Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH

SEJARAH MUNCULNYA ALIRAN TEOLOGI DALAM ISLAM

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Ilmu Kalam

Dosen Pengampu : Mujib Hidayat,M.Pd.I

Disusun oleh:

1. Prima Mahalia Solekhah (2121071)

2. Angga Saputra (2121041)

3. Atikah Nur Hidayah (2121049)

KELAS B

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN TAHUN 2021


KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur senantiasa Kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang
senantiasa mencurahkan rahmatNya kepada kita semua. Shalawat dan salam juga senantiasa
Kami limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman
kegelapan menuju zaman yang terang benderang ini. Kami juga mengucapkan banyak terima
kasih kepada Bapak Mujib Hidayat, M.P.d.I yang telah memberikan kesempatan waktu untuk
penyelesaian makalah ini pada mata kuliah Ilmu Kalam yang berjudul “Sejarah munculnya
aliran teologi dalam islam” guna untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Ilmu
Kalam.

Kami meyakini bahwa di dalam penulisan makalah ini tentu masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan maupun penguasaan materi. kami sangat
mengharapkan kepada seluruh pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun
kemajuan dalam berfikir kami agar makalah ini dapat dibuat dengan yang lebih sempurna
lagi.

Akhirnya kepada Allah juga lah Kami minta ampun, semoga dengan adanya
makalah ini dapat memberikan sedikit ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan dapat
menambah pengetahuan kita yang sudah ada sebelumnya.

Pekalongan, 20 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................1


B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 1
C. Tujuan ..................................................................................................................... 1

BAB II : PEMBAHASAN

A. Sejarah Timbulnya Persoalan-Persoalan Teologi Dalam Islam............................. 2


B. Kaum Khawarij.......................................................................................................2
C. Kaum Murji’ah.......................................................................................................3
D. Qadariah dan Jabariyah.......................................................................................... 4
E. Kaum Mu’tazilah....................................................................................................5
F. Ahli Sunnah Wal Jama’ah......................................................................................6

BAB III : PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................................................. 7
B. Saran …................................................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................................8

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Teologi, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang ingin
menyelami seluk beluk agamanya secara mandalam. Mempelajari teologi akan
memberi keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah
diombang-ambing oleh peredaran zaman. Dalam istilah arab ajaran dasar itu disebut
usul al din dan oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam islam
selalu diberi nama kitab usul al din oleh parapengarangnya. Ajaran dasar itu disebut
juga ‘aqaid, credos, atau keyakinan dan buku yang mengupas keyakinan-keyakinan
itu diberi judul al-‘aqa’id.

Teologi dalam islam disebut juga ‘ilm al-tauhid. Kata tauhid mengandung arti
satu atau esa dan keesaan dalam pandangan islam, sebagai agama monoteisme,
merupakan sifat yang terpenting diantara segala sifat-sifat Tuhan. Selanjutnya teologi
islam disebut juga ‘ilm al-kalam. Kalam adalah kata-kata. Kalua yang dimaksud
dengan kalam ialah sabda Tuhan maka teologi dalam islam disebut juga ‘ilm al-
kalam, karena soal kalam, sabda Tuhan atau al-Qur’an pernah menimbulkan
pertemntangan-pertentangan keras dikalangan umat islam diabad IX dan X Masehi,
sehingga timbul penganiyaan dan pembunuhan terhadap sesame muslim waktu itu.

Kalau yang dimaksud kalam ialah kata-kata manusia, maka teologi dalam
islam disebut ‘ilm al-kalam karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata kata dalam
mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam
memang diberi nama mutakallim yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah timbulnya aliran teologi dalam islam ?
2. Bagaimana konflik terjadi dalam pemerintahan khalafaurrasyidin?
3. Bagaimana asal mula kaum khawarij?
4. Bagaimana asal mula kaum murji’ah
5. Apa yang dimaksud Qadariah dan jabariah?
6. Bagaimana asal mula kaum Mu’tajilah?

iv
7. Apa yang dimaksud ahli sunnah wal jamaah?

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1. Sejarah aliran teologi dalam islam
2. Munculnya kaum khawarij
3. Munculnya kaum murji’ah
4. Munculnya qadariyah dan jabariyah
5. Munculnya kaum mu’tajilah
6. Ahli sunnah waljamaah

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konflik-Konflik Pada Masa Kekhalifahan


1. Konflik pada masa khalifah abu bakar,umar dan ustman
Rasulullah SAW wafat pada hari Senin Tanggal 8 Juni 623 M/ 12 Rabiul Awal 11
Hijriah dan Usia 63 tahun. Jenazah Rasulullah disemayamkan di rumah istrinya Aisyah
selama semalam. Keterlambatan pemakaman jenazah Nabi disebabkan kaum muslimin
waktu itu belum mendapatkan pengganti Rasulullah SAW. Kenyataan ini menimbulkan
perasaan tidak senang di hati Ahlul Bait terutama Fatimah.

Dikarenakan Rasulullah SAW tidak pernah menunjukkan penggantinya dalam


memimpin umat, maka terjadi kemelut di awal masa Khulafa Ar-Rasyidin. Dalam situasi
seperti itu, keesokan harinya, tanpa direncanakan sebelumnya diadakan pertemuan di
Saqifah, di balai pertemuan Sa’idah. Dalam pertemuan itu, kaum Anshar mencalonkan
Sa’ad bin Ubaidah, dengan alas an merekalah yang menolong Nabi disaat-saat genting,
kaum Muhajirin menolak pencalonan Sa’ad dengan alasan pemimpin harus dipilih dari
kaum Muhajirin karena merekalah yang pertama kali merasa pahit getir perjuangan Islam.
Dalam perdebatan itu, maka Umar menunjuk Abu Bakar menjadi pemimpin, karena Abu
Bakar memimpin sholat semasa Nabi hidup. Kemudian kaum Muslimin menyetujui itu,
lalu membai’at Abu Bakar. Abu Bakar memimpin dengan konsisten seperti yang
dipraktekkan Rasulullah. Setelah Abu Bakar meninggal, maka Umar menjadi pemimpin
kedua den gan ditunjuk langsung oleh Abu Bakar. Kepemimpinan Umar cukup stabil dan
kemajuan pemerintahan sangat pesat. Setelah meninggal, Usman terpilih sebagai khalifah
ketiga yang terpilih melalui tim formatur yang dibentuk Umar.

Setelah Usman terbunuh oleh kelompok pemberontak, kota Madinah dikuasai oleh
suasana yang tidak menentu, karena pada saat itu umat Islam kehilangan seorang
pemimpinnya. Kaum pemberontak memaksa penduduk Madinah untuk segera mencari

orang yang bersedia diangkat menjadi Khalifah. Ada lima calon pada saat itu, namun

dua diantaranya telah menyatakan ketidaksediaannya, yaitu Sa’ad bin Abi Waqqas dan

vi
Ibnu Umar, sehingga calon yang diharapkan tinggal Thalhah dan Zubair sebagai calon

kuat. Namun pada akhirnya Ali terpilih menjadi Khalifah, yang kemudian dibaiat oleh Al–
Asytar al-Nakha’I (orang pertama) yang kemudian diikuti oleh khalayak
ramai, termasuk Thalhah dan Zubair. Sedangkan Mu’awiyah pada waktu itu menjadi
Gubernur Syria, tidak mau mengakui Ali sebagai Khalifah.

2. Konflik pada masa khalifah ali


Penobatan Ali menjadi Khalifah menurut Philip K. Hitti dilaksanakan pada tanggal 24
Juni 656 M7 atau tanggal 25 Zulhijjah 35 H yaitu di Masjid Madinah. Kota Madinah pada
awal pemerintahan Ali masih banyak dikuasai oleh kaum pemberontak, dan kondisi
pemerintahan Ali sendiri masih rentan. Akan tetapi pada saat itu pula para keluarga
umayyah menuntut segera diusut masalah pembunuhan Usman. Hal ini menyebabkan Ali
menghadapi posisi yang sulit. Melihat kondisi pemerintahan yang masih labil, akhirnya
Ali memilih menunda pengusutan kasus tersebut dan mencurahkan perhatian pada
pemerintahan yang baru.
Kebijakan ini diambil karena Ali sadar bahwa mengusut pembunuhan Usman
merupakan pekerjaan yang tidak mudah, sebab pembunuhan tersebut melibatkan banyak
pihak. Banyak orang dari Mesir, Arab, dan Iraq yang terlibat secara langsung dengan
peristiwa itu. Hal ini dapat menyebabkan keruntuhan kekhalifahan. Ali beranggapan
bahwa tugas yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah memulihkan kembali situasi
Madinah dan menertibkan kondisi pemerintahan. Untuk menentramkan para pemberontak
yang menginginkan sikap nepotisme pada masa Usman segera dihapuskan, maka Ali
segera mengambil kebijakan untuk mengganti Gubernur yang diangkat oleh Usman.
Diantaranya, Abdullah bin Sa’ad (Gubernur Mesir), Mu’awiyah bin Abu Sufyan
(Gubernur Syam), Al-Wasim bin Tsaqafi (Gubernur Thaif), Ya’la bin Muniyah (Gubernur
San’a), Abdullah bin Amin (Gubernur Basrah), dan Abu Musa Al-Asy’ari (Gubernur
Kufah). Pada saat itu, kota Madinah masih dikuasai oleh pemberontak terhadap sekitar dua
ribu orang, tiba-tiba Thalhah dan Zubair didampingi beberapa sahabat yang lain
mendatangi Ali untuk menuntut pengusutan pembunuhan Usman, namun Ali belum
bersedia dengan pertimbangan kota Madinah masih dalam suasana tidak stabil. Karena
ketidakpuasan kebijakan Ali maka Thalhah dan Zubair memohon izin untuk pergi ke
Mekkah, di sana mereka berjumpa dengan Ummul Mukminin Aisyah dan ketiganya
bersepakat mencari bantuan pasukan dari Basrah dan Kufah, di kota itu banyak sekali
pendukung mereka untuk menuntut balas kematian Usman. Maka berangkatlah mereka

vii
dari Mekkah menuju Basrah. Setelah itu mereka berhasil mengumpulkan banyak pasukan
dari Irak. Pada sisi lain, Ali mempersiapkan segalanya untuk berangkat ke Syam agar
dapat memaksa Mu’awiyah untuk tunduk kepada pemerintah. Tetapi ketika ia mendengar
pengelompokan yang terjadi di kota Basrah, terpaksa ia menangani masalah ini dahulu,
karena banyak diantara para sahabat dan pengikutnya tidak bersedia membantunya. Ketika
pasukan ‘Aisyah berhadapan dengan pasukan Ali di luar kota Basrah, beberapa orang yang
merasa masygul sekali akan apa yang akan terjadi, berusaha untuk menentramkan keadaan
dan mendamaikan kedua kelompok kaum muslimin ini agar mereka tidak saling
berperang, kemudian terjadilah beberapa perundingan perdamaian yang hampir saja
berhasil dicapai, namun karena banyak diantara pembunuh Usman berada dalam pasukan
Ali, dimana mereka beranggapan bahwa perdamaian antara dua kelompok ini tidak akan
menguntungkan bagi mereka. Dan dilain pihak pasukan Aisyah yang mencakup orang-
orang yang memang ingin melemahkan kedua kelompok ini, mengobarkan semangat
peperangan diantara keduanya, dan tercetuslah “Perang Jamal” atau “Perang Onta” yang
sebenarnya ingin dicegah oleh orang-orang yang baik-baik dari kedua kelompok
tersebut.Setelah perang Onta selesai, pasukan Ali langsung menuju Syam untuk
menundukkan Mu’awiyah yang membangkang, dan kedua pasukan tersebut bertemu di
Siffin. Perangpun tidak dapat dihindarkan lagi setelah upaya damai tidak berhasil.
Peperangan ini damai dengan “Tahkim” setelah Amr bin ‘Ash mengangkat mushaf
Al-qur’an di atas tombak, karena pasukan Ali mampu mendesak pasukan Mu’awiyah.
Betapapun Ali telah menasehati orang-orang Irak agar mereka tidak tertipu oleh muslihat
ini, tapi orang-orang itu telah bertengkar dan terpecah diantara mereka sendiri sehingga
pada akhirnya ali terpaksa menghentikan perang dan menerima “Tahkim”. Mu’awiyah
mengangkat Amr bin Ash sebagai hakim, sedangkan Ali menunjuk Abu Musa Al-Asy’ari
sebagai hakim dari pihaknya. Ternyata “Tahkim” tersebut hanya sebagai strategi perang
belaka dari kelicikan Amr bin Ash sehingga merugikan pihak Ali. Sebenarnya timbulnya
peperangan ini ada beberapa sebab, pertama peristiwa pembunuhan Usman menyebabkan
terjadi persaingan elit politik antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah, yang kedua, adanya
perbedaan tentang kedudukan khusus Syiria. Dulunya Umar dan Usman yakin akan
perlunya pembebasan Syiria dari gelombang imigrasi yang merajalela di Irak dalam
rangka menjamin keamanan untuk menghadapi ancaman Byzantium. Namun Ali melihat
dengan cara yang berbeda. Ia tidak melihat alasan apapun atas kedudukan khusus Syiria,
hanya karena melaksanakan tugas mempertahankan batas wilayah mereka sendiri.
Sebenarnya Syiria secara bersama memecahkan seluruh masalah yang sedang dihadapi

viii
umat walaupun itu menghilangkan hak istimewa Mu’awiyah sebagai Gubernur Syam.
Ketiga, sudah lama Mu’awiyah ingin memisahkan diri dari kekuasaan Madinah. Ambisi
tersebut mendapatkan momentum yang sangat tepat saat Ali menaiki tahta khalifah yang
penuh dengan permasalahan pelik, dengan kedok menuntut pembunuhan Usman.
Kelompok Ali yang tidak setuju dengan tahkim memisahkan diri dan pada selanjutnya
dikenal dengan nama kaum Khawarij. Mereka menganggap orang menerima tahkim
adalah kafir sehingga wajib dibunuh, karena mereka tidak memakai hukum Allah. Kaum
Khawarij melakukan oposisi terhadap pemerintahan khalifah Ali, sehingga terjadi
pertempuran antara kedua pasukan ini. Perang tersebut terjadi di Nahrawan tahun 658 M
dan berakhirnya dengan kemenangan Ali, dalam peperangan itu, pemimpin Khawarij,
Abdullah bin Wahab Al-Rasibi terbunuh. Kekalahan ini justru menambah dendam bagi
golongan Khawarij sehingga mereka berniat membunuh tiga orang yang dianggap menjadi
penyebab perpecahan umat Islam yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan,
dan Amr bin Ash. Ditetapkan tiga orang yang memegang tugas membunuh yakni,
Abdurrahman bin Muljam bertugas membunuh Ali Barak bin Abdullah membunuh
Mu’awiyah, dan Amr bin Bakar diberi kepercayaan untuk menghabisi Amr bin Ash.
Pembunuh yang berhasil hanyalah Ibnu Maljam yang bertugas membunuh Ali bin Abi
Thalib, ketika waktu itu Ali sedang melaksanakan sholat subuh di Masjid Kufah. Ali wafat
tepatnya tanggal 14 Ramadhan 40 H/ 661 M atau sekitar 4 tahun menjabat sebagai
khalifah.15 Dengan demikian berakhir masa pemerintahan Ali.
B. Sejarah Timbulnya Persoalan Teologi Dalam Islam
Di pertengahan kedua dari abad ke-6 masehi jalan dagang timur barat berpindah dari
teluk persia di utara dan laut merah perlembahan Neil di selatan, ke Yaman Hijaz siria,
peperangan yang senantiasa terjadi antara kerajaan byzantin dan persia membuat jalan
Utara tak selamat dan tak menguntungkan bagi dagang, Mesir, mungkin juga sebagai
akibat dari peperangan byzantin dan persia, berada dalam kekacauan yang mengakibatkan
perjalanan dagang melalui perlembahan Neil tidak menguntungkan pula.
Dengan pindahnya perjalanan dagang timur-barat ke semenanjung Arabia, Mekah
yang terletak di tengah-tengah garis perjalanan dagang itu, menjadi kota dagang titik
pedagang-pedagang nya pergi ke selatan membeli barang-barang yang datang dari timur
yang kemudian mereka bawa ke Utara untuk dijual di Syria hal inilah yang dimaksud
dengan:

‫رحلةالشتاءوالصيف‬

ix
Dalam surat Quraisy.

Dari dagang transit ini, Mekah menjadi kaya, dagang di kota ini dipegang oleh
Quraisy dan sebagai orang-orang yang berada dan berpengaruh dalam masyarakat
pemerintahan Mekah juga terletak di tangan mereka pemerintahan dijalankan melalui
majelis suku bangsa yang anggota-anggotanya tersusun dari kepala kepala suku yang
dipilih menurut kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.

Kekuasaan sebenarnya terletak dalam tangan kaum pedagang tinggi. kaum pedagang
tinggi ini, untuk menjaga kepentingan-kepentingan mereka mempunyai perasaan
solidaritas kuat yang kelihatan efeknya dalam perlawanan mereka terhadap nabi
Muhammad sehingga beliau dan pengikut-pengikut beliau terpaksa meninggalkan Mekah
pergi ke yatsrib di tahun 622 m titik sebagaimana diketahui nabi Muhammad bukanlah
termasuk golongan yang kaya, bahkan termasuk dalam golongan Quraisy yang keadaan
ekonominya sederhana sekali sehingga di masa kecil nabi Muhammad terpaksa bekerja
sebagai gembala domba.

Suasana masyarakat di yatsrib yang berlainan dengan suasana di Mekkah titik kota ini
bukanlah kota pedagang, tetapi kota petani itik masyarakatnya tidak homogen, tetapi
terdiri dari bangsa Arab dan bangsa Yahudi titik bangsa arabnya tersusun dari dua suku
bangsa, Al khazraj Dan al-'aus. Antara kedua suku bangsa ini senantiasa terdapat
persaingan untuk menjadi kepala dalam masyarakat Madinah titik keadaan disana tidak
menjadi aman dan untuk mengatasi persoalan dan pertengkaran mereka yang telah
berlarut-larut itu mereka mengingini seorang Hakam yaitu pengantara yang netral.

Seketika pemuka-pemuka kedua suku bangsa ini pergi naik haji ke Mekah, mereka
mendengar dan mengetahui kedudukan nabi Muhammad dan dalam satu perjumpaan
dengan beliau mereka meminta supaya nabi pindah ke yasrib. Melihat kerasnya tantangan
yang beliau hadapi dari pihak pedagang Mekah, beliau akhirnya berhijrah ke yatsrib, di
kota ini, yang setelah nabi pindah ke sana diberi nama Madinah Al nabi, beliau bertindak
sebagai perantara antara kedua suku bangsa yang bertentangan itu titik lambat-laun dari
pengantara nabi menjadi kepala masyarakat Madinah apa lagi setelah masyarakat itu,
kecuali penduduk yahudinya, masuk Islam.

Tari sejarah ringkas ini dapat kita ambil kesimpulan bahwaSelama di Mekah nabi
Muhammad hanya mempunyai fungsi kepala agama, dan tak mempunyai fungsi kepala
pemerintahan, karena kekuasaan politik yang ada di sana belum dapat dijatuhkan pada

x
waktu itu titik di Madinah sebaliknya, nabi Muhammad di samping menjadi kepala agama
juga menjadi kepala pemerintahan titik beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang
dipatuhi di kota ini. Sebelum itu di Madinah tak ada kekuasaan politik.

Ketika beliau wafat tahun 632 m m daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas
pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh semenanjung Arabia. Negara
Islam di waktu itu seperti digambarkan oleh w titik-titik watt telah merupakan kumpulan
suku-suku bangsa Arab yang mengikat di persekutuan dengan nabi Muhammad dalam
berbagai bentuk dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga masyarakat Mekah
sebagai intinya.

Islam sendiri sebagai kata R. Strothmann, di samping merupakan sistem agama telah
pula merupakan sistem politik dan nabi Muhammad di samping Rasul telah pula menjadi
seorang ahli negara. Jadi tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu
wafatnya nabi Muhammad sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai segala
yang baru lahir itu, sehingga penguburan nabi merupakan soal ke-2 bagi mereka titik
timbullah soal khilafah soal pengganti nabi Muhammad sebagai kepala negara titik
sebagai nabi atau Rasul nabi tentu tak dapat digantikan.

Sejarah meriwayatkan bahwa abu bakar lah yang disetujui oleh masyarakat Islam di
waktu itu menjadi pengganti atau khalifah nabi dalam kepala negara mereka titik
kemudian abu bakar digantikan oleh Umar Ibn Khattab dan Umar oleh Utsman bin Affan.
Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri
dari orang aristokrat Mekah yang karena pengalaman dagang mereka mempunyai
pengetahuan tentang administrasi titik pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam
memimpin administrasi daerah-daerah di luar semenanjung Arabia yang bertambah
banyak masuk ke bawah kekuasaan Islam. Ahli sejarah Menggambarkan usman sebagai
orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan
berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur di daerah yang tunduk kepada
kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar bin Khattab, khalifah yang
terkenal sebagai orang kuat dan tak memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh
Usman.

Tindakan-tindakan politik yang dijalankan Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak
menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat nabi yang pada mulanya menyokong

xi
Usman, ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang
ketiga ini.

_________________________

1
Muhammad Prophet and Statesman, Oxford University Press, 1991 hlm.222/3

2
Lihat Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden, E.J Brill, 1961, hlm.534

Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah atau yang ingin calonnya menjadi
khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul pada waktu itu. perasaan tidak
senang muncul di daerah-daerah. Dari Mesir, sebagai reaksi terhadap dijatuhkannya Umar
bin Khattab yang digantikan oleh Abdullah bin Saad bin Abi sarh salah satu anggota kaum
keluarga Utsman, sebagai gubernur Mesir 500 pemberontak berkumpul dan kemudian
bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa pada
pembunuhan Utsman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir ini.

Setelah Usman wafat Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat titik
tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi
khalifah, terutama tolhah dan supir dari Mekah yang mendapat sokongan dari Aisyah
tantangan dari Aisyah tolhah Zubair ini dipatahkan ahli dalam pertempuran yang terjadi di
Irak tahun 656. Tolhah Zubair mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekah.

Tantangan kedua datang dari muawiyah, gubernur damaskus dan keluarga yang dekat
bagi Usman. Sebagaimana halnya talhah dan Zubair Oma ia tak mau mengakui Ali
sebagai khalifah. Ia menuntut kepada Allah supaya menghukum pembunuh pembunuh
Utsman. Bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu titik salah
seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir yang datang ke Madinah dan kemudian
membunuh Utsman adalah Muhammad ibn abi bakar, anak angkat dari ali ibn abi thalib
dan ali tidak mengambil Tindakan keras terhadap pemberontah itu, bahkan Muhammad
ibn abi bakr diangkat menjadi gubernur mesir.

Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan di siffin, tantara ali dapat
mendesak tantara muawiyah sehingga mereka bersiap-siap untuk lari. Dengan demikian
dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitasme. Pihak muawiyah dipimpin oleh amr
al as dan dari pihak ali dipimpin oleh abu musa al-asyari , tetapi kelicikan amr
mengalahkan persaan takwa abu musa. . Sejarah mengatakan bahwa keduanya dapat
permufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan , ali dan muawiyah.

xii
Bagaimana peristiwa ini merugikan bagi ali dan menguntungkan bagi muawiyah. Yang
legal menjadi khalifah sebenarnya hanyalan ali, sedangkan muawiyah kedudukanya tak
lebih dari gubernur daerah yang tak pernah tunduk kepada ali sebagai khalifah.

_________________________

3
Tarikh al-Tabari, Kairo, Dar al-Ma’arif 1963, Jilid V, hlm. 7

Mereka memandang ali ibn abi thalib telah berbuat salah dan oleh karena itu, mereka
meninggalkan barisanya. Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal dengan
nama al-khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri dari seceders. Karena
memandang ali yang bersalah, oleh karena itu ali sekarang menghadapi dua musuh yaitu
dari pihak pertama muawiyah dan pihak al-khawarij pihak lainya.

Persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagai digambarkan di atas yang
akhirnya membawa dampak persoalan-persoalan teologi.

Lambat laun kaum khawarij pecah menjadi beberapa sekte, konsep kafir turut pula
mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak
menentukan hukum dengan Alquran tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib
al-quba'ir atau capital sinners juga dipandang kafir.

Persoalan orang berbuat dosa inilah kemudian yang mempunyai pengaruh besar
dalam pertumbuhan teologi selanjutnya dalam Islam. Persoalannya ialah: masihkah ia bisa
dipandang orang mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu?

Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, pertama aliran khawarij
yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir dalam arti keluar dari Islam atau
tegasnya murtad dan oleh karena itu ia wajib dibunuh.

Aliran kedua ialah aliran murji'ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa
besar tetap masih mukmin dan bukan kafir adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah
kepada Allah subhanahu wa ta'ala untuk mengampuni atau tidak mengampuni nya.

Kaum mu'tazilah sebagai aliran ke-3 tidak menerima pendapat-pendapat di atas, bagi
mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi pula bukan mukmin. Orang yang
serupa ini kata mereka mengambil posisi diantara kedua posisi mukmin dan kafir yang
dalam bahasa arabnya terkenal dengan istilah Al manzilah Bain Al manzilatain (posisi
diantara dua posisi).

xiii
Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran dalam teologi yang terkenal
dengan nama Al Qoriah dan Al jabariyah menurut qodariyah manusia mempunyai
kemerdekaan

__________________________

4
Ibid, Jilid IV , hlm.55 dan 57

dalam kehendak dan perbuatannya, dalam istilah Inggrisnya free Will and free act
jabariyah, sebaliknya, berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala tingkah lakunya, menurut paham
jabariyah bertindak dengan paksaan dari Tuhan segala gerak-gerik manusia ditentukan
oleh Tuhan, paham inilah yang disebut paham predestination atau fatalism dalam istilah
Inggris. Selanjutnya, kaum mu'tazilah dengan diterjemahkannya buku-buku filsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab terpengaruh oleh pemakaian rasio atau
akal yang mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani klasik yaitu.
Pemakaian dan kepercayaan pada rasio ini dibawa oleh kaum mu'tazilah ke dalam
lapangan teologi Islam dan dengan demikian teknologi mereka mengambil corak teologi
liberal, dalam arti bahwa sungguhpun kaum mu'tazilah banyak mempergunakan rasio,
mereka tidak meninggalkan Wahyu. Dalam pemikiran pemikiran mereka selamanya
terikat kepada Wahyu yang ada dalam Islam. Dan sudah barang tentu bahwa dalam soal
qodariyah dan jabariyah di atas, sebagai golongan yang percaya pada kekuatan dan
kemerdekaan akal untuk berpikir, kaum mu'tazilah mengambil paham qodariyah.

Teologi mereka yang bersifat rasional dan liberal itu begitu menarik bagi kaum
intelegensia yang terdapat dalam lingkungan pemerintah kerajaan Islam Abbasiyah di
permulaan abad ke-9 Masehi sehingga Khalifah al-makmun (813 - 833 m). Putra dari
khalifah Harun ar-rasyid (766-809M). Pada tahun 827 m menjadikan teologi mu'tazilah
sebagai mazhab yang resmi dianut negara titik karena telah menjadi aliran resmi dari
pemerintah kaum mu'tazilah mulai bersikap menyiarkan ajaran ajaran mereka secara
paksa, terutama paham mereka bahwa Alquran bersifat makhluk dalam arti diciptakan dan
bukan bersifat kodim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.

xiv
Aliran mu'tazilah yang bercorak rasional ini mendapat tantangan keras dari golongan
tradisional Islam terutama golongan Hambali yaitu pengikut pengikut mazhab Ibn Hambal
. Politik menyiarkan aliran mu'tazilah secara kekerasan berkurang setelah Al Makmun-

___________________________

5
Qodim,sebenarnya tidak bermula dan lawanya baqi

6
Infra hlm. 46 dst., 58 dst., 137 dst.

meninggal pada tahun 833 dan akhirnya aliran mu'tazilah sebagai masa peresmi dari
negara dibatalkan oleh khalifah al-mutawakkil pada tahun 856 M.

Dengan demikian kaum mu'tazilah kembali kepada kedudukan mereka semula tetapi
kini mereka telah mempunyai lawan yang bukan sedikit di kalangan umat Islam.
Perlawanan ini kemudian mengambil kodok aliran teologi tradisional yang disusun oleh
abu Al Hasan Al Asy'ari 935 m Al Asy'ari sendiri pada mulanya adalah seorang
muktazilah, tetapi kemudian menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa
ajaran ajaran mu'tazilah tidak nabi Muhammad sebagai ajaran-ajaran yang sesat Al Asy'ari
meninggalkan ajaran acara itu dan membentuk ajaran ajaran baru yang kemudian terkenal
dengan nama teologi Al asy'ariyah atau al-asy'irah.

Di samping aliran asy'ariyah timbul bulat disamarkand suatu aliran yang bermaksud
juga menentang aliran mu'tazilah didirikan oleh abu Mansur Muhammad Al maturidi 944
m aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi Al maturidiyah yang sebagaimana
akan terlihat nanti tidaklah bersifat tradisional aliran asy'ariyah akan tetapi tidak boleh
bersifat liberal muktazilah. Sebenarnya aliran ini terbagi dalam dua cabang samarkand
yang bersifat agak liberal dan cabang bukhara yang bersifat tradisional.

Selain dari abu Al Hasan Al Asy'ari dan abu Mansur Al maturidi ada lagi seorang
teologi dari Mesir yang juga bermaksud untuk menentang ajaran ajaran kaum mu'tazilah
teologi itu bernama Al tahtawi 933 m dan sebagaimana halnya dengan al-maturidiyah juga
pengikut dari abu Hanifah imam dari mazhab Hanafi dalam lapangan hukum Islam titik
tetapi ajaran-ajaran al-tahtawi tidak menjelma sebagai aliran teologi dalam Islam.

xv
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran
khawarij murji'ah mu'tazilah asy'ariyah dan maturidiyah. Aliran aliran khawarij murji'ah
dan mu'tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah titik yang masih ada
sampai sekarang ialah aliran aliran asy'ariyah dan maturidiyah dan keduanya disebut
ahlussunnah wal jamaah aliran maturidiyah banyak dianut oleh umat Islam yang
bermazhab Hanafi sedangkan aliran asy'ariyah pada umumnya dipakai oleh umat Islam
Sunni lainnya. jangan maksudnya kembali paham rasionalisme ke dunia Islam, yang kalau
dahulu masuknya-

__________________________

6
Robert Caspar, “Le Renouveau du mo tazilisme” dalam Institut Dominicain d’etudes
Orientales du caire melanges, IV (1957)

melalui kebudayaan Yunani klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan barat
modern, maka ajaran ajaran mu'tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali di kalangan
kaum intelegensia Islam yang Mendapat pendidikan barat. Kata-muktazilah mulai dipakai
dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.

C. Kaum Khawarij
Seperti yang telah di kemukakan sebelumnya, kaum khawarij terdiri atas pengikut
pengikut 'Ali ibn Talib yang meninggal kan barisan-nya, karena tidak setuju dengan sikap
'Ali Ibn Talib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan
tentang khilafah dengan mu'awiyah Ibn Abi Sufyan. Nama khawarij berasal dari kata
kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka keluar dari
barisan 'Ali. Tetapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberi nama itu di
dasarkan atas ayat 100 dari surat Al-Nisa', yang dalamnya di sebutkan:" Keluar dari rumah
lari kepada Allah dan rasul-nya". Dengan demikian kaum khawarij memandang diri
mereka sebagai orang meninggal kan rumah dari kampung halamannya untuk
mengabdikan diri kepada Allah dan rasul-nya.
Selanjutnya mereka menyebut diri mereka syurah, yang berasal dari kata yasyri
(menjual), sebagaimana yang di sebutkan dalam ayat 207 dari surat Al-Baqarah:" Ada
manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh keridhaan Allah". Maksudnya, mereka
adalah orang yang bersedia mengorbankan diri untuk Allah. Nama lain yang diberikan
kepada mereka ialah Haruriah, dari kata harura, satu desa yang terletak di dekat kota
Kufah, di Irak. Di tempat inilah mereka, yang pada waktu itu berjumlah dua belas ribu

xvi
orang, berkumpul setelah memisahkan diri dari 'Ali. Disini mereka memilih 'Abdullah ibn
Abi wahb Al-Rasidi menjadi imam mereka sebagai ganti dari 'Ali Ibn Abi Talib. Dalam
pertempuran dengan kekuatan 'Ali mereka mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya
seorang Khariji bernama 'Abd al-Rahman Ibn Muljam dapat membunuh 'Ali.
Sungguh pun telah mengalami kekalahan, kaum khawarij menyusun barisan kembali
dan meneruskan perlawanan terhadap kekuatan Islam resmi baik di zaman Dinasti Bani
Umayyah maupun di zaman Dinasti Bani Abbas. Pemegang-pemegang kekuasaan yang
ada pada waktu itu mereka anggap telah menyeleweng dari Islam dan oleh karena itu
mesti ditentang dan dijatuhkan.
Dalam lapangan ketatanegaraan mereka Memang mempunyai paham yang
berlawanan dengan paham yang ada di waktu itu. Mereka bersifat demokratis, karena
menurut mereka Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
Yang berhak menjadi Khalifah bukanlah anggota suku bangsa Quraisy saja, bahkan bukan
hanya orang Arab, tetapi siapa saja yang sanggup asal orang Islam, sekali pun ia hamba
sahaya yang berasal dari Afrika. Khalifah yang terpilih akan terus memegang jabatan nya
selama ia bersikap adil dan menjalankan syari'at Islam. Tetapi kalau ia menyeleweng dari
ajaran-ajaran Islam, ia wajib dijatuhkan atau di bunuh.
Dalam hubungan ini, Khalifah atau pemerintahan Abu Bakr dan 'Umar ibn Al-khattab
secara keseluruhan dapat mereka terima. Bahwa kedua Khalifah ini diangkat dan bahwa
keduanya tidak menyeleweng ajaran-ajaran Islam, mereka akui. Tetapi 'Usman Ibn 'Affan
mereka anggap telah menyeleweng mulai dari tahun ke tujuh dari masa Khalifah nya, dan
'Ali juga mereka pandang menyeleweng sesudah peristiwa arbitrase tersebut diatas.
Sejak waktu itulah 'Usman dan 'Ali bagi mereka yang telah menjadi kafir; demikian
pula halnya dengan Mu'awiyah, 'Amr Ibn al-'As, Abu Musa al-Asy'ari serta semua orang
yang mereka anggap telah melanggar ajaran-ajaran islam.
Disini kaum khawarij memasuki persoalan kufr: siapakah yang disebut kafir dan
keluar dari Islam? Siapakah yang disebut makmin dan dengan demikian tidak keluar dari,
tetapi tetap dalam, Islam? Persoalan-persoalan serupa ini bukan lagi merupakan persoalan
politik, tetapi persoalan teologi. Pendapat tentang siapa yang sebenarnya masih Islam dan
siapa yang telah keluar dari Islam dan menjadi kafir serta soal-soal yang bersangkut-paut
dengan hal ini tidak selama nya sama, sehingga timbullah berbagai golongan dalam
kalangan khawarij.

xvii
Menurut al-Syahrastani, mereka terpecah menjadi delapan belas sebsekte dan
menurut al-Baghdadi dua puluh subsekte. Al-Asy'ari menyebut subsekte-subsekte yang
jumlah nya lebih besar lagi.
Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di
padang.pasir yang serba tandus membuat mereka bersifat sedefhana dalam cara hidup dan
pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada
orang lain. Perubahan agama tidak membawa perubahan dalam sifat-sifat ke-Badawian
mereka. Mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang
Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam, sebagai terdapat
dalam alOur'an dan Hadis, mereka artikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan
sepenuhnya.
____________________________

7
Muhammad Ahmad Abu Zuhrah, Al- Mazahib Al-Islamiyah, Maktabah al-adab, Kairo,
tat., hlm. 105-106
Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang yang
sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit,
ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolerir
penyimpangan gerhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun hanya Ge
impangan dalam bentuk kecil.
Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah
menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang
terus-menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan ummat
Islam yang ada di zaman mereka.
Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut 'Ali, disebut golongan al-
Muhakkimah. Bagi mereka, 'Ali, Mu'awiyyah, kedua pengantara 'Amr Ibn al-'As dan Abu
Musa al-Asy'ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase. bersalah dan menjadi
kafir.Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya schingga termasuk ke dalamnya
tiap orang yang berbuat dosa besar.
Berbuat zinah dipandang sebagai salah satu dosa besar, maka menurut paham
golongan ini orang yang mengerjakan zinah telah menjadi kafir dan keluar dari Islam.
Begitu pula membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar. Maka

xviii
perbuatan membunuh manusia menjadikan si pembunuh keluar dari Islam dan menjadi
kafir. Demikianlah seterusnya dengan dosa-dosa besar lainnya.

Al-Azariqah
Golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar lagi kuat sesudah golongan al-
Muhakkimah hancur adalah golongan Azarigah. Daerah kekuasaan mereka terletak di
perbatasan Irak dengan Iran. Nama ini diambil dari Nafi” Ibn al-Azrag. Pengikutnya,
menurut al-Baghdadi, berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Khalifah pertama yang mereka
pilih ialah Nafi' sendiri dan kepadanya mereka beri gelar Amir al-Mu'minin. Nafi' mati
dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M.
Subsekte ini sikapnya lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai
term kafir, tetapi term musyrik atau polytheist. Dan di dalam Islam syirk atau polytheisme
merupakan dosa yang terbesar, lebih besar dari kufr.
___________________________

8
Al-Milal wa al-Nihal, Musthafa al-babi al-halabi, Kairo 1967, Jilid 1, Fasal 4

9
Al-Faraq bain al-Firaq, Muhammad ali subelih, Kairo, tat., hlm. 7-115

Selanjutnya yang dipandang musyrik ialah semua orang Islam yang tak sepaham
dengan mereka, Bahkan orang Islam yang sepaham dengan al-Azarigah, tetapi tidak mau
berhijrah ke dalem lingkungan mereka juga dipandang musyrik. Dengan lain perkataan,
orang al-Azarigah sendiri, yang tinggal di luar lingkungan meraka dan tidak mau pindah
ke daerah kekuasaan mereka, juga dipandang. musyrik. Dan barang siapa yang datang ke
daerah mereka dan mengaku pengikut al-Azarigah tidaklah diterima begitu saja, tetapi
harus diuji. Kepadanya diserahkan seorang tawanan. Kalau tawanan Ini da bunuh, muka ia
diterima dengan baik: tetapi kalau tawanan Itu Uduk dibunuhnya, maka kepalanya sendiri
yang mereka penggal.
Sikap yang tidak mau mencabut nyawa tawanan itu, memberi keyakinan kepada
mereka bahwa ia berdusta dan sebenarnya bukan penganut puhum al Azarigah. Lebih
lanjut lagi bukan hanya orang Islam yang tak sepuham dengan mereka, bahkan anak istri
orangOrang yang demikian pun boleh ditawan dan dijadikan budak atau dibunuh,
Memang dalam anggapan mereka, hanya daerah merekalah yang merupakan dar al-Islam,
sedangkan daerah Islam yang lainnya adalah dar al-kufr, yang wajib diperangi. Dan yang

xix
mereka pandang musyrik, bukan hanya orang-orang dewasa, tetapi juga anakanak dari
orang yang dipandang musyrik.
Menurut paham subsekte yang ekstrim ini hanya merekalah yang sebenarnya orang
Islam. Orang Islam yang diluar lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang harus
diperangi. Oleh karena itu kaum al-Azarigah, sebagai disebut Ibn Al-Hazm, selaly
mengadakan isti'rad yaitu bertanya tentang pendapat atau keyakinan seseorang. Siapa saja
yang mereka jumpai dan mengaku orang Islam yang tak termasuk dalam golongan al-
Azarigah, mereka bunuh.
Al-Najdat

Najdah Ibn 'Amir al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikutpengikutnya pada


mulanya ingin menggabungkan diri dengan go: longan al-Azarigah.

___________________________

9
Al-Farq, 85

10
Ibid, 83

11
Ibid

12
Ibid

Tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan. Sebagian dari pengikut-
pengikut Nafi' Ibn alAzrag, di antaranya Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil dan Atiah atHanafi,
tidak dapat menyetujui paham bahwa orang Azragi yang tak mau berhijrah ke dalam
lingkungan al-Azarigah adalah musyrik. Demikian pula mereka tak setuju dengan pendapat
tentang boleh dan halalnya dibunuh anak istri orang-orang Islam yang tak sepaham dengan
mereka.

Abu Fudaik dengan teman teman serta pengikutnya Memisahkan diri dari Nati' dan
pergi ke Yammuh, Di sing mereka dapat Menarik Najdah ke pihak mereka dalam
pertikaian paham dengan Nafi" sehingga Najdah dengan pengikut pengikutnya
membatalkan Fencang untuk berhijrah ke dacrah kekuasaan al Azarigah. Pengikut Aby
Fudaik dan pengikut Najdah bersatu dan memilih Najdah sebaga imam baru. Nafi" Ibn al-
Azrag tidak lagi diakui sebagai imam. Nafi telah mereka pandang kafir dan dcmikian pula
orang yang masih mengakuinya sebagai Imam.

xx
Najdah, berlainan dengan kedua golongan di atas, berpendapar bahwa orang berdosa
besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak sepaham
dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan
mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka, dan kemudian akan masuk surga.

Dosa kecil baginya akan menjadi dosa besar, kalau dikerjakan terus-menerus dan
yang mengerjakannya sendiri menjadi musyrik.

Seterusnya ia berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi tiaptiap muslim ialah


mengetahui Allah dan Rasul-rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan
percaya pada seluruh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Orang yang tak
mengetahui ini tak dapat diampuni. Yang dimaksud dengan orang-orang Islam di sini ialah
pengikut-pengikut Najdah. Dalam hal-hal selain dari tersebut di atas, orang Islam tidak
diwajibkan mengetahuinya. Kalau ia mengerjakan sesuatu yang haram dengan tidak tahu
bahwa hal itu haram, ia dapat dimaafkan.

Dalam lapangan politik Najdah berpendapat bahwa adanya Imam perlu, hanya jika
masiahat menghendaki yang demikian. Manusia pada hakikatnya tidak berhajat pada

________________________

12
Al-farq, 87

adanya Imam untuk memimpin mereka. Dalam hal ini mereka sebenarnya dekat dengan
ajaran komunisme yang mengatakan bahwa negara akam hilang dengan sendirinya dalam
masyarakat komunis.

Dalam kalangan al-Khawarij, golongan inilah kelihatannya yang pertama membawa


paham tagiah, yaitu merahasiakan dan tidak menyatakan keyakinan untuk keamanan diri
seseorang. Taqiah, menurut pendapat mereka, bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi
juga dalam bentuk perbuatan.?' Jadi seseorang boleh mengucapkan kata-kata dan boleh
melakukan perbuatan-perbuatan yang mungkin menunjukkan bahwa pada lahirnya ia
bukan orang Islam, tapi pada hakikatnya ia tetap menganut agama Islam.

Tetapi tidak pula semua pengikut Najdah setuju dengan pendapat dan ajaran-ajaran di
atas, terutama paham bahwa dosa besar tidak membuat pengikutnya menjadi kafir, dan
bahwa dosa kecil bisa menjadi dosa besar. Perpecahan di kalangan mereka kelihatannya
ditimbulkan oleh pembagian ghanimah (barang rampasan perang) dan sikap lunak yang

xxi
diambil Najdah terhadap Khalifah ' Abd al-Malik Ibn Marwan dari dinasti Bani Umayyah.
Dalam salah satu serangan yang dipimpin anak Najdah sendiri, mereka memperoleh harta
dan tawanan. Tetapi sebelum dikeluarkan seperlima daripadanya, sebagai diwajibkan
dalam syari'at dan sebelum mereka kembali ke pangkalan, harta dan tawanan itu telah
dibagi oleh yang turut dalam serangan tersebut di antara mereka sendiri.? Selanjutnya
dalam serangan terhadap kota Madinah mereka dapat menawan seorang anak perempuan
yang diminta kembali oleh 'Abd al-Malik. Permintaan ini dikabulkan oleh Najdah, hal
mana tak dapat disetujui pengikutnya, karena "Abd ai-Malik adalah musuh mereka.

Dalam perpecahan ini Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil, dan ' Atiah al-Hanafi
memisahkan diri dari Najdah. 'Atiah mengasingkan diri ke Sajistan di Iran, sedang Abu
Fudaik dar Rasyid mengadakan perlawanan terhadap Najdah. Akhirnya Najdah dapat
mereka tangkap dan penggal lehernya.

Al-'Ajaridah

Mereka adalah pengikut dari "Abd al-Karim Ibn 'Ajrad ya menurut al-Syahrastani
merupakan salah satu teman dari 'Atiah al Hanafi. Kaum al-'Ajaridah bersifat lebih lunak
karena menurut pahan mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagai diajarkan

_______________________

13
Al-Milal,1/124. Lihat juga Al-Farq, 94

oleh Nafi' Ibn al-Azrag dan Najdah, tetapi hanya merupakan kebajikan. Dengan
demikian kaum 'Ajaridah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan mereka dengan tidak
dianggap menjadi kafir. Di samping itu harta yang boleh dijadikan rampasan perang
hanyalah harta orang yang telah mati terbunuh. Sedang menurut al-Azarigah seluruh harta
musuh boleh dijadikan rampasan perang. Seterusnya mereka berpendapat bahwa anak
kecil tidak bersalah, tidak musy rik menurut orangtuanya.

Selanjutnya kaum 'Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam al-
Qur'an membawa cerita cinta dan al Qur'an, sebagai kitab suci, kata mereka, tidak
mungkin mengandung cerita cinta. Oleh karena itu mereka tidak mengakui Surat Yusuf
sebagai bagian dari al-Qur'an.

Sebagai golongan Khawarij lain, golongan ' Ajaridah ini juga terpecah belah menjadi
golongan-golongan kecil. Di antara mereka, yaitu golongan al-Maimuniah, menganut

xxii
paham gadariah. Bagi mereka semua perbuatan manusia, baik dan buruk, timbul dari
kemauan dan kekuasaan manusia sendiri? Golongan al-Hamziah juga mempunyai paham
yang sama. Tetapi golongan al-Syu'aibiah dan al-Hazimiah menganut paham sebaliknya.
Bagi mereka Tuhanlah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak
dapat menentang kehendak Allah.

Al-Sufriah

Pemimpin golongan ini ialah Ziad Ibn al-Asfar. Dalam paham, mereka dekat sama
dengan golongan al-Azarigah dan oleh karena itu juga merupakan golongan yang ekstrim.
Hal-hal yang membuat mereka kurang ekstrim dari yang lain adalah pendapat-pendapat
berikut:

a. Orang Sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.


b. Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
c. Selanjutnya tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar
menjadi musyrik. Ada di antara mereka yang membagi dosa besar dalam dua
golongan, dosa yang ada sangsinya di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa
yang tak ada sangsinya di dunia, seperti meninggalkan sembahyang dan puasa. Orang
yang berbuat dosa golongan pertama tidak dipandang kafir. Yang menjadi kafir
hanyalah orang yang melaksanakan dosa golongan kedua.
d. Daerah golongan Islam yang tak sepaham dengan mereka bukan dar harb yaitu
daerah yang harus diperangi, yang diperangi hanyalah ma'askar atau camp pemerintah
sedang anak-anak dan perempuan tak boleh dijadikan tawanan.
e. Kurf dibagi dua: kurf bin inkar al-ni'mah yaitu mengingkari rahmat Tuhan dan kurf
bi inkar al-rububiah yaitu mengingkari Tuhan. Dengan demikian term kafir tidak
selamanya harus berarti keluar dari Islam.
Di samping pendapat-pendapat di atas terdapat pendapat-pendapat yang
spesifik bagi mereka:
a. Tagiah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
b. Tetapi sungguhpun demikian, untuk keamanan dirinya perempuan Islam boleh
kawin dengan lelaki kafir, di daerah bukan Islam.
Al-Ibadiah

xxiii
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dar seluruh golongan
Khawarij. Namanya diambil dari ' Abdullah Ibn Ibad, yang pada tahun 686 M, memisahkan
diri dari golongan al-Azarigah. Paham moderat mereka dapat dilihat dari ajaran-ajaran
berikut:

a. Orang Islam yang tak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik,
tetapi kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh diadakan hubungan perkawinan dan
hubungan warisan, Syahadat mereka dapat diterima Membunuh mereka adalah haram.

b. Daerah orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, kecuali camp pemerintah
merupakan dar tawhid, daerah orang yang meng-Esa-kan Tuhan, dan tak boleh diperangi.
Yang merupakan dar-kufr, yaitu yang harus diperangi, hanyalah ma'askar pemerintah.

c. Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid yang meng-Esa-kan Tuhan, tetapi
bukan mukmin? dan bukan kafir al-Millah, yaitu kafir agama. Dengan kata lain, mengerjakan
dosa besar tidak membuat orang keluar dari Islam.

d. Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata, Emas dan perak harus
dikembalikan kepada orang empunya. Tidaklah mengherankan kalau paham moderat seperti
digambarkan di atas membuat ' Abdullah Ibn Ibad tidak mau turut dengan golongan al-
Azarigah dalam melawan pemerintahan Dinasti Bani Ummayyah. Bahkan ia mempunyai
hubungan yang baik dengan Khalifah ' Abd al-Malik Ibn Marwan. Demikian pula halnya
dengan Jabir Ibn Zaid al-Azdi, pemimpin al-Ibadiah sesudah Ibn Ibad, mempunyai hubungan
baik dengan al-Hajjaj, pada waktu yang tersebut akhir ini dengan kerasnya memerang
golongan-golongan Khawarij yang berpaham dan bersikap ekstrim.

Oleh karena itu, jika golongan Khawarij lainnya telah Inlang dan hanya tinggal dalam
sejarah, golongan al-Ibadiah ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afnka
Utara, Umman dan Arabia Selatan.

Adapun golongan-golongan Khawarij ekstrim dan radikal, sungguhpun mereka


sebagai golongan telah hulang dalam sejarah ajaran-ajaran ekstrim mereka masih mempunyai
pengaruh, walaupun tidak banyak, dalam masyarakat Islam sekarang.

D. Kaum Murjiah
Sama halnya dengan kaum Khawarij, kaum Murji pada mulanya juga ditimbulkan
oleh persoalan politik, tegasega masalah khilafah yang membawa perpecahan di kalangan
mat Islam setelah 'Usman Ibn 'Affan mati kematian. Seperti yang telah diliha kaum

xxiv
Khawarij, pada mulanya adalah penyokong Ali, tetapi kemudian berbalik menjadi
musuhnya. Karena adanya perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia kita
bertambah keras dan kuat membelanya dan akhimya mereka merupakan satu golongan
lain dalam Islam yang dikenal dengan nama Syi'ah. Kefanatikan golongan ini "Ali
bertambah keras, setelah itu sendiri mati pula. Kaum Khawarij dan Syi'ah, sungguhpun
merupakan dua golongan yang bermusuhan, sama-sama kekuasaan Bani Umayyah, tetapi
dengan motif yang berlainan. Kalan Khawarij Dinasti ini, karena memandang mereka
menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, Syi'ah, karena memandang mereka merampas
kekuasaan dari 'Ali dan keturunannya.
Dalam suasana yang terjadi pada mereka, inilah, inilah, baru yang ingin netral tidak
mau ikut serta dalam praktek mengkafirkan yang bertentangan antara lain yang
bertentangan itu. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang
sebenarnya salah, dan memandang lebih baik menunda (arja'a) penyelesaian masalah ini
ke hari perhitungan di depan Tuhan.
Dengan demikian, kaum Murji'ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak turut
campur dalam tindakan yang terjadi ketika itu dan mengambil sikap menentang hukum
atau tidaknya orang-orang yang bertentangan itu dengan Tuhan.
Dari lapangan politik mereka segera berpindah ke lapangan teologi. Persoalan dosa
besar yang ditimbulkan kaum Khawarij, mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan
pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi
orang yang melakukan dosa besar, kaum Murji'ah menjatuhkan hukum mukmin bagi
orang yang serupa. Adapun soal dosa besar yang mereka buat, itu penundaan
penyelesaiannya ke hari perhitungan kelak. I Argumentasi yang mereka majukan dalam
hal ini adalah bahwa orang Islam yang berdosa besar itu tetap mengakui, bahwa tiada
selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya. Dengan kata lain orang
serupa itu tetap mengucapkan kedua syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh
karena itu orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini, tetap mukmin dan bukan
kafir.
Pendapat serupa dapat memberikan pendapat bahwa yang penting serta yang asli
adalah benar-benar iman, sedangkan perbuatan hanya merupakan tentang kedua. Ini
merupakan kesimpulan dari pendirian bahwa yang menentukan mukmin atau kafirnya
seseorang hanyalah kepercayaan atau imannya dan bukan perbuatan atau amalnya.
Perbuatan di sini mendapat kedudukan yang kudian dari iman. Dengan kata lain,
perbuatan dikudiankan kedudukannya dari iman. Dan kata arja'a memang mengandung arti

xxv
membuat sesuatu mengambil tempat di belakang dalam makna yang kurang penting.
Pendapat bahwa hubungan tidak penting akhirnya membawa beberapa golongan kaum
Murji'ah, sebagai akan dilihat, untuk paham-paham yang ekstrim.
Arja'a selanjutnya, juga mengandung arti memberi. Orang yang berpendapat bahwa
orang Islam yang melakukan dosa besar, tetapi tetap mukmin dan tidak akan kekal dalam
neraka, memberikan tawaran untuk yang melakukan dosa besar untuk memberikan rahmat
Allah. Oleh karena itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji'ah
diberikan kepada orang-orang ini, bukan karena mereka bergantung pada hukum terhadap
orang Islam yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan dan bukan pula karena
mereka menganggap mengambil tempat kudian dari iman, tetapi karena mereka memberi
persembahan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga.
Demikian beberapa pendapat tentang asal-usul nama Murji'ah yang diberikan kepada
golongan ini. Literatur mengenai pertumbuhan dan perkembangan pemikiran kaum
Murji'ah, oleh sebab-sebab yang belum dapat diketahui, sedikit sekali. Dengan demikian
penjelasan tentang perkembangan pemikiran dan perpecahan yang terjadi dalam golongan
kaum Murji'ah tak mungkin diberikan dengan jelas sebagaimana halnya dengan kaum
Khawarij.
Tetapi juga, kaum Murji'ah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Berlainan dengan
kaum Khawarij, yang berfokus pada masalah siapa dari orang Islam yang sudah kafir,
yaitu siapa yang telah keluar dari Islam, kaum Murji'ah pemikiran pada hal yang
sebaliknya, yaitu siapa yang masih mukmin dan tidak keluar dari Islam. Tetapi itu berarti
mereka hanya membahas tentang iman. Di samping ini mereka juga membahas tentang
jabariah atau fatalisme dan soal qadariah atau kehendak bebas. Golongan-golongan yang
timbul dari perbedaan pendapat tentang soal-soal ini tidak sebanyak golongan golongan
yang terdapat dalam aliran Khawarij.
Pada umumnya kaum Murji'ah dapat dibagi dalam dua golongan besar, golongan
moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang besar
kecewa dan tidak akan kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai
dengan besarnya dosa yang Tuhan, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni
dosanya dan karena itu tidak akan masuk neraka sama.
beberapa ahli Hadis. Jadi bagi golongan ini orang Islam yang berdosa besar masih
tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberi definisi iman sebagai berikut:
iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-Rasul-Nya dan
tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian;

xxvi
iman tidak bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal
iman.
Definisi yang diberikan Abu Hanifah ini menggambarkan bahwa semua iman, atau
dengan kata lain, iman semua orang Islam sama, tidak ada perbedaan antara iman orang
Islam yang berdosa besar dan iman orang Islam yang menjalankan perintah-perintah
Allah. Ini boleh pula memberikan kesimpulan bahwa Abu Hanifah juga berpendapat
perbuatan kurang penting diperbandingkan dengan iman. Jalan pemikiran serupa mungkin
sekali ada pada Abu Hanifah yang dikenal sebagai Imam mazhab yang banyak berpegang
pada logika. Tetapi bahwa Abu Hanifah juga berpendapat bahwa perbuatan atau amal
tidak penting, rasanya tidak dapat diterima. Sebagai seorang Imam yang membentuk
mazhab besar dalam Islam, Abu Hanifah tidak mungkin berpendapat bahwa per buatan
atau amal tidak penting bagi orang Islam. Seperti kata al Syahrastani: "Bagaimana
mungkin seorang yang dididik beramal sampai besarnya dapat memungkinkan untuk
meninggalkan amal?
Bertitik tolak dari kesimpulan definisi Abu Hanifah di atas, yaitu bahwa perbuatan
atau amal tidak penting, ada ulama yang tidak menyetujui Abu Hanifah ke dalam
kelompok Murji'ah. Untuk memasukkan Abu Hanifah dalam golongan Murji'ah ekstrim
memang tidak mungkin, tetapi untuk memasukkannya ke dalam golongan Murji'ah
moderat, rasanya tidak ada salahnya. "Sekali-kali tidak akan merugikan bagi Abu Hanifah,
kata Ahmad Amin, kalau dimasukkan ke dalam golongan Mur ji'ah." Yang dimaksud oleh
Ahmad Amin adalah Murji'ah moderat. Tetapi Abu Zahrah berpendapat, karena tidak ada
kegiatanpendapat tentang siapa yang dimaksud sebenarnya dengan kaum Murji'ah,
Murji'ah moderat atau Murji'ah ekstrim, sebaiknya Abu Hanifah dan imam-imam lainnya
janganlah dimasukkan ke dalam golongan Murji'ah."kesimpulan juga Abu Hanifah
berpendapat bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak diperhitungkan oleh kafir, tetapi
tetap mukmin, Kaum Murji'ahlah yang pertama sekali mengeluarkan pendapat yang
seperti itu.

Di antara golongan ekstrim yang dimaksud adalah al-Jahmiah, pengikut-pengikut


Jahm Ibn Safwan. Menurut golongan ini orang Islam yang tidak percaya pada Tuhan dan
kemudian menyatakan kekufuran secara lisan bukan menjadi kafir, karena iman dan kufr
tidak hanya berada dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh, bahkan orang tersebut
juga tidak menjadi kafir, sungguhpun menyembah berhala, menjalankan ajaran-ajaran
agama Yahudi atau agama Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada

xxvii
trinity, dan kemudian mati. Orang yang demikian bagi Allah tetap merupakan seorang
mukmin yang sempurna imannya.
Bagi al-Salihiah, pengikut-pengikut Abu al-Hasan al-Salihi, iman adalah mengetahui
Tuhan dan kufr adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian mereka sembahyang
merupakan pendapat merupakan ibadat kepada Allah, karena yang disebut ibadat adalah
iman kepadanya dalam arti mengetahui Tuhan. Lebih lanjut al-Baghdadi menerang kan
dalam al-Salihiah, sembahyang, zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan dan bukan
merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadat hanyalah iman.
Karena dalam pengertian kaum Murji'ah yang disebut iman hanyalah mengetahui
Tuhan, golongan al-Yunusiah mengambil kesimpulan bahwa melakukan maksiat atau
pekerjaan-pekerjaan jahat memanjakan iman seseorang. Golongan al-'Ubaidiah menurut
pendapat tersebut, menegaskan jika seseorang mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan
jahat yang dilakukannya tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan. Karena itu pulalah
maka Muqatil Ibn Sulaiman mengatakan bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak
merusakkan iman seseorang, dan sebaliknya pula perbuatan baik tidak akan mengubah
sudut pandang seorang musyrik atau politheist.
Selanjutnya menurut al-Khassaniah, jika seseorang mengatakan, "Saya tahu bahwa
Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah
kambing ini," orang yang demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Dan jika seseorang
mengatakan, "Saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka'bah tetapi saya tak tahu
apakah Ka'bah di India atau di tempat lain," orang demikian juga tetap mukmin.
Pendapat-pendapat ekstrim tentang pengertian seperti diuraikan di atas dari bahwa
perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian meningkat pada pengertian
bahwa hanya imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya
seseorang; perbuatan-perbuatan tidak memiliki pengaruh dalam hal ini.
Pendapat yang diuraikan al-Asy'ari ini identik dengan pendapat yang dimajukan
golongan Murji'ah moderat. Dan mungkin inilah sebabnya maka Ibn Hazm memasukkan
al-Asy'ari ke dalam golongan kaum Murji'ah.
Paham yang sama diberikan oleh al-Baghdadi ketika ia mene rangkan bahwa ada tiga
macam iman:
1. Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam
neraka: yaitu mengakui Tuhan, Kitab, Rasul-rasul, kadar baik dan buruk, sifat-
sifat Tuhan dan segala keyakinan-keyakinan lain yang diakui dalam syari'at.

xxviii
2. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan yang melenyapkan nama fasik dari
seseorang serta yang melepaskannya dari neraka, yaitu segala sesuatu yang wajib
dan segala sesuatu yang membuat dosa besar.
3. Iman yang membuat seseorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga
tanpa perhitungan, yaitu mengerjakan segala yang wajib serta yang sunnat dan
menjauhi segala dosa.
E. Qadariah dan Jabariyah
kaum Qadariah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan
dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham qadariah manusia mempunyai
kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan
demikian nama AaQadariah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada
qadar atau kadar Tuhan. Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free
will dan free act.
Kaum Jabariah berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mem punyai kemerdekaan
dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada
kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariah berasal dari kata jabara yang mengandung
arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah Inggris paham ini disebut fatalism
atau predestination. Perbuatan perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh kada
dan kadar Tuhan.
Masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh paham jabariah ini.
Bangsa Arab, yang pada waktu itu bersifat serba sederhana dan jauh dari penge terpaksa
menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir, dengan panasnya yang terik
serta tanah dan gunungnya yang gundul. Dalam dunia yang demikian, mereka tidak
banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan seke liling mereka sesuai dengan
keinginan mereka sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan tak berkuasa dalam
menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang ditimbulkan suasana padang pasir. Dalam
kehidupan sehari-hari mereka banyak tergantung pada kehendak natur. Hal ini membawa
mereka pada sikap fatalistis.
Oleh karena itu, ketika paham qadariah dibawa ke dalam kalangan mereka oleh
orang-orang Islam yang bukan berasal dari Arab padang pasir, hal itu menimbulkan
kegoncangan dalam pemikiran mereka. Paham qadariah itu mereka anggap bertentangan
dengan ajaran Islam. Adanya kegoncangan dan sikap menentang paham qadariah ini
dapat kita lihat dalam hadis-hadis mengenai qadariah. Umpamanya hadis:

xxix
‫القدرية بجوس مـن األمة‬

"Kaum Qadariah merupakan Majusi umat Islam." dalam arti golongan yang tersesat.
Tak dapat diketahui dengan pasti kapan paham ini timbul dalam sejarah
perkembangan teologi Islam. Tetapi menurut keterangan ahli ahli teologi Islam, paham
qadariah kelihatannya ditimbulkan buat pertama kali oleh seorang bernama Ma'bad al-
Juhani. Menurut Ibn Nabatah, Ma'bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi
mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak." Dan menurut al-
Zahabi, Ma'bad adalah seorang Tabi'i yang baik. Tetapi ia memasuki lapangan politik
dan memihak 'Abd al Rahman Ibn al-Asy'as, Gubernur Sajistan, dalam menentang
kekuasaan Banu Umayyah Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj Ma'bad mati terbunuh
dalam tahun 80 H.
Dalam pada itu Ghailan sendiri terus menyiarkan paham qadariah-nya di Damaskus,
tetapi mendapat tantangan dari Khalifah Umar Ibn 'Abd al-'Aziz. Setelah 'Umar wafat ia
meneruskan kegiatannya yang lama, sehingga akhirnya ia mati dihukum bunuh oleh
Hisyam 'Abd al-Malik (724-743 M). Sebelum dijatuhi hukum bunuh diadakan
perdebatan antara Ghailan dan al-Awza'i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri."
Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatan nya: manusia sendirilah
yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan
manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas
Kemauan dan dayanya sendiri. Dalam paham ini manusia merdeka datam tingkah
lakunya. Ia berbuat baik adalah atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Demikian pula ia
berbuat jahat atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Di sini tak terdapat paham yang
menga takan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, dan bahwa manusia
dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya yang telah ditentukan
semenjak azal.
Selain dari penganjur paham qadariah, Ghailan juga merupakan pemuka Murji'ah dari
golongan al-Salihiah."Aliran yang sebaliknya, yaitu paham jabariah, kelihatannya
ditonjolkan buat pertama kali dalam sejarah teologi Islam oleh al Ja'd Ibn Dirham. Tetapi
yang menyiarkannya adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan. Jahm yang terdapat dalam
aliran jabariah ini sama dengan Jahm yang mendirikan golongan al-Jahmiah dalam
kalangan Murji'ah sebagai Sekretaris dari Syuraih Ibn al-Haris, ia turut dalam gerakan

xxx
melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap
dan kemudian dihukum bunuh di tahun 131 H.
Paham yang dibawa Jahm adalah lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma'bad
dan Ghailan. Manusia, menurut Jahm, tidak mem punyai kekuasaan untuk berbuat apa-
apa; manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak
mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak
ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.

‫هو مجبور في أفعاله القدرة له والإرادة وال أختيار‬

Perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia, tak ubahnya dengan


gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati Oleh karena itu manusia
dikatakan "berbuat bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majazi atau kiasan, tak
ubahnya seba gaimana disebut, air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan
sebagainya. Segala perbuatan manusia merupakan perbuatan yang. dipaksakan atas
dirinya termasuk di dalamnya perbuatan-perbuatan seperti mengerjakan kewajiban,
menerima pahala, dan menerima siksaan.
Menurut paham ekstrim ini, segala perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan
yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.
Kalau seorang mencuri umpamanya, maka perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas
kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena kada dan kadar Tuhan menghendaki yang
demikian. Dengan kata kasarnya, ia mencuri bukanlah atas kehendaknya, tetapi Tuhanlah
yang memaksanya mencuri. Manusia, dalam paham ini, hanya merupakan wayang yang
digerakkan dalang. Sebagaimana wayang bergerak hanya karena digerakkan dalang,
demikian pula manusia bergerak dan berbuat karena digerakkan Tuhan. Tanpa gerak dari
Tuhan manusia tidak bisa berbuat apa-apa.
Kalau paham fatalisme yang dibawa Jahm seperti diuraikan di atas merupakan
fatalisme dalam bentuk ekstrim, al-Syahrastani menyebut paham jabariah lain yang
bersifat moderat. Paham itu dibawa oleh al-Husain Ibn Muhammad al-Najjar. Tuhanlah,
kata al Najjar, yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, baik perbuatan jahat
maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-
perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dan inilah yang dimaksud dengan kasb atau
acquisition. Paham yang sama diberikan oleh Dirar Ibn 'Amr ketika ia katakan bahwa

xxxi
perbuatan-perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan Tuhan, dan diperoleh
(acquired, iktasaba) pada hakikatnya oleh manusia."
Dalam paham yang dibawa al-Najr dan dirar manusia tidak Lagi hanya merupakan
wayang yang digerakkan dalang Manusia telah mempunyai bagian dalam perwujudan
perbuatan-perbuatannya. bagian yang efektif dan bukan bagian yang tidak efektif.
Menurut paham ini Tuhan dan manusia bekerja sama dalam mewujudkan perbuatan-
perbuatan manusia. Manusia tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatan-
perbuatannya.
Paham kasb al-Najjar dan Dirar merupakan paham tengah antara paham qadariah
yang dibawa Ma'bad serta Ghailan dan paham jabariah yang dibawa Jahm.
Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana sebenarnya soal jabariah fatalisme dan
qadariah atau free will dalam al-Qur'an sebagai sumber utama dan pertama mengenai
ajaran-ajaran Islam? Kalau kita kembali kepada al-Qur'an akan kita jumpai di dalamnya
ayat-ayat yang boleh membawa kepada paham qadariah dan sebaliknya pula akan kita
jumpai ayat-ayat yang boleh membawa kepada paham jabariah.
Ayat-ayat yang boleh membawa kepada paham qadariah umpamanya:

‫وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر‬

Katakanlah: "Kebenaran datang dari Tuhanmu. Siapa yang mau, percayalah ia, siapa
yang mau janganlah ia percaya."

‫اعملوا ماشفت إنه ماتعملون بصير‬

"Buatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya la melihat apa yang kamu
perbuat."
‫اولتا اصابتك مصيبة قد أصبتم قليها قلتم أن هذا ثل هومن عند أنفيكم‬

Bagaimana? Apabila bencana menimpa diri kamu sedang kamu telah menimpakan
bencana yang berlipat ganda (pada kaum musyrik di Badar) kamu bertanya: "Dari mana
datangnya ini?" Jawablah: "Dari kamu sendiri."

‫إن هللا اليفتر مابقوم حتى يغيروا ما بأنفسه‬

xxxii
"Tuhan tidak mengubah apa yang ada pada sesuatu bangsa, sehingga mereka
mengubah apa yang ada pada diri mereka."

➤ Ayat-ayat yang membawa kepada paham jabariah, umpamanya:

‫ماكانواليؤمنوا اال أن يشاء هللا‬

"Mereka sebenarnya tidak akan percaya, sekiranya Allah tidak menghendaki."

‫وهللا خلقك وماتلون‬.

"Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat."

‫وما أصاب منتهية في األرض وال في الفكر االلكتاب من قبل ان تيراما ن‬

"Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah (ditentukan) di
dalam buku sebelum kami wujudkan."
‫ ومارميت اذ رميت ولكن هللا رمی‬.

"Bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi Allahlah
yang melontar (mereka)."

‫وماتشاءون إال أن يشاء هللا‬

"Tidak kamu menghendaki, kecuali Allah menghendaki."

Melihat pada ayat-ayat seperti yang tersebut di atas, tidak meng herankan kalau
paham jabariah dan paham qadariah, sungguhpun penganjur-penganjurnya yang pertama
telah meninggal dunia, masih tetap terdapat di dalam kalangan umat Islam. Dalam
sejarah teologi Islam, selanjutnya paham qadariah dianut oleh kaum Mu'tazilah sedang
paham jabariah, sungguhpun tidak identik dengan paham yang dibawa Jahm Ibn Safwan
atau dengan paham yang dibawa al Najjar dan Dirar, terdapat dalam aliran al-Asy'ariah.
F. Kaum Mu’tazilah

xxxiii
Kaum Mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang
lebih mendalam yang bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum
khawarij dan murji'ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai alat sehingga
mereka mendapat nama "kaum nasionalis Islam".
Golongan mu’tazilah merupakan aliran teologi yang mengedepankan akal sehingga
mereka mendapat nama “Kaum Rasionalis Islam”. Kaum mu’tazilah adalah golongan
yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis
di banding dengan persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murjiah.
Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama mu'tazilah kepada mereka.
Uraian yang biasa disebut buku-buku 'Ilmu al-Kalam berpusat pada peristiwa yang
terjadi antara Wasil Ibn 'Ata' serta temannya 'Amr Ibn' Ubaid dan Hasan Al bashri di
Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran pelajaran yang diberikan Hasan Al Bashri di
Masjid basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang
orang yang berdosa besar. Sebagaimana diketahui kaum khawarij memandang mereka
kafir sedang kaum murji'ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan Al bashri masih
berpikir, wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: "saya
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir,
tetapi mengambil posisi diantara keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir." Kemudian ia
berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan Al bashri pergi ke tempat lain di masjid di sana ia
mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan Al Basri mengatakan: "Wasil
menjauhkan diri dari kita (i'tazala' Anna)." Dengan demikian ia serta teman-temannya,
kata al-Syahrastani disebut kaum mu'tazilah.
Menurut al-Baghdadi, Wasil dan temannya 'Amr Ibn' Ubait Ibn Bab diusir oleh
Hasan Al bashri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai
persoalan Qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjatuhkan diri dari Hasan
Al basri dan mereka serta pengikutnya-pengikutnya disebut kaum mu'tazilah karena
mereka menjatuhkan diri dari paham umat Islam tentang soal orang yang berdosa besar.
Menurut mereka orang serupa ini tidak mukmin dan tidak pula kafir. Dengan demikian
al-Baghdadi tentang pemberian nama mu'tazilah kepada golongan ini.
Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebut bahwa Qatadah Ibn
Da'amah pada suatu hari masuk ke Masjid Basrah dan menuju ke majelis 'Amr Ibn
'Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al bashri. Setelah ternyata baginya
bahwa itu bukan majelis Hasan Al bashri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil

xxxiv
berkata : "Ini kaum mu'tazilah." Semenjak itu, kata Tasy Kubra Zadah mereka disebut
kaum mu'tazilah.
Al mas'udi memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan
pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian paham antara Wasil dan 'Amr dari satu
pihak dan Hasan Al bashri dari pihak lain. Mereka disebut kaum mu'tazilah karena
mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir,
tetapi mengambil posisi di antara kedua posisi itu (al-manzilah Bain al-manzilatain).
Menurut versi ini mereka disebut kaum Mu'tazilah, karena mereka membuat orang yang
berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.
Di samping keterangan-keterangan klasik ini, ada teori baru yang dimajukan oleh
Ahmad Amin. Nama mu'tazilah sudah terdapat sebelumnya adanya peristiwa Wasil
dengan Hasan al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua
posisi. Kalau itu dipakai sebagai designatie terhadap golongan orang-orang yang tidak
orang-orang yang tak mau turut campur dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi
di zaman 'Utsman Ibn 'Affan dan Ali bin Abi Tholib. Mereka menjatuhkan diri dari
golongan-golongan yang saling bertikai. Golongan yang menjatuhkan diri ini memang
dijumpai di dalam buku-buku sejarah. Al-Tabari umpamanya menyebut bahwa sewaktu
Qais Ibn sa'ad sampai di Mesir sebagai Gubernur dari 'Ali Ibn Abi Tholib, ia menjumpai
pertikaian di sana, satu golongan turut padanya dan satu golongan lagi menjatuhkan diri
ke Kharbita ( i'tazalat ila Kharbita ). Dalam suratnya kepada khalifah, Qais menamai
mereka "mu'tazilin". Kalau al-Tabari menyebut nama "Mu'tazilin", Abu al-Fida,
memakai kata "al-Mu'tazilah" sendiri.
Jadi kata-kata "i'tazala" dan "mu'tazilah" telah dipakai kira-kira seratus tahun
sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan Al bashri, dalam arti golongan yang tidak mau
turut campur dalam pertikaian politik yang ada di zaman mereka.
Dengan demikian golongan Mu'tazilah pertama ini mempunyai corak politik. Dan
dalam pendapat Ahmad Amin. Mu'tazilah kedua, yaitu golongan yang ditimbulkan
Wasil juga mempunyai corak politik karena mereka sebagai kaum khawarij dan murji'ah
juga membahas praktek-praktek politik yang dilakukan Utsman, Ali , muawiyah dan
sebagainya.
C.A.Nallino, seorang orientalist Itali mempunyai pendapat yang hampir sama
dengan Ahmad Amin. Berdasarkan pada versi Mas'udi tersebut sebelumnya, ia
berpendapat bahwa nama mu'tazilah sebenarnya tidak mengandung arti "memisahkan

xxxv
diri dari umat Islam lainnya". sebagai yang terkandung dalam versi yang diberikan al-
Syahrastani, al-Baghdadi dan Tasy Kubra Zadah.
Tetapi teori ini dibantah oleh 'Ali sami al-Nasysyar dengan mengemukakan
argumen bahwa ada di antara khalifah-khalifah Bani Umayyah yang menganut paham
mu'tazila. Bani Umayyah termasuk dalam satu golongan yang bertentangan dengan kaum
Khawarij dan yang dipandang oleh kaum mu'tazilah sebagai orang berdosa besar dan
akan kekal dalam neraka.
Al-Nasysyar selanjutnya berpendapat bahwa nama mu'tazilah betul timbul dalam
lapangan pertentangan-pertentangan politik Islam terutama antara 'Ali dan muawiyah
tetapi nama itu tidak dipakai untuk suatu golongan tertentu. Argumentasi yang
dimajukan al-Nasysyar ialah bahwa kata-kata i'tazala dan Al-mu'tazilah terkadang
dipakai untuk orang yang menjatuhkan diri dari peperangan, orang yang menjatuhkan
diri dari Ali dan sebagainya.
Untuk mengetahui asal-usul nama mu'tazilah itu dengan sebenarnya memang
sulit. Berbagai pendapat dimajukan ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat antara
mereka. Yang jelas ialah bahwa nama mu'tazilah sebagai designative bagi aliran teologi
rasional dan liberal dalam Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan Al bashri
di Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa basrah itu telah pula terdapat
kata-kata i'tazala, al- muktazilah. Tetapi kalau kita kembali ke ucapan-ucapan kaum
muktazilah itu sendiri, akan kita jumpai di sana keterangan-keterangan yang dapat
memberikan kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberikan nama itu kepada
golongan mereka, atau sekurang-kurangnya mereka setuju dengan nama itu.Al Qadi al
Jabar umpamanya mengatakan bahwa kata-kata i'tazala yang terdapat dalam Alquran
mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak benar dengan demikian kata mu'tazilah
mengandung arti pujian.
Dengan demikian mereka tidak memandang nama mu'tazilah itu sebagai nama
ejekan. Selain dengan nama mu'tazilah golongan ini juga dikenal dengan nama nama
lain. Mereka sendiri selalu menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-Adl dalam arti
golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan, dan juga ahl al-tauhid wa al-'Adl,
golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan.
Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa orang yang pertama membina
aliran mu'tazilah adalah Wasil Ibn Ata'. Sebagai dikatakan Al mas'udi, ia adalah Syaikh
al-muktazilah wa qadil-muha. Yaitu kepala dan mu'tazilah yang tertua. Ia lahir tahun 81
H di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Di sana ia belajar pada Abu Hasyim Abdullah

xxxvi
Ibn Muhammad Ibn Al hanafiyah kemudian pindah ke baca dan belajar pada Hasan Al
bashri.
G. Ahli Sunnah Wal Jama’ah
Term ahli Sunnah dan Jama'ah ini kelihatannya timbul sebagy reaksi terhadap paham-
paham golongan Mu'tazilah yang telah dig. laskan sebelumnya dan terhadap sikap
mercka dulam menyiarkan ajaran-ajaran itu. Mulai dari Wasil, usaha-usaha telah
dijalankan untuk menyebarkan ajaran-ajaran itu, di samping usaha-usaha yg dijalankan
dalam menentang serangan musuh-musuh Islam. Menurut Ibn al-Murtada, Wasil
mengirim murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman, Marokko, dan lain-
lain.Kelihatannya murid-murid itu berhasil dalam usaha-usaha mereka, karena menurut
Yaqut, di Tahart, suatu tempat di dekat Tilimsan di Marokko, terdapat kurang lebih 30
ribu pengikut Wasil. Mulai dari tahun 100 H atas 718 M, kaum Mu'tazilah dengan
perlahan-lahan memperoled pengaruh dalam masyarakat Islam. Pengaruh itu mencapai
puncaknya di zaman Khalifah-khalifah Bani 'Abbas al-Ma'mum. al-Mu'tasim dan al-
Wasig (813 M-847 M), apalagi setelah al-Ma'mun di tahus 827 M mengakui aliran
Mu'tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Bertentangan dengan paham qadariah yang dianut kaum Mu'tazilah dan yang
menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam berpikir, kemauan dan
perbuatan, pemuka-pemuka Mu'tazilah memakai kekerasan dalam usaha menyiarkan
ajaran-ajaras mereka. Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa al-Qur'an tidak
bersifat qadim, tetapi baharu dan diciptakan. Paham adanya yang qadim di samping
Tuhan bagi kaum Mu'tazilah seperti dijelaskan sebelumnya, berarti menduakan Tuhan.
Menduakan Tuhan ialah syirk dan syirk adalah dosa yang terbesar dan tak dapat
diampuni oleh Tuhan.
Bagi al-Ma'mun orang yang mempunyai paham syirk tak dapat dipakai untuk
menempati posisi penting dalam pemerintahan. Oleh karena itu ia mengirim instruksi
kepada para Gubernurnya untuk mengadakan ujian terhadap pemuka-pemuka dalam
pemerintahan dan kemudian juga terhadap pemuka-pemuka yang berpengaruh dalam
masyarakat. Dengan demikian timbullah dalam sejarah Islam apa yang disebut mihnah
atau inquisition.
Contoh dari surat yang mengandung instruksi itu terdapat dalam Tarikh al-Tabari.
Yang pertama sekali harus menjalani ujian ialah para hakim (al-Qudah). Instruksi itu
menjelaskan bahwa orang yang mengakui al-qur'an bersifat qadim, dan dengan demikian
menjadi musyrik, tidak berhak untuk menjadi hakim. Bukan para hakim dan pemuka-

xxxvii
pemuka saja yang dipaksa mengakui bahwa al-Qur'an diciptakan yang menjadi saksi
dalam perkara yang dimajukan di mahkamah juga harus menganut paham demikian. Jika
tidak, kesaksiannya batal.
Kemudian ujian serupa itu dihadapkan pula kepada pemuka-pemuka tertentu dari
masyarakat, karena yang memimpin rakyat haruslah orang yang betul-betul menganut
paham tawhid. Ahli Fikih dan ahli Hadis di waktu itu mempunyai pengaruh besar dalam
masyarakat. Kalau golongan ini mengakui diciptakannya al-qur'an tentu banyak dari-
rakyat yang mengikuti ajaran Mu'tazilah.
Di antara yang diuji terdapat Ahmad Ibn Hanbal. Salafi saru dari dialog yang terjadi
antara Ishag Ibn Ibrahim, Gubernur Irak dengan Ahmad Ibn Hanbal berjalan sebagai
berikut:

Ishaq : Apa pendapatmu tentang al-Our'an?

Ibn Hanbal : Sabda Tuhan.

Ishaq : Apakah ia diciptakan?

Ibn Hanbal : Sabda Tuhan. Saya tak dapat mengatakan lebih dari itu.

Ishaq : Apa arti ayat: Maha Mendengar (Sami) den Maha Melihat (Basir) (Ishak ingim
menguji Ibn Hanbal tentan paham anthropomorphisme)

Ibn Hanbal : Tuhan mensifatkan diri-Nya (dengan Kata itu).

Ishaq: Apa artinya?

Ibn Hanbal : Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana sifatkan diri-Nya.


[05.12, 26/10/2021] Hmjpai Angga:

Pemuka pemuka yang ikut diuji bersama-sama dengan Ibn Hanby berjumlah kira
kira 30 orang, dan dalam ujian-ujian ulangan selanjutnya hanya Ahmad Ibn Hanbal dan
Muhammad Ibn Nuh yang berkeras dan tidak mau mengubah keyakinan. Yang lainnya

xxxviii
dibebaskan, tetapi Ahmud Ibn Hanbal serta temannya dibelenggu dan dikirim dengan
beberapa orang lain kepada al-Ma'mun di Tarsus.
Tetapi sebelum mereka sampai di kota itu, al-Ma' mun menin dunia dan
sungguhpun demikian, Ibn Hanbal tidak dibebaskan karena ia dipandang sebagai pemuka
penting yang menentang paham diciptakannya al-qur'an. Ujian ujian dilanjutkan lagi di
zaman aj Mu' tasim (833-842 M). Karena keras pada pendiriannya Ibn Hanby didera dan
kemudian dimasukkan ke dalam penjara.
Sikap Ibn Hanbal yang dengan keberaniannya dan tak takut mati
mempertahankan keyakinannya membuat ia mempunyai banyak pengikut di kalangan
umat Islam yang tak sepaham dengan kaum Mu 'tazilah. Sungguhpun pemuka-pemuka
lain menemui ajal dengan hukuman bunuh, al-Mutasim dan al-Wasiq (824-847 M) tak
berani menjatuhkan hukum bunuh atas dirinya. Hukuman serupa itu akaa menimbulkan
kekacauan. Akhirnya al-Mutawakkil membatalkan pemakaian aliran Mu'tazilah sebagai
mazhab di Negara di tahun 848 M. Dengan demikian selesailah riwayat mihnah yang
ditimbulkan kaum Mu'tazilah dan dari ketika itu mulailah menurun pengaruh dan arti
kaum Mu'tazilah.
Tetapi peristiwa itu merugikan bagi aliran Mu'tazilah. Lawan mereka menjadi
banyak; terutama di kalangan rakyat biasa yang tak dapat menyelami ajaran-ajaran
mereka yang bersifat rasional dan filosofis itu. Rakyat biasa, dengan pemikiran mereka
yang sederhana, ingin pada ajaran-ajaran yang sederhana pula. Kaum Mu'tazilah dalam
sejarah memang merupakan golongan minoritas.
Selanjutnya kaum Mu'tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau
tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi
karena mereka ragu akan keoriginalan hadis-hadis mengandung sunnah atau tradisi itu.
Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh
pada sunnah.
Dengan demikian kaum Ms'tazilah, di samping merupakan golongan minoritas,
adalah pula golongan yang tidak kuat berpegang pada Sunnah. Mungkin inilah yang
menimbulkan term ahli Sunnah dan jama'ah, yaitu golongan yang berpegang pada
sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mu'tazilah yang bersifat
minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.
Maka sunnah dalam term ini berarti Hadis. Sebagai diterangkan Ahmad Amin,
Ahli Sunnah dan Jama'ah, berlainan dengan kaum Mu'tazilah percaya pada dan
menerima hadis-hadis sahih tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Dan jama'ah berarti

xxxix
mayonus sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al-Syari'ah al-Mahbubs yaitu
'ammah al-Muslimin (umumnya umat Islam) dan al-jama'ah alkasir wa al-sawad al-a'zam
(jumlah besar dan khalayak ramai).
Term ini kelihatannya banyak dipakai sesudah timbulnya aliran-aliran al-Asy'ari
dan al-Maturidi, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu'tazilah. Dalam hubungan
ini' Tasy Kubra Zadah menerangkan: "dan aliran Ahli Sunnah dan Jama'ah muncul
(zahara) atas keberanian dan usaha Abu al-Hasan al-Asy'ari di sekitar tahun 300 H,
karena ia lahir di tahun 260 H, dan menjadi pengikut Mu'tazilah selama 40 tahun.
Dengan kata lain al-Asy'ari keluar dari golongan Mu'tazilah sekitar tahun 300 H dag
selanjutnya membentuk aliran teologi yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri.
Tetapi lama sebelum lahirnya aliran Asy'ari kata-kata sunnah dan jama'ah telah dijumpai
di dalam tulisan-tulisan Arab. Umpamanya di dalam surat al-Ma' mun kepada
Gubernurnys Ishag Iba Ibrahim yang ditulis di tahun 218 H, yaitu sebelum al-Asy'ari
lahir, tercantum kata-kata wa nasabu anfusahum ila al-sunnah (mereka Mmempertalikan
diri mereka dengan sunnah) dan kata-kata ahl ai-hag wa al-din wa al-jama'ah (ahli
kebenaran, agama dan jama'ah).
Bagaimanapun, yang dimaksud dengan Ahli Sunnah dan Jama'ah Di dalam
lapangan teologi Islam adalah kaum Asy'ariah dan kaum maturidi. Abu al Hasan 'Ali Ibn
Isma'il al-Asy'an lahir di Basrah di tahun 873 M dan wafat di Bagdad pada tahun 935 M.
Pada mulanya dia adalah murid al-Jubba'i dan salah seorang terkemuka dalam golongan
Mu'tazilah sehingga menurut al-Husain Ibn Muhammad al-' Askari, al-Jubba'i berani
mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.
Tetapi oleh sebab-sebab yang tidak begitu jelas, al-Asy'ari, sungguhpun telah
puluhan tahun menganut paham Mu'tazilah, akhir. nya meninggalkan ajaran Mu'tazilah.
Sebab yang biasa disebut, yang berasal dari al-Subki dan Ibn 'Asakir, ialah bahwa pada
suatu malam al-Asy'ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW, mengatakan
kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mu'tazilah salah.
Sebab lain bahwa al-Asy'ari berdebat dengan gurunya al-Jubba'i dan dalam perdebatan
itu guru tak dapat menjawab tantangan murid.
Salah satu perdebatan itu, menurut al-Subki, berlaku sebagai berikut:

Al-Asy'ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: Mukmin, kafir dan anak kecil di
akhirat?

xl
al-Jubba'i : Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk neraka,
dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.

Al-Asy'ari : kalau yang kecil ingin memperoleh tempat AJ-Asy a yang lebih tinggi di
surga, mungkinkah itu?

al-Jubba'i : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya
kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang serupa itu.

Al-Asy 'ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: Itu bukanlah salahku. Jika
sekiranya engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan
baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.

al-Jubba'i : Allah akan menjawab: "Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup engkau akan
berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku
cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab.”

Al-Asy 'ari : Sekiranya yang kafir mengatakan: "Engkau ketahui masa depanku
sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau Udak jaga
kepentinganku?”

Di sini al-Jubba'i terpaksa diam.


Terlepas dari soal sesuai atau tidak sesuainya uraian-uraian al-Subki di atas dengan fakta
sejarah, jelas kelihatan bahwa al-Asy'ari sedang dalam keadaan ragu-ragu dan tidak
merasa puas lagi dengan aliran Mu'tazilah yang dianutnya selama ini. Kesimpulan ini
diperkuat bleh riwayat yang mengatakan bahwa al-Asy'ari mengasingkan diri di rumah
selama lima belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Sesudah itu ia keluar
rumah, pergi ke mesjid, naik mimbar dan menyatakan:
"Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir tentang
keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang diberikan masingmasing golongan. Dalil-dalil
yang dimajukan, dalam penekhtian says, sama kuatnya. Oleh karena itu saya meminta
petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-Nya saya sekarang meninggalkan keyakinan-
keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan baru yang saya tulis dalam buku-

xli
buku ini. keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan
baju ini."
Disini sini timbul sial apa sebenarnya yang menimbulkan Perasaan syak dalam diri
al-Asy'ari yang kemudian mendorongnya Untuk meninggalkan paham Mu'tazilah?
Berbagai tafsiran diberikan untuk, menyelaskan hal ini. Menurut Ahmad Mahmud Subhi
syak itu timbul karena al-Asy'ari menganut mazhab Syafi'i. Al-Syafi'i mempunyai
pendapat teologi yang berlainan dengan ajaran-ajaran Mu'tazilah umpamanya al-Syafi'i
berpendapat bahwa ai-Qur'an tidak diciptakan tetapi bersifat gadim dan bahwa Tuhan
dapat dilihat di akhirat nanti.
Menurut Hammudah Ghurabah ajaran-ajaran seperti yang diperoleh al-Asy'ari dari
al-Jubba'i, menimbulkan persoalan-persoalan yang tak mendapat penyelesaian yang
memuaskan, umpamanya soal mukmin, kafir, dan anak kecil tersebut di atas. Dari
kalangan kaum Orientalis, Mac Donald berpendapat bahwa darah Arab Padang Pasir
yang mengalir dalam tubuh al-Asy'ari yang mungkin membawanya kepada perubahan
mazhab itu. Arab padang pasir bersifat tradisional dan fatalistis sedang kaum Mu'tazilah
bersifat rasional dan percaya pada kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Spitta
menganggap bahwa al-Asy'ari setelah mempelajari Hadis melihat perbedaan yang
terdapat antara ajaran-ajaran Mu'tazilah dan "spirit Islam”. Yang dimaksud Spitta dengan
"spirit Islam” kelihatannya ialah Islam sebagai digambarkan dalam Hadis.
Bagaimanapun interpretasi-interpretasi seperti yang dimajukan di atas tidak dapat
memberikan jawaban yang memuaskan. Pendapat pendapat itu menimbulkan persoalan
lain pula: apa sebabnya sesudah puluhan tahun menganut paham Mu'tazilah baru al-
Asy'ari merass hal-hal tersebut di atas? Dan kemudian menukar mazhab?
Tetapi bagaimanapun al-Asy'ari meninggalkan paham Mu'tazilah seketika
golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah al-
Mutawakkil membatalkan putusan zlMa'mun tentang penerimaan aliran Mu'tazilah
sebagai mazhab negara, kedudukan kaum Mu'tazilah mulai menurun, apalagi setelah al-
Mutawakkil menunjukkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn
Hanbat, lawan Mu'tasilah terbesar di waktu yu, Sekarang keadaan menjadi terbalik; Ibn
Hanbul dan pengikut pengikutnya, menjadi golongan yang dekat pada pemerintah,
sedangkan kaum Mu'tazilah menjadi golongan yang jauh dari Dinasti Bani 'Abbas. Umat
Islam yang tak setuju dengan ajaran ajaran Mu'tasilah selama ini mulai merasa bebas
untuk menyerang mereka. Dalum keadaan serupa ini timbul pula perpecahan di dulum
golongan Mu'tazilah sendiri.

xlii
Bahkan sebagian pemuka-pemuka meninggalkan barisan Mu'tazilah seperti Abu
'Isa al-Warraq dan Abu al-Husain Ahmad Ibn al-Rawandi.
Dalam suasana demikianlah al-Asy'ari keluar dari golongan Mu'tazilah dan
menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada Hadis.
Di sini timbul pertanyaan, apakah tidak mungkin bahwa al-Asy'ari meninggalkan paham
Mu'tazilah, karena melihat bahwa aliran Mu'tazilah tidak dapat diterima oleh umumnya
umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran-pemikiran? Dan pada waktu itu
tidak ada aliran teologi lain yang teratur sebagai gantinya untuk menjadi pegangan
mereka. Dengan kata lain, tidakkah mungkin bahwa al-Asy'ari melihat bahayanya bagi
umat Islam kalau mereka ditinggalkan tidak mempunyai pegangan teologi yang teratur.
Rasanya hal inilah, ditambah dengan perasaan syak tersebut di atas yang mendorong al-
Asy'ari untuk meninggalkan ajaran-ajaran Mu'tazilah dan membentuk teologi baru
setelah puluhan tahun ia menjadi penganut setia afiran Mu'tazilah.
Ajaran-ajaran al-Asy'ari sendiri dapat diketahui dari buku-buku yang ditulisnya,
terutama dari Kitah al-Luma' Fi al-Rad 'ala Ahl al-Ziagh wa al-Bida' dan al-Ibanah 'an
Usul al-Dianah di samping buku-buku yang ditulis oleh para pengikutnya. Sebagai
penentang Mu'tazilah, sudah tentu ia berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Mustahil kata al-Asy'ari Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan demikian
zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan Sendiri adalah pengetahuan, Tuhan bukan
pengetahuan ('ilm) tetapi Yang Mengetahui ('Alim). Tuhan mengetahui dengan
pengetahuan dan pengetahuan Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula dengan Sifat-sifat
seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
Al-Qur'an, berlainan pula dengan pendapat al-Mu'tazilah, bagi
al-Asy'ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, maka sesuai dengan ayat:
ُ‫اِنٌَ َما قَ ْولُنَالِش َْي ٍءاِ َذٓااَ َر ْدنَاهُ اَنْ نَقُ ْو َل لَهُ ُكنْ فَيَ ُك ْون‬
untuk penciptaan itu perlu kata kun, dan untuk terciptanya kun ini perlu pula
kata kun yang lain; begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang
tak berkesudahan. Dan ini tak mungkin. Oleh karena itu Al-Qur'an tak mungkin
diciptakan.
Tuhan dapat dilihat di akhirat, demikian pendapat al-Asy'ari. Di antara alasan-
alasan yang dikemukakannya, ialah bahwa sifat-sifat yang tak dapat diberikan kepada
Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan. Sifat
dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal ini; karena apa yang dapat dilihat
tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan. Dengan demikian kalau

xliii
dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu tidak mesti berarti bahwa Tuhan harus bersifat
diciptakan.
Perbuatan-perbuatan manusia, bagi al-Asy'ari, bukanlah diwujudkan oleh
manusia sendiri, sebagai pendapat Mu'tazilah, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan
kufr adalah buruk, tetapi orang kafir ingin supaya gerbuatan kufr itu sebenarnya bersifat
baik. Apa yang dikehendaki orang kafir ini tak dapat diwujudkannya. Perbuatan iman
bersifat baik, tetapi berat dan sulit. Orang mukmin ingin supaya perbuatan iman itu
janganlah berat dan sulit, tetapi apa yang dikehendakinya itu tak dapat diwujudkannya.
Dengan demikian yang mewujudkan perbuatan kufr itu bukanlah orang kafir yang tak
sanggup membuat kufr bersifat baik, tetapi Tuhanlah yang mewujudkan dan Tuhan
memang berkehendak supaya kufr bersifat buruk.
Dermikian pula, yang menciptakan pekerjaan iman bukanlah orang mukmin
yang tak sanggup membuat iman bersifat tidak berat dam sulit. tetapi Tuhanlah yang
menciptakannya dan Tuhan memang menghendaki supaya iman bersifat berat dan sulit.
Istilah yang dipakas al-Asy ari untuk perbuatan manusia yang diciptakan Tuhan jalah al-
kasb. Dan dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan mu, daya yang ada dalam diri
manusia tak mempunyai efek.
Mengenai anthropomorphisme, al-Asy'ari berpendapat bahwa Tahan
mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana (bila
kaifa)yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (Ia yukayyaf wa la yuhad).
Al-Asy'ari seterusnya menentang paham keadilan Tuhan yang dibawa kaum
Mu'tazilah. Menurut pendapatnya Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada suatu pun yang
wajib bagi-Nya. Tuhag berbuat se -Nya, sehingga kalau Ia memasukkan seluruh manusia
ke dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil dan jika Ia memasukkan seluruh manusia
ke dalam neraka tidaklah Ia bersifat zalim. Dengan Wemikian ia juga tidak setuju dengan
ajaran Mu'tazilah tentang al-wa'd wa al-Wa'id.
Juga ajaran tentang posisi menengah ditolak. Bagi al-Asy'ari orang yang berdosa
besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang
dilakukannya ia menjadi fasiq. Sekiranya orang berdosa besar bukanlah mukmin dan
bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau iman; dengan
demikian bukanlah ia atheis dan bukanlah pula monotheis, tidak teman dan tidak pula
musuh. Hal serupa ini tidak mungkin. Oleh karena itu tidak pula mungkin bahwa orang
berdosa besar bukan mukmin dian pula tidak kafir.

xliv
Kalau al-Asy'ari merupakan pemuka yang pertama membentuk aliran yang
kemudian memakas namanya, maks pemuka-pemuka yang memperkembangkan aliran
itu adalah pengikut-pengikutnya Salah satu di antara pengikut yang terpenting ialah
Muhammad Ibg al-Tayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani. la memproleh ajaran-
ajaran al-Asy'ari dari dua mundnya, Ibn Mujahid dan Aby al-Hasan al-Bahili, dan wafat
di Bagdad tahun 1013 M. Tetapi al-Baqillani tdak begitu saja menerima ajaran-ajaran al-
Asy'ari. Dalan beberapa hal ia tidak sepaham dengan al-Asy'ari.
Apa yang disebut sifat Allah umpamanya, bagi al-Baqillani bukanlah sifat, tetapi
hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dar Mu 'tazilah; sungguhpun ia pada mulanya
mempunyai pendapat yang sebaliknya.
Selanjutnya ia juga tidak sepaham dengan al-Asy'ari mengena paham perbuatan manusia.
Kalau bagi al-Asy'ari perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan seluruhnya, menurut
al-Baqillani manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan
perbuatannya, Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia,
adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Dengan kata lain,
gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan
dam sebagainya. Gerak sebagai genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berdiri,
berbaring, berjalan dan sebagainya yang merupakan spectes (naw') dari gerak, adalah
perbuatan manusia. Manusialah yang membuat gerak, yang diciptakan Tuhan itu,
mengambil bentuk sifat duduk, berdiri dan sebagainya. Dengan demikian kalau bagi
AlAsy'ari daya manusia dalam kasb tidak mempunyai efek, bagi al-Baqillani daya itu
mempunyai efek.
Salah satu pengikut al-Asy'ari yang besar pula pengaruhnya ialah 'Abd al-Malik
al-Juwaini yang juga terkenal dengan nama Imam al-Haramain. Ia lahir di Khurasan
tahun 419 H, dan wafat di tahus 478 H.
Sama dengan al-Baqillani, al-Juwaini juga tidak selamanya setup Gengan ajaran-
ajaran yang ditinggalkan al-Asy'ari. Mengenai anthropomorphisme umpamanya ia
berpendapat bahwa tangan Tuhan harus diartikan (ta'wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan
diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan Dan keadaan
Tuhan duduk di atas tahta kerajaan diartikan Tuhan Berkuasa dan Maha tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia al-Juwaini pergi lebih jauh dari al-Baqillani.
Daya yang ada pada manusia dalam pendapat al-Juwaini juga mempunyai efek. Tetapi
efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan
tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya ini bergantung pula pada

xlv
sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikianlah
seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan. Dengan
demikian al-Juwaini berada jauh dari paham al-Asy'ari dalam hal ini dan dekat dengan
paham Mu'tazilah tentang causality, atau sebagai kata Ahmad Amin, "kembali dengan
melalui jalan berkelok-kelok kepada ajaran Mu'tazilah.”
Abu Hamid af-Ghazali (1058-111) adalah pengikat al-Asy'ari yang terpenting dan
terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran ahli Sunnah dan Jama'ah.
Berlainan dengan gurunya al-Juwaini dan dengan al-Baqillani, paham teologi yang
dimajukannya boleh dikatakan tidak berbeda dengan paham-paham al-Asy'ari. Al-
Ghazali, seperti al-Asy'ari tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim
yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat Juga Al-Qur'an,
dalam pendapatnya bessifat qadim dan tidak diciptakan Mengenai perbuatan manusia, ia
juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya
untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai impotensi.
Selanjutnya al-Ghazali mempunyai paham yang sama dengan al-Asy'ari tentang beautific
vision Yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai Wujud dapat
dilihat. Demikian pula penolakan terhadap paham keadilan yang ditimbulkan kaum
Mu'tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (al-salah wa al-aslah)
manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran pada manusia atas perbuatan
perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada
manusia. Tuhan berkuasa mudak dan tidak akag bertentangan dengan sifat-sifat
ketuhanan-Nya, jika atas kehendak Nya, Ia menghancurkan makhluk-Nya atau memberi
ampun kepada semua orang kafir dan menghukum semua orang mukmin.
Atas pengaruh al-Ghazali, ajaran al-Asy'ari yang serupa inilah yang meluas di
kalangan Islam Ahli Sunnah dan Jama'ah. Aliran Asy'ariah sungguhpun muncul di waktu
aliran Mu'tazilah sedang dalam keadaan jatuh, tidak cepat meluas di dunia Islam bahkan
pemuka-pemukanya pernah mengalami tindasan dari pihak penguasa. penguasa Islam.
Setelah dijatuhkan oleh al-Mutawakkil di tahun 848, kaum Mu 'tazilah mendapat
kesempatan untuk naik kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaihi di Bagdad.
Ahmad Ibn Buwaihi, kepala Dinasti yang beraliran Syi'ah, menyerang dan menguasat
Bagdad di tahun 945. Dinasti Buwaihi berkuasa di ibukota Bani ' Abbas ini sampai tahun
1055.
Di zaman ini orang-orang Mu'tazilah mulai kembali menduduki posisi-posisi
penting dalam negara; seperti Abu Muhammad 'Abdullah Ibn Ma'ruf, Hakim Kepala

xlvi
(Qadi al-Gudah) Kerajaan Bani 'Abbas di Bagdad dan 'Abd al-Jabbar Ahmad Ibn 'Abd
al-Jabbar, Hakim Kepala Daerah Ray. Juga diadakan majelis-majelis besar untuk
pengajaran aliran Mu'tazilah, seperti majelis Abu al-Hasan Muhammad Ibn Tayyib al-
Basri di Bagdad dan majelis al-Hasan Ibn Raja al-Dahhan, Kalau seratus tahun
sebelumnya, kaum MU 'tazilah mendapat sokongan kuat dari Khalifah al-Ma' mun maka
kali ini sokongan yang demikian mereka peroleh dari al-Sahib Ibn 'Abbad, (977-995 M)
Perdana Menteri dari Sultan Fakhr al-Dawlah.
Dinasti Buwahi beraliran Syi'ah dan dalam teologi, Syi'ah dan Mu'ah mempunyai
paham-paham dasar yang sama Ini dapat dilibat dari buku-buku teologi Syi'ah
umpamanya buku Syarh Bah akad Anwar atau Anwar al-Malakut FI Syarh al-Yaqut oleh
al-Hilli. Apa sehabnya kaum Syi'ah mempunyai paham Mu'tazilah dalam teologi tidak
begitu jelas. Di antara argumen argumen yang dimajukan, sesudah kaum Mu'tazilah jatuh
dan ahli Hadis dan kemudan kaum Asy'ariah berpengaruh dalam masyarakat Islam,
golongan Mu'tazilah berteman dengan kaum Syi'ah untuk menentang Ajaran Ahli
Sunnah. Dan kaum Syi'ah sebagai golongan yang terutama mementingkan soal politik
pada waktu itu belum mempunyai ajaran-ajaran teologi.
Selain itu, golongan Syi'ah banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat
dan bagi golongan yang serupa ini teologi yang berdasar pada rasio seperti dianjurkan
kaum Mu'tazilah lebih sesuai dari pada aliran teologi yang banyak bersifat tradisional,
seperti yang ditimbulkan oleh ai-Asy'ari.
Sewaktu Dinasti Buwaihi digulingkan oleh Tughril dari Dinasti Saljuk di tahun
1055, kedudukan golongan Mu'tazilah belum mengalami perubahan. Tughril mempunyai
Perdana Menteri yang beraliran Mu'tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad Ibn Mansur al-
Kunduri (416456 H). Atas pengaruhnya kaum Mu'tazilah tetap dalam keadaan baik dan
Ahli Sunnah sebaliknya mulai mengalami masa kesukaran. Antara golongan Asy'ariah
dan golongan Mu'tazilah timbul permusuhan dan, atas usaha al-Kunduri, Sultan Tughril
mengeluarkan perintah untuk menangkapi pemuka-pemuka aliran Asy'ariah. Di antara
yang ditangkap dan dipenjarakan terdapat Abu al-Qasim al-Qusyairi (986-1074). Imam
al-Haramain dan pemuka-pemuka lain melarikan diri ke Hijaz.
Pemburuan terhadap pemuka-pemuka Asy'ari ini berhenti dengan wafatnya
Tughril di tahun 1063, Penggantinya Alp Arselan (1063-1092) mengangkat Nizam al-
Mulk sebagai pengganti al-Kunduri.
Perdana Menteri baru itu adalah penganut aliran Asy'ariah, dan atas usahanya
pula aliran ini cepat berkembang, sedangkan aliran Mu'tazilah mulai mundur kembali, la

xlvii
mendirikan sekolah-sekolah yang diberi nama al Nizamiah, di antaranya di Bagdad di
mana al-Ghazali pernah mengajar. Di sekoloh-sekolah ini dan sekolah lain diajarkan
teologi Asy'ariah. Pembesar-pembesar negara juga menganut aliran Asy'ariah Dengan
demikian paham paham Asy'ariah pun mulai tersebar luas bukan di daerah kekuasaan
Saljuk saja, tetapi juga di dunia Islam lainya.
Di Mesir aliran itu dibawa oleh Salah al-Din al-Aiyubi, sebagai pengganti
dari aliran Syi'ah yang dibawa olch kerajaan Fatimi yang berkuasa di Mesir dari tahun
969 M sampai 117 M. Ke Maroko dan Andalusia aliran itu disiarkan oleh Muhammad
Ibn Tuman, murid dan al-Ghazali dan yang kemudian mendirikan Kerajaan Muwahhud
(1130-1269) di Afrika Utara dan Spanyol. Di dunia Islam bagian Timur ajaran itu dibawa
olch Mahmud al-Ghaznawi (999-1030 M) sampai ke India. Kerajaan yang dibentuk
Dinasti Ghaznawi ia berkuasa di Afganistan dan Punjab dari tahun 962 sampai 1186 M.
Pada suatu masa kekuasaan Dinasti ini meluas sampai ke Irak melalui Persia.
Pada waktu itu rakyat biasanya mengikuti mazhab yang dipakai Dinasti yang
berkuasa. Ini merupakan masalah satu faktor penting bagi tersebarluasnya aliran
Asy'ariah di dunia Islam pada waktu itu. Dengan lenyapnya aliran-aliran lain, terutama
aliran Mu'tazilah, maka aliran Asy'ariah tak memperoleh saingan untuk mempengaruhi
umat Islam sejak waktu itu hingga sekarang.

2. Aliran Maturidiah

Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkand
pada pertengahan kedua dari abad ke-9 M dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak
diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-
paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu
Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam
golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiah.

Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran maturidiah tidak sebanyak
literatur mengenai ajaran-ajaran Asy'ariah. Buku-buku yang banyak membahas soal
sekte-sekte seperti buku-buku al-Syahrastani, Ibn Hazm, al-Baghdadi dan lain-lain tidak
memuat keterangan-keterangan tentang al-Maturidi atau pengikut-pengikutnya.
Karangan-karangan al-Maturidi sendiri masih belum dicetak dan tetap dalam bentuk
MSS (Makhtutat).

xlviii
Di antara MSS itu ialah Kitab al-Tawhid dan Kitab Ta'wil al-Qur'an. Seterusnya
ada pula karangan-karangan yang dikatakan disusun oleh al-Maturidi yaitu Risalah Fi
al-'Aqa'id dan Syarh al-Fiqh al-Akbar. Keterangan-keterangan mengenai pendapat-
pendapat al-Maturidi dapat diperoleh lebih lanjut dari buku-buku yang dikarang oleh
pengikut-pengikutnya seperti Isyarat al-Maram oleh al-Bayadi dan Usul al-Din oleh al-
Bazdawi.
Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan
keagamaannya, al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam sistem teologinya.
Oleh karena itu antara teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh al-
Asy'ari terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran
Mu'tazilah.
Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara al-Asy'ari dan al-
Maturidi. Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat. Maka menurut pendapatnya, Tuhan
mengetahui bukan dengan zat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan
berkuasa bukan dengan zat-Nya.
Tetapi dalam soal perbuatan-perbuatarn manusia, al-Maturidi sependapat
dengan golonan Mu'tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-
perbuatannya. Dengan demikian ia mempunyai paham qadariah dan bukan paham
jabariah atau kasb Asy'ari.
Sama dengan al-Asy'ari, al-Maturidi menolak ajaran Mu'tazilah tentang al-
salah wa al-aslah, tetapi di samping itu al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu. Al-Maturidi juga tidak sepaham dengan
Mu'tazilah tentang masalah Al-Qur'an yang menimbulkan heboh itu. Sebagaimana al-
Asy'ari ia mengatakan bahwa kalam atau sabda Tuhan tidak diciptakan, tetapi bersifat
qadim.
Mengenai soal dosa besar al-Maturidi sepaham dengan al-Asy'ari bahwa
orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa Besarnya akan ditentukan
Tuhan kelak di akhirat. Ia pun menolak paham posisi menengah kaum Mu 'tazilah.
Tetapi dalam soal al-wa'd wa al-wa'id al-Maturidi sepahan dengan Mu'tazilah.
Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak. Dan juga
dalam soal anthropomorphisme al-Maturidi sealiran dengan Mu'tazilah. Ia tidak
sependapat dengan al-Asy'ari bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai
bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi atau ta'wi, Menurut pendapatnya tangan,
wajah dan sebagainya mesti diberi arit majazi atau kiasan.

xlix
Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi ialah Abu al-Yug Muhammad al-
Bazdawi (421-493 HI). Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi, dan al-Bazdawi
mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-Bazdawi sendiri mempunyai
murid-murid dan salah seorang dari mereka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi
(460-537 H), pengarang buku al-'Aqa 'idal-Nasafiah.
Seperti al-Baqillani dan al-Juwaini, al-Bazdawi tidak pula selamanya sepaham
dengan al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiah ini, terdapat perbedaan
paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiah terdapat dua golongan:
golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara
yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Kalau golongan Samarkand mempunyai paham-
paham yang lebih dekat kepada paham Mu'tazilah, golongan Bukhara mempunyai
pendapat-pendapat
yang lebih dekat kepada pendapat-pendapat al-Asy'ari.
Aliran Maturidiah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah teologi yang
banyak dianut oleh umat Islam yang memakai mazhab Hanafi.

l
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pada masa Rasulullah, segala permasalahan umat diselesaikan langsung
olehnya.
Namun sepeninggal Rasul, maka banyak hal yang membuat umat Islam kebingungan,
termasuk di dalamnya penunjukan pemimpin umat sepeninggal Rasul.
Kepemimpinan
Abu Bakar sebagai khalifah pertama telah menimbulkan pro-kontra, terutama dari
ahlul bait, pada masa umar, stabilitas politik umat cukup stabil, namun pada masa
Usman, terutama setengah akhir jabatan kekhalifahannya, banyak kebijakan lahir
tanpa memperhatikan kepentingan umat Islam, sehingga polemik ini berakhir pada
pembunuhan terhadapnya.
Selama masa kepemimpinannya, Ali bin Abi Thalib menghadapi berbagai
permasalahan yang mungkin jika diberikan kepada orang lain akan menjadi berbeda
ceritanya. Walaupun dalam keadaan yang sangat terdesak, ternyata Ali bin Abi
Thalib
tidak kehilangan kebesarannya, masih menjunjung tinggi nilai-nilai Islam walaupun
menurut sebagian orang, Ali bin Abi Thalib melakukan kesalahan dalam menunda
pengusutan pembunuhan Usman dan penerimaan Tahkim. Kondisi terakhir telah
menyebabkan konflik berkepanjangan dalam tubuh umat Islam yang bermuara pada
lahirnya aliran teologi dalam Islam.
B. Saran

li
Makalah kami ini masih jauh dari kata sempurna untuk itu kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi tercapainya
kesempurnaan makalah kami ini.

DAFTAR PUSTAKA

Dra. Hj.Elpianti Sahara Pakpahan, MA, 2017, Pemikiran Mu’tazilah. Vol-II No 02.
http://jurnal.pancabudi.ac.id

Harun Nasution, 2010. Teologi islam dan aliran-aliran sejarah Analisa perbandingan.
Jakarta : Universitas Indonesis (UI-Press.2006)

Sabli Muhammad, Perang Shifin Dan Implikasinya Bagi Kemunculan Kelompok Khawarij
Dan Murjiah. Aliran-Aliran Teologi Dalam Islam. Vol-2, 106-109. https://media.neliti.com

lii

Anda mungkin juga menyukai