Anda di halaman 1dari 7

TEOLOGI MATULIDIYAH

SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3


GUGUN SYAFATI
HAMDAN
PUTRI RAMADHANI
FAIDIL AKBAR
MUHAMMAD ALFAJRIN SYAH

PRODI ILMU POLITIK 3 (2020)


FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
KATA PENGANTAR

Sykur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kai dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas
kelompok kami dari mata kuliah SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM dengan judul “TEOLOGI MATURIDIAH”

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak dengan tulus memberikan doa, saran, dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran
serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan
A. Sejarah Teologi Matulidiyah

Setelah wafatnya Khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib sebagai
khalifah keempat, umat Islam terpecah dalam memberikan dukungan. Ada yang meminta
supaya diusut dulu penyebab wafatnya Usman dan siapa dalang di baliknya, sedangkan yang
lain meminta ditegakkan dulu posisi khalifah untuk meredakan situasi yang genting.
Kondisi yang ‘mencekam’ itu membuat umat Islam terpecah dalam memberikan
dukungan kepada Ali bin Abu Thalib. Ada yang mendukung dan ada pula yang
menentangnya. Akibatnya, bermunculan tuduhan saling menyesatkan di antara umat Islam.
Bahkan, sampai ada kelompok yang mengafirkan kelompok lain. Inilah salah satu faktor yang
menyebabkan munculnya paham atau aliran teologi (akidah) dalam Islam. Di antara aliran
teologi itu, salah satunya adalah aliran Maturidiyah.
Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional.
Aliran ini kali pertama muncul di Samarkand, pertengahan kedua abad kesembilan Masehi.
Nama aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Al-
Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan
pertentangan pendapat antara Muktazilah dan Asy’ariyah mengenai kemampuan akal
manusia.
Aliran ini disebut-sebut memiliki kemiripan dengan Asy’ariyah. Sebelum mendirikan
aliran Maturidiyah ini, Abu Mansur al-Maturidi adalah murid dari pendiri Asy’ariyah, yakni
Abu Hasan al-Asy’ari.
Dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, disebutkan, pada
pertengahan abad ke-3 H terjadi pertentangan yang hebat antara golongan Muktazilah dan
para ulama. Sebab, pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat Islam. Al-Maturidi
yang hidup pada masa itu melibatkan diri dalam pertentangan tersebut dengan mengajukan
pemikirannya. Pemikiran-pemikiran al-Maturidi dinilai bertujuan untuk membendung tidak
hanya paham Muktazilah, tetapi juga aliran Asy’ariyah. Banyak kalangan yang menilai,
pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Muktazilah dan Asy’ariyah. Karena
itu, aliran Maturidiyah sering disebut “berada antara teolog Muktazilah dan Asy’ariyah”.
Namun, keduanya (Maturidi dan Asy’ari) secara tegas menentang aliran Muktazilah.
Kaum Asy’ari berhadapan dengan Muktazilah di pusatnya, yakni Basrah, sedangkan Maturidi
berhadapan di Uzbekistan, di daerah Maturid. Karena itulah, Maturidiyah dan Asy’ariyah
dianggap memiliki kesamaan walaupun berbeda aliran.
Menurut Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Ahmad Hanafi dalam Theology
Islam (Ilmu Kalam), yang sering dipermasalahkan keduanya tidak lebih dari 10 soal dan
semuanya tidak terlalu prinsip, kecuali hanya istilah. Keduanya membela kepercayaan yang
ada dalam Alquran. Dalam usahanya tersebut, keduanya mengikatkan diri pada kepercayaan
itu.

B. Tokoh Pemikir Aliran Matulidiyah

Dalam sejarah Islam, pernah berkembang pemikiran teologi yang menggabungkan


rasio dan dalil-dalil nas Al-Quran maupun hadis untuk memahami akidah keislaman. Salah
satu aliran populer di arus pemikiran ini adalah Maturidiyah. Aliran Matudridyah meyakini
bahwa akal dan syariat saling melengkapi untuk mencapai kebenaran ilahiyah. Sementara
penamaan Maturidiyah dinisbahkan kepada nama pendirinya: Abu Mansur Al-Maturidi.
Adapun Abu Mansur Al-Maturidi adalah tokoh pemikir Islam yang lahir di Maturid,
Samarkand pada tahun 853 Masehi atau Abad 3 Hijriah, tepatnya semasa pemerintahan
Khalifah Al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyah. Saat ini, wilayah Maturid berada di
Uzbekistan. Di masa silam, aliran ini berkembang pesat di Maturid, Samarkand sehingga
dikenal sebagai aliran Maturidiyah Samarkand. Selain di Samarkand, Maturidiyah
berkembang di Bukhara. Dua tempat ini dianggap sebagai episentrum tumbuhnya aliran
pemikiran Maturidiyah.
Kemunculan Maturidiyah dianggap menjadi respons atas berkembangnya aliran
Mu'tazilah di masa Dinasti Abbasiyah. Aliran Mu'tazilah berpandangan bahwa kebenaran
dapat dicapai hanya dengan rasio atau akal manusia. Sedangkan Maturidiyah menyangkal
hal itu dan menyodorkan pemikiran bahwa, untuk mencapai kebenaran ilahiyah, seorang
muslim tidak dapat hanya berpegang kepada akal, melainkan harus mengiringi
pertimbangan rasio dengan syariat dari Allah SWT.
Dari sisi fikih, penganut Maturidiyah pada masa awal kemunculannya bermazhab
Hanafi. Mazhab ini berpengaruh besar pada aliran pemikiran Maturidiyah. Mazhab Hanafi
dikenal sebagai mazhab fikih yang menelurkan banyak pemikiran tentang hukum Islam
dengan disertai pertimbangan rasio tanpa mengabaikan sumber-sumber utama dalam
syariat. Sepanjang hidupnya, Abu Mansur Al-Maturidi menyebarkan ajaran Maturidyah di
Samarkand. Dia meninggal di kota itu pada 333 H pada usia sekitar 100 tahun. Salah satu
muridnya, Abu Qasim Al-Samarkandi memahat batu nisan makam Abu Mansur Al-Maturidi
dengan kalimat penghormatan:
"Ini adalah makam tokoh yang telah mencapai berbagai ilmu dalam setiap napasnya [....]."

Satu generasi usai Al-Maturidi wafat, lahirlah seorang anak bernama Al-Bazdawi
yang mempelajari pemikiran Al-Maturidi dari ayahnya, Abdul Karim. Ayah Al-Bazdawi
merupakan murid langsung Al-Maturidi. Setelah berguru pada ayahnya, Al-Bazdawi
mengembangkan Maturidiyah sehingga amat populer di Bukhara pada 478 H/1085 M. Al-
Bazdawi menyebarkan ajaran aliran Maturidiyah dan memperoleh banyak pengikut di kota
kelahiran ahli hadis yang termasyhur, Imam Al-Bukhari, tersebut.
Karena kecemerlangannya itu, Al-Bazdawi dipanggil untuk menjadi hakim di
Samarkand pada 481 H/1088 M. Setelah selesai menjalankan tugasnya, ia lalu kembali lagi
ke Bukhara dan meninggal di kota Asia Tengah itu. Al-Maturidi dan Al-Bazdawi dianggap
sebagai tokoh paling berpengaruh peletak dasar-dasar ajaran Maturidiyah. Pemikiran
mereka terus dipelajari hingga sekarang.

C. Pemikiran Dan Doktrin Aliran Matulidiyah

Dengan corak pemikiran yang menggabungkan rasio dan nas naqli (Al-Quran dan
hadis), aliran ini memiliki pengaruh besar, bersama dengan Asy'ariyah, terhadap
perkembangan Ahlussunnah Wal-Jamaah, demikian dikutip salah satu ulasan dalam Jurnal
Hunafa. Itulah sebabnya nama Abu Mansur al-Maturidi kerap disandingkan dengan Abu al-
Hasan al-Asy’ari dan disebut sebagai 2 tokoh utama yang menguatkan fondasi golongan
Ahlussunnah wal Jama’ah. Para pengikutnya menjuluki Abu Mansur al-Maturidi dengan
sebutan Rais Ahlussunnah, demikian dikutip dari artikel karya Muhammad Tholhah al
Fayyadl di laman Nu Online.
Pemakaian nalar yang cukup dan seimbang adalah corak pemikiran Abu Mansur al-
Maturidi dalam ilmu akidah. Corak terebut selaras dengan karakter pemikiran Imam Abu
Hanifah (pendiri mazhab Hanafi). Pemikiran Abu Mansur al-Maturidi pun dianggap telah
menyempurnakan argumentasi dari Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar.
Dr. Abu Zahrah dalam kitabnya, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah (2008, vol. 1: 212)
menjelaskan bahwa pemikiran al-Maturidi dilandasi dengan argumentasi nalar akal yang
besar tanpa melampaui batas dan tidak berlebihan. Sedangkan, pemikiran al-Asy’ari
berpegang teguh pada dalil Naql serta mengukuhkannya dengan argumentasi nalar akal.

Berikut ini pokok-pokok doktrin ajaran Maturidiyah sebagaimana dikutip dari buku
Akidah Akhlak (2020) yang ditulis oleh Siswanto:

1. Kewajiban Mengenal Allah SWT dan Syariat Islam


Menurut aliran Maturidiyah, meski akal dapat mengetahui kebaikan dan keburukan
secara objektif, tetapi pemikiran manusia tidak dapat mencapai pengetahuan agama
(perintah Allah SWT) secara sempurna. Dengan demikian, akal manusia tetap
membutuhkan syariat Islam untuk mengetahui kewajiban yang diperintahkan Allah SWT
kepada hambanya.
Doktrin utama Maturidiyah ini berbeda dengan pemikiran dari aliran Mu'tazilah yang
menyatakan bahwa Allah SWT menganugerahkan akal kepada manusia yang bisa
digunakan secara penuh buat mengetahui kebenaran perintah-perintahNYA. Menurut
Maturidiyah, akal adalah media untuk memahami perintah Allah. Sementara, kewajiban
itu datang langsung dari Tuhan. Artinya, manusia berkewajiban untuk mengenal Allah
SWT dan mempelajari syariat-syariatnya.

2. Kebaikan Dan Keburukan Menurut Rasio


Maturidiyah membagi kemampuan akal dalam mengetahui kebaikan dan keburukan
dalam tiga hal. Adapun tiga doktrin aliran Maturidiyah tersebut adalah sebagai berikut.
-Pertama, ada kebenaran objektif yang bisa diketahui akal. Misalnya, mencuri adalah
perbuatan yang salah, bahkan tanpa harus ada larangan mencuri dari syariat Islam.
-Kedua, kebenaran dan keburukan yang tidak mungkin diakses oleh akal dan hanya Allah
SWT yang mengetahui hal tersebut.
-Ketiga, kebenaran dan keburukan yang tidak sanggup diketahui oleh akal. Karena itu,
manusia harus mempelajari syariat Islam untuk mengetahui hal tersebut.
Kendati akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan yang objektif, tetapi perintah
dan larangan hanya dibebankan setelah adanya syariat Islam, demikian kesimpulan dari
doktrin Maturidiyah.
3. Perbuatan Manusia
Aliran Maturidiyah memandang bahwasanya perwujudan perbuatan itu terdiri dari
dua hal, yaitu perbuatan Allah SWT dan perbuatan manusia. Artinya, Allah menciptakan
perbuatan manusia sebagaimana firman-Nya dalam surah As-Shaffat ayat 96: “Allah-lah
yang menciptakan kamu apa yang kamu kerjakan” (Q.S. As-Shaffat [37]: 96)
Kendati demikian, manusia memiliki daya dan kehendak untuk menentukan
perbuatan tersebut. Manusia akan melakukan perbuatan yang sudah diciptakan Tuhan.
Aliran Maturidiyah menyangkal pendapat yang menyebut bahwasanya manusia memiliki
kehendak bebas (free will). Namun, Maturidiyah juga tidak menyetujui fatalisme.
Maturidiyah berada di posisi tengah-tengah: bahwasanya perwujudan perbuatan adalah
gabungan dari penciptaan Allah SWT dan partisipasi manusia di dalamnya.

4. Janji Dan Ancaman


Allah SWT memberikan ancaman neraka kepada pendosa dan menjanjikan surga
bagi orang-orang yang beramal baik. Kendati demikian, Allah SWT berkehendak sesuai
kebijakannya. Apabila Allah SWT ingin memberi ampun kepada pendosa maka Sang
Maha Kuasa akan memasukkan hambanya itu ke surga. Demikian juga sebaliknya.
Berbeda dengan aliran Khawarij, aliran Maturidiyah memandang bahwa pelaku dosa
besar masih dikategorikan mukmin (muslim) sepanjang masih ada keimanan dalam
hatinya.
Pendosa besar tidak bisa dicap telah kafir, menurut aliran Maturidiyah. Sementara
jika pelaku dosa besar meninggal sebelum bertaubat maka nasibnya diserahkan kepada
kehendak Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai