Anda di halaman 1dari 37

Pemikiran Mu’tazilah dan Kontribusinya

Makalah disusun untuk memenuhi tugas individu

Mata Kuliah: Sejarah dan Pemikiran Islam

Dosen Pengampu: Dr. Muh. Idris, S.Ag. M.Ag

Disusun Oleh:

Dita Nabilla Hippy Pontoh

NIM: 1923024

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MANADO

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Dengan menyeebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
telah memberikan anugerah dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah dan Pemikiran Pendidikan
Islam yang berjudul “Pemikiran Mu’tazilah dan Kontribusinya dalam
Meningkatkan Kinerja” tepat pada waktunya. Sholawat serta salam saya panjatkan
kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam, kepada keluarganya, sahabat,
tabi’in, tabi’ut tabi’in yang dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari zaman
kegelapan ke zaman terang benderang seperti saat ini.

Dalam penulisan makalah ini saya menyadari bahwa terdapat kekurangan


dan masih jauh dari kesempurnaan baik dari cara penulisan maupun isinya. Untuk
itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar saya
dapat menyempurnakan makalah ini.

Akhir kata, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang


turut membantu dalam proses penulisan makalah ini sampai dengan selesai. Saya
berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
Aamiin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Manado, 8 Desember 2021

II
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..........................................................................................................III


BAB I .................................................................................................................... IV
PENDAHULUAN ................................................................................................ IV
A. Latar Belakang ........................................................................................... IV
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ V
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................ VI
BAB II ......................................................................................................................1
PEMBAHASAN ......................................................................................................1
A. Sejarah Lahirnya dan Pengertian Aliran Mu’tazilah ....................................1
B. Mazhab-Mazhab yang Timbul Sekitar “Khalqu Af’alil ‘Ibad”. ...................7
C. Tokoh –Tokoh Mu’tazilah dan Pemikiranya ..............................................16
D. Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah (Ushul Al Khamsah) .............................20
E. Peran Aliran Mu'tazilah Bagi Perkembangan Islam ...................................24
BAB III ..................................................................................................................28
PENUTUP ..............................................................................................................28
A. Kesimpulan .................................................................................................28
B. Kritik dan Saran ..........................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................29

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sudah kita ketahui bahwasanya agama Islam adalah agama yang rahmatan
lil ‘alamin, bersifat universal dan berlaku sampai hari kiamat. Berbwda dengan
agama-agama yang dating sebelum Islam seperti agama yang dibawa nabi Musa
‘alaihissalam yaitu Yahudi atau agama yang dibawa oleh Nabi Isa ‘alaihissalam
yaitu Nasrani. Agama-agama tersebut tidak bersifat universal dan hanya berlaku
ketika nabi atau rasul yang membawa agama tersebut masih hidup. Bersifat
universal di sini maksudnya adalah bahwa agama tersebut tidak dikhususkan bagi
suatu kaum, misalkan agama Yahudi yang dikhususkan untuk Bani Israil saja,
tetapi agama yang bersifat universal adalah agama tersebut diperuntukan bagi
seluruh umat manusia seperti agama Islam.
Agama Islam dibawa oleh Nabi Muhammad ibn Abdullah, Nabi terakhir
yang diutus Allah subhanahu wa ta’ala tepatnya di Kota Mekah Saudi Arabiah.
Seperti yang sudah dikatakan di atas bahwa agama Islam adalah agama yang
bersifat universal dan berlaku hingga hari kiamat maka Islam adalah agama yang
diperuntukan bagi segenap umat manusia dari mulai kedatangannya sampai
terjadinya hari kimat tersebut. Tetapi sayanganya, sang pembawa agama Islam –
Nabi Muhammad sholallahu alaihi wassalam tersebut hanya diberi umur 63 tahun.
Sehingga jika suatu ketika-di era modern timbul suatu permasalahan khususnya
dalam hal aqidah tidak bisa langsung menanyakannya kepada sang nabi, maka dari
itulah beberapa puluh tahun setelah kematian nabi Muhammad muncul satu persatu
aliran-aliran teologi Islam yang biasa disebut dengan ushuluddin atau ilmu kalam.
Di antara aliran ilmu kalam tersebut adalah aliran Mu’tazilah.1
Semasa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, ummat Islam
dalam keadaan aman dan tentram. Tidak pernah ada khilafiah atau kesulitan yang

1
https://www.scribd.com/document/406054586/ALIRAN-MUTAZILAH-docx, diakses
pada 9 November 2021 pukul 08.26

IV
tidak dapat diatasi, karena jika terjadi perselisihan langsung diselesaikan oleh
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam. Semua kegiatan ditujukan untuk
meninggikan kalimat Allah. Sampai suatu masa ketika Rasulullah wafat mulailah
ummat Islam menemui kesulitan kesulitan. Sebagaimana yang tertulis dalam
sejarah bahwa banyak sekali terjadi khilafah di kalangan ummat Islam seperti:
1. Khilafah sahabat sahabat di mana Rasulullah akan dimakamkan. Ada yang
mengatakan di Mekkah, ada yang mengatakan di Madinah dan ada yang
mengatakan di Baitul Maqdis.
2. Khilafah tentang pengangkatan pengganti Rasul yang akhirnya Abu Bakar
terpilih menjadi khalifah.
3. Khilafah terhadap sikap memerangi orang orang yang enggan membayar zakat.
4. Khilafah tentang penetapan Umar bin Khattab menjadi khalifah dan
permasalahan penggantian kepada khalifah Usma bin Affan yang akhirnya mati
terbunuh dan dilanjutkan dengan pengangkatan khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Sewaktu pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah banyak dari
kalangan sahabat yang tidak mau turut bai’at terhadap Ali akibatnya timbullah
perang Siffin (perang antara tentra Ali bin Abi Thalib dengan tentara
Mu’awiyah dari bani Umayyah yang menuntut balas atas kematian Usman bin
Afffan. Dan perang Jamal (antara tentra Ali dengan tentra Aisyah, Thalhah dan
Zubeir).2
Persoalan persoalan yang terjadi dalam lapangan politik akhirnya membawa
kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang
kafir dan siapa yang mukmin, siapa yang berdosa besar dan siapa yang masuk
surga atau neraka.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis merumuskan
masalah yang akan dibahas dalam makalah.

1. Apa Pengertian dan Sejarah Mu’tazilah?


2. Apa Mazhab-Mazhab Mu’tazilah?

2
M. Thaib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam (Jakarta: Widjaya, 1986) h. 83-84

V
3. Siapa Saja Tokoh-Tokoh Mu’tazilah?
4. Apa Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah?
5. Bagaimana Peran Mu’tazilah dalam Perkembangan Islam?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk Mengetahui Sejarah Lahirnya Mu’tazilah


2. Untuk Mengetahui Mazhab-Mazhab Mu’tazilah
3. Untuk Mengetahui Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
4. Untuk Mengetahui Ajaran Dasar Mu’tazilah
5. Untuk Mengetahui Peran Mu’tazilah dalam Perkembangan Islam

VI
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Lahirnya dan Pengertian Aliran Mu’tazilah


Sejarah munculnya aliran Mu‟tazilah muncul di kota Bashrah (Iraq) pada
abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah
Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya
adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang
bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal yang lahir di Madinah tahun
700 M, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim
berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan
alBashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal
kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru,
dan akhirnya golongan Mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga
kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya.
kemudian para petinggi mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak
tersebar di masa khalifah Al Ma’mun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka
benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam yang berorientasi pada akal dan
mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur‟an dan As Sunnah.3

Aliran ini cepat berkembang menjadi aliran yang membahas persoalan-


persoalan ilmu kalam lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada yang dibahas
aliran-aliran sebelumnya. Dalam pembahasan masalah banyak menggunakan akal,
sehingga terkenal dengan sebutan “Aliran Rasional Islam”.

Disamping alasan-alasan klasik tersebut, ada teori maju yang dikemukakan


oleh Ahmad Amin.4 Nama Mutazilah sudah ada ebelum adanya peristiwa Wasil
dengan Hasan al-Basri.dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara
dua posisi. Kalua itu, dipakai sebagai designatie terhadap golongan orang-orang

3
Harun Nasution, islam ditinjau dari berbagai aspeknya (Jakarta: UI Press, 1986). h. 36
4
Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Beirut: At-Thabba’ah Asyr, 1975). h. 290

1
yang tak mau turut ikut campur dalam pertakaian-pertakaian politik yang terjadi
di zaman Utsman ibn Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka menjauhi dari
golongan yang sering bertikai. Al-Tabari impamanya menyebut bahwa mereka
sewaktu Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai Gubernur dari Ali Ibn Abi Thalib,
ia menjumpai pertakaian di sana, satu golongan turut padanya dan satu golongan
lagi menjauhkan diri ke Khartiba (I’tazalat ila Khartiba). Dalam suratnya kepada
Khalifah, Qais menamai mereka “mutazilin”. Jadi, kata mutazilah dan I’tazalat
sudah dipakai kira-kira 100 tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-
Bashri, dalam arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertakaian politik
yang ada di zaman mereka.

Dengan demikian golongan Mutazilah pertama ini memiliki corak politik.5


Dan dalam pendapat Ahmad Amin, Mutazilah kedua yaitu golongan yang
ditimbulkan Wasil, juga memiliki corak politik, karena mereka sebagai kaum
Khawarij dan Murjiah juga membahas praktek-praktek politik yang dilakukan
Utsman, Ali, Muawiyah, dan sebagainya. Perbedaan antara keduanya ialah bahwa
Mutazilah kedua menambahkan persoalan-persoalanya teologi dan filsafat ke
dalam ajaran-ajaran dan pemikiran mereka.

Dari sisi geografis, Mutazilah dibagi menjadi dua, yaitu Mutazilah Basrah
dan Mutazilah Bagdad.6 Perbedaan antara keduanya pada umumnya disebabkan
karena situasi geografis dan kultural. Kota Basrah lebih dahulu mendirikan
daripada kota Bagdadad, sehingga lebih dahulu mengenal berbagai budaya dan
agama. Sementara itu, meskipun Bagdad merupakan kota yang belakang didirikan,
namun ia menjadi ibukota Abasiyyah. Tokoh-tokoh Mutazilah Basrah antar lain,
bin ‘Ata, Abu Huzail al-Allaf, al-Nazzham, dan al Jubba’i. sementara tokoh
Mutazilah di Bagdad antar lain, Bisyr ibn al-Mu’tamir, al-Khayyat, al-Qadhi Abd
al-Jabbar dan Zamakhsyari.7

5
Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 2008). h. 42.
6
Nasihun Amin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam (Semarang: Karya Abadi Jaya,
2000). h. 102.
7
Al Mas’udi, Muruj Adz Dzahab (Iran, Dar al-Hijrah, 1988). h. 190-191

2
Pada dasarnya, Mutazilah membangun kerangka pemikiranya secara
rasional dengan bertujuan untuk mensucikan Tuhan dari segala hal yang bisa
menodai keesaan dan kebaikanNya. Untuk itu, jika ada sebuah teks al-Quran atau
Sunnah yang dianggap bisa memberikan pengertian yang menodaai keesaan dan
kebaikanNya, mereka menakwilkan sehingga sesuai dengan apa yang ditunjukkan
dalil-dalil akal.

Hisyam ibn Amr al-Fuwah, seorang pemimpin lain dari cabang Bagdad
mengatakan bahwa surge dan neraka belum mempunyai wujud sekarang karena
masa memasuki surge atau neraka belum tiba. Dengan demikian, adanya surge dan
neraka sekarang tidak ada faedahnya.

Al khayat dalam membahas soal sifat, mengatakan bahwa kehendak


bukanlah sifat yang melekat pada zat Tuhan dan Tuhan berkehendak bukan
melalui DzatNya. Jika dikatakan Tuhan berkehendak berarti itu ia mengetahui,
berkuasa, dan tidak dipaksa melakukan perbuatan-perbuatanNya. Dan kalau
disebut Tuhan menghendaki perbuatan-perbuatan itu seuai dengan
pengetahuanNya. Dan jika selanjutnya disebut bahwa Tuhan menghendaki
perbuatan-perbuiatan hambaNya, maka yang dimaksud ialah Tuhan
memerintahkan supaya perbuatan-perbuatan itu dilakukan. Dan arti Tuhan
mendengar adalah Tuhan mengetahui apa yang didengar, demikian pula Tuhan
mengetahui apa yang dilihat. Inilah intopeksi al-Khayyat tentang peniadaan sifat
Tuhan. Beberapa pemimpin-pemimpin Mutazilah serta pendapat-pendapat mereka
mengenai persoalan-persoalan teologi. Seolah-olah dapat dirasakan, pemikiran-
pemikiran yang mereka keluarkan banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani.8

Menurut al-Khayyat, orang yang diakui menjadi pengikut atau penganut


Mutazilah, hanyalah orang yang mengakui danmenerima kelima dasar itu. Orang
yang menerima hanya sebagian dasardasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai
orang Mu’tazilah. Al Ushul al Khamsah sebagai dijelaskan oleh pemuka-pemuka
Mutazilah sendiri, diberi urutan pentingnya kedudukan tiap dasar tersebut.

8
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 53.

3
Golongan lain menamakan Mutazilah dengan golongan Mu’attilah karena
menafikan sifat-sifat Tuhan, tetapi mereka sendiri menamakan dirinya dengan ahli
keadilan dan keesaan (ahlu al adl wa al tauhid).

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah
atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.9
Mu’tazilah ecara etimologis bermakna orang-orang yang memisahkan diri.
Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok
Al-Hasan Al-Bashri. Dikisahkan, bahwa Wahil bin ‘Atha’ Al Ghazzal Al Farisi
berbeda pendapat dengan gurunya yang bernama Al-Hasan Al-Bashri. Salah
seorang imam di kalangan tabi’in. Asy-Syihristani berkata: Suatu hari datanglah
seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam
agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa
besar. Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat
mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan
kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar, dan dosa
tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka,
suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh
terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran,
mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan
ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip dalam beragama.10

Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut.


Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’
berpendapat: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia
juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak
mukmin dan juga tidak kafir. Tidak boleh tidak orang seperti dia harus diletakkan
dalam satu tempat yang terletak di antara dua tempat” Washil dengan pendapatnya
itu lalu memisahkan diri dan mengambil tempat lain yang jauh dari sudut masjid

9
Luwis Ma’luf, Al Munjid fi Al-Lughah (Beirut: Darul Kitab Al Arabi, 2002). h. 207
10
Rohidin, Mu’tazilah, Sejarah dan Perkembangannya, Ejournal IAIN Bengkulu Volume
7 No. 2. 2018. h, 2.

4
dia selama ini duduk bersama Al Hasan Al Bashri. Kemudia ia mulai member
penjelasan tentang pendapatnya kepada teman-teman yang duduk melingkar
sebagai pengikutnya. Sedangkan Al Hasan Al Bashri berkata kepada orang-orang
yang berada di sekitarnya, bahwa Washil telah mengucilkan atau memisahkan diri
dari kita (I’tazaala Washil). Sejak saat itu para musuh Wasshil menyebut dia
bersama para pengikutnya dengan Mu’tazilah.11 Pertanyaan itu pun akhirnya
dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah:
“Sesungguhnya pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang tidak sempurna
imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa
besarnya ia disebut fasiq yakni keimanannya menjadi tidak sempurna

Versi lain dikemukakan oleh Al Baghdadi ia mengatakan bahwa Washil


dan temannya Amr bin Ubaid diusir oleh Hasan Al Bashri dari majlisnya karena
ada pertikaian tentang masalah qadla dan orang yang berbuat dosa besar, lalu
keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Bashri dan berpendapat bahwa orang
yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan
ini dinamakan golongan Mu’tazilah.

Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa


Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan
majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah
mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri
dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah
kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah. Al-Mas’udi memberikan keterangan
tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan
peristiwa antara Washil dan Hasan Al Bashri. Mereka diberi nama Mu’tazilah,
katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan
bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah
bain al-manzilatain).12

11
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Kalam Mulia, 2001).
h. 261
12
Abdul Rozak, Anwar, Rosihoa, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009). h.78

5
Mu’tazilah adalah satu macam lagi diantara gerakan-gerakan yang timbul
pada masa Daulah Umawiyah. Gerakan ini mempunyai watak yang berbeda dari
gerakan-gerakan dalam bidang fikiran dan gerakan-gerakan revolusioner pada
masa Daulah Umawiyah lainnya seperti Syi’ah dan Khawarij. Di mana gerakan-
gerakan yang dilakukan oleh kaum Syi’ah untuk merebut kekuasaa pada masa
pemerintahan Bani Umawiyah itu adalah merupakan gerakan Syi’ah yang paling
kuat, paling berani dan paling kompak, sehingga akhirnya dapat merobohkan
Daulah Umayiah tersebut.13

Akan tetapi, walaupun Daulah Umawiyah itu roboh karena perjuangan


kaum Syi’ah untuk mendirikan Daulah ‘Alawiyah, namun hasil perjuangan
tersebut jatuh ke tangan Bani Abbas, dan tidak dapat dinikmati oleh kaum
‘Alawiyin, dan kaum Khawarij yang bergerak dan berjuang di medan siasat dan
tipudaya di mana dalam pertempuran Shiffin, Ali hamper saja mendapatkan
kemenangan. Akan tetapi Mu’awiyah setelah merasa dirinya akan mengalami
kekalahan di medan laga, ia lantas mengalihkan perjuangan ke medan lain.

Sedangkan Mu’tazilah adalah gerakan kegamaan semata-mata, tidak


pernah membentuk pasukan, dan tidak pernah menghunus pedang. Riwayat-
riwayat yang menyebutkan tentang ikut serta beberapa orang pemimpin kaum
Mu’tazilah, seperti ‘Amru ibnu ‘Ubaid dalam serangan yang dilancarkan oleh
Yazid ibnu Walid, dan yang menyebabkan gugurnya Al Walid ibnu Yazid,
tidaklah menyebabkan Mu’tazilah ini menjadi suatu golongan yang mempunyai
dasar-dasar kemiliteran, sebab pemberontakan terhadap Al Walid itu bukanlah
pemberontakan kaum Mu’tazilah, melainkan adalah suatu pemberontakan yang
berakar panjang yang berhubungan dengan kepribadian dan moral Khalifah. Maka
ikut sertanya beberapa orang Mu’tazilah dalam pemberontakan itu hanyalah secara
perseorangan, disebabkan prinsip-prinsip yang umum, yang menyebabkan rakyat
berontakkepada penguasa yang zalim, atau penguasa yang suka menurutkan hawa
nafsunya.

13
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 264

6
Walaupun gerakan Mu’tazilah ini merupakan gerakan keagamaan, dan
walaupun gerakan ini tidak pernah menghunus pedang, namun pada saat ia
mempunyai kekuatan ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan tekanan-
tekanan terhadap pihak-pihak yang menantangnya, seperti mengenai masalah
“Khalqul Qur’an. Pada waktu Khalifah Ma’mun menganjurkan kepada para ulama
untuk mengikuti pendapat kaum Mu’tazilah bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk.
Falsafah Ma’mun menghendaki supaya orang-orang yang mengatakan al Qur’an
itu bukan makhluk hendaklah dipandang sebagai orang fasik dan menentang
agama14.

Pemakaian kekerasan itu dipandang sebagai salah satu dari sikap


Mu’tazilah yang tercela. Dan adanya tekanan-tekanan itu menjadi sebab yang
terpenting bagi lenyapnya mazhab ini kemudian hari.

Itulah corak dari gerakan Mu’tazilah, suatu gerakan fikiran yang telah
banyak membahas prinsip-prinsip keagamaan, dan juga telah membahas beberapa
peristiwapolitik dengan pembahasan yang bersifat pemikiran. Senjatanya adalah
falsafah dan akal.

Tatkala khalifah Ma’mun menganut beberapa prinsip-prinsip Mu’tazilah


itu, ia lalu mempertahankan kepercayaannya dengan menggunakan kekuatan dan
tekanan-tekanan. Walaupun tindakan Ma’mun telah dianggap suatu aib dari kaum
Mu’tazilah, namun mereka itu dapat dibela, karena tindakan tersebut adalah
tindakan penguasa, bukan tindakan Mu’tazilah. Adapun tindakan kaum Mu’tazilah
sendiri, mereka tetap berada dalam gerakan fikiran dan falsafah, tanpa memanggul
senjata, ataupun menimbulkan kekacauan-kekacauan yang bersifat militer. `

B. Mazhab-Mazhab yang Timbul Sekitar “Khalqu Af’alil ‘Ibad”.


Berbicara tentang Mu’tazilah, berarti mengharuskan untuk menyebutkan
walaupun hanya secara ringkas mengenai golongan-golongan lain yang ada

14
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Al Husna Zikra, 1997). h. 374

7
hubungannya dengan masalah-masalah yang pernah menjadi perbincangan
Mu’tazilah. Misalnya golongan Jabariyah, Murijah dan Ahlus Sunnah.

Mazhab Mu’tazilah sangat erat hubungannyaa dengan mazhab Khawarij.


Atau katakanlah nahwa manhaj Khawarij itu telah membangkitkan suatu masalah
yang tidak hanya menyebabkan berdirinya mazhab Mu’tazilah saja, bahkan juga
berdirinya mazhab Jabariyah. Masalah tersebut ialah masalah “orang yang
melakukan dosa besar” telah kita sebutkan, bahwa kaum Azariqah yang merupakan
golongan Khawarij yang terbesar dan terpenting, menganut pendapat bahwa orang
yang melakukan dosa besar itu adalah kafir, yaitu kafir terhadap agama, yang
berarti: keluarg dari agama Islam, dan kekal dalam neraka. Pendapat ini telah
membangkitkan pembahasan ahli-ahli pikir sekitar hakekat iman, apakah
menunaikan keajiban-keajiban dan menjauhi dosa besar itu adalah bagian dari
iman, atau tidak. Dan bagaimanakah kedudukan orang yang beriman dengan Allah
dan Rasul, tetapi ia melalaikan penunaian kewajiban-kewajibannya atau melakukan
dosa-dosa besar? Hal ini termasuk dalam lingkungan masalah yang terkenal dalam
istilah kaum Muta’allimin dengan sebuatan “khalqu a’alil ‘ibad”.15

Dalam pembahasan ini muncul lah 3 macam pendapat yang membentuk


mazhab-mazhab Murjiah, Jabariayah, dan Mu’tazilah.

a. Pendapat golongan Mur’jiah

Iman adalah pengakuan tentang ke Maha Esa an Allah, dan kerasulan


Muhammad, yaitu pengakuan dengan hati. Barangsiapa mengakui hal itu sesuai
kepercayaan, maka dia adalah mu’min, apakah ia menunaikan kewajiban-
kewajibannya atau tidak, dan apakah ia menjauhi dosa-dosa besar atau ia
melakukannya.16 Salah seorang penyair mereka berkata:

“Aku tidak berpendapat bahwa sesuatu dosa dapat mengantarkan


seseorang kepada syirik, selama ia tetap bertauhid kepada Tuhan”.

15
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 376
16
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 376

8
Adapun mengenai orang yang lalai dalam menunaikan kewajiban atau ia
melakukan dosa besar maka sebagian dari ulam Mur’jiah berpendapat: tiadalah
mungkin menentukan hukum bagi orang itu di dunia ini; haruslah ditangguhkan
(diserahkan saja) kepada Tuhan untuk menentukan di hari kiamat. Timbulnya
istilah “Murjiah”, yaitu berasal dari kata “irja’ “yang berarti, “menangguhkan”.

Kaum Yunusiah yaitu pengikut-pengikut Yunus ibnu ‘Aun an Numairi


berpendepat bahwa “iman” itu adalah mengenai Allah, dan menundukan diri
kepadanya, serta meninggalkan rasa takaabbur terhadapnya, dan mencintainya
dengan sepenuh hati. Apabilah sifat-sifat itu telah terkumpul pada diri seseorang,
maka ia adalah mu’min. adapaun sifat-sifat lainnya, seperti “taat” Kaum Yunusiah
yaitu pengikut-pengikut Yunus ibnu ‘Aun an Numairi berpendepat bahwa “iman”
itu adalah mengenai Allah, dan menundukan diri kepadanya, serta meninggalkan
rasa takaabbur terhadapnya, dan mencintainya dengan sepenuh hati. Apabilah sifat-
sifat itu telah terkumpul pada diri seseorang, maka ia adalah mu’min. adapaun sifat-
sifat lainnya, seperti “taat” misalnya, bukannya termasuk iman, dan orang yang
meninggalkan ketaatan tidak akan disiksa karenanya, asal saja imannya itu benar-
benar murni dan keyakinannya itu betul-betul benar.17 Dari mazhab inilah timbul
istilah “Murjiah”, yang diambil dari kata “Arjaa”, yang berarti: “memberikan
harapan untuk mendapatkan kemaafan”. Dan berdasarkan pada itu pulalah mereka
berkata bahwa perbuatan maksiat itu tidaklah merusakkan iman, sebagaimana
ketaatan tiada pula bermanfaat jika disertai oleh kekafiran”. Juga diriwayatkan,
bahwa 'Ubaid al Muktaib pernah berkata bahwa Apabila seseorang hamba
meninggal dalam kepercayaan tauhid Nya, maka semua dosa dan kejahatan
kejahatan yang telah dilakukannya tidak akan memberikanmu mudharat
terhadapnya18.

Ghassan al-Kufi salah seorang dari pemimpin-pemimpin Murji'ah berkata:


"iman adalah mengenai Allah dan rasulnya, serta mengakui apa-apa yang telah

17
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 377
18
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 378

9
diturunkan Allah, dan yang dibawa oleh rasul-nya. Karenanya, iman itu tidak dapat
bertambah atau berkurang".

Pendapat ini bertentangan dengan pendapat ahli ahli hadis dan Sunah, Sebab
mereka ini berpendapat bahwa iman itu dapat bertambah dan berkurang lantaran
bertambah atau berkurangnya ketaatan titik Tuhan berfirman:

"Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatnya, Maka ayat-ayat itu


menambah iman mereka dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal" (Al-Anfal:
2)19

Apa apa yang dapat bertambah tentu dapat pula berkurang. Dan Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam pernah ditanya:"Dapatkah iman itu bertambah dan
berkurang?" Beliau menjawab: "Ya, iman itu dapat bertambah, sehingga
menyebabkan orang yang beriman itu dimasukkan ke dalam surga, dan ia juga dapat
berkurang, sehingga menyebabkan orang dimasukkan ke dalam neraka".

Abu Hanifah menyetujui pendapat Ghassan al-Kufi itu, dan beliau


mempunyai cara-cara untuk mentakwilkan dalil-dalil tersebut.20

b. Pendapat golongan Jabariyah

Perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia baik yang terpuji ataupun


yang tercela pada hakekatnya bukanlah hasil pekerjaannya sendiri, melainkan
hanyalah termasuk ciptaan Tuhan, yang dilaksanakanNya melalui tangan manusia.
Dengan demikian Maka manusia itu tiadalah mempunyai perbuatan dan tidak pula
mempunyai kodrat untuk berbuat titik sebab itu, orang mukmin tidak akan menjadi
kafir lantaran dosa-dosa besar yang dilakukannya, sebab Ia melakukannya semata-
mata karena terpaksa. Dia adalah laksana sehelai bulu yang terkatung-katung di
udara, bergerak kesana-sini menurut hembusan angin.

Salah satu dari ucapan Jaham Ibnu Shafwan pemimpin Jabariyah yang
kadang-kadang golongan ini disebut menurut namanya, yaitu: "Jahmiyyah" adalah

19
Al-Qur’an terjemahan surah Al-Anfal: 2
20
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 379

10
sebagai berikut: "manusia tidak mempunyai kodrat untuk berbuat sesuatu, dan ia
tidak mempunyai “kesanggupan." Dia hanya terpaksa dalam semua perbuatannya.
Dia tidak mempunyai kodrat dan ikhtiar, melainkan Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan-perbuatan pada dirinya, seperti ciptaan ciptaan Tuhan pada benda-benda
mati. Memang perbuatan-perbuatan itu dinisbahkan kepada orang tersebut, tetapi
itu hanyalah nisbah majazi, secara kiasan, Sama halnya kalau kita menisbahkan
sesuatu perbuatan kepada benda-benda mati, misalnya dikatakan: "pohon itu
berbuah”, atau" air mengalir "," batu bergerak "." Matahari terbit dan tenggelam ","
Langit Mendung dan menurunkan hujan ","bumi bergoncang dan menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain sebagainya. Pahala dan Siksa pun adalah paksaan,
sebagaimana halnya dengan perbuatan-perbuatan ". Jaham berkata: " apabila
paksaan itu telah tetap maka taklif adalah paksaan juga ". Berkata: "apabila paksaan
itu telah tetap maka taklif adalah paksaan juga".

Jahanam dan kawan-kawannya memperkuat pendapat mereka tentang


"paksaan" itu dengan mengemukakan ayat-ayat yang mereka pandang dapat
memperkuatnya, misalnya ialah firman Allah:

"Bahwasanya engkau (Hai Muhammad) tidaklah berkuasa untuk memberi


petunjuk kepada orang yang kau cintai, akan tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang-orang yang dikehendakinya, dan dia lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk " (QS. Al-Qashas: 56)21

Dan firman Tuhan:


"Dan Andai kata Tuhanmu menghendaki, niscaya berimanlah orang-orang
yang ada di bumi ini semuanya" (QS. Yunus: 99)22

Dan firman Tuhan:


"Allah telah mencapai hati dan pendengaran mereka titik, dan penglihatan
mereka ditutup (QS. Al-Baqarah: 7)23

21
Al-Qur’an terjemahan surah Al-Qashas: 56
22
Al-Qur’an terjemahan surah Yunus: 99
23
Al-Qur’an terejmahan surah Al-Baqarah: 7

11
Dan firmanNya lagi:

"Nasehat ku takkan bermanfaat lagi bagimu, jika aku mau memberimu


nasehat, kalau sekiranya Allah ingin menyesatkan kamu " (QS. Hud: 34)24

c. Pendapat Sebagian Terbesar Kaum muslimin

Bahagian terbesar kaum Muslimin menolak mazhab Jabariyah ini, karena


dapat menyebabkan orang menjadi malas dan lalai dan menghapuskan tanggung
jawab, dengan mengemukakan ayat-ayat yang terang Maksudnya yang dengan
ayat-ayat tersebut al-Qur’anul Karim menolak pendapat-pendapat yang dangkal
dan Naif itu. Ayat-ayat tersebut sebagai berikut:

Artinya" orang-orang yang musyrik itu akan berkata: " Andaikata Tuhan
menghendaki, misaya Kami tidak akan musyrik, dan tidak pula bapak bapak kami,
dan kami tidak akan mengharamkan apa-apa". Begitu pula orang-orang yang
sebelum mereka berbuat dusta, sehingga mereka merasakan siksaan kami.
Katakanlah:" Adakah kamu mempunyai keterangan yang bisa kamu tunjukkan
kepada kami? Kamu hanya menuruti sangkan sangkan saja, dan kamu hanya
berdusta". Katakanlah: "maka hanya Allah-lah yang mempunyai alasan yang kuat".
(QS. Al-An'am: 148 - 149)25

Dan firman Tuhan:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakkanlah sebagian rezeki yang


diberikan Allah kepadamu,” orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang
yang beriman, “Apakah pantas kami memberi makan kepada orang-orang yang jika
Allah menghendaki Dia akan memberinya makan? Kamu benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.” (QS. Yasin: 47)26

24
Al-Qur’an terjemahan surah Hud: 4
25
Al-Qur’an terjemahan surah Al-An’am: 148-149
26
Al-Qur’an terjemahan surah Yasin: 47

12
Dan FirmanNya lagi:
“Dan mereka berkata: "jikalau yang Maha Pengasih menghendaki, niscaya
kami tak akan menyembah mereka itu". Ingatlah, bahwa mereka itu tidak
mempunyai pengetahuan tentang hal itu mereka hanya berdusta". (QS. Az-Zukhruf:
20)27

Kiranya Imam Ja'far ash-Shadiq telah mengungkapkan dengan kalimat yang


paling indah tentang pendapat bagian terbesar kaum Muslimin dalam masalah ini,
ketika beliau berkata mengenai "iradah", sebagai berikut: "bahwasannya Allah
menghendaki sesuatu untuk kita dan Ia juga menghendaki sesuatu dari kita. Maka
apa apa yang dikehendakiNya untuk kita, Ia sembunyikan dari kita, dan apa apa
yang dikehendakiNya untuk kita, Ia Perlihatkan kepada kita. Lalu Mengapa kita
menyibukkan diri kita dengan apa-apa yang dikehendakiNya untuk kita dan
meninggalkan apa-apa yang dikehendaki Tuhan dari kita? Mengapa kita
menyibukkan diri dengan soal-soal bathiniyah dan melalaikan soal-soal zhahiriyah?
28

“Demikian pula ketika beliau berkata tentang "qadar”: ialah suatu hal yang
terletak antara dua hal lainnya. Ia bukanlah paksaan, dan bukan pula penyerahan
sepenuh-penuhnya".

d. Pendapat Golongan Mu'tazilah

"Manusia adalah berwenang untuk melakukan segala perbuatannya atas


kehendaknya sendiri. Sebab itu ia berhak untuk mendapatkan pahala atas kebaikan
kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya ia juga berhak untuk disiksa atas
kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya".

Untuk menguatkan pendapat-pendapatnya itu Mu'tazilah berdalih kepada


ayat-ayat Al-Qur’an antara lain ialah:

27
Al-Qur’an terjemahan surah Az-Zukhruf: 20
28
Elpianti Sahara Pakpahan, Pemikiran Mu’tazilah, Jurnal Pancabudi Volume II No. 02
Edisi Januari-Juni 2017. h, 54

13
“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya” (QS.
Al-Mudatsir: 38)29

“Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;


barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa
menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan
neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka
meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi air seperti besi yang mendidih
yang menghanguskan wajah. (Itulah) minuma yang paling buruk dan tempat
istirahat yang paling jelek.” (QS. Al-Kahfi: 29)30

“Sungguh, ini adalah peringatan. Barangsiapa menghendaki, niscaya dia


mengambil jalan (yang lurus) kepada Tuhannya.” (QS. Al-Muzzammil: 19)31

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya


sendiri dan barangsiapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya
sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(-Nya). “(QS.
Fushshilat: 46)32

"Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan
sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan
diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna." (QS. An-Najm:
39-41)33

“Dan barangsiapa berbuat dosa, maka sesungguhnya dia mengerjakannya


untuk (kesulitan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijak-sana.”
(QS. An-Nisa’: 111)34

Bila manusia itu bebas bertindak menurut kehendaknya sendiri, dan


karenanya dia bertanggung jawab penuh atas segala perbuatannya itu diberi pahala

29
Al-Qur’an terjemahan surah Al-Mudatsir: 38
30
Al-Qur’an terjemahan surah Al-Kahfi: 29
31
Al-Qur’an terjemahan surah Al-Muzzammil: 19
32
Al-Qur’an terjemahan surah Fuushshilat: 46
33
Al-Qur’an terjemahan surah An-Najm: 39-41
34
Al-Qur’an terjemahan surah A-n-Nisa’: 111

14
atas perbuatannya yang baik dan disiksa karena perbuatannya yang jelas maka
bagaimanakah kedudukan orang yang berbuat dosa besar menurut kaum
Mu'tazilah? Telah saya uraikan di atas mengenai pendapat Mu’tazilah tentang
orang berbuat dosa besar.

Suatu hal yang dapat kita tangkap ialah bahwa Washil tidak mau menunggu
jawaban dari Hasan ketika kepadanya diajukan pertanyaan tentang “orang yang
berbuat dosa besar” tersebut, lantaran Washil sudah tau jawaban apa yang hendak
diberikan oleh gurunya itu. Hasan sependapat dengan ahli-ahli hadits mengenai
masalah qadha’ dan qadar, yaitu Allah sendirilah yang menciptakan perbuatan-
perbuatan manusia, dan manusia sendiri hanyalah mempunyai ikhtiar dan
keinginan, dan inilah yang mereka sebut “Al Kasab” (usaha). Washil juga
mengetahui pendapat ahli hadits, bahwa perbuatan-pebuatan manusia itu bukanlah
merupakan bahagian dari iman. Dengan demikian Washil telah mengetahui bahwa
pendapat Hasan akan menundukkan orang yang bebruat dosa besar itu, hanya
sebagai “orang mu’min yang durhaka”. Itulah sebabnya Washil segera menjawab,
dan memaklumkan pendapatnya sendiri.35

Demikianlah timbulnya Mu’tazilah; yang pada permulaannya adalah


berhubungan dengan penentangan terhadap pendapat golongan Khawarij mengenai
masalah orang yang berbuat dosa besar, sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Akan tetapi, Mu'tazilah juga mempunyai pendapat pendapat lain selain dari
pembicaraan mengenai masalah tersebut. Dan tatkala Golongan ini berdiri sendiri
sepenuhnya, mulailah pemuka-pemuka nya memaklumkan dan menetapkan
pendapat-pendapat mereka. Ini terjadi pada permulaan abad yang kedua Hijriyah.
Dalam menetapkan prinsip-prinsipnya, kaum Mu'tazilah ini berpegang kepada akal.
Sebab itu mereka sangat mengutamakan rasio dan menempatkan pada tingkat yang
sangat tinggi. Pada masa-masa selanjutnya mereka bersandar kepada filsafat
terutama setelah timbul kebangkitan dan kemajuan dalam bidang ilmiah dalam
Alam Islami dan sesudah diterjemahkan filsafat dari berbagai bangsa ke dalam

35
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 389

15
bahasa Arab pada masa itu filsafat merupakan senjata yang ampuh bagi musuh-
musuh Islam untuk menyerangnya. Maka kaum mu'tazilah pun memakai filsafat itu
sebagai senjata mereka untuk mempertahankan Islam terhadap orang-orang yang
menyerang dan menantangnya.36

Mengenai sikap kaum Mu'tazilah dalam meniadakan sifat-sifat Tuhan, oleh As


Syahristani dikatakan sebagai berikut: "pada mulanya, masalah ini tiadalah begitu
matang. Washil Ibnu ‘Atha’ dalam masalah ini berpegang kepada pendapat yang
zhohir yaitu kesepakatan para ulama atas kemustahilan adanya dua Tuhan yang
bersifat qadim dan Azali. Washil berkata: "Barang siapa yang menetapkan ada
sesuatu makna dan ada sifat yang qadim bagi Tuhan, berarti ia telah menetapkan
ada dua Tuhan ". Dan setelah pengikut-pengikut Washil menelaah buku-buku
filsafat, akhirnya mereka berpendapat bahwa semua sifat-sifat Tuhan itu
dikembalikan kepada dua sifat yaitu: "KeadaanNya yang mengetahui dan
KeadaanNya kuasa". Kemudian mereka menetapkan bahwa kedua sifat tersebut
adalah merupakan sifat-sifat dzatiyah, yang keduanya itu adalah ungkapan bagi
Dzat yang qadim, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Jabbai, atau merupakan dua
keadaan, menurut Abu Hasyim. Sedang Abu Hasan Al Bashri adalah cenderung
untuk mengembalikan kedua sifat itu kepada satu sifat saja yaitu: ‘Alimiyah”
(KeadaanNya mengetahui) dan ini adalah persis sama dengan pendapat ahli-ahli
filsafat.37

C. Tokoh –Tokoh Mu’tazilah dan Pemikiranya


Tokoh-tokoh Mu’tazilah yang terkenal adalah:38

1. Wasil bin Atha

Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar
ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-

36
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 389-390
37
Abdul Majid, Sejarah Kebudayaan Islam (t.t: Pustaka, 1997). h. 182
38
https://www.bacaanmadani.com/2018/02/pengertian-mutazilah-tokoh-aliran.html,
diakses pada 9 November 2021 pukul 08.26

16
manzilah bain al-manzilatain, paham Qadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan
Gailan, dua tokoh aliran Qadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua
dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah, yaitu al-manzilah
bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.39

2. Abu Huzail al- ‘Allaf

Abu Huzail al- ‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini,
pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan
pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran
teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah).
Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak
rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedy
mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.

Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak


falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah
yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-
sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan
pengetahuan-Nya ini adalah Dzat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa
dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Dzat-Nya dan seterusnya.
Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim
selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat dalam arti sesuatu yang melekat di
luar zat Tuhan, berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada
kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal
kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk,
manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang
buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang

39
Rohidin, Mu’tazilah, Sejarah dan Perkembangannya, Ejournal IAIN
Bengkulu Volume 7 No. 2. 2018. h, 4

17
adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia
melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.40

3. Al-Jubba’I

Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.


Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa,
berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui
melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia
membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui
manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang
diketahui melalui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).

4. An-Nazzam

An-Nazzam: pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan


Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam
hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan
bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam
menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak
mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan
zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan
Tuhan jauh darikeadaan yang demikian.41 Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai
mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-Quran terletak pada kandungannya,
bukan pada uslūb atau gaya bahasa dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga member
penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang

40
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997). h.
87
41
Rohidin, Mu’tazilah, Sejarah dan Perkembangannya, Ejournal IAIN Bengkulu Volume
7 No. 2. 2018. h. 4

18
tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu
yang bersifat baru dan tidak kadim.

5. Al- Jahiz

Al- Jahiz: dalam tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai
paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum Mu’tazilah
disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan
manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada
pengaruh hukum alam.

6. Mu’ammar bin Abbad

Mu‟ammar bin Abbad: Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri Mu’tazilah


aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya
ini sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya
menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘Arad atau accidents (sesuatu yang
datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah
batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan
batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.42

7. Bisyr al-Mu’tamir

Bisyr al-Mu’tamir: Ajarannya yang penting menyangkut


pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum *mukalaf.
Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa
besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya
yang terdahulu.43

8. Abu Musa al-Mudrar

42
Rohidin, Mu’tazilah, Sejarah dan Perkembangannya, Ejournal IAIN Bengkulu Volume
7 No. 2. 2018. h, 5
43
Abdul Majid, Sejarah Kebudayaan Islam, h. 195

19
Abu Musa al-Mudrar: al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin Mu’tazilah
yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.
Menurut Syahristani, ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman
Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat
dengan mata kepala.

9. Hisyam bin Amr al-Fuwati

Hisyam bin Amr al-Fuwati: Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang


dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan
yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka
sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.44

D. Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah (Ushul Al Khamsah)


Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar “Tidak ada
seorang pun yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum ia
mengakui Al- Ushul Al- Khamsah (lima landasan pokok) yaitu Tauhid, Al – ‘Adl,
Al- Wa`du Wal Wai`id, Al- Manzilah Baina Manzilatain, dan Al Amr bi Al Ma’ruf
wa Al Nahi an Al Munkar.

1. At-Tauhid (ke-Esaan)

At-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran


Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini.
Namun bagi Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan
dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaannya. Untuk
memurnikan keesaan Tuhan, Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-
sifat.45 Konsep ini bermula dari founding father aliran ini, yakni Washil bin ‘Atho.
Ia mengingkari bahwa mengetahui, berkuasa, berkehendak, dan hidup adalah
termasuk esensi Allah. Menurutnya, jika sifat-sifat ini diakui sebagai kekal-azali,

44
https://www.scribd.com/document/406054586/ALIRAN-MUTAZILAH-docx, diakses
pada 9 November 2021 pukul 10.00
45
Zulhelmi, Epistemologi Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya Terhadap Perkembangan
Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal Raden Fatah No. 02 Th. XIV Edisi Desember 2013. h, 130

20
itu berarti terdapat “pluralitas yang kekal” dan berarti bahwa kepercayaan kepada
Allah adalah dusta belaka. Namun gagasan Washil ini tidak mudah diterima. Pada
umumnya Mu’tazilah mereduksi sifat-sifat Allah menjadi dua, yakni ilmu dan
kuasa, dan menamakan keduanya sebagai sifat-sifat esensial. Selanjutnya mereka
mereduksi lagi kedua sifat dasar ini menjadi satu saja, yakni keesaan.46

Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa Tuhan dapat


dilihat dengan mata kepala. Juga, keyakinan tidak ada satupun yang dapat
menyamai Tuhan, begitupula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya.
Tegasnya Mu’tazilah menolak antropomorfisme. Penolakan terhadap paham
antropomorfistik bukan semat-mata atas pertimbanagan akal, melainkan memiliki
rujukan yang yang sangat kuat di dalam Al Qur’an yang berbunyi (artinya) : “tidak
ada satupun yang menyamainya. (Q.S. Assyura: 9 ).47

2. Al – ‘Adl (keadilan Tuhan)

Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha
Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan
kesempurnaan, karena Tuhan Maha sempurna dia pasti adil. Faham ini bertujuan
ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia.
Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik dan terbaik. Begitupula
Tuhan itu adil bila tidak melanggar janjinya.

Dengan demikian Tuhan terikat dengan janjinya. Merekalah golongan yang


mensucikan Allah daripada pendapat lawannya yang mengatakan: bahwa Allah
telah mentaqdirkan seseorang itu berbuat maksiat, lalu mereka di azab Allah,
sedang Mu’tazilah berpendapat, bahwa manusia adalah merdeka dalam segala
perbuatan dan bebas bertindak, sebab itu mereka di azab atas perbuatan dan
tindakannya. Inilah yang mereka maksud keadilan itu.48
Ajaran tentang keadilan berkaitan dengan beberapa hal, antara lain:

46
Sharif, Aliran-aliran Filsafat Islam, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2004), h. 21
47
Abdul Rozak, Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, h. 82
48
M. Thahir Taib, Abd Mu’in. Ilmu Kalam, (Jakarta: Penerbit Widjaya. 1986), h.103

21
a. Perbuatan manusia. Manusia menurut Mu’tazilah melakukan dan menciptakan
perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan. Manusia
benar-benar bebas untuk menentukan pilihannya. Tuhan hanya menyuruh dan
menghendaki yang baik. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan
keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan
balasan perbuatannya di dunia.
b. Berbuat baik dan terbaik. Maksudnya adalah kewajiaban Tuhan untuk berbuat
baik, bahkan terbaik bagimanusia. Tuhan tidak mungkin jahat atau aniaya
karena itu akan menimbulkan persepsi bahwa Tuhan tidak maha sempurna.
Bahkan menurut Annazam, salah satu tokoh Mu’tazilah konsep ini berkaiatan
dengan kebijaksanaaan, kemurahan dan kepengasihan Tuhan.
c. Mengutus Rasul. Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiaban
Tuhan karena alasan berikut ini:
• Tuhan wajib berbuat baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud
kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka.
• Al qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk belas kasih kepada
manusia. Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul.
• Tujuan di ciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepadaNya dengan
jalan mengutus rasul.
3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan ancaman)49

Ajaran ini berisi tentang janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil tidak
akan melanggar janjinya dan perbuatan Tuhan terikat dan di batasi oleh janjinya
sendiri. Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang
bagi Tuhan selain menunaikan janjinya yaitu member pahala orang yang ta’at dan
menyiksa orang yang berbuat maksiat, ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong
manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.

Kaum Mu’tazilah sepaakat mengatakan bahwa seorang Mu’min apabila


telah keluar dari dunia ini dalam keadaan taat dan taubat, ia berhak untuk

49
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 394

22
mendapatkan pahala dan ‘iwadl. Juga berhak mendapatkan tafaddhul (karunia
Tuhan) yaitu suatu pengertian lain dibaalik pahala. Dan apabila seorang Mu’min
keluar dari duni ini tanpa bertaubat lebih dahulu dari sessuatu dosa besar yang telah
diperbuatnya, maka ia ditempatkan daalam neraka selama-lamanya; akan tetapi
siksa yang diterimanya lebih ringan dari pada siksa orang yang kafir. Inilah yang
mereka sebut janji dan ancaman.50
Memang hal ini tidak keluar dari ajaran Islam, namun menurut saya, pahala,
dosa, surge, dan neraka adalah hak mutlak Allah Subhahu wa Ta’ala.
4. Al-Manzilah bain Al-Manzilatain (tempat diantara kedua tempat)

Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah.


Ajaran ini terkenal dengan status orang mu’min yang melakukan dosa besar, seperti
dalam sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik,
sedangkan menurut pandangan Mu’tazilah orang Islam yang mengerjakan dosa
besar yang sampai matinya belum taubat, orang itu di hukumi tidak kafir dan tidak
pula mu’min, tetapi diantara keduanya. Mereka itu dinamakan orang fasiq, jadi
mereka di tempatkan di suatu tempat diantara keduanya.

5. Al Amr bi Al Ma’ruf wa Al Nahi an Al Munkar (Menyuruh kebaikan


dan melarang keburukan)

Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini


merupakan konsekuensi logis dari keimananan seseorang. Pengakuan keimanan
harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang
berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Perbedaan mazhab Mu’tazilah
dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tata pelaksanaanya.
Menurut Mu’tazilah jika memang diperlukan kekerasan dapat ditempuh untuk
mewujudkan ajaran tersebut.51

50
Raji Abdullah, M. Sufyan, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri
Ajarannya (Jakarta: Pustaka Al-Riyadl, 2006). h, 56
51
Raji Abdullah, M. Sufyan, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri
Ajarannya, h. 57

23
Kaum Mu’tazilah sepakat mengatakan bahwa akal manusia sanggup
membedakan yang baik dan yang buruk, sebab sifat-sifat dari yang baik dan yang
buruk itu dapat dikenal. Dan manusia berkewajiban memilih yang baik dan
menjauhi yang buruk. Untuk ini, tak pelu lah Tuhan mengutus Rasul-Nya. Apabila
seseorang tidak mau berusaha untuk mngetahui yang baik dan yang buruk itu ia
akan mendapat siksaan dari Tuhan. Begitu pula apabila ia tahu akan yang baik tetapi
tidak diikutinya, atau ia tahu mana yang buruk tetapi tidak dihindarinya.
Adapun mengutus Rasul, itu adalah merupakan pertolongan tambahan dari
Tuhan, “agar orang-orang yang binasa itu, binasanya adalah dengan alasan, dan
orang yang hidup itu, hidupnya adalah dengan alasan pula.52

E. Peran Aliran Mu'tazilah Bagi Perkembangan Islam


Mu'tazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam, yang menggunakan
pemikiran rasional untuk menjelaskan masalah ketuhanan. Secara epistemologi
pemikiran rasional Mu'tazilah terpengaruh oleh pemikiran filsafat. Mu'tazilah
menggunakan metode berfikir filsafat untuk menjelaskan dan menetapkan persolan
Ketuhanan. Mu'tazilah berpandangan bahwa Tuhan telah memberikan
kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia dalam menentukan kehendak dan
perbuatannya, karena Tuhan tidak absolute dalam kehendak-Nya, dan Tuhan
mempunyai kewajiban berlaku adil, berkewajiban menempati janji, berkewajiban
memberi rizki.53
Pemikiran mu'tazilah merupakan pemikiran rasional, munculnya pemikiran
rasional ini, lahirnya pemikiran rasional ini, untuk menjelaskan Islam itu secara
mendalam, luas dan benar kepada umat Islam secara khusus dan umat manusia
secara uumum. Dalam menjelaskan ajaran Islam ini mu'tazilah menggunakan al-
Qur'an dengan menggunakan pemikiran logis dan filosofi. Dalam pemikirannya
mu'tazilah menenpatkan Allah sebagai sumber awal, dan al-qur'a sebagai sumber
utama. Manusia memiliki kebebasan terhadap apa yang diinginkannya, tetapi

52
A. Nasir, Sahilun, Pengantar Ilmu Tauhid (Jakarta: Rajawali, 1991). h. 38
53
https://www.kompasiana.com/iissilvia0134/6019e1af8ede485fa059ff62/peran-aliran-
mu-tazilah-bagi-perkembangan-islam?page=all#section1 diakses pada 9 Novembe pukul 10.00

24
manusia harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perbuatannya, sesuai
dengan ketentuan yang telah disampaiakan Allah melalui kitab sucinya.
Pemikiran rasional mu'tazilah ini, mempunyai pengaruh terhadap
perkembangan pemikiran Islam di Indonesia terutama dalam gerakan
Muhammadiyah dan organisasi modernisme Islam lainnya, menekankan rasional
dalam usaha menghilangkan praktek-praktek keagamaan tradisional, dan
menegaskan Islam tidak sekedar mengizinkan, tetapi membutuhkan kemodernan.
Tentang wacana kemodrenan dipertegas dalam istilah teknologi dan pengetahuan.
Pengaruh pemikiran mu'tazilah tampak pada pemikiran tokoh intelektual
seperti Nurcholis Madjid yang dikenal dengan Pembahruan pemikiran
Islamnya. Sumbangan yang paling penting dari Nurcholis Madjid adalah
pengembangan wacana Islam Indonesia. Usaha beliau untuk memisahkan
modernisme dari skriptualisme. Nurcholis Madjid memberikan penilaian yang
lebih realistis tentang Muslim yang harus mendekati kemoderenan. Nurcholis
Madjid menerangkan bahwa kebutuhan terhadap pembaharuan pemikiran lebih
mendesak ketimbang kebutuhan untuk mempertahankan kesepakatan intelektual
umat. Ia menghibau untuk mengakhiri perdebatan antar aliran dan beralih untuk
memperjuangkan sebuah metode penalaran.54
Dalam hubungannya dengan perbuatan manusia, kehendak mutlak Tuhan
jadi terbatas karena kebebasan itu telah diberikan kepada manusia dalam
menentukan kemauan dan kehendaknya. Menurut mu'tazilah posisi manusia dalam
tatanan alam semesta memiliki pandangan tersendiri. Manusia harus berhubngan
dengan alam, dan tidak dapat menghindarkan diri dari ketentuan-ketentuan yang
berlaku berdasarkan hukum alamiah.
Golongan Mu'tazilah, memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam
melalui dialogis filosofis dan membantah alasan-alasan orang yang memusuhi
Islam melaui argumentasi logis.55 Orang Islam tidak akan bisa menghadapi lawan-
lawannya, jika mereka tidak mengetahui pendapat-pendapat lawannya. Akhirnya

54
Zulhelmi, Epistemologi Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya Terhadap Perkembangan
Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal Raden Fatah No. 02 Th. XIV Edisi Desember 2013. h, 133
55
Nasihun Amin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, h. 113

25
wilayah Islam menjadi arena perdebatan bermacam-macam pendapat, hal ini
mempengaruhi masing-masing pihak, diantaranya menggunakan argumentasi
rasional dalam menjelaskan dan mempertahankan pendapat mereka. Sebagian umat
Islam mempelajari metoda-metoda filsafat Yunani untuk digunakan dalam
menjelaskan dan mempertahankan ajaran Islam, diantaranya adalah golongan
mu'tazilah.
Pada awalnya Mu'tazilah merupakan aliran teologi yang hanya dianut oleh
masyarakat biasa. Tapi kemudian teologi yang bercorak rasional dan liberal ini
menarik perhatian kalangan intelektual dan juga lingkungan pemerintah kerajaan
Abbasiyah. Melihat hal demikian, khalifah Al-Makmun (813-833 M) putera Harun
al-Rasyid (766-809 M), pada tahun 827 M menjadikan teologi Mu'tazilah sebagai
mazhab resmi Negara. Sejak itu resmilah aliran Mu'tazilah menjadi satu-satunya
aliran teologi yang boleh dianut oleh umat Islam dalam wilayah kekuasaan Dinasti
Abbasiyah. Dengan mendapat pengakuan resmi dari pemerintah, maka otomatis
aliran ini mendapat dukungan sekaligus perlindungan dari penguasa waktu itu.
Selanjutnya aliran ini pun dengan leluasa dan berani menyebarkan paham-
pahamnya secara terbuka kepada public
Penyebaran tersebut mereka lakukan mulai cara lemah lembut sampai
pemaksaan dan kekerasan. Puncak kekerasan dan pemaksaan itu berkenaan dengan
paham "Al-Quran makhluk". Masalah ini sampai menimbulkan peristiwa al-
Mihnah yaitu pemeriksaan terhadap para ulama ahli Hadits dan ahli fikih oleh
Khalifah Al-Makmun pada Dinasti Abbasiyah. Mula-mula Khalifah Al-Makmun
mengirimkan surat kepada Ishaq ibn Ibrahim (gubernur Bagdad) agar
memerintahkan kepada para pejabat untuk mengakui paham bahwa Al-Qur'an
makhluk. Ada tiga langkah yang harus diambil, pertama memberhentikan pejabat-
pejabat yang tidak mau mengakui kemakhlukan Al-Quran. Kedua memerintahkan
untuk melakukan pemeriksaan terhadap para ulama ahli fikih dan ahli Hadits serta
yang terkait dengan urusan fatwa tentang makhluk tidaknya Al-Quran.56

56
Mubarok, Jaih, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004). h.
54

26
Aliran Mu'tazilah berpendirian bahwa Allah tidak memiliki sifat, yang ada
hanyalah keesaan Zat-Nya. Jadi keesaan Allah tidak terbagi dan tidak punya sifat.
Esa dalam seluruh perbuatan-Nya tanpa ada sekutu. Tidak ada yang azali kecuali
zat-Nya, karena mustahil ada dua yang azali. Pendirian aliran Mu'tazilah
meniadakan seluruh sifat Allah itu bukanlah bermakna menolaknya secara mutlak,
akan tetapi bertindak melakukan penafsiran yang diterima oleh akal, sejalan dengan
asas keesaan Allah. Harus dipahami bahwa Allah itu Maha Tahu dengan ilmu, yang
ilmu itu adalah Dia. Allah itu Maha Kuasa dengan qudrat, yang qudrat itu adalah
Dia. Allah itu Maha Hidup dengan hayat, yang hayat itu adalah Dia. Maka ilmu,
qudrat dan hayat itu adalah diri zat-Nya. Pada saat diungkapkan dengan Yang Maha
Tahu, maka dipastikan ilmu bagi Allah, yang ilmu itu adalah zat-Nya, dan
meniadakan ketidak-tahuan pada zat-Nya. Pada saat diungkapkan dengan Yang
Maha Kuasa, maka dipastikan qudrat bagi Allah, yang qudrat adalah zat-Nya, dan
meniadakan tak kuasa pada zat-Nya, demikian seterusnya.57
Pada dasarnya aliran Mu'tazilah menginginkan kemurnian aqidah Islam dan
terhindar dari unsur-unsur syirik, sehingga mereka berpendapat bahwa sifat-sifat
Tuhan itu tidak ada, yang ada hanya zat Tuhan. Dan segala apa yang disebut dengan
sifat adalah zat Allah sendiri. Manusia bebas melakukan apa saja dan akan diberi
ganjaran sesuai dengan perbuatannya. Perbuatan manusia tidak didikte oleh Tuhan.
Tuhan hanya memberi aturan mana perbuatan baik dan perbuatan buruk dan
manusia bebas memilihnya. Dengan demikian ganjaran surga atau neraka
tergantung kepada perbuatan manusia itu sendiri. Akal memiliki peran yang sangat
penting bagi manusia. Dengan akalnya manusia seharusnya dapat mengetahui
tentang Tuhan meskipun wahyu belum ada. Wahyu hanya dibutuhkan untuk
mengetahui cara memuja Allah dan menyembah-Nya. Terdapat dugaan kuat,
pendapat Mu'tazilah yang sangat mementingkan rasionalitas adalah karena adanya
persentuhan dengan filsafat Yunani. Hal ini dimungkinkan karena daerah Islam
sangat luas. Hanya saja hal ini perlu dibuktikan lagi.58

57
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h, 89
58
Mubarok, Jaih, Sejarah Peradaban Islam, h. 56

27
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Mu’tazilah berasal dari kata Bahasa Arab yaitu I’tazala yang artinya
“meninggalkan” atau “menjauhkan diri”. Mu’tazilah adalaha salah satu aliran
teologi dalam agama Islam. Kelahiran Mutazilah oleh lawan-lawanya, biasanya
dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqoh gurunya yaitu Hasan Al
Bashri karena perbedaan status orang Islam dalam melakukan dosa besar. Diantara
dokrin aliran Mutazilah yang sering muncul oleh mereka mengenai lima prinsip
pokok yang disebut al-ushul al-khamsah yait: (1) Tauhid (2) Keadilan Tuhan (3)
Al-wa’du wal wa’id (janji dan ancaman) (4) Manzilah bainal manzilatain (tempat
antara dua tempat) (5) Amar ma’ruf dan nahi munkar (perintah berbuat baik dan
larangan berbuat jahat).

Ungkapan pada ushulul khamsah sebagai pokok ajaran Mu’tazilah tidaklah


menyimpang atau keluar dari ajaran Islam. Hanya saja penulis tidak sepaham
mengenai pokok ajaran yang keempat, yaitu manzila bain al-manzilatain satu
tempat diantara dua tempat) yang diperuntukkan bagi mukmin yang melakukan
dosa besar. Menurut penulis di akhirat nanti hanya ada dua tempat yaitu surga dan
neraka maka mukmin yang berbuat dosa besar, ia ditempatkan di neraka dan setelah
ia ganjaran dari apa yang ia lakukan maka ia dimasukkan ke dalam surga dan kekal
selamanya. Namun menurut saya pun surge dan neraka adalah hak prerogatif Allah
Subhanahu wa ta’ala.

B. Saran
Penulis menyadari betul bahwa dalam makalah ini masih terdapat
kekurangandan masih jauh dari kata sempurna. Sekiranya masih terdapat kesalahan
dalam makalah ini baik isi maupun penulisan yang masih terdapat banyak typo,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat
menambah pengetahuan pembaca, terkhusus mengenai aliran teologi mu’tazilah.

28
DAFTAR PUSTAKA
A. Nasir, Sahilun. Pengantar Ilmu Tauhid. Jakarta: Rajawali. 1991.

Abd Mu’in M, Thaib Thahir. Ilmu Kalam. Jakarta: Widya. 1986.

Al Mas’udi. Muruj Adz Dzahab. Jilid 2. Iran: Dar al-Hijrah. 1988.

Al Qur’an terjemahan.

Amin, Nasihun. Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam. Semarang: Karya Abadi


Jaya. 2000.

Anwar Rosihan, Abdul Rozak. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2009.

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam.


Semarang: Pustaka Rizki Putra. 1999.

Dahlan, Abdul Aziz. Sejarah pemikiran dalam Islam. Bagian I. Jakarta: Beunebi
Cipta. 1987.

Hanafi, Ahmad. Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang. 1993.

Hasan, Ibrahim Hasan. Sejarah Kebudayaan Islam 2. Cet. 1. Jakarta: Kalam Mulia.
2001.

Ma’luf, Luwis. Al Munjid fi Al-Lughah. Beirut: Darul Kitab Al Arabi. 2002.

Majid, Abdul. Sejarah Kebudayaan Islam. t.t: Pustaka. 1997.

Matondang Ali Ya’kub. Pemikiran Kalam Mu’tazilah. Medan: Jabal Rahmat. 1996.

Mubarok, Jaih. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004.

Muhammad, Ahmad. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2000.

Munir, Ghazali. Ilmu Kalam, Aliran-Aliran, dan Pemikiran. Semarang: Rasail


Media Group. 2010.

29
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press. 1986.

………………… Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press. 1986.

Raji Abdullah, M. Sufyan. Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri


Ajarannya. Jakarta: Pustaka Al-Riyadl. 2006.
Rozak Abdul, dkk. Ilmu Kalam. Cet. Iv. Bandung: CV. Pustaka Setia 2009.

Sharif. Aliran-aliran Filsafat Islam. Bandung: Nuansa Cendekia. 2004.

Subhi, Ahmad Mahmud. Fi Ilmil Kalam. Kairo: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyah. 1985.

Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid 2. Jakarta: PT. Al Husna Zikra.
2000.

Thahir Taib, Abd.Mu‟in. Ilmu Kalam. Jakarta: Widjaya. 1986.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
1997.
Elpianti, Sahara Pakpahan, Pemikiran Mu’tazilah, Jurnal Pancabudi Volume II No.
02 Edisi Januari-Juni 2017.
Rohidin, Mu’tazilah, Sejarah dan Perkembangannya, Ejournal IAIN Bengkulu
Volume 7 No. 2. 2018.
Zulhelmi, Epistemologi Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya Terhadap
Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal Raden Fatah No. 02
Th. XIV Edisi Desember 2013.
https://www.scribd.com/document/406054586/ALIRAN-MUTAZILAH-docx

https://www.bacaanmadani.com/2018/02/pengertian-mutazilah-tokoh-aliran.html

https://www.kompasiana.com/iissilvia0134/6019e1af8ede485fa059ff62/peran-aliran-mu-
tazilah-bagi-perkembangan-islam?page=all#section1

30
BIODATA DIRI MAHASISWA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) MANADO JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Nama Lengkap : Dita Nabila Hippy Pontoh

Tempat/Tgl Lahir : (WNI) Manado, 04 – Juli – 2001

Agama : Islam

Hobby : Memasak

Gol. Darah :O

Alamat : Kec. Malalayang, Kleak, Lingkungan VI, Kota

Manado, Sulawesi Utara, Indonesia


Riwayat Pendidikan
SD : Sd Negeri 70 Manado, (Jl. Kampus, Kleak, Kec.
Malalayang, Kota Manado, Sulawesi Utara)
SMP : Smp Negeri 04 Manado (Jl. Tonsawang, Karombasan
Utara, Kec. Wanea, Kota Manado, Sulawesi Utara)
SMA : Binsus Public High School 9 – Manado (SMA Negeri
09), (Jl. Jusuf Hasiru, Kleak, Kec. Malalayang, Kota
Manado, Sulawesi Utara)
Status : Mahasiswa
Prodi/Jurusan : Pendidikan Agama Islam
NIM : 1923024
Fakultas : Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan
Moto Hidup : “Diam Bermakna, Bicara Bijaksana”
Alamat Email : ditanabilla2001@gmail.com

31

Anda mungkin juga menyukai