SEKTE KHALAF
AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH ALMATURIDI
Dosen Pengampu :
Ahmad Masruri, S.Pd.I, M.Pd
Disusun Oleh :
Kelompok 11
Muhammad Toha : 050123.00018
Akhmad Ghazali : 050123.00017
Segala puji kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya sehingga penyusunan makalah ini
terselesaikan. Sholawat beriringan salam ta’dim bagi baginda Nabi Muhammad
SAW sang pembawa ilmu untuk menuju kebahagian dunia dan akhirat, tak lupa
juga kepada para kerabat dan sahabat yang senantiasa menapakkan langkah mereka
sesuai dengan ajaran yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. kami sangat mengharapkan saran dan masukannya agar makalah ini
menjadi lebih sempurna sehingga dapat mengahdirkan kemanfaatan yang lebih
luas.
Penyusun Makalah
Kelompok 11
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I ............................................................................................................ 1
PENDAHULUAN......................................................................................... 1
A. Latar belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan masalah ................................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................... 2
BAB II ........................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ........................................................................................... 3
1. Pengertian Khalaf dan Ahlusunnah Wal Jama’ah ................................ 3
2. Biografi Singkat Al-Maturidi ............................................................... 4
3. Munculnya Aliran Maturidiyah ............................................................ 5
4. Golongan-Golongan dalam Al-Maturidiyah......................................... 6
5. Pemikiran Al-Maturidiyah .................................................................... 7
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 11
1. Kesimpulan ........................................................................................... 11
2. Daftar Pustaka....................................................................................... 12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbincangan tentang persoalan yang menyangkut prinsip-prinsip dasar
ajaran Islam, yang mencapai puncaknya pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriah (abad
ke-8 dan ke-9 M.), telah menggiring para ulama kepada penggunaan argumen-
argumen rasional dalam membahas tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan
manusia dan alam semesta. Hal ini, telah mengakibatkan lahirnya sebuah ilmu
pengetahuan baru dalam lapangan pemikiran muslim, yang dikenal dengan ’Ilm
al-Kalam.
Mu’tazilah dipandang sebagai kelompok yang mula-mula menuntut
penggunaan nalar (ra’yu) dalam teologi Islam. Pada puncak perkembangannya,
Mu’tazilah melancarkan kritik-kritiknya terhadap komponen-komponen
penting dalam keimanan ortodoks. Dan tentu saja kelompok ulama salaf tidak
tinggal diam, di bawah pimpinan Ahmad ibn Hambal mereka menentang sistem
dan metode berfikir Mu’tazilah. Kelompok ini berpegang kuat pada sumber
naql dan menolak penggunaan ra’yu dalam mengkaji persoalan agama.
Pada perkembangan berikutnya, lahirlah aliran tengah yang dikenal
dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang dalam metode kalamnya
menggunakan pendekatan rasio (ra’yu) dan nash (naql). Tokohnya yang paling
terkemuka adalah Abu Hasan Asy’ari (w.324/935) di Iraq dan Abu Mansur
Maturidi (w.333/944) di Samarqand, yang pertama melahirkan aliran
Asy‟ariyah dan yang kedua melahirkan aliran Maturidiyah (Grunebaum, 1970:
130).
Sungguhpun kedua aliran ini menentang paham teologi Mu’tazilah, dan
masing-masing menggunakan pendekatan ra’yu dan naql, tapi di antara
keduanya juga terdapat perbedaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam makalah ini mencoba membahas
bagaimana munculnya dan berkembangnya salah satu aliran dalam Ahl al-
Sunnah wa al-Jama’ah, yaitu aliran Maturidiyah; dan seperti apa metode dan
hasil pemikiran dari aliran tersebut.
1
B. Rumusan Masalah
a. Siapa yang dimaksud Khalaf dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah…?
b. Siapakah Abu Mansur Al-Maturidi dan apa pemikirannya…?
C. Tujuan
a. Mengetahui siapa itu khalaf dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
b. Mengenal Abu Mansur Al-Maturidi dan mengetahui pemikirannya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Berdasarkan pada tarikh, imam empat madhab yang terakhir adalah Imam
Ahmad bin Hanbal yang lahir di Bagdad pada bulan Rabi’ul akhir tahun 164 H/780
M, dan wafat pada Rabi’ulawal tahun 241 H/855 M. Dengan demikian, maka masa
ulama’ salaf kira-kira berakhir sekitar tahun 241 H atau 855 M. Dan setelahnya,
termasuk ulama khalaf .
Pendapat lain mengatakan masa pemisah antara periode ulama salaf dan
khalaf dibatasi dengan masa atau kurun tertentu. Paling tidak, ada tiga pendapat
soal batas waktu ini sebagaimana penjelasan dalam kitab Raudlah al Ulama.
Pertama, ulama salaf adalah ulama yang hidup sebelum tahun 300 Hijriyah dan
ulama khalaf adalah ulama yang hidup setelah tahun tersebut. Kedua, ulama salaf
hidup sebelum tahun 400 hijriyah. Sedangkan ulama khalaf hidup setelah tahun 400
hijriyah. Dan yang ketiga, berpendapat bahwa ulama salaf adalah mereka yang
hidup sebelum tahun 500 Hijriyah, sementara ulama khalaf adalah ulama yang
hidup setelah tahun 500 Hijriyah.
Pengertian Ahlu Sunnah wal Jama„ah (Aswaja) dapat dilihat dari dua aspek
penting, pertama dari segi bahasa atau etimologi, kedua dari segi peristilahan atau
terminologi. Secara etimologi, Aswaja berasal dari bahasa Arab ahl artinya
keluarga. Al-sunnah, berarti jalan, tabi’at dan perilaku kehidupan. Sedangkan al-
jama’ah, berarti sekumpulan.1
ASWAJA adalah kepanjangan kata dari “Ahlus sunnah wal jama‟ah”. Ahlus
sunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi
Muhammad SAW, dan Wal Jama’ah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat
1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab–Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997, cet. 14), hlm. 46
3
Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlus sunnah wal jama’ah yaitu; “ Orang-
orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat (maa
ana alaihi waashhabi), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan
tasawuf.
2
Mustafa Ceric, Roots of Synthetic Theologi in Islam: A Study of the Theology of Abu
Mansur al-Maturidi, (Kuala Lumpur: The International Institute of Islamic Thought and
Civilization,1995), hlm 17-18.
3
Ibid., hlm. 31-33.
4
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1986), Cet. 5, hlm. 76.
4
Khamzah li Abiy Muhammad al-Bahiliy, Rad wa’ad al-Fussaq li al-Ka’bi. Namun,
sayang sekali karya-karya ini tak satupun yang dapat dipublikasikan, belum dicetak
dan masih dalam bentuk manuskrip.5
Demikian beberapa keterangan tentang kehidupan al-Maturidi. Tak ada
catatan mengenai latar belakang keluarganya. Bahkan riwayat hidup beliau sangat
jarang untuk ditemukan dalam buku-buku klasik, sehingga ada anggapan bahwa al-
Maturidi luput dari perhatian para penulis zaman klasik.6 Namun yang pasti, para
sejarawan sepakat bahwa beliau wafat di Samarkand pada tahun 333 H/944 M.7
5
Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 151.
6
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1992), hlm. 630.
7
Mustafa Ceric op.cit hlm. 19-20.
8
James Hansting (ed.), Encyclopaedia of Religion & Ethics, (New York: Charles
Scribner’s Sons, t.th), Vol. 8, hlm. 508-509.
9
Ibid., hlm. 394-402.
5
yang ditulis oleh al-Maturidi merupakan suatu indikasi akan kekhawatirannya
atas pengaruh ajaran ini pada masyarakat.
Terdorong oleh kedua faktor tersebut, al-Maturidi kemudian bangkit
mengembangkan metode sintesis al-Naql dan al-aql dalam pemikiran kalam, jalan
tengah antara aliran rasional ala Mu’tazilah dan aliran tradisional ala Hambali.
Dalam pemikiran teologinya, al-Maturidi yang merupakan pengikut Abu
Hanifah, memberikan otoritas yang cukup besar pada akal, paling tidak bila
dibandingkan dengan al-Asy’ari yang juga dikenal sebagai tokoh yang memadukan
antara al-aql dan al-naql dalam teologinya. Misalnya, baik dan buruk dapat
diketahui melalui akal meski tak ada wahyu, karena baik dan buruk dinilai
berdasarkan substansinya, demikian menurut al-Maturidi. Sedangkan menurut al-
Asy’ari, baik dan buruk dinilai menurut Syara’.10
Tokoh-tokoh aliran Maturidiyah terdiri dari para pengikut aliran Fiqh
Hanafiah. Mereka tidak sekuat tokoh aliran pada Asy’ariyah. Tokoh-tokoh tersebut
antara lain: Al-Bazdawi, At-Taftazani, An-Nasafi, dan Ibnul Hammam. Di antara
mereka yang paling terkenal adalah Al-Bazdawi yang pada perkembangannya
menjadi pelopor golongan Maturidiyah Bukhara.
10
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawarij Ke Buya
Hamka Hingga Hasan Hanafi, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), hlm. 99-100.
6
dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Dari
orang tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima ajaran Maturidi. Dengan demikian yang
di maksud golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran
Al-Maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat
Al-asy’ary.
5. Pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah
a. Akal dan wahyu
Kebaikan dan keburukan menurut akal bagi kaum Maturidiyah Samarkand
ada tiga bagian. Sebagian adalah suatu perbuatan yang kebaikannya dapat diketahui
oleh akal. Sebagian yaitu perbuatan yang keburukannya dapat diketahui oleh akal.
Dan sebagian lagi adalah perbuatan yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya
bagi akal. Kebaikan dan keburukan yang terakhir ini hanya dapat diketahui melalui
syara’. Menurut aliran Mu’tazilah bahwa apa yang diketahui kebaikannya oleh akal,
maka harus dikerjakan berdasarkan perintah akal. Begitu juga jika diketahui
keburukannya, maka harus ditinggalkan berdasarkan keharusan akal.
Al-Maturidi tidak mengikuti aliran Mu’tazilah, tetapi mengikuti pendapat
Abu Hanifah, yang mengatakan bahwa meskipun akal sanggup mengetahui, namun
datangnya perintah yang diwajibkan itu dari syara’, karena akal tidak dapat
bertindak sendiri dalam kewajiban-kewajiban agama dan yang mengeluarkan
perintah-perintah agama hanyalah Tuhan.
Aliran Maturidiyah juga tidak sejalan dengan Aliran Asy’ariyah yang
mengatakan bahwa sesuatu tidak mempunyai kebaikan atau keburukan. Kebaikan
ada karena adanya perintah syara’, begitu pula keburukan juga ada karena adanya
larangan syara’. Kebaikan dan keburukan itu tergantung kepada Tuhan. Jadi,
Maturidiyah berada di tengah-tengah antara Mu’tazilah dan Asy’ariayah.11
Maturidiyah Bukhara juga sependapat dengan Maturidiyah Samarkand,
menurut Al-Bazdawi, sebelum datangnya keterangan wahyu tidak ada kewajiban
11
A. Mustajib, Akidah Akhlak II, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1997), hlm. 88.
7
untuk mengetahui Tuhan dan bersyukur kepadaNya, serta tidak ada kewajiban
untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan jahat. Kewajiban-kewajiban
itu tidak dapat diketahui kecuali melalui wahyu.
b. Perbuatan manusia
Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak
Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Ini
sependapat dengan Mu’tazilah namun dalam porsi yang lebih kecil, mereka
mengatakan bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatan-
perbuatannya. Dengan demikian pula ini sejalan dengan paham Qadariyah ataupun
Mu’tazilah bukan paham Jabariyah ataupun Asy’ariyah.
Dalam masalah pemakaian daya ini, Al-Maturidi membawa paham Abu
Hanifah, yaitu adanya masy’iyah (kehendak) dan rida (kerelaan). Kebebasan
manusia dalam malakukan baik dan buruk tetap dalam kehendak Tuhan, tetapi
memilih yang diridhoiNya atau tidak diridhoiNya. Manusia berbuat baik atas
kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi
tidak atas kerelaanNya.12
Dalam hal ini, Maturidiyah Bukhara lebih condong kepada paham
Asy’ariyah. Menurut Al-Bazdawi mengenai kehendak, daya dan perbuatan manusia
nampak adanya keterikatan dengan Tuhan. Untuk melakukan dan mewujudkan
perbuatan diperlukan adanya dua daya, manusia tidak mempunyai daya untuk
menciptakan, hanya Tuhan yang dapat menciptakan, termasuk perbuatan manusia.
Daya yang ada pada manusia hanya bisa untuk melakukan perbuatan. Jadi, manusia
hanya bisa untuk melakukan perbuatan. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan
adalah perbuatan yang telah diciptakan Tuhan bagi manusia.
c. Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara
pemikiran Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, ia
berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat.
12
Ibid., hlm. 132.
8
Kaum Maturidiyah golongan Bukhara, juga sebagaimana kaum Asy’ariyah,
mereka berpendapat bahwa Tuhan itu mempunyai sifat-sifat. Sifat-sifat itu kekal
karena kekekalan yang terdapat pada esensi Tuhan dan bukan karena kekekalan
sifat-sifat itu sendiri. Tuhan bersama sifatnya itu kekal, tetapi sifat-sifat itu jika
sendiri maka tidak kekal.
d. Melihat Tuhan
Mengenai hal ini, Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat,
sebab Tuhan bersifat immateri, karena itu tidak mengambil tempat. Hanya yang
bersifat materi sajalah yang dapat dilihat.
e. Kedudukan Al-Qur’an
Mengenai kedudukan Al-Qur’an, Aliran Maturidiyah sebagaimana
Asy’ariyah berpendapat bahwa Al-Qur’an (Kalamullah) itu tidak diciptakan, tetapi
bersifat qadim.
Al-Qur’an sebagai manifestasi sabda Tuhan, berdiri pada zat dan azalinya
Dzat. Sedangkan huruf dan suara adalah baru. Al-Qur’an kekal bersama kekalnya
Dzat, sedangkan kalimat-kalimat yang menunjukkan kepada makna kalam adalah
bersifat baru. Jadi, Al-Qur’an yang berupa huruf, lafadz, dan susunan kalimat yang
menunjukkan arti keazalian adalah baru.13
13
Syahrin Harahap, Ensiklopedi Akidah Islam, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 374.
9
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan
tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena
Tuhan sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa
syirik. Berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal
di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah
menjadikan seseorang kafir atau murtad.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar. Adapun
amal adalah penyempurna iman. Oleh karena itu, amal tidak akan mengurangi atau
menambah esensi iman.
g. Pengutusan Rasul
Akal tidak akan selamanya mengetahui kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta
kewajiban lainnya dari syariat yang dibebankan kepada manusia. Al-Maturidi
berpendapat bahwa akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut.
Jadi, pengutusan rasul adalah hal yang niscaya yang berfungsi sebagai
sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul, berarti
manusia membebankan akalnya pada sesuatu yang berada diluar kemampuannya.
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan
Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan rasul ke tengah-tengah umatnya
adalah kewajiban Tuhan, agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam
kehidupannya dengan ajaran para rasul.14
Bagi kaum Maturidiyah Bukhara, pengiriman rasul kepada manusia itu
hanya bersifat mungkin saja. Bukan bersifat wajib bagi Tuhan, sebab Tuhan itu
mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak. Tuhan berkuasa mengirimkan rasul-
rasul dan Tuhan juga berkuasa tidak berkehendak mengirimkan rasul-rasul.15
14
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 130.
15
A. Mustajib op.cit., hlm. 152.
10
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni
sebagai berikut.
1) Nama Al-Maturidiyah diambil dari Nama pendirinya, Al-Maturidi yakni,
Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Hanafi al-
Maturidi al-Samarkandi. Beliau dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di
daerah Samarkand, wilayah Transoxiana di Asia Tengah, daerah yang
sekarang disebut Uzbekistan.
2) Munculnya Aliran Al-Maturidiyah disebabkan yaitu: (1) Ketidakpuasan
terhadap konsep teologi Mu’tazilah yang terlalu berlebihan dalam
memberikan otoritas pada akal; dan (2) Kekhawatiran atas meluasnya ajaran
Syi’ah terutama aliran Qaramithah yang dengan keras menentang ulama-
ulama salaf. Khusus di wilayah Asia Tengah aliran ini banyak dipengaruhi
oleh paham Mazdakisme.
3) Ajaran-ajaran Al-Maturidiyah (Samarkand) yakni sebagai berikut
a. Akal sanggup mengetahui perbuatan baik dan buruk, namun tuntutan
kewajiban untuk melakukan ataupun meninggalkan suatu perbuatan
datangnya dari Tuhan, bukan dari akal itu sendiri.
b. Manusia mewujudkan perbuatannya sendiri.
c. Tuhan mempunyai sifat.
d. Tuhan akan dapat dilihat dengan mata, kepala di akhirat nanti. Ini karena
tuhan memiliki sifat-sifat antropomorphis (tajassum) walaupun sifat
tersebut tidak sama dengan sifat jasmaniah manusia yang ada dalam
alam materi ini.
e. Al-Qur’an (Kalamullah) bersifat Qadim.
f. Orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka
walaupun ia mati sebelum bertobat.
g. Pengutusan rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan.
11
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Pent: Abdul Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, 1996, Aliran
Politik dan Aqidah dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House.
Hasan Ibrahim, 1965, Tarikh al-Islam, Juz 3, Mesir: Maktabah al-Nahdah al-
Mishriyyah.
James Hansting (ed.), t.th, Encyclopaedia of Religion & Ethics, (New York:
Charles Scribner’s Sons.
M. Yunan Yusuf, 2014, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawarij
Ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, Jakarta: Prenada Media Grup.
12