Disusun Oleh:
NIM: 1923024
2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyeebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
telah memberikan anugerah dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah dan Pemikiran Pendidikan
Islam yang berjudul “Pemikiran Mu’tazilah dan Kontribusinya dalam
Meningkatkan Kinerja” tepat pada waktunya. Sholawat serta salam saya panjatkan
kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam, kepada keluarganya, sahabat,
tabi’in, tabi’ut tabi’in yang dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari zaman
kegelapan ke zaman terang benderang seperti saat ini.
II
DAFTAR ISI
III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah kita ketahui bahwasanya agama Islam adalah agama yang rahmatan
lil ‘alamin, bersifat universal dan berlaku sampai hari kiamat. Berbwda dengan
agama-agama yang dating sebelum Islam seperti agama yang dibawa nabi Musa
‘alaihissalam yaitu Yahudi atau agama yang dibawa oleh Nabi Isa ‘alaihissalam
yaitu Nasrani. Agama-agama tersebut tidak bersifat universal dan hanya berlaku
ketika nabi atau rasul yang membawa agama tersebut masih hidup. Bersifat
universal di sini maksudnya adalah bahwa agama tersebut tidak dikhususkan bagi
suatu kaum, misalkan agama Yahudi yang dikhususkan untuk Bani Israil saja,
tetapi agama yang bersifat universal adalah agama tersebut diperuntukan bagi
seluruh umat manusia seperti agama Islam.
Agama Islam dibawa oleh Nabi Muhammad ibn Abdullah, Nabi terakhir
yang diutus Allah subhanahu wa ta’ala tepatnya di Kota Mekah Saudi Arabiah.
Seperti yang sudah dikatakan di atas bahwa agama Islam adalah agama yang
bersifat universal dan berlaku hingga hari kiamat maka Islam adalah agama yang
diperuntukan bagi segenap umat manusia dari mulai kedatangannya sampai
terjadinya hari kimat tersebut. Tetapi sayanganya, sang pembawa agama Islam –
Nabi Muhammad sholallahu alaihi wassalam tersebut hanya diberi umur 63 tahun.
Sehingga jika suatu ketika-di era modern timbul suatu permasalahan khususnya
dalam hal aqidah tidak bisa langsung menanyakannya kepada sang nabi, maka dari
itulah beberapa puluh tahun setelah kematian nabi Muhammad muncul satu persatu
aliran-aliran teologi Islam yang biasa disebut dengan ushuluddin atau ilmu kalam.
Di antara aliran ilmu kalam tersebut adalah aliran Mu’tazilah.1
Semasa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, ummat Islam
dalam keadaan aman dan tentram. Tidak pernah ada khilafiah atau kesulitan yang
1
https://www.scribd.com/document/406054586/ALIRAN-MUTAZILAH-docx, diakses
pada 9 November 2021 pukul 08.26
IV
tidak dapat diatasi, karena jika terjadi perselisihan langsung diselesaikan oleh
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam. Semua kegiatan ditujukan untuk
meninggikan kalimat Allah. Sampai suatu masa ketika Rasulullah wafat mulailah
ummat Islam menemui kesulitan kesulitan. Sebagaimana yang tertulis dalam
sejarah bahwa banyak sekali terjadi khilafah di kalangan ummat Islam seperti:
1. Khilafah sahabat sahabat di mana Rasulullah akan dimakamkan. Ada yang
mengatakan di Mekkah, ada yang mengatakan di Madinah dan ada yang
mengatakan di Baitul Maqdis.
2. Khilafah tentang pengangkatan pengganti Rasul yang akhirnya Abu Bakar
terpilih menjadi khalifah.
3. Khilafah terhadap sikap memerangi orang orang yang enggan membayar zakat.
4. Khilafah tentang penetapan Umar bin Khattab menjadi khalifah dan
permasalahan penggantian kepada khalifah Usma bin Affan yang akhirnya mati
terbunuh dan dilanjutkan dengan pengangkatan khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Sewaktu pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah banyak dari
kalangan sahabat yang tidak mau turut bai’at terhadap Ali akibatnya timbullah
perang Siffin (perang antara tentra Ali bin Abi Thalib dengan tentara
Mu’awiyah dari bani Umayyah yang menuntut balas atas kematian Usman bin
Afffan. Dan perang Jamal (antara tentra Ali dengan tentra Aisyah, Thalhah dan
Zubeir).2
Persoalan persoalan yang terjadi dalam lapangan politik akhirnya membawa
kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang
kafir dan siapa yang mukmin, siapa yang berdosa besar dan siapa yang masuk
surga atau neraka.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis merumuskan
masalah yang akan dibahas dalam makalah.
2
M. Thaib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam (Jakarta: Widjaya, 1986) h. 83-84
V
3. Siapa Saja Tokoh-Tokoh Mu’tazilah?
4. Apa Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah?
5. Bagaimana Peran Mu’tazilah dalam Perkembangan Islam?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
VI
BAB II
PEMBAHASAN
3
Harun Nasution, islam ditinjau dari berbagai aspeknya (Jakarta: UI Press, 1986). h. 36
4
Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Beirut: At-Thabba’ah Asyr, 1975). h. 290
1
yang tak mau turut ikut campur dalam pertakaian-pertakaian politik yang terjadi
di zaman Utsman ibn Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka menjauhi dari
golongan yang sering bertikai. Al-Tabari impamanya menyebut bahwa mereka
sewaktu Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai Gubernur dari Ali Ibn Abi Thalib,
ia menjumpai pertakaian di sana, satu golongan turut padanya dan satu golongan
lagi menjauhkan diri ke Khartiba (I’tazalat ila Khartiba). Dalam suratnya kepada
Khalifah, Qais menamai mereka “mutazilin”. Jadi, kata mutazilah dan I’tazalat
sudah dipakai kira-kira 100 tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-
Bashri, dalam arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertakaian politik
yang ada di zaman mereka.
Dari sisi geografis, Mutazilah dibagi menjadi dua, yaitu Mutazilah Basrah
dan Mutazilah Bagdad.6 Perbedaan antara keduanya pada umumnya disebabkan
karena situasi geografis dan kultural. Kota Basrah lebih dahulu mendirikan
daripada kota Bagdadad, sehingga lebih dahulu mengenal berbagai budaya dan
agama. Sementara itu, meskipun Bagdad merupakan kota yang belakang didirikan,
namun ia menjadi ibukota Abasiyyah. Tokoh-tokoh Mutazilah Basrah antar lain,
bin ‘Ata, Abu Huzail al-Allaf, al-Nazzham, dan al Jubba’i. sementara tokoh
Mutazilah di Bagdad antar lain, Bisyr ibn al-Mu’tamir, al-Khayyat, al-Qadhi Abd
al-Jabbar dan Zamakhsyari.7
5
Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 2008). h. 42.
6
Nasihun Amin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam (Semarang: Karya Abadi Jaya,
2000). h. 102.
7
Al Mas’udi, Muruj Adz Dzahab (Iran, Dar al-Hijrah, 1988). h. 190-191
2
Pada dasarnya, Mutazilah membangun kerangka pemikiranya secara
rasional dengan bertujuan untuk mensucikan Tuhan dari segala hal yang bisa
menodai keesaan dan kebaikanNya. Untuk itu, jika ada sebuah teks al-Quran atau
Sunnah yang dianggap bisa memberikan pengertian yang menodaai keesaan dan
kebaikanNya, mereka menakwilkan sehingga sesuai dengan apa yang ditunjukkan
dalil-dalil akal.
Hisyam ibn Amr al-Fuwah, seorang pemimpin lain dari cabang Bagdad
mengatakan bahwa surge dan neraka belum mempunyai wujud sekarang karena
masa memasuki surge atau neraka belum tiba. Dengan demikian, adanya surge dan
neraka sekarang tidak ada faedahnya.
8
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 53.
3
Golongan lain menamakan Mutazilah dengan golongan Mu’attilah karena
menafikan sifat-sifat Tuhan, tetapi mereka sendiri menamakan dirinya dengan ahli
keadilan dan keesaan (ahlu al adl wa al tauhid).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah
atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.9
Mu’tazilah ecara etimologis bermakna orang-orang yang memisahkan diri.
Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok
Al-Hasan Al-Bashri. Dikisahkan, bahwa Wahil bin ‘Atha’ Al Ghazzal Al Farisi
berbeda pendapat dengan gurunya yang bernama Al-Hasan Al-Bashri. Salah
seorang imam di kalangan tabi’in. Asy-Syihristani berkata: Suatu hari datanglah
seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam
agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa
besar. Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat
mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan
kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar, dan dosa
tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka,
suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh
terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran,
mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan
ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip dalam beragama.10
9
Luwis Ma’luf, Al Munjid fi Al-Lughah (Beirut: Darul Kitab Al Arabi, 2002). h. 207
10
Rohidin, Mu’tazilah, Sejarah dan Perkembangannya, Ejournal IAIN Bengkulu Volume
7 No. 2. 2018. h, 2.
4
dia selama ini duduk bersama Al Hasan Al Bashri. Kemudia ia mulai member
penjelasan tentang pendapatnya kepada teman-teman yang duduk melingkar
sebagai pengikutnya. Sedangkan Al Hasan Al Bashri berkata kepada orang-orang
yang berada di sekitarnya, bahwa Washil telah mengucilkan atau memisahkan diri
dari kita (I’tazaala Washil). Sejak saat itu para musuh Wasshil menyebut dia
bersama para pengikutnya dengan Mu’tazilah.11 Pertanyaan itu pun akhirnya
dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah:
“Sesungguhnya pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang tidak sempurna
imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa
besarnya ia disebut fasiq yakni keimanannya menjadi tidak sempurna
11
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Kalam Mulia, 2001).
h. 261
12
Abdul Rozak, Anwar, Rosihoa, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009). h.78
5
Mu’tazilah adalah satu macam lagi diantara gerakan-gerakan yang timbul
pada masa Daulah Umawiyah. Gerakan ini mempunyai watak yang berbeda dari
gerakan-gerakan dalam bidang fikiran dan gerakan-gerakan revolusioner pada
masa Daulah Umawiyah lainnya seperti Syi’ah dan Khawarij. Di mana gerakan-
gerakan yang dilakukan oleh kaum Syi’ah untuk merebut kekuasaa pada masa
pemerintahan Bani Umawiyah itu adalah merupakan gerakan Syi’ah yang paling
kuat, paling berani dan paling kompak, sehingga akhirnya dapat merobohkan
Daulah Umayiah tersebut.13
13
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 264
6
Walaupun gerakan Mu’tazilah ini merupakan gerakan keagamaan, dan
walaupun gerakan ini tidak pernah menghunus pedang, namun pada saat ia
mempunyai kekuatan ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan tekanan-
tekanan terhadap pihak-pihak yang menantangnya, seperti mengenai masalah
“Khalqul Qur’an. Pada waktu Khalifah Ma’mun menganjurkan kepada para ulama
untuk mengikuti pendapat kaum Mu’tazilah bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk.
Falsafah Ma’mun menghendaki supaya orang-orang yang mengatakan al Qur’an
itu bukan makhluk hendaklah dipandang sebagai orang fasik dan menentang
agama14.
Itulah corak dari gerakan Mu’tazilah, suatu gerakan fikiran yang telah
banyak membahas prinsip-prinsip keagamaan, dan juga telah membahas beberapa
peristiwapolitik dengan pembahasan yang bersifat pemikiran. Senjatanya adalah
falsafah dan akal.
14
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Al Husna Zikra, 1997). h. 374
7
hubungannya dengan masalah-masalah yang pernah menjadi perbincangan
Mu’tazilah. Misalnya golongan Jabariyah, Murijah dan Ahlus Sunnah.
15
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 376
16
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 376
8
Adapun mengenai orang yang lalai dalam menunaikan kewajiban atau ia
melakukan dosa besar maka sebagian dari ulam Mur’jiah berpendapat: tiadalah
mungkin menentukan hukum bagi orang itu di dunia ini; haruslah ditangguhkan
(diserahkan saja) kepada Tuhan untuk menentukan di hari kiamat. Timbulnya
istilah “Murjiah”, yaitu berasal dari kata “irja’ “yang berarti, “menangguhkan”.
17
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 377
18
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 378
9
diturunkan Allah, dan yang dibawa oleh rasul-nya. Karenanya, iman itu tidak dapat
bertambah atau berkurang".
Pendapat ini bertentangan dengan pendapat ahli ahli hadis dan Sunah, Sebab
mereka ini berpendapat bahwa iman itu dapat bertambah dan berkurang lantaran
bertambah atau berkurangnya ketaatan titik Tuhan berfirman:
Apa apa yang dapat bertambah tentu dapat pula berkurang. Dan Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam pernah ditanya:"Dapatkah iman itu bertambah dan
berkurang?" Beliau menjawab: "Ya, iman itu dapat bertambah, sehingga
menyebabkan orang yang beriman itu dimasukkan ke dalam surga, dan ia juga dapat
berkurang, sehingga menyebabkan orang dimasukkan ke dalam neraka".
Salah satu dari ucapan Jaham Ibnu Shafwan pemimpin Jabariyah yang
kadang-kadang golongan ini disebut menurut namanya, yaitu: "Jahmiyyah" adalah
19
Al-Qur’an terjemahan surah Al-Anfal: 2
20
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 379
10
sebagai berikut: "manusia tidak mempunyai kodrat untuk berbuat sesuatu, dan ia
tidak mempunyai “kesanggupan." Dia hanya terpaksa dalam semua perbuatannya.
Dia tidak mempunyai kodrat dan ikhtiar, melainkan Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan-perbuatan pada dirinya, seperti ciptaan ciptaan Tuhan pada benda-benda
mati. Memang perbuatan-perbuatan itu dinisbahkan kepada orang tersebut, tetapi
itu hanyalah nisbah majazi, secara kiasan, Sama halnya kalau kita menisbahkan
sesuatu perbuatan kepada benda-benda mati, misalnya dikatakan: "pohon itu
berbuah”, atau" air mengalir "," batu bergerak "." Matahari terbit dan tenggelam ","
Langit Mendung dan menurunkan hujan ","bumi bergoncang dan menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain sebagainya. Pahala dan Siksa pun adalah paksaan,
sebagaimana halnya dengan perbuatan-perbuatan ". Jaham berkata: " apabila
paksaan itu telah tetap maka taklif adalah paksaan juga ". Berkata: "apabila paksaan
itu telah tetap maka taklif adalah paksaan juga".
21
Al-Qur’an terjemahan surah Al-Qashas: 56
22
Al-Qur’an terjemahan surah Yunus: 99
23
Al-Qur’an terejmahan surah Al-Baqarah: 7
11
Dan firmanNya lagi:
Artinya" orang-orang yang musyrik itu akan berkata: " Andaikata Tuhan
menghendaki, misaya Kami tidak akan musyrik, dan tidak pula bapak bapak kami,
dan kami tidak akan mengharamkan apa-apa". Begitu pula orang-orang yang
sebelum mereka berbuat dusta, sehingga mereka merasakan siksaan kami.
Katakanlah:" Adakah kamu mempunyai keterangan yang bisa kamu tunjukkan
kepada kami? Kamu hanya menuruti sangkan sangkan saja, dan kamu hanya
berdusta". Katakanlah: "maka hanya Allah-lah yang mempunyai alasan yang kuat".
(QS. Al-An'am: 148 - 149)25
24
Al-Qur’an terjemahan surah Hud: 4
25
Al-Qur’an terjemahan surah Al-An’am: 148-149
26
Al-Qur’an terjemahan surah Yasin: 47
12
Dan FirmanNya lagi:
“Dan mereka berkata: "jikalau yang Maha Pengasih menghendaki, niscaya
kami tak akan menyembah mereka itu". Ingatlah, bahwa mereka itu tidak
mempunyai pengetahuan tentang hal itu mereka hanya berdusta". (QS. Az-Zukhruf:
20)27
“Demikian pula ketika beliau berkata tentang "qadar”: ialah suatu hal yang
terletak antara dua hal lainnya. Ia bukanlah paksaan, dan bukan pula penyerahan
sepenuh-penuhnya".
27
Al-Qur’an terjemahan surah Az-Zukhruf: 20
28
Elpianti Sahara Pakpahan, Pemikiran Mu’tazilah, Jurnal Pancabudi Volume II No. 02
Edisi Januari-Juni 2017. h, 54
13
“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya” (QS.
Al-Mudatsir: 38)29
"Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan
sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan
diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna." (QS. An-Najm:
39-41)33
29
Al-Qur’an terjemahan surah Al-Mudatsir: 38
30
Al-Qur’an terjemahan surah Al-Kahfi: 29
31
Al-Qur’an terjemahan surah Al-Muzzammil: 19
32
Al-Qur’an terjemahan surah Fuushshilat: 46
33
Al-Qur’an terjemahan surah An-Najm: 39-41
34
Al-Qur’an terjemahan surah A-n-Nisa’: 111
14
atas perbuatannya yang baik dan disiksa karena perbuatannya yang jelas maka
bagaimanakah kedudukan orang yang berbuat dosa besar menurut kaum
Mu'tazilah? Telah saya uraikan di atas mengenai pendapat Mu’tazilah tentang
orang berbuat dosa besar.
Suatu hal yang dapat kita tangkap ialah bahwa Washil tidak mau menunggu
jawaban dari Hasan ketika kepadanya diajukan pertanyaan tentang “orang yang
berbuat dosa besar” tersebut, lantaran Washil sudah tau jawaban apa yang hendak
diberikan oleh gurunya itu. Hasan sependapat dengan ahli-ahli hadits mengenai
masalah qadha’ dan qadar, yaitu Allah sendirilah yang menciptakan perbuatan-
perbuatan manusia, dan manusia sendiri hanyalah mempunyai ikhtiar dan
keinginan, dan inilah yang mereka sebut “Al Kasab” (usaha). Washil juga
mengetahui pendapat ahli hadits, bahwa perbuatan-pebuatan manusia itu bukanlah
merupakan bahagian dari iman. Dengan demikian Washil telah mengetahui bahwa
pendapat Hasan akan menundukkan orang yang bebruat dosa besar itu, hanya
sebagai “orang mu’min yang durhaka”. Itulah sebabnya Washil segera menjawab,
dan memaklumkan pendapatnya sendiri.35
35
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 389
15
bahasa Arab pada masa itu filsafat merupakan senjata yang ampuh bagi musuh-
musuh Islam untuk menyerangnya. Maka kaum mu'tazilah pun memakai filsafat itu
sebagai senjata mereka untuk mempertahankan Islam terhadap orang-orang yang
menyerang dan menantangnya.36
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar
ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-
36
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 389-390
37
Abdul Majid, Sejarah Kebudayaan Islam (t.t: Pustaka, 1997). h. 182
38
https://www.bacaanmadani.com/2018/02/pengertian-mutazilah-tokoh-aliran.html,
diakses pada 9 November 2021 pukul 08.26
16
manzilah bain al-manzilatain, paham Qadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan
Gailan, dua tokoh aliran Qadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua
dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah, yaitu al-manzilah
bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.39
Abu Huzail al- ‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini,
pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan
pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran
teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah).
Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak
rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedy
mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
39
Rohidin, Mu’tazilah, Sejarah dan Perkembangannya, Ejournal IAIN
Bengkulu Volume 7 No. 2. 2018. h, 4
17
adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia
melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.40
3. Al-Jubba’I
4. An-Nazzam
40
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997). h.
87
41
Rohidin, Mu’tazilah, Sejarah dan Perkembangannya, Ejournal IAIN Bengkulu Volume
7 No. 2. 2018. h. 4
18
tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu
yang bersifat baru dan tidak kadim.
5. Al- Jahiz
Al- Jahiz: dalam tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai
paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum Mu’tazilah
disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan
manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada
pengaruh hukum alam.
7. Bisyr al-Mu’tamir
42
Rohidin, Mu’tazilah, Sejarah dan Perkembangannya, Ejournal IAIN Bengkulu Volume
7 No. 2. 2018. h, 5
43
Abdul Majid, Sejarah Kebudayaan Islam, h. 195
19
Abu Musa al-Mudrar: al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin Mu’tazilah
yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.
Menurut Syahristani, ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman
Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat
dengan mata kepala.
1. At-Tauhid (ke-Esaan)
44
https://www.scribd.com/document/406054586/ALIRAN-MUTAZILAH-docx, diakses
pada 9 November 2021 pukul 10.00
45
Zulhelmi, Epistemologi Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya Terhadap Perkembangan
Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal Raden Fatah No. 02 Th. XIV Edisi Desember 2013. h, 130
20
itu berarti terdapat “pluralitas yang kekal” dan berarti bahwa kepercayaan kepada
Allah adalah dusta belaka. Namun gagasan Washil ini tidak mudah diterima. Pada
umumnya Mu’tazilah mereduksi sifat-sifat Allah menjadi dua, yakni ilmu dan
kuasa, dan menamakan keduanya sebagai sifat-sifat esensial. Selanjutnya mereka
mereduksi lagi kedua sifat dasar ini menjadi satu saja, yakni keesaan.46
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha
Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan
kesempurnaan, karena Tuhan Maha sempurna dia pasti adil. Faham ini bertujuan
ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia.
Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik dan terbaik. Begitupula
Tuhan itu adil bila tidak melanggar janjinya.
46
Sharif, Aliran-aliran Filsafat Islam, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2004), h. 21
47
Abdul Rozak, Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, h. 82
48
M. Thahir Taib, Abd Mu’in. Ilmu Kalam, (Jakarta: Penerbit Widjaya. 1986), h.103
21
a. Perbuatan manusia. Manusia menurut Mu’tazilah melakukan dan menciptakan
perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan. Manusia
benar-benar bebas untuk menentukan pilihannya. Tuhan hanya menyuruh dan
menghendaki yang baik. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan
keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan
balasan perbuatannya di dunia.
b. Berbuat baik dan terbaik. Maksudnya adalah kewajiaban Tuhan untuk berbuat
baik, bahkan terbaik bagimanusia. Tuhan tidak mungkin jahat atau aniaya
karena itu akan menimbulkan persepsi bahwa Tuhan tidak maha sempurna.
Bahkan menurut Annazam, salah satu tokoh Mu’tazilah konsep ini berkaiatan
dengan kebijaksanaaan, kemurahan dan kepengasihan Tuhan.
c. Mengutus Rasul. Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiaban
Tuhan karena alasan berikut ini:
• Tuhan wajib berbuat baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud
kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka.
• Al qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk belas kasih kepada
manusia. Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul.
• Tujuan di ciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepadaNya dengan
jalan mengutus rasul.
3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan ancaman)49
Ajaran ini berisi tentang janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil tidak
akan melanggar janjinya dan perbuatan Tuhan terikat dan di batasi oleh janjinya
sendiri. Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang
bagi Tuhan selain menunaikan janjinya yaitu member pahala orang yang ta’at dan
menyiksa orang yang berbuat maksiat, ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong
manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
49
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 394
22
mendapatkan pahala dan ‘iwadl. Juga berhak mendapatkan tafaddhul (karunia
Tuhan) yaitu suatu pengertian lain dibaalik pahala. Dan apabila seorang Mu’min
keluar dari duni ini tanpa bertaubat lebih dahulu dari sessuatu dosa besar yang telah
diperbuatnya, maka ia ditempatkan daalam neraka selama-lamanya; akan tetapi
siksa yang diterimanya lebih ringan dari pada siksa orang yang kafir. Inilah yang
mereka sebut janji dan ancaman.50
Memang hal ini tidak keluar dari ajaran Islam, namun menurut saya, pahala,
dosa, surge, dan neraka adalah hak mutlak Allah Subhahu wa Ta’ala.
4. Al-Manzilah bain Al-Manzilatain (tempat diantara kedua tempat)
50
Raji Abdullah, M. Sufyan, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri
Ajarannya (Jakarta: Pustaka Al-Riyadl, 2006). h, 56
51
Raji Abdullah, M. Sufyan, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri
Ajarannya, h. 57
23
Kaum Mu’tazilah sepakat mengatakan bahwa akal manusia sanggup
membedakan yang baik dan yang buruk, sebab sifat-sifat dari yang baik dan yang
buruk itu dapat dikenal. Dan manusia berkewajiban memilih yang baik dan
menjauhi yang buruk. Untuk ini, tak pelu lah Tuhan mengutus Rasul-Nya. Apabila
seseorang tidak mau berusaha untuk mngetahui yang baik dan yang buruk itu ia
akan mendapat siksaan dari Tuhan. Begitu pula apabila ia tahu akan yang baik tetapi
tidak diikutinya, atau ia tahu mana yang buruk tetapi tidak dihindarinya.
Adapun mengutus Rasul, itu adalah merupakan pertolongan tambahan dari
Tuhan, “agar orang-orang yang binasa itu, binasanya adalah dengan alasan, dan
orang yang hidup itu, hidupnya adalah dengan alasan pula.52
52
A. Nasir, Sahilun, Pengantar Ilmu Tauhid (Jakarta: Rajawali, 1991). h. 38
53
https://www.kompasiana.com/iissilvia0134/6019e1af8ede485fa059ff62/peran-aliran-
mu-tazilah-bagi-perkembangan-islam?page=all#section1 diakses pada 9 Novembe pukul 10.00
24
manusia harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perbuatannya, sesuai
dengan ketentuan yang telah disampaiakan Allah melalui kitab sucinya.
Pemikiran rasional mu'tazilah ini, mempunyai pengaruh terhadap
perkembangan pemikiran Islam di Indonesia terutama dalam gerakan
Muhammadiyah dan organisasi modernisme Islam lainnya, menekankan rasional
dalam usaha menghilangkan praktek-praktek keagamaan tradisional, dan
menegaskan Islam tidak sekedar mengizinkan, tetapi membutuhkan kemodernan.
Tentang wacana kemodrenan dipertegas dalam istilah teknologi dan pengetahuan.
Pengaruh pemikiran mu'tazilah tampak pada pemikiran tokoh intelektual
seperti Nurcholis Madjid yang dikenal dengan Pembahruan pemikiran
Islamnya. Sumbangan yang paling penting dari Nurcholis Madjid adalah
pengembangan wacana Islam Indonesia. Usaha beliau untuk memisahkan
modernisme dari skriptualisme. Nurcholis Madjid memberikan penilaian yang
lebih realistis tentang Muslim yang harus mendekati kemoderenan. Nurcholis
Madjid menerangkan bahwa kebutuhan terhadap pembaharuan pemikiran lebih
mendesak ketimbang kebutuhan untuk mempertahankan kesepakatan intelektual
umat. Ia menghibau untuk mengakhiri perdebatan antar aliran dan beralih untuk
memperjuangkan sebuah metode penalaran.54
Dalam hubungannya dengan perbuatan manusia, kehendak mutlak Tuhan
jadi terbatas karena kebebasan itu telah diberikan kepada manusia dalam
menentukan kemauan dan kehendaknya. Menurut mu'tazilah posisi manusia dalam
tatanan alam semesta memiliki pandangan tersendiri. Manusia harus berhubngan
dengan alam, dan tidak dapat menghindarkan diri dari ketentuan-ketentuan yang
berlaku berdasarkan hukum alamiah.
Golongan Mu'tazilah, memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam
melalui dialogis filosofis dan membantah alasan-alasan orang yang memusuhi
Islam melaui argumentasi logis.55 Orang Islam tidak akan bisa menghadapi lawan-
lawannya, jika mereka tidak mengetahui pendapat-pendapat lawannya. Akhirnya
54
Zulhelmi, Epistemologi Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya Terhadap Perkembangan
Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal Raden Fatah No. 02 Th. XIV Edisi Desember 2013. h, 133
55
Nasihun Amin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, h. 113
25
wilayah Islam menjadi arena perdebatan bermacam-macam pendapat, hal ini
mempengaruhi masing-masing pihak, diantaranya menggunakan argumentasi
rasional dalam menjelaskan dan mempertahankan pendapat mereka. Sebagian umat
Islam mempelajari metoda-metoda filsafat Yunani untuk digunakan dalam
menjelaskan dan mempertahankan ajaran Islam, diantaranya adalah golongan
mu'tazilah.
Pada awalnya Mu'tazilah merupakan aliran teologi yang hanya dianut oleh
masyarakat biasa. Tapi kemudian teologi yang bercorak rasional dan liberal ini
menarik perhatian kalangan intelektual dan juga lingkungan pemerintah kerajaan
Abbasiyah. Melihat hal demikian, khalifah Al-Makmun (813-833 M) putera Harun
al-Rasyid (766-809 M), pada tahun 827 M menjadikan teologi Mu'tazilah sebagai
mazhab resmi Negara. Sejak itu resmilah aliran Mu'tazilah menjadi satu-satunya
aliran teologi yang boleh dianut oleh umat Islam dalam wilayah kekuasaan Dinasti
Abbasiyah. Dengan mendapat pengakuan resmi dari pemerintah, maka otomatis
aliran ini mendapat dukungan sekaligus perlindungan dari penguasa waktu itu.
Selanjutnya aliran ini pun dengan leluasa dan berani menyebarkan paham-
pahamnya secara terbuka kepada public
Penyebaran tersebut mereka lakukan mulai cara lemah lembut sampai
pemaksaan dan kekerasan. Puncak kekerasan dan pemaksaan itu berkenaan dengan
paham "Al-Quran makhluk". Masalah ini sampai menimbulkan peristiwa al-
Mihnah yaitu pemeriksaan terhadap para ulama ahli Hadits dan ahli fikih oleh
Khalifah Al-Makmun pada Dinasti Abbasiyah. Mula-mula Khalifah Al-Makmun
mengirimkan surat kepada Ishaq ibn Ibrahim (gubernur Bagdad) agar
memerintahkan kepada para pejabat untuk mengakui paham bahwa Al-Qur'an
makhluk. Ada tiga langkah yang harus diambil, pertama memberhentikan pejabat-
pejabat yang tidak mau mengakui kemakhlukan Al-Quran. Kedua memerintahkan
untuk melakukan pemeriksaan terhadap para ulama ahli fikih dan ahli Hadits serta
yang terkait dengan urusan fatwa tentang makhluk tidaknya Al-Quran.56
56
Mubarok, Jaih, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004). h.
54
26
Aliran Mu'tazilah berpendirian bahwa Allah tidak memiliki sifat, yang ada
hanyalah keesaan Zat-Nya. Jadi keesaan Allah tidak terbagi dan tidak punya sifat.
Esa dalam seluruh perbuatan-Nya tanpa ada sekutu. Tidak ada yang azali kecuali
zat-Nya, karena mustahil ada dua yang azali. Pendirian aliran Mu'tazilah
meniadakan seluruh sifat Allah itu bukanlah bermakna menolaknya secara mutlak,
akan tetapi bertindak melakukan penafsiran yang diterima oleh akal, sejalan dengan
asas keesaan Allah. Harus dipahami bahwa Allah itu Maha Tahu dengan ilmu, yang
ilmu itu adalah Dia. Allah itu Maha Kuasa dengan qudrat, yang qudrat itu adalah
Dia. Allah itu Maha Hidup dengan hayat, yang hayat itu adalah Dia. Maka ilmu,
qudrat dan hayat itu adalah diri zat-Nya. Pada saat diungkapkan dengan Yang Maha
Tahu, maka dipastikan ilmu bagi Allah, yang ilmu itu adalah zat-Nya, dan
meniadakan ketidak-tahuan pada zat-Nya. Pada saat diungkapkan dengan Yang
Maha Kuasa, maka dipastikan qudrat bagi Allah, yang qudrat adalah zat-Nya, dan
meniadakan tak kuasa pada zat-Nya, demikian seterusnya.57
Pada dasarnya aliran Mu'tazilah menginginkan kemurnian aqidah Islam dan
terhindar dari unsur-unsur syirik, sehingga mereka berpendapat bahwa sifat-sifat
Tuhan itu tidak ada, yang ada hanya zat Tuhan. Dan segala apa yang disebut dengan
sifat adalah zat Allah sendiri. Manusia bebas melakukan apa saja dan akan diberi
ganjaran sesuai dengan perbuatannya. Perbuatan manusia tidak didikte oleh Tuhan.
Tuhan hanya memberi aturan mana perbuatan baik dan perbuatan buruk dan
manusia bebas memilihnya. Dengan demikian ganjaran surga atau neraka
tergantung kepada perbuatan manusia itu sendiri. Akal memiliki peran yang sangat
penting bagi manusia. Dengan akalnya manusia seharusnya dapat mengetahui
tentang Tuhan meskipun wahyu belum ada. Wahyu hanya dibutuhkan untuk
mengetahui cara memuja Allah dan menyembah-Nya. Terdapat dugaan kuat,
pendapat Mu'tazilah yang sangat mementingkan rasionalitas adalah karena adanya
persentuhan dengan filsafat Yunani. Hal ini dimungkinkan karena daerah Islam
sangat luas. Hanya saja hal ini perlu dibuktikan lagi.58
57
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h, 89
58
Mubarok, Jaih, Sejarah Peradaban Islam, h. 56
27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mu’tazilah berasal dari kata Bahasa Arab yaitu I’tazala yang artinya
“meninggalkan” atau “menjauhkan diri”. Mu’tazilah adalaha salah satu aliran
teologi dalam agama Islam. Kelahiran Mutazilah oleh lawan-lawanya, biasanya
dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqoh gurunya yaitu Hasan Al
Bashri karena perbedaan status orang Islam dalam melakukan dosa besar. Diantara
dokrin aliran Mutazilah yang sering muncul oleh mereka mengenai lima prinsip
pokok yang disebut al-ushul al-khamsah yait: (1) Tauhid (2) Keadilan Tuhan (3)
Al-wa’du wal wa’id (janji dan ancaman) (4) Manzilah bainal manzilatain (tempat
antara dua tempat) (5) Amar ma’ruf dan nahi munkar (perintah berbuat baik dan
larangan berbuat jahat).
B. Saran
Penulis menyadari betul bahwa dalam makalah ini masih terdapat
kekurangandan masih jauh dari kata sempurna. Sekiranya masih terdapat kesalahan
dalam makalah ini baik isi maupun penulisan yang masih terdapat banyak typo,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat
menambah pengetahuan pembaca, terkhusus mengenai aliran teologi mu’tazilah.
28
DAFTAR PUSTAKA
A. Nasir, Sahilun. Pengantar Ilmu Tauhid. Jakarta: Rajawali. 1991.
Al Qur’an terjemahan.
Anwar Rosihan, Abdul Rozak. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2009.
Dahlan, Abdul Aziz. Sejarah pemikiran dalam Islam. Bagian I. Jakarta: Beunebi
Cipta. 1987.
Hanafi, Ahmad. Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang. 1993.
Hasan, Ibrahim Hasan. Sejarah Kebudayaan Islam 2. Cet. 1. Jakarta: Kalam Mulia.
2001.
Matondang Ali Ya’kub. Pemikiran Kalam Mu’tazilah. Medan: Jabal Rahmat. 1996.
Mubarok, Jaih. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004.
29
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press. 1986.
Subhi, Ahmad Mahmud. Fi Ilmil Kalam. Kairo: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyah. 1985.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid 2. Jakarta: PT. Al Husna Zikra.
2000.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
1997.
Elpianti, Sahara Pakpahan, Pemikiran Mu’tazilah, Jurnal Pancabudi Volume II No.
02 Edisi Januari-Juni 2017.
Rohidin, Mu’tazilah, Sejarah dan Perkembangannya, Ejournal IAIN Bengkulu
Volume 7 No. 2. 2018.
Zulhelmi, Epistemologi Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya Terhadap
Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal Raden Fatah No. 02
Th. XIV Edisi Desember 2013.
https://www.scribd.com/document/406054586/ALIRAN-MUTAZILAH-docx
https://www.bacaanmadani.com/2018/02/pengertian-mutazilah-tokoh-aliran.html
https://www.kompasiana.com/iissilvia0134/6019e1af8ede485fa059ff62/peran-aliran-mu-
tazilah-bagi-perkembangan-islam?page=all#section1
30
BIODATA DIRI MAHASISWA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) MANADO JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Agama : Islam
Hobby : Memasak
Gol. Darah :O
31