Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ULUMUL HADIS DAN CABANG CABANGNYA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an dan Hadis

Yang di ampu oleh:

Habibur Rahman. S.pd. I, M.Pd

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 8

1. YUSTINA WAHYUNI (23381072077)


2. ZAHROTUL FITRIYAH (23381072078)

PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INDONESA

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM MADURA 2023


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sebagai seorang dari hambanya yang selalu
berada dalam kasih sayang-Nya dan tidak lupa pula shalawat serta salam kami panjatkan
kepada Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan
menuju zaman yang terang benderang seperti saat ini.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada dosen serta teman-teman yang telah
membantu kami dalam pembuatan makalah ini, sehingga kami dapat menyelesaikannya
dengan baik.

Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam makah ini, sehingga kami
senantiasa terbuka untuk menerima saran dan kritik pembaca demi penyempurnaannya.
Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Pamekasan, 10 November 2023

Penulis

Kelompok 8

DAFTAR IS

ii
I

KATA PENGANTAR....................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................................1

C. Tujuan....................................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................2

A. Definisi Ilmu Hadis................................................................................................................2

B. Pembagian dan Cabang Ilmu Hadis.......................................................................................3

C. Sejarah dan Periodisasi Ilmu Hadis........................................................................................5

BAB III PENUTUP......................................................................................................................12

A. Kesimpulan..........................................................................................................................12

B. Saran.....................................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................13

iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasul SAW. Hadis merupakan
sumber syariat islam kedua setelah Al Qur’an. Oleh karena itu mempelajari hadis-hadis Rasul
SAW merupakan kewajiban sebagaimana mempelajari Al Qur’an. Telah kita sadari bahwa
mempelajari hadis membutuhkan ilmu atau kaidah-kaidah sebagaimana mestinya. Dan ilmu
tersebut dinamakan Ulumul Hadis.

Ulumul Hadis merupakan ilmu mulia yang merupakan kunci pokok untuk mempelajari
hadis-hadis Nabi. Barang siapa yang mempelajari ilmu ini dengan cermat akan mendapatkan
kebaikan yang besar yaitu dapat mengenal sunnah-sunnah rasul dan dapat membedakan
antara hadis shahih dan hadis dhaif.

Maka dalam makalah ini akan dibahas tentang ”Pengertian Ulumul Hadis dan Cabang-
Cabangnya” secara jelas guna mempermudah pemahaman kita.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi Ilmu Hadis?


2. Apa saja macam-macam cabang ilmu hadis?
3. Seperti apa sejarah dan periodisasi ilmu hadis?
4. Apa saja kitab-kitab ilmu hadis?

C. Tujuan

1. Memahami definisi ilmu hadis


2. Mengetahui macam-macam cabang ilmu hadis
3. Mengetahui sejarah dan periodisasi ilmu hadis
4. Mengetahui macam kitab-kitab ilmu hadis

1
BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Ilmu Hadis

Dari segi bahasa ilmu hadis terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadis. Secara sederhana
ilmu artinya pengetahuan, knowledge, dan science. Sedangkan hadis artinya segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik dari perkataan, perbuatan, maupun
persetujuan. Para ulama ahli hadis banyak yang memberikan definisi ilmu hadis, di
antaranya Ibnu Hajar Al-Asqalani:

Adalah mengetahui kaidah kaidah yang dijadikan sambungan untuk mengetahui


(keadaan) perawi dan yang diriwayatkan.

Atau:

Ilmu yang mempelajari tentang keterangan suatu hal yang dengan hal itu kita dapat
mengetahui bahwa hadis itu diterima atau tidak.

Atau definisi yang lebih ringkas

Kaidah-kaidah yang mengetahui keadaan perawi dan yang diriwayatkannya.

Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadis adalah ilmu yang membicarakan
tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Perawi adalah orang-orang
yang membawa, menerima, dan menyampaikan berita dari Nabi, yaitu mereka yang ada
dalam sanad suatu hadis.

Bagaimana sifat-sifat mereka, apakah bertemu langsung dengan pembawa berita atau
tidak, bagaimana sifat kejujuran dan keadilan mereka, dan bagaimana daya ingat mereka,
apakah sangat kuat atau lemah. Sedangkan maksud yang diriwayatkan (marwi) terkadang
guru-guru perawi yang membawa berita dalam sanad suatu hadis atau isi berita (matan)
yang diriwayatkan, apakah terjadi keganjilan jika dibandingkan dengan sanad atau matan
perawi yang lebih kredibel (tsiqah). Dengan mengetahui hal tersebut, dapat diketahui mana

2
hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Ilmu yang berbicara tentang hal tersebut disebut
ilmu hadis.11

B. Pembagian dan Cabang Ilmu Hadis

Bermacam-macam cabang ilmu hadis:

1. Ilmu rijāl al-hạdīs

Ilmu rijāl al-hạdīs, yakni ilmu yang mengkaji tentang para perawi hadis, baik dari
sahabat, tabi’in, maupun tabaqah setelahnya:

Artinya: “Ilmu yang membahas para perawi Hadîts, baik dari sahabat, dari tabi’in,
maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya.”

Objek kajian hadis pada dasarnya ada dua yaitu kajian sanad dan matan. Ilmu rijāl
al-hạdīs ini lahir bersamaan dengan periwayatan hadis dalam Islam dan mengambil
porsi khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan sanad. Oleh sebab itu, kajian
sanad sangat penting dalam kajian ilmu hadis

Di antara kitab-kitab rijal rijāl al-hạdīs adalah Tabaqāt Al-Qubrā karya


Muhammad ibn Sa’ad (w 230 H), Ta baqāt Al-Ruwwah karya Khalifah ibn ‘Asf̣arī ( w.
240 H). Al-Istī’ab fī Ma’rifat aṣ-Ṣaḥābah karya Ibn Abd al-Barr (w. 463 H/1071 M),

2. Ilmu garīb al-ḥadīś

Ilmu garīb al-ḥadīś. Dalam kitab Muqaddimah, Ibnu Salāh menggambarkan


tentang ilmu ini:

Artinya: ”Penjelasan mengenai adanya lafad-lafad yang tidak jelas yang sulit
dipahami karena jarang digunakan.”

Nabi adalah sefasih-fasihnya orang Arab yang diutus untuk menghadapi kaumya
yang bermacam suku dan kabilah. Adakalanya beliau berhadapan dengan kaum tertentu
dan beliau menggunakan bahasa dari kaum yang dihadapinya. Kemudian pada
perkembangan selanjutnya setelah banyak bangsa non-Arab memeluk Islam mendapati
1
Mahmud al-Thahhan,Taisir Mustbalabal al-Hadits (Beirut: Dar ats-Tsaqafa al-Islamiyah,t.t) h.15.

3
lafal-lafal yang digunakan itu terasa asing / garib. Nah ilmu ini dimunculkan dengan
tujuan untuk memudahkan dalam memahami hadis-hadis yang mengandung lafal-lafal
yang gharib tersebut.

Ulama-ulama yang mula-mula menyusun hadis-hadis yang gharib tersebut adalah


Abû Ubaid al-Qâsim bin Salâm (157-224 H) dengan karyanya Gharîb al-Hadîś, Abû
Qâsim Jarullah Mahmud bin ‘Umar az-Zamakhsarî (468-538 H) dengan kitabnya Al-
Faiqu fî Garîb al-Hadîs, dan Imam Majdudin Abi al-Sa’adat Al-Mubârak bin
Muhammad Ibnu’ al-Aśir Al-Jazarî (544-606 H), dengan kitabnya An-Nihâyah fî Garîb
al-Hadîs wa al-Aśar.
3. Ilmu al-naskh wa al-mansūkh
Ilmu al-naskh wa al-mansūkh, yakni ilmu yang membahas hadis-hadis yang
menghapus hukum (nāsikh), dan hadis-hadis yang hukumnya dihapuskan (mansūkh).
Para ulama mendifinisikan ilmu al-naskh wa al-mansūkh sebagai:

Artinya: ”Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tidak mungkin dapat


dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagianya, karena ia sebagai
nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia
sebagai mansukh (yang dihapus). Karena itu hadis yang mendahului adalah sebagai
mansukh dan hadis terakhir adalah sebagai nasikh.”
Ilmu ini sangat penting berkaitan dengan istinbat hukum. Untuk mengetahui
apakah hadis-hadis tersebut berlaku sebagai nāsikh dan berlaku sebagai mansūkh bisa
dilihat dengan beberapa cara:
a. Melalui penjelasan dari nash atau syari’ itu sendiri, yakni Rasulullah SAW
b. Melalui penjelasan para Sahabat
c. Melalui tarikh keluarnya hadis serta sebab turun hadis (asbāb al-wurūd).
Sejumlah ulama sudah ada yang menyusun kitab tentang nasikh-mansūkh hadis,
di antaranya adalah Ibnu Syāhīn (w. 385) dengan karyanya yang berjudul an-Nāsikh wa
al-Mansūkh fī al-Hadīs.
4. Ilmu Talfīq al-Hadīś

4
Ilmu Talfīq al-Hadīś, yakni ilmu yang menjelaskan tentang cara-cara
mengkompromikan hadis-hadis yang dhahirnya tampak bertentangan dengan hadis-
hadis lainnya. Padahal sejati hadis-hadis tersebut tidak bertentangan.

Ilmu ini juga disebut dengan ‘Ilmu Mukhtalaf al-Hadīs. Ulama-ulama yang telah
menyusun kitab dengan pembahan ini adalah Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Qurtaibah
(w. 276 H), At-Tahāwi (w. 321 H) dan Ibn Jauzī (w. 597 H).

5. Ilmu ’Ilāl al-Hadīś


Ilmu ’Ilāl al-Hadīś, yakni ilmu yang membicarakan hadis-hadis yang secara
dzahir kelihatan sah, namun kemudian terdapat beberapa kekeliruan/ kesalahan/cacat di
dalamnya.
Kata ‘Ilal adalah bentuk jamak dari dari kata ‘illah yang artinya penyakit. Ahli
hadis menyebut ‘illah sebagai suatu sebab yang tersembunyi yang dapat mengurangi
status kesahihan hadis padahal dhahirnya tidak tampak ada cacat sebagaimana definisi
di bawah ini:
6. Ilmu Asbāb al-Wurūd al-Hadīś
Ilmu Asbāb al-Wurūd al-Hadīś, yakni ilmu yang menjelaskan latar belakang,
sebab-sebab atau konteks di mana hadis tersebut terjadi.
Ilmu Asbāb al-Wurūd al-Hadīs ini penting dalam membantu memahami hadis,
sebagaimana Asbāb an-Nuzūl penting dalam membantu memahami ayat-ayat al-
Qur’an.
7. Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dīl
Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dīl, yakni ilmu yang digunakan untuk menilai atau
mengkritik para perawi hadis. Apakah perawi hadis tersebut memiliki reputasi yang
baik, adil, tsiqah, kuat hapalannya, suka berdusta atau sebaliknya. Sehingga dari
penilaian tersebut, seseorang bisa menyimpulkan kualitas sanad (rangkaian perawi
hadis) sebuah hadis.2

C. Sejarah dan Periodisasi Ilmu Hadis

Sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis selalu mengiringinya sejak masa
Rasulullah S.A.W, sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Ilmu hadis
muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya
perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka.
Dengan cara yang sangat sederhana, ilmu hadis berkembang sedemikian rupa seiring
2
Ajaj al-Khathib, Ushul Al-Hadits, t.t.,h.33.

5
dengan berkembangnya masalah yang dihadapi. Pada masa Nabi SAW masih hidup di
tengah-tengah sahabat, hadis tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah
atau skeptis dalam suatu masalah mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek
kebenarannya atau menemui sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasinya.
Setelah itu, barulah mereka menerima dan mengamalkan hadis tersebut.

Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadis, tetapi para peneliti
hadis memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Alquran dan hadis Rasulullah S.A.W.
Misalnya firman Allah S.W.T dalam Q.S. Al-Hujurat/49: 6.

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.

Demikian juga dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 282.

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antara. Jika tidak
ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antara. Jika tidak
ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya

Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan
hadis karena konsentrasi mereka kepada Alquran yang baru dikodifikasi pada masa Abu
Bakar tahap awal, khalifah Abu Bakar tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan
oleh seseorang, kecuali orang tersebut mampu mendatangkan saksi untuk memastikan
kebenaran riwayat yang disampaikannya. Dan masa Utsman tahap kedua, masa ini terkenal
dengan masa taqlîl ar-riwayâh (pembatasan periwayatan), para sahabat tidak meriwayatkan
hadis kecuali disertai dengan saksi dan bersumpah bahwa hadis yang ia riwayatkan benar-
benar dari Rasulullah SAW. Para sahabat merupakan rujukan yang utama bagi dasar ilmu

6
riwayah hadis. Yakni, karena hadis pada masa Rasulullah SAW merupakan suatu ilmu yang
didengar dan didapatkan langsung dari beliau, maka setelah beliau wafat hadis di sampaikan
oleh para sahabat kepada generasi berikutnya dengan penuh semangat dan perhatian sesuai
dengan daya hafal mereka masing-masing

Sebagaimana ungkapan ulama hadis ketika dihadapan suatu periwayatan:

Sebutkan kepada kami para pembawa beritamu.

Ibnu Al-Mubarak berkata:

Isnad/sanad bagian dari agama, jikalau tidak ada isnad sungguh sembarang orang akan
berkata apa yang dikehendaki.

Keharusan sanad dalam penyertaan periwayatan hadis tidak diterima, tuntutan yang
sangat kuat ketika Ibnu Asy-Syihab Az-Zuhri menghimpun hadis dari para ulama di atas
lembaran kodifikasi. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa periwayatan hadis tidak di
terima, kecuali disertai sanad.

Pada periode Tabi’in, penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan
berkembangnya masalah-masalah matan yang para Tabi’in hadapi. Demikian juga
dikalangan ulama-ulama hadis selanjutnya.

Ketika pada pertengahan abad kedua Hijriyah sampai abad ketiga Hijriyah, ilmu hadis
mulai di tulis dan dikodifikasi dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu
lain, belum berdiri sendiri, masih campur dengan ilmu-ilmu lain atau berbagai buku atau
berdiri secara terpisah. Tetapi pada dasarnya, penulisan hadis baru dimulai pada abad kedua
Hijriyah.

Sesuai dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadis yang disebut pada masa
kejayaan atau keemasan hadis, yaitu pada abad ketiga Hijriyah, perkembangan penulisan
ilmu hadis juga pesat, karena perkembangan keduannya secara beriringan. Namun,
penulisan ilmu hadis masih terpisah-pisah, belum menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri
sendiri, ia masih dalam bentuk bab-bab saja

7
Di antara ulama ada yang menulis ilmu hadis pada mukadimah bukunya seperti Imam
Muslim dalam kitab Shahîh-nya dan At-Tirmidzi pada akhir kitab Jâmi’-nya. Di antara
mereka Al-Bukhari menulis tiga Târîkh, yaitu At-Târîkh Al-Kabîr, At-Târîkh AlAwsâth dan
At-Târîkh Ash-Shaghîr, Muslim menulis Thabaqât At-Tâbi’in dan Al-‘Ilal, AtTirmidzi
menulis Al-Asmâ’ wa Al-Kunâ dan KitâbAt-Tawârikh, dan Muhammad bin Sa’ad menulis
Ath-Thabaqât Al-Kubrâ. Dan di antara mereka ada yang menulis secara khusus tentang
periwayat yang lemah seperti Ad-Dhu’afâ’ ditulis oleh Al-Bukhari dan Ad-Dhu’afâ’ ditulis
oleh An-Nasa’i, dan lain-lain.

Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadis yang ditulis oleh para ulama abad ke-3 Hijriyah
ini, namun buku-buku tersebut belum berdiri sendiri sebagai ilmu hadis, ia hanya terdiri dari
bab-bab saja. Perkembangan ilmu hadis mencapai puncak kematangan dan berdiri sendiri
pada abad ke-4 H yang merupakan penggabungan dan penyempurnaan berbagai ilmu yang
berkembang pada abad-abad sebelumnya secara terpisah dan berserakan.

Periode terakhir, yaitu periode ke-7 ialah periode syarah, penghimpunan, dan peng-
takhrij-an atau Asru al-Syarh wa al-Jam’u wa al-Takhrij. Pada masa ini dapat dikatakan
hadis dan ilmu hadis sudah dalam posisi yang matang dan periode ini masih berjalan hingga
masa kini.

Namun demikian, terkait masa yang sedang berjalan mungkin perlu menjadi
pertimbangan pula bahwa saat ini hadis telah memasuki periode baru, yaitu periode
digitalisasi. Namun, tentu hal ini masih belum menjadi hal yang berlaku secara formil, dan
juga kebutuhan akan memasukkan unsur yang demikian dalam periodisasi-pun masih
memerlukan pembahasan lanjutan.

Bentuk periodisasi yang lain, yang lebih sederhana disampaikan oleh Ajjaj al-Khatib,
yaitu 3 (tiga) periode perkembangan Hadis yang dibagi menjadi Qabla al-Tadwin (Sebelum
Kodifikasi) ‘Inda al-Tadwin (Saat Kodifikasi), dan Ba’da al-Tadwin (Setelah Kodifikasi).
Periodisasi oleh Ajjaj al-Khatib menjadikan proses Kodifikasi/Pembukuan Hadis sebagai
peristiwa sentral dari sejarah perkembangan Hadis. Hal demikian merupakan sesuatu yang
sangat masuk akal mengingat proses kodifikasi hadis membawa perubahan yang sangat
besar bagi jalannya sejarah hadis itu sendiri serta ilmu hadis. Bentuk periodisasi lain
disampaikan juga oleh Abdul ‘Aziz al-Khauli dalam 5 periode.3

3
Ahmad Umar Hasyim. Al Qalam: Jurnal Periodisasi Sejarah Hadis, no. 24 (2021): h.22.

8
D. Kitab-Kitab Ilmu Hadis

Awalnya, apa yang disebut ‘ulum al-hadits ini adalah kaidah-kaidah yang tersebar
dalam berbagai kitab atau masih menyatu dengan bahasan keilmuan tertentu. Untuk melihat
perkembangan struktur dalam ilmu hadis tersebut, berikut ini adalah daftar kitab-kitab ilmu
hadis dari masa ke masa:

1) al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’i


Buku ini disebut-sebut sebagai karya pertama di bidang ilmu hadis. Ditulis oleh
seorang ulama di abad ke-4 hijriyah bernama Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Abd ar-
Rahman bin Khallad ar-Ramahurmuzi (w. 306 H). Karya ini belum mencakup seluruh
bahasan yang kini dikenal dalam ilmu hadis atau ‘Ilm Mustholah al-Hadits.
2) Ma’rifatu ‘Ulum al-Hadits
Buku ini ditulis oleh Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdullah al-Hakim an-
Naisaburi (w. 405 H). Dalam buku ini, juga belum mencakup bahasan atau topik-topik
yang hari ini dikenal dalam ilmu hadis.
3) al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifati ‘Ulum al-Hadits
Buku ini ditulis oleh Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah al-Ashbihaani (w. 430 H).
Buku ini ditulis dalam rangka menambahkan apa yang belum dibahas oleh al-Hakim
dalam Ma’rifatu “ulum al-Hadits. Abu Nu’aim sendiri adalah penulis prolifik dengan
mengumpulkan berbagai macam riwayat, mulai dari Hilyatu al-Awliyaa’ (kumpulan
riwayat-riwayat mereka yang dikategorikan sebagai waliyullah); Tarikh Ashbihaan
(Sejarah Kota Ishfahan); dan Dalaail an-Nubuwwah (Riwayat-Riwayat terkait Tanda-
Tanda Kenabian).
4) al-Kifayah fi Ma’rifati Ushul ar-Riwaayah
Buku ini ditulis oleh Abu Bakar Ahma bin ‘Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdadi
(w. 463 H), seorang ulama yang tekun menulis berbagai tema dan bahasan dalam
keilmuan hadis dalam kitab yang berbeda-beda. Kitab al-Kifayah adalah kitab yang
menjadi pijakan awal sistematika ilmu hadis.
5) al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adaab as-Saami’
Buku ini juga ditulis oleh al-Khatib al-Baghdadi. Kitab ini diantara yang cukup
lengkap membahas landasan dalam riwayat-riwayat hadis Nabi maupun pernyataan
para tabi’in dan ulama salaf tentang landasan etika kegiatan belajar hadis atau
mendapatkan hadis, baik sebagai guru maupun muridnya. Bahasan ini kelak akan
menjadi bahasan wajib yang dibicarakan jika berbicarakan ilmu-ilmu hadis.

9
6) Al-Ilmaa’ ilaa Ma’rifati Ushul ar-Riwaayah wa Taqyiid as-Samaa’
Buku ini ditulis oleh al-Qadhi ‘Iyadh bin Musa al-Yahshobi (w. 544 H). Kitab ini
tidak mencakup seluruh bahasan yang saat ini dikenal sebagai ilmu hadis atau
mushtholah al-hadits. Namun, kitab ini sudah menyusun secara sistematis bahasan
tentang cara periwayatan hadis (kaifiyyatu at-tahammul wa al-adaa’).
7) ‘Ulum al-Hadits (Muqaddimah Ibn as-Shalah)
Bisa dikatakan, hampir seluruh bahasan di dalam apa yang disebut sebagai ‘ilm al-
mustholah al-hadits pada hari ini seluruhnya bersumber dari susunan dalam kitab
‘Ulum al-Hadits atau yang lebih dikenal dengan nama Muqaddimah Ibn as-Shalah,
sesuai dengan nama penulisnya, Ibn Shalah Abu ‘Amr ‘Utsman bin ‘Abd ar-Rahman
as-Syahrazuri. Syahrazuri, adalah laqab (julukan) untuk orang yang berasal dari kota
Shar-e Zur (kini masuk ke dalam wilayah Iran). Para ulama menyebut kalau
Muqaddimah Ibn Shalah inilah yang menyusun bahasan-bahasan ilmu hadis yang
diantaranya terpisah-pisah seperti dalam karya-karya al-Khatib al-Baghdadi. Kitab ini
jugalah yang nantinya diapresiasi oleh para ulama selanjutnya dalam bentuk ringkasan
(mukhtashar/ikhtishar); digubah menjadi syair keilmuan (nadham); atau diberikan
anotasi dan penjelasan lebih panjang (syarh).

8) at-Taqrib wa at-Taysir li Ma’rifati Sunan al-Basyir wa an-Nadziir


Kitab ini dikarang oleh pengarang prolifik dalam khazanah keislaman dan karya-
karyanya seolah abadi masih dipelajari sampai saat ini, Abu Zakariyya Muhyiddin bin
Syaraf an-Nawawi (w. 676 H). al-Imam an-Nawawi dalam kitab ini mampu meringkas
bahasan yang panjang lebar dalam kitab Muqaddimah Ibn Shalah. Namun, ringkasan
ini kelak menggerakkan as-Suyuthi, ulama abad 9 H untuk memberikan penjelasan
terhadap karya an-Nawawi tersebut.
9) al-Baa’its al-Hatsiis Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits
Ditulis oleh Ibn Katsir ad-Dimasyqi, murid Ibn Taymiyyah yang juga penulis tafsir
yang masyhur, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, kitab ini adalah produk ikhtisar lain dari
kitab Muqaddimah Ibn Shalah. Para ulama menyebut beda karya Ibn Katsir dengan
ringkasan Muqaddimah Ibn Shalah karya an-Nawawi adalah karya Ibn Katsir memiliki
redaksi yang lebih lugas dan memberikan beberapa tambahan penjelasan.
10) at-Tabshirah wa at-Tadzkirah

10
Ditulis oleh Zaynuddin ‘Abd ar-Rahim bin al-Husain al-‘Iraqi (w. 806 H). Kitab ini
adalah model apresiasi lain dari kitab Muqaddimah Ibn Shalah, dimana al-‘Iraqi
mengalih wahana-kan dari deskripsi menjadi syair yang berjumlah 1000 bait, sehingga
nama lainnya juga dikenal dengan Alfiyyatu al-‘Iraqi.
11) Fath al-Mughiits bi Syarh Alfiyyati al-Hadits

Ini ditulis oleh Muhammad bin ‘Abdurrahman as-Sakhawi (w. 902 H) sebagai
syarah terhadap 1000 bait al-‘Iraqi.

12) Nukhbatu al-Fikar fi Mushtholah Ahl al-Atsar

Kitab ini ditulis Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) berisi penjelasan singkat terkait
ilmu hadis. Buku ini bukan merupakan ringkasan dari kitab manapun. Ibn Hajar
al-‘Asqalani kemudian mensyarahi kitab ini kembali dengan judul Nuzhatu an-Nadhar.

13) al-Manzhumah al-Baiquniyyah


Karya ‘Umar bin Muhammad al-Baiquni (w. 1080) ini bisa dikatakan sebagai bait
paling ringkas di bidang ilmu hadis (tidak lebih dari 34 bait), dan menjadi syair
pembelajaran ilmu hadis yang digunakan sebagai bahan pembelajaran di berbagai
pesantren atau kursus di bidang ilmu hadis.
14) Qawaa’id at-Tahdiits
Buku ini bisa dikategorikan sebagai karya dengan pola yang berbeda dari karya-
karya di bidang ilmu-ilmu hadis lainnya. Ditulis oleh ulama Suriah abad ke-19,
Jamaluddin al-Qasimi (w. 1332 H/1914 M), ulama yang aktif menulis berbagai
keilmuan keislaman dengan gaya bahasa yang sastrawi dan populer. Ia sendiri menulis
tafsir Al-Quran yang sangat tebal berjudul Mahasin at-Ta’wiil.4

E.

4
Muhammad Mashur, Mengenal Kitab-Kitab Ilmu Hadis dari Masa ke Masa (Malang:Bincang
Syariah,2020).

11
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Ilmu hadis adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan
yang diriwayatkan. Perawi adalah orang-orang yang membawa, menerima, dan
menyampaikan berita dari Nabi, yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu hadis. Ada
bermacam-macan cabang ilmu hadis yaitu: . Ilmu rijāl al-hạdīs, Ilmu garīb al-ḥadīś, Ilmu al-
naskh wa al-mansūkh, Ilmu Talfīq al-Hadīś, Ilmu ’Ilāl al-Hadīś, Ilmu Asbāb al-Wurūd al-
Hadīś, Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dīl. Sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis selalu
mengiringinya sejak masa Rasulullah S.A.W, sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu
secara eksplisit. Bentuk periodisasi disampaikan oleh Ajjaj al-Khatib, yaitu 3 (tiga) periode
perkembangan Hadis yang dibagi menjadi Qabla al-Tadwin (Sebelum Kodifikasi) ‘Inda al-
Tadwin (Saat Kodifikasi), dan Ba’da al-Tadwin (Setelah Kodifikasi). Bentuk periodisasi
lain disampaikan juga oleh Abdul ‘Aziz al-Khauli dalam 5 periode. Beberapa contoh kitab
Ilmu Hadis: al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’I, Ma’rifatu ‘Ulum al-Hadits,
al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifati ‘Ulum al-Hadits, dan lain-lain.

B. Saran
Demikianlah makalah ini telah selesai disusun, penyusun sadar bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi susunan kata, penulisan, dan sebagainya. Oleh karena itu
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

an-Nawawi. Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi. Juz 1., t.t.as-siba’i. as-sunnah, t.t.
Mashur Muhammad, Mengenal Kitab-Kitab Ilmu Hadis dari Masa ke Masa (Malang:Bincang
Syariah,2020).
Hasyim Umar Ahmad. Al Qalam: Jurnal Periodisasi Sejarah Hadis, no. 24 (2021).

Mahmud al-Thahhan,Taisir Mustbalabal al-Hadits Beirut: Dar ats-Tsaqafa al-Islamiyah,t.t.

Khathib, Ajaj al-.Ushul Al-Hadits, t.t..

13

Anda mungkin juga menyukai