Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

AL - MATURIDIAH

(Sejarah, Metode, Tokoh, dan Doktrin Teologis)


Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban
Islam

Dosen Pengampu:

Dr. H. Reza Ahmad Zahid, L.C., MA

Dr. Binti Mu`alamah, M.Pd

Oleh : HANDAYANI

NIM.1281221011

PROGRAM MEGISTER TADRIS MATEMATIKA

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SAYYID ALI RAHMATULLAH

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “AL-MATURIDIAH’’. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban dan Pemikiran
Islam yang mana dapat memberikan manfaat yang besar bagi penulis maupun
pembaca.
Atas terselesaikannya makalah ini, penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Reza Ahmad Zahid, L.C., MA dan Ibu Dr. Binti Mu`alamah,
M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah asesmen pembelajaran
matematika yang telah memberikan banyak motivasi, arahan, dan
bimbingan serta ilmu yang bermanfaat.

2. Teman-Teman Program Pascasarjana Tadris Matematika yang telah


memberikan dukungan kepada penulis.

Dalam peyusunan makalah ini penulis sudah semaksimal mungkin, namun


penulis menyadari betul bahwa masih banyak kekurangan karena keterbatasan
yang dimiliki penulis dan faktor lainnya. Untuk itu masukan, kritik dan saran yang
sifatnya membangun sangat diperlukan untuk kesempurnaan hasil makalah ini
selanjutnya.

Tulungagung, 03 November 2021

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbincangan tentang persoalan yang menyangkut prinsip-prinsip
dasar ajaran Islam, yang mencapai puncaknya pada abad ke-2 dan ke-3
Hijriah (abad ke-8 dan ke-9 M.), telah menggiring para ulama kepada
penggunaan argumen-argumen rasional dalam membahas tentang Tuhan
dan hubungan-Nya dengan manusia dan alam semesta. Hal ini, menurut
Ayyub Ali telah mengakibatkan lahirnya sebuah ilmu pengetahuan baru
dalam lapangan pemikiran muslim, yang dikenal dengan „Ilm al-Kalam.
Mu‟tazilah dipandang sebagai kelompok yang mula-mula
menuntut penggunaan nalar (ra‟yu) dalam teologi Islam. Pada puncak
perkembangannya, Mu‟tazilah melancarkan kritik-kritiknya terhadap
komponen-komponen penting dalam keimanan ortodoks. Dan tentu saja
kelompok ulama salaf tidak tinggal diam, di bawah pimpinan Ahmad ibn
Hanbal mereka menentang sistem dan metode berfikir Mu‟tazilah.
Kelompok ini berpegang kuat pada sumber naql dan menolak penggunaan
ra‟yu dalam mengkaji persoalan agama.
Pada perkembangan berikutnya, lahirlah aliran tengah yang dikenal
dengan ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah, yang dalam metode kalamnya
menggunakan pendekatan rasio (ra‟yu) dan nash (naql). Tokohnya yang
paling terkemuka adalah Abu Hasan Asy‟ari (w.324/ 935) di Iraq dan Abu
Mansur Maturidi (w.333/944) di Samarqand, yang pertama melahirkan
aliran Asy‟ariyah dan yang kedua melahirkan aliran Maturidiyah.
Sungguhpun kedua aliran ini menentang paham teologi Mu‟tazilah, dan
masing-masing menggunakan pendekatan ra‟yu dan naql, tapi di antara
keduanya juga terdapat perbedaan.
Al-Maturidi memberikan otoritas yang besar pada akal, sehingga
dalam beberapa hal ia lebih dekat pada paham Mu‟tazilah. Sehubungan
dengan hal tersebut, makalah ini mencoba membahas bagaimana
munculnya pemikiran teologi al-Maturidi, tokoh aliran al-Maturidi,

3
Doktrin teologi al-maturidi dan perkembangan aliran Maturidiyah setelah
wafatnya al-Maturidi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah al-Maturidiah ?
2. Bagaimana riwayat Tokoh Al-Maturidiah ?
3. Bagaimana Doktrin Teologis Al-Maturidiah ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Bagaimana sejarah al-Maturidiah ?
2. Untuk Mengetahui Bagaimana riwayat Tokoh Al-Maturidiah ?
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Doktrin Teologis Al-Maturidiah ?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Al – Maturidiah
Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa hasil karya al-Maturidi
serta situasi dan kondisi masyarakat pada masanya, maka dapat
dikemukakan faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya pemikiran
teologinya yang pada perkembangan berikutnya melahir-kan aliran
Maturidiyah:
1. Ketidakpuasan terhadap konsep teologi Mu‟tazilah yang terlalu
berlebihan dalam memberikan otoritas pada akal. Hal ini dapat dilihat
dari beberapa judul tulisannya yang secara eksplisit menggambarkan
penolakannya terhadap Mu‟tazilah, seperti Kitab Radd Awa‟il al-
Adillah li al-Ka‟bi, Kitab Radd Tahdhib al-Jadal li al-Ka‟bi dan
Kitab Bayan Wahm al-Mu‟tazilah.1 Dan pada saat yang sama al-
Maturidi juga tidak puas atas konsep teologi ulama salaf yang
mengabaikan penggunaan akal.
2. Kekhawatiran atas meluasnya ajaran Syi‟ah terutama aliran
Qaramithah yang dengan keras menentang ulama-ulama salaf. Khusus
di wilayah Asia Tengah aliran ini banyak dipengaruhi oleh paham
Mazdakism, sebuah aliran komunis yang dicetuskan oleh Mazdak bin
Bambadh seorang reformis militan pada abad ke-5 M pada masa
kekuasaan Sasania (lihat Nicholson dalam Hansting (ed.), t.th. p. 508-
509). Ajaran aliran ini terkait dengan Manichaeism sebuah ajaran yang
merupakan percampuran antara ajaran Kristen dengan Zoroaster dan
ajaran-ajaran Budha. Kitab al-Radd „ala Qaramitah yang ditulis oleh
al-Maturidi merupakan suatu indikasi akan kekhawatirannya atas
pengaruh ajaran ini pada masyarakat.
Terdorong oleh kedua faktor tersebut, al-Maturidi kemudian
bangkit mengembangkan metode sintesis al-Naql dan al-aql dalam

1
al-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad „Abd al-Karim ibn Abiy Bakr. t.th. Al-Milal wa
al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr). Hlm. 76-77

5
pemikiran kalam, jalan tengah antara aliran rasional ala Mu‟tazilah dan
aliran tradisional ala Hambali. Menarik untuk dicermati, bahwa dalam
pemikiran teologinya al-Maturidi memberikan otoritas yang cukup besar
pada akal, paling tidak bila dibandingkan dengan al-Asy‟ari yang juga
dikenal sebagai tokoh yang memadukan antara al-aql dan al-naql dalam
teologinya. Misalnya, baik dan buruk dapat diketahui melalui akal meski
tak ada wahyu, karena baik dan buruk dinilai berdasarkan substansinya,
demikian menurut al-Maturidi. Sedangkan menurut al-Asy‟ari, baik dan
buruk dinilai menurut Syara‟.2
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap pemikiran al-Maturidi, yaitu: Pertama, al-Maturidi adalah
penganut mazhab Hanafi, suatu mazhab yang dikenal sebagai aliran
rasional di bidang fikih. Ditambah lagi dengan latar belakang pendidikan
al-Maturidi di bawah asuhan empat ulama terkemuka pada masanya yang
juga tokoh-tokoh Hanafiyah. Dengan demikian, pengaruh pemikiran
Hanafi tentu cukup “kental” pada diri al-Maturidi, bukan hanya di bidang
fikih, tapi juga dalam bidang Kalam. Perlu dicatat bahwa Abu Hanifah,
disamping sebagai ahli fikih, beliau juga seorang Mutakallim, salah satu
karyanya dalam bidang ini adalah al-Fiqh al-Akbar, sehingga al-Bagdadiy
memasukkannya kedalam kelompok Mutakallim dari kalangan fuqaha.3
Menurut Abu Zahrah, dalam beberapa karya Abu Hanifah di
bidang Kalam ditemukan sejumlah pandangan utama yang sama dengan
pandangan al-Maturidi. Sehingga ulama menetapkan bahwa dengan
pandangan al-Maturidi. Sehingga ulama menetapkan bahwa pendapat Abu
Hanifah di bidang Kalam merupakan akar yang menjadi landasan
perkembangan pemikiran al-Maturidi. Pandangan ini diperkuat oleh Gibb
dan Kramers bahwa Abu Hanifah adalah orang pertama yang mengadopsi
metode Mu‟tazilah dan menerapkannya dalam membahas persoalan-

2
Abu Zahrah, Muhammad.. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. terj. Abdul Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib. Cet. I. (Jakarta: Logos Publishing House.1996) Hlm.210
3
al-Bagdadiy, Abu Manshr „Abd al-Qahir ibn Thahir al-Tamimiy. Kitab Ushl al-Din.
Cet. III . (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah.1981). Hlm.308

6
persoalan yang mendasar dalam agama (Keimanan).4 Kedua, situasi dan
kondisi masyarakat di daerah kediaman al-Maturidi (Samarqand) dan Asia
Tengah pada umumnya, cukup heterogen dari segi etnis, agama dan aliran
teologi. Di samping itu, diskusi antar aliran teologi dan fikih sudah
merupakan tradisi di kalangan ulama Samarqand. Oleh karena itu, al-
Maturidi telah akrab dengan penggunaan argumen-argumen rasional,
apalagi dalam menghadapi tokoh-tokoh Mu‟tazilah seperti al-Ka‟bi yang
ahli dalam filsafat.5
Dua faktor inilah yang tampaknya mempengaruhi pemikiran
Kalam al-Maturidi, sehingga dalam metode Kalamnya dia lebih banyak
memberikan otoritas pada akal bila dibandingkan dengan al-Asy‟ari.
Posisi pemikiran kalam al-Maturidi, seperti yang digambarkan oleh Ayyub
Ali. berada antara Mu‟tazilah dengan al-Asy‟ariyah. Satu hal yang perlu
diperhatikan bahwa dalam mazhab fikih, Mu‟tazilah adalah pengikut
Hanafi. Maka tidaklah mengherankan bila antara Mu‟tazilah dan al-
Maturidi memiliki beberapa kesamaan pandangan, karena mereka terikat
pada mazhab fikih yang sama.6

B. Tokoh Al – Maturidiah

Nama lengkap al-Maturidi adalah Abu Mansur Muhammad ibn


Muhammad ibn Mahmud al-Hanafi al-Maturidi al-Samarqandi. Beliau
dilahirkan di Maturid, Samarqand, salah satu kota besar di Asia Tengah.
Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti. Diduga beliau lahir
sekitar tahun 238/853, berdasarkan keterangan bahwa beliau pernah
berguru pada Muhammad ibn Muqatil al-Razi, yang wafat pada tahun
248/862. Atas asumsi ini, berarti al-Maturidi lahir pada masa pemerintahan
al-Mutawakkil salah seorang Khalifah Abbasiah (232-247/847-861).

4
Gibb, H.A.R., dan JH. Kramers. 1953. Shorter Encyclopedia of Islam. (Leiden: E.J.
Brill.1953). Hlm.362
5
Amin, Ahmad. Zhuhr al-Islam. Juz I dan IV. (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-
Mishriyyah. 1964). Hlm. 266-267
6
Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam: The Classical Age of Islam. Vol. I.
(Chicago & London: The University of Chicago Press.1977). Hlm.440

7
Abu Mansur al-Maturidi, yang nama lengkapnya Abu Mansur
Muhamad bin Muhamad bin Mahmud al-Maturidi, adalah salah satu tokoh
Teologi Islam madzhab Ahl as-Sunnah wa al-Jama‟ah Khalafiah,
dilahirkan di Maturid (sehingga dia lebih populer dengan nama al-
Maturidi, dinisbahkan dengan tempat kelahirannya), sebuah kota kecil di
daerah Samarkand, wilayah Transoxiana di Asia Tengah, daerah yang
sekarang disebut Uzbekistan. Meski tahun kelahiran al-Maturidi tidak
dapat diketahuhi secara pasti, namun informasi dari Ayub Ali, sebagai
dikutip oleh Harun Nasution, yang menetapkan 248 H/862 M sebagai
tahun kelahiran al-Maturidi,7
Kemudian sebagai disepakati oleh banyak pihak, al-Maturidi
meninggal dunia pada tahun 333 H/944 M.8 Dengan demikian apabila
informasi Ayub Ali tersebut dijadikan rujukan, maka masa hidup al-
Maturidi hampir mendekati 100 tahun, tepatnya 85 tahun menurut
perhitungan tahun Hijriah atau 82 tahun menurut perhitungan tahun
Masehi;
Suatu masa hidup yang relatif panjang pada masa itu. Masa hidup
al-Maturidi tersebut kebetulan berada pada masa penguasa Samarkand
yang terkenal luhur budi, cinta ilmu, dan senantiasa memuliakan para
ulama‟ yakni keluarga Abu Saman yang menguasai wilayah Khurasan dan
Transoxania pada tahun 261 H/389 M; keluarga penguasa yang berasal
dari sebuah desa bernama Saman itu, salah satunya yang pernah ikut
berkuasa adalah Asad bin Saman.9
Dengan demikian al-Maturidi berarti hidup pada masa khalifah al-
Mutawakkil yang memerintah tahun 232-274 H/847-861 M. Abu Mansur
al-Maturidi pernah hidup dalam satu masa dengan Abu Hasan al-Asy‟ari.
Keduanya memperjuangkan tujuan yang sama dan sama-sama berhadapan
dengan Mu‟tazilah. Hanya saja jika al-Asy‟ari berhadapan dengan

7
Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 127
8
HAR Ghibb et. al., The Encyclopedia of Islam (Leiden: EJ Brill, 1960), Vol. V, 414.
9
Nasution, Teologi Islam, 133.

8
Mu‟tazilah di pusatnya yakni di Bashrah (Ibu Kota Irak), maka Abu
Mansur al-Maturidi berhadapan dengan Mu‟tazilah di cabangnya.10
Menurut Abu Zahrah, dikarenakan adanya kesamaan rival yang
dihadapi itulah---sama-sama berhadapan dengan Mu‟tazilah—maka
kesimpulan-kesimpulan mereka berdua dalam bidang kaidah Islam
menjadi berdekatan. Para ulama‟ pada umumnya meyakini bahwa
perbedaan pendapat antara Asy‟ariah dengan Maturidiah tidak banyak.
Syaikh Muhammad Abduh, dalam komentarnya terhadap kitab Al-„Aqa‟id
al-Adludiyyah, pernah mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara
Asy‟ariah dengan Maturidiah tidak lebih dari sepuluh masalah, dan
perbedaan itu pada umumnya lebih bersifat redaksional (tidak prinsipiil).11
Secara geneologis (dilihat dari garis keturunan), nasab al-Maturidi
bermuara pada salah seorang sahabat yang pernah disinggahi oleh
Rasulullah saw ketika awal hijrahnya di Madinah yakni Abu Ayub Khalid
bin Zaid bin Kulaih al-Ansari. Oleh karena itu Imam Bayadi pernah
menyebutkan nama lengkap al-Maturidi dengan sebutan Abu Mansur
Muhammad bin Muhamad bin Mahmud al-Maturidi al-Anshari. Informasi
dari al-Bayadi ini sangat diperlukan, terutama dalam rangka
menghindarkan terjadinya kerancuannya dengan al-Maturidi yang lain
yakni Ismail Abu Mansur al-Maturidi, pemberi syarah kitab Fiqh al-
Absath karya Imam Abu Hanifah.
Sebagai pemburu berbagai disiplin keilmuan, al-Maturidi
mempunyai sejumlah guru, yang dilihat dari silsilah keilmuannya, sebagai
dinyatakan oleh Fathullah Khalif, akan sampai kepada Imam Abu
Hanifah.12 Diantara guru al-Maturidi, terutama dalam bidang fiqih Hanafi
dan Ilmu Kalam, adalah Nasyr bin Yahya al-Balkhi (w. 268 H).13 Sesuai
dengan Fathullah Khalif di atas, al-Kafrawi menegaskan bahwa al-
Maturidi memperdalam ilmu-ilmu keagamaan kepada Abu Bakar

10
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Fikr, t.th.), 210.
11
Ibid, Hal.210.
12
Al-Asy‟ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, terjemah Rosihon Anwar dan
Taufiq Rahman (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 70.
13
Musthafa al-Maraghi, al-Fath al-Mubin fi Thabaqat al-Ushuliyyin, Jilid 1 (Beirut: an-
Nasyr Muhamad Amin wa Syirkah, 1974), 182-183.

9
Muhamad al-Jauzani, yang silsilah keilmuan al-Jauzani sampai juga
kepada Muhamad Abu Hanifah.14
Sementara itu az-Zubaidi mengatakan bahwa al-Maturidi adalah
murid dari Imam Abu Bakar Ahmad bin Ishaq bin Saleh al-Jauzajani.
Termasuk guru-guru al-Maturidi juga adalah Muhamad bin Maqatil ar-
Razi, hanya saja guru yang disebutkan terakhir ini karir keilmuannya
kurang begitu menonjol, berbeda dengan popularitas para guru yang telah
disebutkan sebelumnya di atas. Berawal dari guru-guru al-Maturidi yang
ternyata silsilah keilmuannya bermuara pada Imam Abu Hanifah, maka
wajar kalau kemudian al-Maturidi dikenal sebagai penganut madzhab Abu
Hanifah dalam bidang fiqih, dan lebih dari itu dia tekun mempelajari
sejumlah karya Abu Hanifah terutama yang berisi uraian tentang Ilmu
Kalam, misalnya: al-Fiqh al-Akbar, al-Fiqh al-Absath, yang garis besar
isinya menyangkut hakikat iman, kewajiban mengenal Allah, qadla dan
qadar serta tentang perbuatan manusia.
Lebih dari itu, dikarenakan begitu kuatnya pengaruh pemikiran
Abu Hanifah terhadap diri al-Maturidi, selain mengakibatkan ia menjadi
penganut madzhab Abu Hanifah dalam bidang fiqih, ternyata al-Maturidi
menjadi begitu berani mempergunakan akal dalam bidang Kalam,
sehingga meskipun dia dikenal sebagai penganut Ahl as-Sunah wa al-
Jama‟ah Khalafiah, namun dalam masalah akal dan wahyu al-Maturidi
melampaui Asy‟ariyah dalam penggunaan akal fikiran.
Sebagai seorang tokoh besar, baik dalam bidang kalam maupun
jurist, al-Maturidi sering dipanggil dengan laqab tertentu, terutama dari
kalangan para muridnya, antara lain: „allam al-huda (cendekiawan
pembimbing kebenaran), imam al-huda (imam pembimbing kebenaran),
imam al-mutakallimin (imam para teolog muslim). Meskipun al-Maturidi
juga dikenal sebagai seorang ahli fiqih, namun ketokohannya di bidang
kalam telah melampaunya. Hal itu antara lain terbukti dengan munculnya
sejumlah karya bidang teologi islam semisal: Kitab Tauhid, Ta‟wil al-
Qur‟an, al-Jadal, Ushul li Ushul ad-Din, Maqalat fi al-Ahkam Radd

14
Al-Asy‟ari, Prinsip-prinsip Dasar, 73.

10
Awa‟il al-Abdillah li al-Ka‟bi, Radd al-Ushul al-Khamisah li Abu
Muhamad al-Bahili, Radd al-Imamah li al-Ba‟d ar-Rawafiq dan kitab
Radd „ala Qaramithah.
Al-Maturidi menerima pendidikan yang cukup baik dalam berbagai
ilmu pengetahuan keislaman di bawah asuhan empat ulama terkemuka
pada masa itu, yaitu: Syaikh Abu Bakar Ahmad ibn Ishaq, Abu Nashr
Ahmad ibn al-„Abbas ibn al-Husain al-Ayadi al-Ansari al-Faqih al-
Samarqandi, Nusair ibn Yahya al-Balkhi (w.268/881), dan Muhammad ibn
Muqatil al-Razi (w.248/862). Mereka adalah murid-murid Abu Hanifah
(w.150/767).
Beberapa ulama terkemuka yang menjadi pengikut al-Maturidi,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Watt (1985: 104-105) dan Ahmad
Amin (1964: 95), antara lain adalah: Abu al-Qasim al-Samarqandi
(w.340/951) al-Bazdawi (w.492/1099), „Umar al-Nasafi (w.537/1142), al-
Sabuni (w.580/1184), Ibn al-Humam (w.861/1457). Dalam lapangan Fiqh,
al-Maturidi mengikuti mazhab Hanafi.15 dan beliau termasuk ulama
Hanafiyah yang memiliki andil besar di bidang fikih melalui beberapa
karya tulisnya, seperti al-Ma‟akhiz al-Shari‟ah dan Kitab al-Jadal yang
dianggap otoritatif di bidang ini.
Ada beberapa karya tulis yang dihasilkan oleh al-Maturidi
meliputi: Tafsir, Kalam dan Ushul, diantaranya: Kitab Ta‟wilaat al-
Qur‟an, Kitab al-Jadal fiy Ushl al-Fiqh, Kitab al-Ma‟akhiz al-Shara‟i‟
fiy al-Fiqh, al-Ma‟akhidz al-Shara‟i‟ fiy Ushul al-Fiqh, Kitab al-Ushul,
Kitab al-Bayan wahm al-Mu‟tazilah, Kitab al-Radd „ala al-Qaramithah,
Kitab Radd Awa‟il al-Adillah li al-Ka‟bi, Kitab Radd Tahab al-Jadal li
al-Ka‟bi, Rad Kitab al-Imamah li Ba‟in al-Rawafid, Rad al-Ushul al-
Khamzah li Abiy Muhammad al-Bahiliy, Rad wa‟ad al-Fussaq li al-Ka‟bi

15
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan. Cet. V.
(Jakarta : Universitas Indonesia. 1986) Press.Hlm.76

11
Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, maka karya-karya al-
Maturidi cukuplah banyak dan mencakup berbagai bidang keilmuan.
Namun yang menonjol adalah dibidang:16
1. Ilmu kalam
2. Tafsir al-Qur‟an
3. Fiqih, dan
4. Usul al-Fiqih
Mengingat selain keempat bidang ilmu tersebut, ada pula karyanya
di bidang lain, maka untuk memudahkan pemahaman kita terhadap karya-
karya al-maturidi, dapatlah dipelajari atu dirinci satu persatunya sesuai
bidang ilmunya masing-masing sebagai berikut:
1. Bidang ilmu kalam

Inilah bidang ilmu yang paling serius diperhatikan oleh al-


Maturidi, sampai mengangkat namanya menjadi Imam al-Mutakallimin.
Sehingga karya-karyanya pun lebih terdominasi dalam bidang ini. Adapun
karya-karya al-Maturidi di bidang ilmu kalam antara lain:

a) Al-Tawbid
b) Al-Maqalat fi al-Kalam
c) Radu Awail al-Adillab li al-Ka‟bi
d) Raddu Wa‟id al-Fussaq li al-Ka‟bi
e) Raddu Tazzib al-Jadl li al-Ka‟bi
f) Bayanu Wabm al-Mu‟tazilah
g) Raddu al-Usul al-Khamsab li Abi Muhammad al-Bahili
h) Raddu al-Aimamah li ba‟di al-Rawafid
i) Al-Usul fi Qai‟imat Kutub al-Maturidi

Melihat karya-karya al-Maturidi di bidang kalam ini, nampaklah


keseriusan dia dalam menegakkan dan membela kalam Ahlusunnah
waljamaah. Bahkan sedemikian seriusnya, beliau mengcounter pemikiran
kalam lain, khususnya Mu‟tazilah, yang dianggapnya menyimpang, sesat,

16
Mahmud Qasim, Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyah, (Mesir; Dar al-Ma‟arif, 1973),
hlm. 52

12
dan ekstrim. Disamping juga mengidikasikan kedalaman ilmunya di
bidang kalam.
2. Bidang Tafsir al-Qur‟an
Dibidang ini, al-Maturidi pun nampak kepeduliannya dalam
mendalami keilmuannya. Memang karyanya di bidang ini tidak sebanyak
dibidang kalam (ilmu kalam). Itupun hanya yang bersinggungan dengan
permasalahan kalam, sehingga karya yang disusunnya pun sebenarnya
bukanlah bidang tafsirnya, melainkan satu unsure didalamnya, tepatnya
“ta‟wil al-qur‟an”.
Adapun karya-karya al-Maturidi di bidang ini memang hanya
satu buah, yakni berjudul: “ al-Ta‟wilat al-Maturidiyah fi Bayani Usul Ahl
al-Sunah wa Usul al- Tauwhid”.17 Namun memiliki keistimewaan tersendiri
jika dibandingkan dengan kitab tafsir (ta‟wil) karya ulama lain.
Tentang judul tafsir tersebut, ada yang menyebutkan Ta‟wilat ahl
al-Sunnah, seperti yang pernah dipergunakan oleh pengarang kitab Kasyf al-
Zunum. Dan ada pula yang meyebutkan Ta‟wilat al-Qur‟an, atau bahkan
Ta‟wilat saja, atau al-Ta‟wilat.
3. Bidang Fiqih dan Usul al-Fiqih.
Pada dua bidang keilmuan ini, al-Maturidi juga membuahkan
karyanya berjudul masing-masing Maakhiz al-Syar‟i dan “al-Jadli”. Sebagai
penganut mazhab Abu Hanifah, sudah barang tentu al-Maturidi tidak bisa
lepas dari mazhab fiqih yang dianutnya. Maka isi kedua kitab pun tidak
keluar dari koridor paham fiqih Abu Hanifah.
Adapun ketinggian nilai kedua kitab tersebut di komentari oleh Imam
Ala‟uddin dalam kitab Mizan al-Usul sebagai sebuah karya yang sulit
dilahirkan oleh para ulama mazhab Hanafiah.
4. Karya yang berbentuk kitab, risalah dan bunga rampai
Karya lain al-Maturidi, baik yang berbentuk kitab, risalah maupun
bunga rampai (muqtalafat), termasuk karya ulama lain yang dinisbatkan
kepada nama beliau, antara lain:
a) Syarh al-Fiqh al-Akbar

17
Jalal Muhammad Mus, hlm. 47

13
Menurut Abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh al-Mazahib al-
Islamiyah, dinyatakan bahwa kitab ini termasuk karya al-Maturidi. Tetapi
menurut Jalal Muhammad Musa, berdasarkan riwayat dari al-kawasari,
kitab itu bukan karya al-Maturidi melainkan karya Abu Lais Samarkand.
b) Risalah fi al-„Aqa‟id
Kedua karya ini menurut Zahrah juga termasuk karya al-Maturidi.
Namun isinya sulit di bedakan antara pendapat al-Maturidi dengan
pendapat muridnya. Dan bahkan terdapat nama Asy-Ariyah. Maka
tepatnya kedua karya itu adalah karya ulama yang dinisbatkan kepada al-
Maturidi.
c) Risalah tentang ayat-ayat al-Qur‟an yang tidak boleh di baca waqaf
(berhenti).
Risalah ini masih tersimpan di perpustakaan Dar al-Kutub al-
Misriyah, Mesir, No. 384
d) Bunga rampai tentang nasehat keagamaan (al-wa‟zu). Menurut Broc
Kelman, inipun termasuk karya al-Maturidi.
Demikian beberapa keterangan tentang kehidupan al-Maturidi. Tak
ada catatan mengenai latar belakang keluarganya. Bahkan riwayat hidup
beliau sangat jarang ditemukan dalam buku-buku klasik, sehingga ada
anggapan bahwa al-Maturidi luput dari perhatian para penulis zaman
klasik.18 Namun yang pasti, para sejarawan sepakat bahwa beliau wafat di
Samarqand pada tahun 333/944 (Ceric, 1995: 19-20).19

C. Doktrin Teologis Al – Maturidiah

Dalam islam terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran yang

bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional, da nada pula yang

mempunyai sifat menengah.20 Teologi yang bersifat liberal, membahas

18
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan. Cet. V.
(Jakarta : Universitas Indonesia Press.1986). Hlm.630
19
Ceric, Mustafa.. Roots of Synthetic Theologi in Islam: A Study of the Theology of Abu
Mansur al-Maturidi, (Kuala Lumpur: The International Institute of Islamic Thought and
Civilization.1995) Hlm. 19-20
20
M. Ayyub ali, hal.291

14
dasar-dasar agama secara kritis dan analisi tanpa terikat oleh ajaran agama.

Teologi tradisional, menerima kebenaran ajaran agama sebagai suatu

kebenaran tanpa menggunakan kajian secara kritis dan analisis. 21 Corak

teologi yang dimajukan al-maturidi ialah upaya mempertemukan

keduanya. Kalau ada hal-hal yang sulit, al-maturidi, berusaha menempuh

jalan untuk menaksilkan ayat-ayat yang belum jelas.22

1. Tentang Sifat Tuhan


Menurut al-Maturidi, Tuhan mempunyai sifat.23 Hal ini berarti
Tuhan Mahamengetahui, misalnya, bukan dengan dzat-Nya, tetapi
mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan begitu pula seterusnya.24
Dengan demikian al-Maturidi, khususnya dalam kaitan dengan masalah
sifat Tuhan ini, lebih sejalan dengan al-Asy‟ari yang memahami sifat
Tuhan bukanlah dzat-Nya, meski bukan pula tidak lain dari dzat Tuhan.25
Dalam prinsipnya, takwil bukanlah menjelaskan firman Allah yang
belum jelas arti dan maksudnya dengan akal pikiran. Akan tetapi, takwil
bertujuan memperkuat salah satu kandungan firman Allah yang belum
jelas arti dan maksusnya dengan akal pikiran, tidak menggunakan sya`ir
sebagai rujukan dalam memperkuat argumentasinya, karena al-Qur`an dan
hadist merupakan hujjah bagi umat islam.26
Hal ini terlihat ketika al-maturidi memberi interpretasi ayat-ayat
yang mempunyai arti samar. Sebagai awal pembahasan, ia mengemukakan
argumentasi yang bersumber dari hadist Nabi, kemudian ia memajukan
pendapat teolog islam. Jika pandanganya bertentangan dengan keyakinan
ahli sunnah dan jama`ah, al-maturidi menyanggahnya dengan
argumentasinya yang berpedoman pada akal dan wahyu, kadang-kadang

21
Harun Nasution, Falsafah Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal 4-5
22
Abu Al-Hasan, Ali Al-Husna Al-Nadwi, Rijal al-Fikri wa al-Da`wah fi al-Islam.
(Kuwait: Dar al-Qalam, 1969). Hal.159
23
Abu al-Yusr Muhamad al-Bazdawi, Kitab Ushul ad-Din, diedit oleh Hans Peter Lines,
(Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1963), 34
24
Nasution, Teologi Islam, 76
25
Nasution, Teologi Islam, 136-137
26
Al-Maturidi, Ta`wilat….. hal. 27

15
al-maturidi juga memajukan argumentasi historis mengenail sebab-sebab
diturunkannya ayat secara ringkas.27
Pemikiran teologi yang diajukan al-maturidi, bahwa sifat bukanlah
esensi Tuhan, tetapi pula tidak lain dari esensi-Nya. Sifat zat dan sifat
perbuatan adalah Qadim. Tuhan dapat dilihat diakhirat tanpa memerlukan
tempat, bentuk, keadaan, dan cahaya. Al-Qur`an pada hakikatnya firman
Allah yang qadim, tetapi suara, huruf, bacaan, dan kertas bersifat baru.
Pelaku dosa masih tetap mukmin, dan ia mesti mendapat balasan sesuai
dengan janji dan ancaman. Segala sesuatu yang baik dan yang buruk,
manusialah yang menciptakan perbuatannya atas daya Tuhan, karena itu
manusia dihukum atas perbuatannya sendiri, itulah keadilan. Iman adalah
membenarkan dengan hati, sedang perbuatan merupakan syarat
kesempurnaan iman.28
1. Tentang Sifat Tuhan
Meskipun demikian, al-Maturidi kurang sefaham dengan al-
Asy‟ari dalam memahami antrophomorfisme, sebaliknya dia lebih dekat
dengan Mu‟tazilah. Bagi al-Maturidi, sifat-sifat jasmani atau ayat-ayat
yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani haruslah
diinterpretasikan secara metaforis atau ditakwilkan. Dalam konteks ini
semua al-Matudiri pernah mengatakan bahwa “Tuhan bersifat immateri,
sifat-sifatnya bukanlah merupakan sesuatu selain dzat-Nya (meski bukan
pula dzat-Nya), dan pengertian sifat itu bukanlah al-washf dari washif”.
Sebagai bersifat immateri, maka Tuhan tidaklah bersifat material atau
jasmaniah, karenanya ayat-ayat al-Qur‟an yang sepintas menggambarkan
Tuhan bersifat dengan sifat-sifat material haruslah ditakwilkan (dimaknai
secara metaforis).29 Misalnya kata yad (tangan) dalam Qs. al-Fath ayat
10—yad Allah fuqa aidihim—dita‟wilkan dengan “kekuasaan”, kata wajh
dalam Qs. ar-Rahman: 27—wa yabqa wajh rabbik—ditakwilkan dengan
“rahmat” dan kata a‟yun di dalam Qs. Hud ayat 11 dan al- 151, Mu‟minun

27
Muhammad Ayyub Ali, ….. hal.299
28
Al-maturidi, Kitab al-Tauhid. Hal.36
29
Amin Abdullah, Falsafah Kalam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 30; Zahrah,
Tarikh al-Madzahib, 219.

16
ayat 27—an ishna‟ al-fulk bi a‟yunina—dengan “penguasaan”.30 Dengan
demikian al-Maturidi, sebagaimana Mu‟tazilah, menerima penafsiran
metaforis terhadap ayat-ayat al-Qur‟an seperti itu.
2. Akal dan Wahyu
Sesuai dengan kerangka metodologis kalam pada umumnya, al-
Maturidi mendasarkan seluruh pandangan teologisnya kepada wahyu
sebagai sumber primer dan akal fikiran sebagai sumber skundernya.
Meskipun demikian, al-Maturidi, yang sistem teologinya masih
dimasukkan dalam wilayah Ahl as-Sunah wa al-Jama‟ah Khalafiah
sebagaimana Asy‟ari, namun dalam hal pemposisian dua sumber pokok
teologi tersebut dapat dikatakan bahwa porsi yang diberikan oleh al-
Maturidi terhadap akal dalam memberikan justifikasi teologis relatif lebih
besar dibandingkan dengan al-Asy‟ari. Itulah sebabnya dikatakan bahwa
metode Maturidiah memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia,
tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas. Jika Asy‟ariah, tentu
termasuk dalam konteks akal dan wahyu, berada dalam suatu garis tengah
antara Mu‟tazilah dan Ahli Hadis (Salafiah), maka Maturidiah berada di
tengah-tengah dalam satu garis antara Mu‟tazilah dan Asy‟ariah.31
Menurut al-Maturidi, mengetahui Tuhan (MT) dan kewajiban
mengetahui Tuhan (KMT) dapat dicapai oleh akal; tentu saja pandangan
ini berbeda dengan al-Asy‟ari, karena bagi Asy‟ariah yang bisa dicapai
oleh akal hanyalah mengetahui Tuhan (MT) semata, sedangkan kewajiban
hanya bisa diketahui melalui wahyu. Bagi al-Maturidi, kemampuan akal
dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat al-Qur‟an yang
memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya dalam usaha
memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah SWT melalui
pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya.
Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh kemampuan
tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk
melakukannya. Dan orang tidak mau menggunakan akal untuk

30
Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, (Jakarta: Beunabi
Cipta, 1997), 112.
31
Tarikh al-Madzahib, 210-211.

17
memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan
kewajiban yang diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut, namun akal—
menurut al-Maturidi—tidak sampai mampu mengetahui kewajiban-
kewajiban lainnya.32
Adapun dalam masalah baik dan buruk, al-Maturidi mengakui baik
dan buruk sebagai bersifat esensial. Maksudnya, nilai baik dan buruk itu
secara esensial terdapat di dalam sesuatu itu sendiri, bukan semata-mata
ditentukan oleh faktor di luarnya, termasuk wahyu. Meski bagi al-
Maturidi, baik dan buruk itu bersifat esensial, namun baginya tidak semua
kebaikan dan keburukan dapat diketahui oleh akal. Berkaitan dengan
masalah baik dan buruk ini, al-Maturidi membagi atas tiga macam:
1) akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2) akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;
3) akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali
dengan petunujuk ajaran wahyu.
Tampak di sini al-Maturidi dalam hal kebaikan ban keburukan
yang bersifat esensial ini sejalan dengan Mu‟tazilah, namun kemudian al-
Maturidi berbeda dengannya dalam hal perintah melaksanakan dan
meninggalkan kebaikan dan keburukan. Kalau menurut Mu‟tazilah
kewajiban dapat diketahui melalui wahyu, namun bagi al-Maturidi semua
kewajiban melaksanakan yang baik dan meninggalkan yang buruk hanya
dapat dicapai melalui ajaran wahyu.33
Memperhatikan penjelalasan di atas maka dapat dikatakan bahwa
dalam masalah baik dan buruk, juga kewajiban melaksanakan yang baik
dan meninggalkan yang buruk ini, tampak bahwa al-Maturidi berada pada
posisi tengah antara Mu‟tazilah dan Asy‟ariah.
3. Perbuatan Manusia
Menurut al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan
karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus
mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan
mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar
32
Nasution, Teologi Islam, 87-88.
33
Zahrah, Tarikh al-Madzahib, 179

18
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya.
Dalam hal ini, al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai
perbuatan manusia dan qudrah Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.
Tuhan menciptakan daya dalam diri manusia dan manusia bebas
memakainya; daya-daya tersebut diciptakan “bersamaan” dengan
perbuatan manusia. Dengan kata lain, al-Maturidi berpendapat bahwa
perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia
dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia.34
Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrah Tuhan
yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia.
Kemudian daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang
dilakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya,
maka daya itu tentu juga daya manusia.35 Dengan demikian al-Maturidi
berbeda dengan Asy‟ari yang mengatakan bahwa daya berbuat adalah daya
Tuhan, dan begitu pula al-Maturidi berbeda dengan Mu‟tazilah karena
yang disebutkan belakangan berpandangan bahwa daya berbuat adalah
daya manusia yang telah ada “sebelum” perbuatan itu dilakasanakan.36
Dalam hal pemakaian daya berbuat itu tampaknya al-Maturidi
merujuk pada pendapat Abu Hanifah, yaitu adanya masyi‟ah (kehendak)
dan ridla (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melaksanakan perbuatan
baik dan buruk tetap berada pada kehendak Tuhan, tetapi manusia dapat
memilih yang diridlai-Nya atau yang tidak diridlai-Nya. Dangan kata lain,
manusia berbuat baik berarti atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan
sebaliknya ia berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan tetapi tidak atas
kerelaan-Nya.37 Artinya, manusia melakukan segala perbuatan baik dan
buruk atas dasar kehendak Tuhan, namun tidak selamanya dan tidak
semuanya atas kerelaan hati Tuhan; Tuhan tidak suka (rela) manusia
berbuat jahat.38

34
Nasution, Teologi Islam, 112.
35
Nasution, Teologi Islam, 112-113
36
Zahrah, Tarikh al-Madzahib, 102-106
37
Nasution, Teologi Islam, 113-114.
38
Nasution, Teologi Islam, 113.

19
Dengan demikian berarti manusia dalam pandangan al-Maturidi
tidak sebebas manusia menurut faham Mu‟tazilah
4. Kekuasaan dan Kehendak Tuhan
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa semua peerbuatan
manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau pun yang
buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi pernyataan ini menurut al-
Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan
sewenang-wenang serta sehendak-Nya semata. Hal ini dikarenakan qudrah
Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu
berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-
Nya sendiri. Berangkat dari pemehaman ini maka dapat dikatakan bahwa
sesungguhnya al-Maturidi cenderung mengambil jalan tengah antara
pandangan Asy‟ari dan Mu‟tazilah; bagi al-Maturidi, kekuasaan dan
kehendak Tuhan tidaklah semutlak dalam faham Asy‟ari dan tidak pula
sangat terbatas sebagaimana pandangan Mu‟tazilah.39 Pandangan al-
Maturidi semacam ini erat kaitannya dengan konsep perbuatan manusia
menurut al-Maturidi sebagaimana telah diuraikan di atas.
5. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan.
Bagi al-Maturidi, pandangan teologisnya semacam ini didasarkan pada al-
Qur‟an, terutama yang terdapat di dalam Qs. al-Qiyamah ayat 22 dan 23—
wujuhun yaumaidzin nadlirah ila rabbiha nazhirah (wajah-wajah yang
pada ketika itu berseri-seri memandang kepada Tuhannya). Lebih lanjut
al-Maturidi menyebutkan bahwa Tuhan di akhirat kelak dapat dilihat
dengan mata kepala, karena Tuhan mempunyai wujud,40 walapun bersifat
immaterial.
Namun melihat Tuhan di akhirat tidak dapat dijelaskan bentuknya,
karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia. Dengan
perkataan lain dapat ditegaskan bahwa melihat Tuhan di akhirat dengan
mata kepala, dan begitu pula masalah-masalah lain yang menyangkut
keakhiratan, hanya Allah SWT. semata yang mengetahuinya, baik keadaan
39
Nasution, Teologi Islam, 122
40
Nasutiion, Teologi Islam, 146

20
dan bentuk serta sifatnya. Manusia tidak akan pernah mengetahuinya
dengan pasti kecuali hanya melalui „ibarat-„ibarat dalam al-Qur‟an dan
hadis. Menurut al-Maturidi, membicarakan tentang bagaimana keadaan
yang sebenarnya hari kiamat itu termasuk sikap melampaui batas, dan hal
demikian termasuk dilarang oleh Allah SWT sebagaimana firman-Nya
dalam Qs. al-Isra‟ (17): 36.41,
6. Kalam Tuhan
Al-Maturidi melakukan pembedaan antara kalam yang tersusun
dari huruf dan suara (lafdzi) dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya
atau bersifat abstrak). Bagi al-Maturidi, kalam nafsi adalah kalam yang
inheren pada dzat Tuhan atau sebagai sifat Tuhan dan karenanya bersifat
qadim, sebaliknya kalam yang tersusun dari huruf-huruf dan suara bersifat
baharu (hadits).42
Dengan demikian kalam Tuhan dalam bentuk al-Qur‟an yang
tersusun atas huruf dan suara adalah bersifat baharu, sedangkan kalam
Tuhan dalam pengertian kalam nafsi, yang hakikatnya tidak dapat
diketahui oleh manusia dan juga bagaimana Allah bersifat dengannya tidak
dapat dijelaskan, adalah merupakan sifat Tuhan yang bersifat qadim. Di
tempat lain dikatakan, bahwa menurut al-Maturidi kalam Allah sebagai
makna yang inheren pada dzat-Nya, sebagai salah salah satu sifat yang
menyatu dengan dzat-Nya, tidak tersusun dari huruf dan kalimat, adalah
qadim dan kekal bersama dengan kekalnya dzat Tuhan. Sedangkan yang
berupa huruf dan susunan kalimat al-Qur‟an yang menunjukkan makna itu
adalah diciptakan dan tidak dapat mengambil tempat pada yang kekal dan
karenanya bersifat baru.43
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bagi al-Maturidi kalam
Tuhan dibagi atas kalam nafsi sebagai sifat yang inheren pada dzat Tuhan,
karenanya bersifat qadim; dan kalam kalam lafdzi yang berupa huruf-huruf
dan susunan kalimat untuk menunjuk atau simbul dari kalam nafsi tersebu

41
Zahrah, Tarikh al-Madzahib, 221.
42
Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 117-118.
43
Zahrah, Tarikh al-Madzahib, 218-219.

21
dan karenanya bersifat baru. Relevan dengan pemahaman ini, kutipan di
bawah ini penting untuk direnungkan:
Firman Allah itu dibedakan dalam dua pengertian: (1)firman Allah
yang abstrak tidak berbentuk (kalam nafsi) bersifat qadim atau azali;
(2)firman Allah dalam arti kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para
Rasul (kalam lafzhi), yang dalam bentuk huruf atau kata-kata, yang dapat
diucapkan dengan suara, maka firman Allah dalam pengertian kedua ini
adalah baru (hadits) juga makhluk. Dan kedudukan al-Qur‟an sebagai
Kalamullah juga difahami dengan dua macam pengertian tersebut. Yakni
al-Qur‟an sebagai kalam nafsi Allah adalah qadim dan bukan makhluk.
Tapi al-Qur‟an sebagai kalam lafdzi, yang sudah dibahasa Arab-kan,
tersusun dari huruf dan kata-kata, yang ditilawatkan dengan suara, dan
dicetak berupa mushaf, adalah makhluk dan barang baru bukan qadim.44
7. Iman dan Kufur serta dosa besar
Dalam persoalan dosa besar, al-Maturidi menolak doktrin teologis
Mu‟tazilah yang populer dengan sebutan “al-manzilah bain al-
manzilatain” (satu posisi diantara dua posisi). Al-Maturidi, sebagaimana
Abu Hasan al-Asy‟ari, tidak memposisikan amal perbuatan („amal bi al-
arkan) sebagai salah satu unsur pokok (al-ashl) iman, dan karenanya orang
Muslim yang melakukan dosa besar tidaklah keluar dari iman dan status
hukumnya masih tetap mukmin.45
Dan oleh karena itu mereka di akhirat tidak kekal di neraka, atau
dengan kata lain, karena mereka masih mukmin maka mesti masuk surga.
Hanya saja karena amal perbuatan itu, menurut al-Maturidi, tetap
diperhitungkan maka dan persoalan dosa yang dilakukannya akan
ditentukan oleh Tuhan kelak di akhirat: boleh jadi dosa mereka diampuni
sehingga langsung masuk surga, atau boleh jadi mereka disiksa dalam
neraka terlebih dahulu dan kemudian setelah itu masuk surga.46

44
Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal-Jama‟ah dalam Persepsi dan Tradisi
NU (Jakarta: Lantabora Press, 2003), 36-37.
45
Nasution, Teologi Islam, 77; Zahrah, Tarikh al-Madzahib, 221.
46
Zahrah, Tarikh al-Madzahib, 221-222.

22
Sepintas pandangan semacam ini tampak sejalan dengan pendapat
kaum Murji‟ah, namun sebenarnya melampaui Murji‟ah karena bagi al-
Maturidi iman tidak cukup dengan tashdiq (pengakuan dengan hati), yang
tanpa memberikan apresiasi terhadap amal perbuatan, melainkan harus
ma‟rifah dan amal (meski posisi amal perbuatan bukan bagian pokok dari
iman, tetapi posisinya tetap penting dalam iman). Pandangan al-Maturidi
tersebut didasarkan pada Qs. al-An‟am (6): 110.
D. Maturidiyah Setelah Wafatnya Al-Maturidi
Al-Maturidi, disamping meninggalkan beberapa karya tulis yang
memuat pemikiran-pemikiran teologinya, beliau juga memiliki murid-murid
yang pada perkembangan berikutnya sangat berperan dalam melestarikan ajaran-
ajarannya. Empat orang muridnya yang terkemuka adalah: Abd al-Hakim al-
Samarqandi (w.340/951), Abu al-Hasan Ali ibn Said al-Rastafgani (w.350/961),
Abu Muhammad Abd al-Karim ibn Musa al-Bazdawi (w.390/1001), dan Abu al-
Laith al-Bukhari.47
Abd al-Hakim al-Samarqandi menulis buku yang berjudul al-Sawad al-
A‟zam yang dianggap sebagai karya tertua di bidang teologi dari aliran
Maturidiyah. Tulisannya yang lain adalah: Aqidah al-Imam dan Syarh al-Fiqh al-
Akbar. Sedangkan Abu al-Hasan Ali ibn Said al-Rastafgani menulis: Kitab al-
Irsyad al-Muhtadiy, Kitab al-Zawa‟id wa al-Fawa‟id fiy Anwa‟ al-„Ulum,
Kitab al-Khilaf dan As‟ilah wa Ajwibah. Namun, tulisan yang lebih lengkap
tentang pemikiran teologi al-Maturidi baru dilakukan setelah abad ke-5/11 oleh
Fakhr al-Islam „Ali ibn Muhammad ibn Abd al-Karim al-Bazdawiy dengan
karyanya Ushul al-Bazdawiy. Hal ini kemudian diikuti oleh para tokoh-tokoh
Maturidiyah berikutnya48
Salah seorang tokoh Maturidiyah yang hidup pada abad ke-5/11 adalah
Abu al-Yusr Muhammad ibn Muhammad ibn Abd al-Karim al-Bazdawiy, lahir
pada tahun 421 H dan wafat di Bukhara tahun 493/1099. Beliau menerima
pendidikan dari ayahnya, kakeknya sendiri adalah murid dari al-Maturidi. Hal
yang menarik dari tokoh ini adalah pandangan-pandangan teologinya yang dalam

47
Ceric, Mustafa. Roots of Synthetic Theologi in Islam: A Study of the Theology of Abu
Mansur al-Maturidi, Kuala Lumpur: The International Institute of Islamic Thought and
Civilization. 1995) Hal.227
48
Ibid. Hal.227

23
beberapa hal lebih dekat pada al-Asy‟ari dari pada al-Maturidi. Sehingga
kemudian dikenal ada dua golongan dalam aliran Maturidiyah: golongan
Samarqand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara
yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Golongan Samarqand lebih dekat pada
Mu‟tazilah, sedangkan golongan Bukhara lebih dekat pada pendapat-pendapat
al-Asy‟ari.
Perbedaan pandangan kedua golongan tersebut, antara lain: menurut
Maturidiyah Samarqand percaya kepada Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya
sebelum adanya wahyu adalah wajib. Pendapat ini sama dengan pendapat
Mu‟tazilah. Sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara akal hanya dapat sampai pada
percaya kepada Tuhan, tapi tidak dapat mengetahui wajibnya hal itu sebelum
adanya wahyu, pendapat ini sama dengan pendapat Asy‟ariyah.49 Adanya
kesamaan pandangan antara al-Bazdawi dengan al-Asy‟ari menurut hemat
penulis, adalah karena al-Bazdawi, di samping mendalami ajaran al-Maturidi,
beliau juga menekuni pemikiran-pemikiran al-Asy‟ari, sebagaimana pengakuan
beliau sendiri “Saya telah mempelajari sebagian besar kitab-kitab dan hadis-
hadisnya (al-Asy‟ari)”. Sehingga sedikit banyak al-Bazdawi dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran al-Asy‟ari.
Namun, adanya persamaan antara al-Bazdawi dengan al-Asy‟ari
tidaklah mengurangi kredibilitasnya sebagai seorang pengikut Maturidiyah,
karena dalam banyak hal beliau tetap sepaham dengan al-Maturidi sedangkan
perbedaan yang terdapat diantara mereka, bukanlah hal yang prinsipil. Dalam
Kitab Ushl al-Din, mengemukakan komentarnya terhadap Kitab al-Tauhid karya
al-Maturidi yang menunjukkan betapa beliau masih seorang Maturidiyah,
kritikannya pada karya al-Maturidi tersebut lebih diarahkan pada metode
penulisannya bukan pada materinya. Pada perkembangan berikutnya, muncul
seorang murid al-Bazdawi, Najm al-Din Muhammad al-Nasafi, lahir di Nasaf
tahun 460/1068 dan wafat di Samarqand tahun 537/1142. Beliau termasuk ulama
besar pada masanya, tulisannya yang terkenal adalah al-„Aqa‟id al-Nasafiyah
yang dari segi metode dan materinya sangat jelas dipengaruhi oleh pemikiran al-
Maturidi. Buku ini bukan hanya menarik bagi para tokoh Maturidiyah tetapi juga

49
Izutsu, Toshishiko. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman
dan Islam. terj. Agus Fahri Husein, dkk.. Cet. I. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta.1994)
Hal. 130-132

24
tokoh-tokoh Asy‟ariyah, al-Taftazani misalnya, menulis sebuah komentar atas
buku tersebut.50
Tokoh Maturidiyah yang juga dikenal dengan al-Nasafi adalah “Abd al-
Mu‟in Maymun ibn Muhammad al-Makhuliy al-Nasafi (w.508/1114). Karyanya
antara lain Tabsirah al-Adillah, Tamhid li Qawa‟id al-Tauhid, dan Bahr al-
Kalam. Selanjutnya muncul „Ala al-Din Abu Bakr Muhammad al-Samarqandi
(w.540/1145), Nur al-Din Muhammad al-Shabuni (w.580/1185), Hafizh al-Din
Abu al-Barakat „Abdullah al-Nasafi (w.710/1310), „Ubaid Allah shadr al-
Shari‟ah al-Mahbubi (w.747-1348), „Ala al-Din „Abd al-Aziz al-Bukhari
(w.730/1329), Ali al-Sayyid al-Sharif al-Jurjani (w.816/1413), Kamal al-Din
Muhammad ibn Humamah (w.861/1455), Ahmad ibn Sulayman al-Rumi Shams
al-Din Kamal Pasa (w.940/1533), Ali ibn Sulthan Muhammad al-Makki Mula
„Ali al-Qari (w.1014), Kamal al-Din Ahmad al-Bayadi (w.1083/1672), dan
Hasan Kafia Pruscak Basnawi (w.1025/1616). Mereka itulah yang berjasa besar
dalam menyebarkan dan mengembangkan paham Maturidiyah dari masa ke
masa.
Ayyub Ali, dalam Aqidah al-Islam wa al-Imam al-Maturidi,
menyatakan bahwa berbeda dengan orang-orang Asy‟ariyah setelah wafatnya
al-Asy‟ari, orang-orang Maturidiyah tidak menambahkan sesuatu yang
substansial pada pemikiran teologi al-Maturidi. Hal ini, lanjut beliau,
disebabkan karena.
1. Orang-orang Maturidiyah lebih banyak berkonsentrasi pada masalah fiqh.
2. Dasar pemikiran teologi Maturidiyah-Hanafiyah telah dibuat oleh Abu
Hanafiah, sedangkan al-Maturidi hanya menyempurnakannya, berbeda
dengan al-Asy‟ari yang baru meletakkan dasar pemikiran teologi
Asy‟ariyah yang kemudian disempurnakan oleh para pengikutnya.
3. Asy‟ariyah mendapat banyak tantangan dari Hambaliyah dan Mu‟tazilah,
hal ini memaksa orang-orang Asy‟ariyah untuk terus melakukan
pengkajian lebih dalam untuk mempertahankan ajaran mereka.
Berbeda dengan uraian Ayyub Ali tersebut, mengemukakan alasan
bahwa perkembangan pemikiran Asy‟ariyah terjadi karena pemikiran teologi

50
Ceric, Mustafa. . Roots of Synthetic Theologi in Islam: A Study of the Theology of Abu
Mansur al-Maturidi, (Kuala Lumpur: The International Institute of Islamic Thought and
Civilization. 1995) Hal.230

25
al-Asy‟ari tidak menggariskan suatu sistem metodologi, seperti apa yang
dilakukan oleh al-Maturidi. Dengan kata lain, al-Asy‟ari cenderung mengajak
manusia untuk percaya, bukan “bagaimana mempercayai”, jadi lebih bersifat
“mendoktrin” dari pada “mendidik”. Pengaruh aliran Maturidiyah dalam
dunia Islam tidak sebesar pengaruh aliran Asy‟ariyah, karena (1) Maturidiyah
berkembang di ujung timur dunia Islam, sehingga secara geografis
Asy‟ariyah lebih beruntung karena berada pada bagian pertengahan; (2)
Maturidiyah tidak memiliki tokoh sekaliber al-Gazali, atau dukungan lembaga
pendidikan seperti Nizamiyah.
Aliran Maturidiyah, seperti telah dikemukakan sebelumnya banyak
dianut oleh umat Islam yang memakai mazhab Hanafi. Mazhab Hanafi sendiri
banyak dianut oleh umat Islam di kawasan Turki baik Barat maupun Asia
Tengah, dan di anak benua India. Juga terdapat di Irak dan negeri-negeri non-
Arab, bercampur dengan mazhab Syafi‟i. Menurut Ibnu Khaldun, mazhab
Hanafi pada masa ini dianut oleh umat Islam di Iraq, India, Cina, daerah
seberang sungai Euprat dan Tigris, serta negeri-negeri non-Arab seluruhnya,
bersaing dengan mazhab Syafi‟i. Namun, tentu saja hal ini tidak cukup
membuktikan apakah semua pengikut mazhab Hanafi juga, secara otomatis,
pengikut aliran Maturidiyah. Ternyata, ulama-ulama Irak dan sekitarnya lebih
menaruh perhatian pada pemikiran Abu Hanifah di bidang fikih, sedangkan
di bidang aqidah mereka merasa cukup dengan pemikiran Asy‟ari. Ini
menunjukkan bahwa tidak semua pengikut mazhab Hanafi juga pengikut
aliran Maturidiyah.

26
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa hasil karya al-Maturidi


serta situasi dan kondisi masyarakat pada masanya, maka dapat
dikemukakan faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya pemikiran
teologinya yang pada perkembangan berikutnya melahir-kan aliran
Maturidiyah: (1) Ketidakpuasan terhadap konsep teologi Mu‟tazilah yang
terlalu berlebihan dalam memberikan otoritas pada akal. (2) Kekhawatiran
atas meluasnya ajaran Syi‟ah terutama aliran Qaramithah yang dengan
keras menentang ulama-ulama salaf.
Nama lengkap al-Maturidi adalah Abu Mansur Muhammad ibn
Muhammad ibn Mahmud al-Hanafi al-Maturidi al-Samarqandi. Beliau
dilahirkan di Maturid, Samarqand, salah satu kota besar di Asia Tengah.
Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti. Diduga beliau lahir
sekitar tahun 238/853, berdasarkan keterangan bahwa beliau pernah
berguru pada Muhammad ibn Muqatil al-Razi, yang wafat pada tahun
248/862. Atas asumsi ini, berarti al-Maturidi lahir pada masa pemerintahan
al-Mutawakkil salah seorang Khalifah Abbasiah (232-247/847-861).
Pemikiran teologi yang diajukan al-maturidi, bahwa sifat bukanlah
esensi Tuhan, tetapi pula tidak lain dari esensi-Nya. Sifat zat dan sifat
perbuatan adalah Qadim. Tuhan dapat dilihat diakhirat tanpa memerlukan
tempat, bentuk, keadaan, dan cahaya. Al-Qur`an pada hakikatnya firman
Allah yang qadim, tetapi suara, huruf, bacaan, dan kertas bersifat baru.
Pelaku dosa masih tetap mukmin, dan ia mesti mendapat balasan sesuai
dengan janji dan ancaman. Segala sesuatu yang baik dan yang buruk,
manusialah yang menciptakan perbuatannya atas daya Tuhan, karena itu
manusia dihukum atas perbuatannya sendiri, itulah keadilan. Iman adalah
membenarkan dengan hati, sedang perbuatan merupakan syarat
kesempurnaan iman.

27
Al-Maturidi, disamping meninggalkan beberapa karya tulis yang
memuat pemikiran-pemikiran teologinya, beliau juga memiliki murid-murid
yang pada perkembangan berikutnya sangat berperan dalam melestarikan
ajaran-ajarannya. Empat orang muridnya yang terkemuka adalah: Abd al-
Hakim al-Samarqandi (w.340/951), Abu al-Hasan Ali ibn Said al-Rastafgani
(w.350/961), Abu Muhammad Abd al-Karim ibn Musa al-Bazdawi
(w.390/1001), dan Abu al-Laith al-Bukhari

28
DAFTAR RUJUKAN

Abdul Aziz Dahlan.1997. Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam.


Jakarta: Beunabi Cipta.
Abu Al-Hasan, Ali Al-Husna Al-Nadwi. 1969. Rijal al-Fikri wa al-
Da`wah fi al-Islam.Kuwait: Dar al-Qalam.
Abu al-Yusr Muhamad al-Bazdawi. 1963. Kitab Ushul ad-Din, diedit oleh
Hans Peter Lines. Kairo: Isa al-Babi al-Halabi.
Abu Zahrah, Muhammad. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam.
terj. Abdul Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Cet. I. Jakarta: Logos Publishing
House.
Abu Zahrah. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Kairo: Dar al-Fikr, t.th.
Ahmad Hanafi. 1974. Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan
Bintang.
Al-Asy‟ari. 2000. Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi Islam. terjemah
Rosihon Anwar dan Taufiq Rahman. Bandung: Pustaka Setia.
al-Bagdadiy, Abu Manshr „Abd al-Qahir ibn Thahir al-Tamimiy. 1981.
Kitab Ushl al-Din. Cet. III . Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah.
al-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad „Abd al-Karim ibn Abiy Bakr.
t.th. Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr.
Amin Abdullah. 1995. Falsafah Kalam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Amin, Ahmad. 1964. Zhuhr al-Islam. Juz I dan IV. Kairo: Maktabah al-
Nahdhah al-Mishriyyah.
Ceric, Mustafa. , 1995. Roots of Synthetic Theologi in Islam: A Study of
the Theology of Abu Mansur al-Maturidi, Kuala Lumpur: The International
Institute of Islamic Thought and Civilization.
Gibb, H.A.R., dan JH. Kramers. 1953. Shorter Encyclopedia of Islam.
Leiden: E.J. Brill.
Hodgson, Marshall G.S. 1977. The Venture of Islam: The Classical Age of
Islam. Vol. I. Chicago & London: The University of Chicago Press.
Izutsu, Toshishiko. 1994. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam:
Analisis Semantik Iman dan Islam. terj. Agus Fahri Husein, dkk.. Cet. I.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta.

29
Mahmud Qasim. 1973. Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyah,. Mesir; Dar al-
Ma‟arif.
Muhammad Tholhah Hasan. 2003. Ahlussunnah wal-Jama‟ah dalam
Persepsi dan Tradisi NU. Jakarta: Lantabora Press.
Musthafa al-Maraghi. 1974. al-Fath al-Mubin fi Thabaqat al-Ushuliyyin,
Jilid 1. Beirut: an-Nasyr Muhamad Amin wa Syirkah.
Nasution, Harun. 1973. Falsafah Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis
Perbandingan. Cet. V. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

30

Anda mungkin juga menyukai