Sykur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kai dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas
kelompok kami dari mata kuliah SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM dengan judul “TEOLOGI MATURIDIAH”
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak dengan tulus memberikan doa, saran, dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran
serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan
A. Sejarah Teologi Matulidiyah
Setelah wafatnya Khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib sebagai
khalifah keempat, umat Islam terpecah dalam memberikan dukungan. Ada yang meminta
supaya diusut dulu penyebab wafatnya Usman dan siapa dalang di baliknya, sedangkan yang
lain meminta ditegakkan dulu posisi khalifah untuk meredakan situasi yang genting.
Kondisi yang ‘mencekam’ itu membuat umat Islam terpecah dalam memberikan
dukungan kepada Ali bin Abu Thalib. Ada yang mendukung dan ada pula yang
menentangnya. Akibatnya, bermunculan tuduhan saling menyesatkan di antara umat Islam.
Bahkan, sampai ada kelompok yang mengafirkan kelompok lain. Inilah salah satu faktor yang
menyebabkan munculnya paham atau aliran teologi (akidah) dalam Islam. Di antara aliran
teologi itu, salah satunya adalah aliran Maturidiyah.
Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional.
Aliran ini kali pertama muncul di Samarkand, pertengahan kedua abad kesembilan Masehi.
Nama aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Al-
Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan
pertentangan pendapat antara Muktazilah dan Asy’ariyah mengenai kemampuan akal
manusia.
Aliran ini disebut-sebut memiliki kemiripan dengan Asy’ariyah. Sebelum mendirikan
aliran Maturidiyah ini, Abu Mansur al-Maturidi adalah murid dari pendiri Asy’ariyah, yakni
Abu Hasan al-Asy’ari.
Dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, disebutkan, pada
pertengahan abad ke-3 H terjadi pertentangan yang hebat antara golongan Muktazilah dan
para ulama. Sebab, pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat Islam. Al-Maturidi
yang hidup pada masa itu melibatkan diri dalam pertentangan tersebut dengan mengajukan
pemikirannya. Pemikiran-pemikiran al-Maturidi dinilai bertujuan untuk membendung tidak
hanya paham Muktazilah, tetapi juga aliran Asy’ariyah. Banyak kalangan yang menilai,
pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Muktazilah dan Asy’ariyah. Karena
itu, aliran Maturidiyah sering disebut “berada antara teolog Muktazilah dan Asy’ariyah”.
Namun, keduanya (Maturidi dan Asy’ari) secara tegas menentang aliran Muktazilah.
Kaum Asy’ari berhadapan dengan Muktazilah di pusatnya, yakni Basrah, sedangkan Maturidi
berhadapan di Uzbekistan, di daerah Maturid. Karena itulah, Maturidiyah dan Asy’ariyah
dianggap memiliki kesamaan walaupun berbeda aliran.
Menurut Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Ahmad Hanafi dalam Theology
Islam (Ilmu Kalam), yang sering dipermasalahkan keduanya tidak lebih dari 10 soal dan
semuanya tidak terlalu prinsip, kecuali hanya istilah. Keduanya membela kepercayaan yang
ada dalam Alquran. Dalam usahanya tersebut, keduanya mengikatkan diri pada kepercayaan
itu.
Satu generasi usai Al-Maturidi wafat, lahirlah seorang anak bernama Al-Bazdawi
yang mempelajari pemikiran Al-Maturidi dari ayahnya, Abdul Karim. Ayah Al-Bazdawi
merupakan murid langsung Al-Maturidi. Setelah berguru pada ayahnya, Al-Bazdawi
mengembangkan Maturidiyah sehingga amat populer di Bukhara pada 478 H/1085 M. Al-
Bazdawi menyebarkan ajaran aliran Maturidiyah dan memperoleh banyak pengikut di kota
kelahiran ahli hadis yang termasyhur, Imam Al-Bukhari, tersebut.
Karena kecemerlangannya itu, Al-Bazdawi dipanggil untuk menjadi hakim di
Samarkand pada 481 H/1088 M. Setelah selesai menjalankan tugasnya, ia lalu kembali lagi
ke Bukhara dan meninggal di kota Asia Tengah itu. Al-Maturidi dan Al-Bazdawi dianggap
sebagai tokoh paling berpengaruh peletak dasar-dasar ajaran Maturidiyah. Pemikiran
mereka terus dipelajari hingga sekarang.
Dengan corak pemikiran yang menggabungkan rasio dan nas naqli (Al-Quran dan
hadis), aliran ini memiliki pengaruh besar, bersama dengan Asy'ariyah, terhadap
perkembangan Ahlussunnah Wal-Jamaah, demikian dikutip salah satu ulasan dalam Jurnal
Hunafa. Itulah sebabnya nama Abu Mansur al-Maturidi kerap disandingkan dengan Abu al-
Hasan al-Asy’ari dan disebut sebagai 2 tokoh utama yang menguatkan fondasi golongan
Ahlussunnah wal Jama’ah. Para pengikutnya menjuluki Abu Mansur al-Maturidi dengan
sebutan Rais Ahlussunnah, demikian dikutip dari artikel karya Muhammad Tholhah al
Fayyadl di laman Nu Online.
Pemakaian nalar yang cukup dan seimbang adalah corak pemikiran Abu Mansur al-
Maturidi dalam ilmu akidah. Corak terebut selaras dengan karakter pemikiran Imam Abu
Hanifah (pendiri mazhab Hanafi). Pemikiran Abu Mansur al-Maturidi pun dianggap telah
menyempurnakan argumentasi dari Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar.
Dr. Abu Zahrah dalam kitabnya, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah (2008, vol. 1: 212)
menjelaskan bahwa pemikiran al-Maturidi dilandasi dengan argumentasi nalar akal yang
besar tanpa melampaui batas dan tidak berlebihan. Sedangkan, pemikiran al-Asy’ari
berpegang teguh pada dalil Naql serta mengukuhkannya dengan argumentasi nalar akal.
Berikut ini pokok-pokok doktrin ajaran Maturidiyah sebagaimana dikutip dari buku
Akidah Akhlak (2020) yang ditulis oleh Siswanto: