nabi, para wali dan para syuhada’ untuk mendapatkan
barokah dari Allah dan mengambil I’tibar. Perjalanan seperti itu hukumnya mustahab
dan banyak faedahnya. Yang terpenting adalah harus dapat menjaga adab (tata cara)
menurut syari’at.
Dalam hadits pun telah dijelaskan, bahwa Nabi SAW tetap hidup di dalam kuburannya.
Dengan demikian, berarti ziarah kepada beliau sesudah wafat seperti ziarah kepada
beliau saat hidup. Dasarnya adalah hadits:
‫من حّج فزار قبري بعد وفاتى فكأنما زارني في حياتي‬
“Barangsiapa menunaiakan ibadah ahji, lalu ziarah ke kuburku sesudah aku wafat,
maka ia seperti ziarah kepadaku sewaktu aku dalam keadaan hidup.” (HR. Thabrani).

I. Perbedaan Aswaja dengan golongan lain.

Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW


maupun di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman
pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk pertama
kalinya di pakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur (137-159H./754-
Agama Islam V
2013

775M) dan khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya dari dinasti


Abbasiyah (750-1258). Istilah ahlussunnah waljamaah semakin tampak ke permukaan
pada zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M).

Pada zamannya, al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan


ajaran Islam pada al-Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa
para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan
denga kemakhlukan al-qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian
akidah terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan adalah masalah al-
quran. Bagi muktazilah, al-quran adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak
qadim ( ada sejak awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah
SWT. Orang yang berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik
merupakan dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik, al-
Ma’mun melakukan mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun,
diantaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H).

Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin popular setelah munculnya


Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M),
yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai
‘perlawanan’ terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu.
Teori Asy’ariyah lebih mendahulukan naql (teks qu’an hadits) daripada aql (penalaran
rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka
yang dimaksudkan adalah penganut paham asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang
teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah,
Qadariyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah
atau disebut aliran sunni di bidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain
yang menjadi ciri khas aliran ini, baik di bidang fiqih dan tasawuf. sehingga menjadi
istilah, jika disebut akidah sunni (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut
Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat
( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits,
ijma’ dan qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode
tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazalidan
Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifat.
Agama Islam V
2013

Ajaran-ajaran Aswaja

Seseorang atau golongan bisa disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah jika :

Dalam Aqidah mengikuti / selaras dengan teologi Al As’ari dan Al Maturidi.

Dalam Furu’ (Fiqh) mengikuti salah satu imam madzab 4 (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali).

Dalam bidang Ahlaq (Tasawuf) selaras dengan ajaran Imam Al Gozali dan al Junaidi al
Bagdadi.

Di antara ajaran (akidah) Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah :

Meyakini Wujudnya Allah.

Meyakini bahwa Allah Maha Esa (baik dzat, sifat maupun perbuatannya).

Meyakini terhadap sifat-sifat Allah (sifat wajib 20, sifat mustahil 20, sifat jaiz 1).

Meyakini kehudusan ( baru datangnya ) alam semesta.

Meyakini tentang keadilan dan hikmah Allah swt.

Meyakini tidak ada kemiripan ( keserupaan ) Allah dengan apapun.

Meyakini bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat ( Surga ), dengan mata kepala secara
langsung, namun tidak diketahui caranya ( bila kaifin ).

Allah tidak wajib berbuat baik pada Makluk.

Allah adalah pencipta jagat raya ini, yang punya kehendak mutlak untuk melakukan apa
saja pada mahluknya, tanpa ada keterpaksaan.

Meyakini kenabiyan dan kerasulan Nabi Muhammad SAW.

Meyakini bahwa diutusnya Nabi Muhammad SAW, untuk semua umat (Kaffah).

Meyakini kebenaran semua perkara yang dibawa Rosul diantaranya ; Surga, Neraka,
Wot Sirothol Mustaqim, Ars, kursi, Telaga Kausar, Bangkit dari kubur dan lain-lain.

Meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir, yang tidak akan mungkin
ada Nabi setelahnya ( La Nabiya Ba’dahu ).

Meyakini bahwa Syareatnya Nabi Muhammad SAW akan langgeng sampai hari kiyamat
tiba.
Agama Islam V
2013

Meyakini bahwa orang Mu’min ketika melakukan dosa besar dan meninggal sebelum
bertaubat, maka urusannya diserahkan pada Allah, mungkin diampuni atau akan
disiksa dan dimasukkan ke neraka, namun ia tidak kekal di neraka. Dan ia termasuk
golongan Orang Mu’min yang melakukan ma’siyat ( Mu’min Al Ashi).

Meyakini bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah yang Qodim (dahulu tanpa permulaan ).

Meyakini bahwa Al Qur’an dan Al Hadist harus didahulukan ( diatas ) akal manusia dan
bukan sebaliknya.

Perbuatan manusia pada hakekatnya telah ditakdirkan Allah, akan tetapi manusia
diwajibkan melakukan ihtiyar memilih hal yang baik sebab dirinya telah diberi
fasilitas akal.

Meyakini bahwa hari kiyamat ( hancurnya jagat raya ) pasti akan terjadi.

Meyakini bahwa anak kecil yang meninggal dunia sebelum usia balig meski anak orang
kafir akan masuk surga.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah wafatnya Rasululah,umat islam menjadi beberapa golongan.Salah satu golongan
nya adalah Ahlu Sunnah Jama’ah.Golongan ini terdiri dari dua madhzab besar yaitu
Asy’ariyah dan Maturidiyah.Pada dasarnya,Asy’ariyah dan Maturidiyah mempunyai
persamaan dalam hal keyakinan dan tujuan,yaitu untuk menentang kaum
Mu’tazilah.Tetapi ada beberapa pokok ajaran mereka yang berbeda.Asy’ariyah sangat
mengutamakan wahyu daripada akal.Sedang kan Maturidiyah memberikn ruang lebih
besar kepada akal daripada Asy’ariyah.

B. Saran
Setelah mempelajari aliran Asy’riyah dan Matuidiyah,penulis menyarankan agar kita
jangan saling menyalahkan dan mengkafirkan suatu golongan.Apalagi jika tuduhan kita
hanya sekedar taklid tanpa tahu dasar hukumnya.Namun,kita juga jangan sembarangan
mengikuti suatu aliran.Ada baiknya,kita mempelajari terlebih dahulu.
Agama Islam V
2013

DAFTAR PUSTAKA

1. Taqiyyuddin Alawiy, Muhammad. 2007.Agama Islam V.


2. Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:
UI Press, 1986, hlm. 76.
3. Al-Maturidi, Kitab Syarh al-Akbar, Hyderabad: Dar’irah al-Ma’arif al-Nizamiah, 1321 H.
4. http://4referensiku.blogspot.com (Koleksi Makalah)
5. Rosihan Anwar, Abdul Rozak. 2003. Ilmu Kalam. Bandung : CV Pustaka Setia
6. Rozak, Abdul. 2009. Filsafat Ilmu Kalam (Study Ilmu Pemikiran Dalam Islam).
Surakarta: Annual Conference
7. Harun,Nasution. 2002. Teologi Islam; Aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan,
Jakarta; Universitas Indonesia Press.
8. Tim PWNU Jawa Timur.2006.Aswajah An-Nadliyah.Jawa Timur:Lajnah Ta’lif Wan
Nasyr (LTNI) NU Jawa Timur

Anda mungkin juga menyukai