Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ASWAJA (AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH)

ISLAM SUNNAH WAL JAMA’AH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Nama : Nazwa Azaliya Melas

Nim : 0104522014

Program Studi : Bioteknologi

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA

JAKARTA

2022
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini.
Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama
Islam.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnnya kepada dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah
memberikan tugas atau makalah ini. Saya juga mengucapkan terima kasih
kepada pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Makalah ini jauh dari kesempurnaan dan merupakan suatu langkah yang
baik dalam suatu proses pembelajaran. Oleh karena itu, makalah ini jauh dari
kesempurnaan sehingga adanya kritik dan saran yang dapat membangun
sehingga saya dapat mengharapkan makalah ini juga dapat berguna bagi saya
serta pihak yang berkepentingan.

Jakarta, 29 Desember 2022


Penulis,
Nazwa Azaliya Melas
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa Rasulullah SAW. Masih hidup, istilah Aswaja sudah pernah
ada tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang
dimaksud dengan Ahlus sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang Islam secara
keseluruhan. Ada sebuah hadits yang mungkin perlu dikutipkan telebih dahulu,
RasulullahSAW bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya bani Israil akan terpecah menjadi 70 golongan dan ummatku
terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu
golongan. Para Shohabat bertanya : Siapa yang satu golongan itu? Rasulullah
SAW. Menjawab : yaitu golongan dimana Aku dan Shahabatku berada.”

Ahlus sunnah wal jama’jama adalah suatu golongan yang menganut


syariat islam yang berdasarkan pada al qur`an dan al hadis dan beri`tikad
apabila tidak ada dasar hukum pada alqur`an dan hadis.

Inilah kemudian kita sampai pada pengertian Aswaja. Pertama kalau kita
melihat ijtihadnya para ulama-ulama merasionalkan dan memecahkan masalah
jika didalam alqur`an dan hadis tidak menerangkanya. Definisi kedua adalah
(melihat cara berpikir dari berbagai kelompok aliran yang bertentangan); orang-
orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup aspek
kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi menjaga keseimbangan dan
toleransi. Ahlus sunnah wal Jama’ah ini tidak mengecam Jabariyah, Qodariyah
maupun Mu’tazilah akan tetapi berada di tengah tengah dengan mengembalikan
ma anna alaihi wa ashabihi. Nah itulah latar belakang sosial dan latar
belakang politik munculnya paham Aswaja. Jadi tidak muncul tiba tiba tetapi
karena ada sebab, ada ekstrim mu’tazilah yang serba akal, ada ekstrim jabariyah
yang serba taqdir, aswaja ini di tengah tengah.
Sebagai aliran pemikiran (manhajul fiqr) kemunculannya tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh dinamika sosial politik pada waktu itu,
lebih khusus sejak peristiwa Tahkim yang melibatkan sahabat Ali dan sahabat
Muawiyyah sekitar akhir tahun 4O H.
Ahli sunnah wal jamaah pemikiranya menggunakan pemikiran al asyari
dan hukum fiqihnya menggunakan imam mazhab sehingga golongan aswaja
inilah golongan yang sifatnya luas. 

Aqidah pada masa Nabi adalah aqidah paling bersih, yaitu aqidah islam
yang sebenaranya, karena belum tercampur oleh kepentingan apapun selain
hanya karena Allah SWT. Ini disebabkan karena Nabi adalah sebagai penafsir
al-Qur’an satu-satunya, sehingga setiap sahabat yang membutuhkan penjelasan
al-Qur’an yang berkaitan dengan keyakinan maka Nabi langsung menjelaskan
maksudnya. Selain itu umat terbimbing langsung oleh Nabi, sehingga dalam
memahami agama tidak terjadi perbedaan.
Kemudian, aqidah pada masa sahabat masih sama dengan zaman Nabi, belum
membentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri apalagi membentuk sebuah
nama tertentu, maupun aliran-aliran pemikiran tertentu.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang ilmu
kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat
dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga
teolog disebut sebagai “mutakallim”, yaitu ahli debat yang pintar mengolah
kata. Ilmu “kalam” juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, yaitu
ilmu yang membahas ajaran dasar dari agama.
Perbedaan yang muncul pertama kali dalam Islam bukanlah masalah teologi,
melainkan bidang politik. Kemudian, seiring dengan perjalanan waktu,
perselisihan politik ini meningkat menjadi persoalan teologi. Bahkan ada dua
teori yang membahas latar belakang timbulnya persoalan teologi yakni
perbedaan aliran ilmu kalam. Pertama, awal tercampurnya masalah aqidah
dengan hal yang lain adalah sejak mulai dari khalifah ke-3 yakni Utsman bin
Affan terbunuh karena beberapa sahabat Nabi terlibat dalam urusan yang
bersifat politis. Dan masalah ini kian rumit ketika peristiwa tahkim terjadi pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Kedua, aliran ilmu kalam muncul
karena hasil iterpretasi atau penafsiran terhadap al-Qur’an maupun kajian
terhadap hadits yang bersifat teologis. Diantara sekian banyak ilmu kalam yang
bermunculan ialah Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadiriyah, Jabariyah, dan
Mu’tazilah yang berakhir dengan peristiwa mihnah yang menjadi sebab awal
terbentuknya aliran Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ahlussunnah wal Jama’ah memang “satu istilah” yang mempunyai “banyak
makna” , sehingga banyak golongan dan faksi dalam Islam yang mengklaim
dirinya adalah “Ahlussunnah wal Jama’ah”. ‘Ulama dan pemikir Islam
mengatakan, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan golongan
mayoritas umat Islam di dunia sampai sekarang, yang secara konsisten
mengikuti ajaran dan amalan (sunnah) nabi dan para sahabat-sahabatnya, serta
memperjuangkan berlakunya di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam.
Meskipun pada mulanya Ahlussunnah wal Jama’ah itu menjadi identitas
kelompok atau golongan dalam dimensi teologis atau aqidah Islam dengan
fokus masalah ushuluddin (fundamental agama), tetapi dalam perjalanan
selanjutnya tidak bisa lepas dari dimensi keislaman lainnya, seperti Syari’ah
atau Fiqhiyah, bahkan masalah budaya, politik, dan sosial.
Melalui makalah ini nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang
berkaitan dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, baik tentang riwayat asal mula
munculnya aliran ini, perkembangannya, doktrin-doktrinnya dan yang
terpenting adalah kepercayaannya. Semoga makalah ini dapat memberikan
gambaran dan penjelasan yang baik terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu pengertianAhlussunnah wal Jama’ah?
2. Bagaimana Sejarahnya Ahlussunnah wal Jama’ah?
3. Apa saja aliran-aliran yang ada didalam Ahlulsunnah wal Jama’ah?
4. Apa saja doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah?
5. Bagaimanakah karakteristik Ahlulsunnah wal Jama’ah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah.
2. Untuk mengetahui Sejarahnya Ahlussunnah wal Jama’ah.
3. Untuk mengetahui aliran-aliran yang ada didalam Ahlulsunnah wal
Jama’ah.
4. Untuk mengetahui doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah
5. Untuk mengetahui karakteristik Ahlulsunnah wal Jama’ah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ahlul Sunnah wal Jama’ah

1. Definisi Aswaja
Aswaja merupakan sebuah singkatan yang memiliki kepanjangan
Ahlus_Sunnah Wal Jamaah. Kepanjangan tersebut merupakan frase dari kata-
kata bahasa Arab yaitu Ahlu, Sunnah, Jamaah. Kata Ahlu diartikan sebagai
keluarga, komunitas, atau pengikut. Kata Al-Sunnah diartikan sebagai jalan atau
karakter. Sedangkan kata Al-Jamaah diartikan sebagai perkumpulan atau
kelompok golongan.
Arti Sunnah secara istilah adalah segala sesuatu yang diajarkan Rasulullah
SAW., baik berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan. Sedangkan Al-Jamaah
bermakna sesuatu yang telah disepakati komunitas sahabat Nabi pada masa
Rasulullah SAW. Dan pada era pemerintahan Khulafah Al-Rasyidin (Abu
Bakar, Umar, Utsman, dan Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah
adalah komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi
Muhammad SAW. Dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah,
agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak hati.
2. Definisi aswaja menurut pendapat ulama
a) Menurut Imam Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang
berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat,
tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah
Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.
b) Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah
golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat dan
mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal
Jamaah yang berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti
Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan
dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.
c) Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah
adalah para sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut
pendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang
mengikutinya dari seluruh umat semuanya.
d) Pendapat Said Aqil Siradj, tentang Ahlus sunnah wal jama’ah adalah
“Ahlu minhajil fikri ad-dini al-musytamili ‘ala syu’uunil hayati wa
muqtadhayatiha al-qa’imi ‘ala asasit tawassuthu wat tawazzuni wat ta’adduli
wat tasamuh”, atau “orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan
yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar
moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi”.
Definisi di atas meneguhkan kekayaan intelektual dan peradaban yang
dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak hanya bergantung kepada al-
Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan mengakomodasi warisan
pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang salih yang sesuai
dengan ajaran-ajaran Nabi.

B. Sejarah Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah


Mengenai awal mula munculnya istilah ahlus sunnah waljama’ah, ada beberapa
pendapat para ahli. Beberapa pendapat tersebut ialah sebagai berikut:
1. Ada yang mengatakan bahwa istilah ahlus sunnah waljma’ah telah lahir
sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan beliau sendiri yang melahirkan
melalui sejumlah hadits yang diucapkan, yakni hadits riwayat Abu Daud dan
hadits riwayat Turmudzi. Adapun mengenai keabsahan hadits tersebut telah
pula kita jelaskan, yaitu kendatipun pada dasarnya hadits itu dhaif (lemah),
misalnya, namun karena banyak riwayatnya, maka satu sama lainnya saling
menguatkan. Dengan demikian, status hadits-hadits tersebut berubah menjadi
kuat.[1]
2. Sebagian orang berpendapat bahwa istilah ahlus sunnah waljam’ah lahir
pada akhir windu kelima tahun hijriah, yaitu tahun terjadinya kesatuan jama’ah
dalam Islam, atau yang lebih dikenal dalam sejarah Islam dengan naman ‘amul
jama’ah (tahun persatuan).
Dalam sejarah diterangkan bahwa pada tahun tersebut Saidina Hasan bin Ali ra.
Meletakkan jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkan kepada Saidina
Muawiyah bin Abu Sufyan dengan masud hendak menciptakan kesatuan dan
persatuan jamaah islamiah, demi menghindari perang saudara sesama Islam.
Jadi, dari kata ‘amul jama’ah itulah lahirnya istilah waljama’ah yang kemudian
berkembang menjadi ahlus sunnah waljama’ah.
3. Golongan ketiga mengatakan bahwa istilah ahlus sunnah waljama’ah lahir
pada abad II hijriah, yaitu di masa puncak perkembangan ilmu kalam (teologi
Islam) yang ditandai dengan berkembangnya alian modern dalam teologi Islam
yang dipelopori oleh kaum muktazilah (rasionalismea). Dalam rangka
mengimbangi itulah, maka tampilnya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari membela
akidah islamiah dan mengembalikannya kepada kemurnian yang asli.
Pergerakan beliau kemudian disebut oleh para pengikutnya “ahlus sunnah
waljama’ah”. Akan tetapi, oleh sebagian kalangan yang tidak menyenangi
teologi Imam Asy’ari, mereka menyebutnya aliran ini “Madzhab Asya’irah”
atau “Asya’irah”. Aliran ini dipelopori dan dikembangkan oleh Abu Hasan Al-
Asy’ari pada tahun 330 H.
C.    Aliran-aliran dalam Ahlus Sunnah Waljama’ah
1.            Aliran Salafiah (tradisional)
Aliran salafiah (tradisional) adalah bagian dari ahlus sunnah yang mana lebih
menonjol keahlussunnahannya daripada khalaf-moderat (Asya’irah). Aliran
salafiah sesuai dengan maknanya “tradisonal” senantiasa mempertahankan
konsepsi akidah Islamiah yang orisinal-tradisional dengan penuh konsekuen
sesuai dengan doktrin akidah pada masa Nabi dan masa sahabat serta tabiin.
Akidah Islamiah pada masa-masa tersebut sangat sederhana. Mereka
menerima berdasarkan iman, ikhlas dan yakin, tanpa memerlukan argumentasi
logika dan filosofis. Karena pada masa itu memang belum dikenal ilmu
logika. Akidah salafiah sangat bertentangan dengan konsepsi akidah ahli kalam
(mutakallimin), karena pemahaman akidahnya semata-mata berdasarkan pada
tekstual (harfiah) dan sama sekali tidak mau menerima segala sesuatu yang
kontekstual. Hal itu menimbulkan kesan bahwa seakan-akan kaum salafiah kaku
dan picik dalam memahami konsepsi Islam, terutama dalam konteks akidahnya.
Mereka kurang memberikan kontribusi kepada akal (rasio). Oleh karena itu
mereka tidak membuang-buang waktu untuk mengkaji ayat-ayat yang
bersifat mutasyabihat, yakni yang tidak jelas maksudnya. Sebagai contoh: 
 “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit
bahwa dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan
tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al-Mulk: 16)
Jadi ayat tersebut mengatakan “Allah di langit”. Kata langit disini  tidak
boleh ditakwilkan (dimaknai) kepada arti lain, misalnya tempat yang tinggi.
2.      Aliran Khalaf (Konvensional)
Telah dijelaskan pada bagian yang lalu bahwa aliran khalaf(konvensional)
ada dua macam.
Pertama, aliran yang amat berlebihan dalam mengkultuskan akal. Menurut
pengikut aliran itu, tanpa wahyu pun manusia mampu mengenal Al-Khaliq dan
mampu pula membuat syariat dengan bantuan akal sendiri. Aliran ini dikenal
dengan Muktazillah (supperrasionalisme) sebagaimana yang diterangkan di
depan.
Kedua, aliran yang menempatkan akal sebagai mitra wahyu. Akal dan wahyu
saling mendukung kecuali dalam beberapa kasus tertentu. Dalam hal tertentu
akal tidak cukup mampu memahami wahyu karena keterbatasannya. Aliran itu
lebih dikenal dengan Asya’riyah (skolastisme) atau juga disebut rasionalisme
moderat.
Dalam ilmu ketauhidan, kaum Asya’riyah dianggap sebagai golongan
moderat antara salafiah dan muktazilah. Oleh karena moderatnya, maka mazhab
itu banyak pengikutnya. Ada faktor-faktor penyebab mayoritas umat islam
menganut mazhab Asya’riyah. Faktornya adalah sebagai berikut:
a.       Mazhab Asya’riyah cukup ampuh untuk menjawab argumentasi kaum
Muktazilah dan kaum Falasifah yang senantiasa menggunakan dalil-dalil
logika(mantik).
b.      Tidak terlepas adanya dukungan dari sejumlah Ulama besar dari berbagai
disiplin ilmu, terutama dari kalangan Mazhab Syafi’i.[7]
Meskipun golongan Asyari’yah diakui oleh jumhur umat Islam sebagai
golongan najiah (Ahlulsunnah), namun sebagian kaum Salafiyah keberatan
menerima kaum Asya’riyah sebagai golongan ahlul sunnah murni. Asya’riyah
menurut mereka tidak lain dari muktazilah gaya baru yang berjubahkan sunni.
Sebenarnya mengenai aliran Ahlulsunnah wal Jama’ah versi Salaf dan
Khalaf. Asya’riyah dan Maturidiah termasuk ke dalam versi kedua, yakni khalaf
moderat, namun aliran salafiah pun ada beberapa macam sama halnya dengan
aliran khalaf. Hanya saja aliran khalaf lebih banyak macamnya, ada yang
ekstrem, seperti muktazillah, khawarij, syi’ah dan lain-lain yang mencapai
jumlahnya 72 aliran. Semuanya itu termasuk golongan mubtadi’ah yang sesat
dan menyesatkan. Ada pula yang moderat, yakni aliran Asya’riyah dan
Maturidiah, yang kedua-keduanya termasuk golongan Ahlulsunnah wal
Jama’ah.

    D.    Doktrin-Doktrin Ahlulsunnah wal Jama’ah


Dalam sejarah perkembangannya Ahlussunnah Wal Jamaah selalu
dinamis dalam menjawab perkembangan zaman tetapi tetap memegang prinsip
dalam mengamalkan ajarannya. Diantara prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah di
dalam sejarah perkembangannya di berbagai aspek kehidupan meliputi Aqidah,
pengambilan hukum (Syariah), tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik dengan
penjabaran sebagai berikut:
1. Bidang aqidah
Ahlulsunnah wal Jama’ah sendiri lebih menekankan bahwa pilar utama ke-
Imanan manusia adalah Tauhid, sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang
ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara
dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak
memiliki sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah
telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya.
Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia
dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta
jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat
manusia harus meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah
utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia
adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap manusia.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya
manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia
akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan
mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama
hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan
mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.

2. Bidang Istinbath al_hukm (pengambilan dasar hukum syariah)


a. Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath
al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh.Sebagai sumber hukum naqli
posisinya tidak diragukan.Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam
Islam.
b. As-Sunnah
As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW,
sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah
setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau
digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan
dalam Al-Qur’an.
c. Ijma’
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah
Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat
Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau
kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa
terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat
dalam QS An-Nisa’, 4: Dan QS Al-Baqarah, 2: 143.
d. Qiyas
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad
para Ulama. Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya
dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum.
Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
3. Bidang Tasawuf
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah
menyucikan hati dari apa saja selain Allah. Kaum sufi adalah para pencari di
Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka
adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling
tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain
Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai
yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.” Kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi
adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain
kepada-Nya.
4. Bidang Sosial Politik
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan
mewajibkan berdirinya negara (imamah), Pandangan Syi’ah tersebut juga
berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa
imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Ahlussunnah wal-
jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban
fakultatif (fardhu kifayah). Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan
alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga
kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku.
Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau
negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria
yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut.
Syarat-syarat itu adalah :
a. Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala
keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang
menegaskan musyawarah adalah (QS Al-Syura, 42: 36-39)
b. Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam
Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun
bentuk pemerintahan itu.salah satu ayat dalam Al-Qur an terdapat pada QS An-
Nisa, 4: 58
c. Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya.
Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap
manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-
Ushulul-Khams (prinsip yang lima) yang identik dengan konsep Hak Azazi
Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern bahkan mungkin di kalangan
ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip ini menjadi ukuran baku
bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap
orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari. Lima pokok atau prinsip
tersebut yaitu:
a) Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan
(negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga
negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
b) Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan
untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan
Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang
sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
c) Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap
kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga
negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin
rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
d) Hifzhual-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-
usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga
kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan
sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama
setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
e) Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi,
pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh
merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru
harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga
negara.
d. Prinsip Al-Musawah (KesetaraanDerajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia
dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang
menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia
diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain.
Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia
dan bangsa yang lain. Hai ini termaktub dalan QS. Al-Hujuraat, 49: 13
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang
timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan
teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat
Al-Ma’idah; 5: 48
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang
yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai
warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi,
melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege
(keistimewaan) khususnya di mata hukum.Negara justru harus mampu
mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang
biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan
politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam,
Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-
Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya
diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun
kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
E. Karakteristik Ahlulsunnah wal Jama’ah
Ada lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits dalam
menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai landasan
dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu Khaira
Ummat yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan karakteristik
anggota Nahdlatul ‘Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari konsep
keagamaan Nahdlatul ‘Ulama, antara lain:
1. At-Tawassuth
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua
kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta
menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan
2. Al I’tidal
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke
kiri.I’tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar dan
yang harus di BELA.
3. At-Tasamuh
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan
menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan
pendirian dan harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah
keagamaan maupun masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebkebudaya
4. At-Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu
unsur atau kekurangan unsur lain.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik
yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan
menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan
atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam sejarah agama Islam , telah tercatat adanya firqah-firqah (golongan)
di lingkungan umat Islam, yang antara satu sama lain bertentangan pahamnya
dan sampai saat ini perbedaan tersebut masih tumbuh dengan suburnya.
Kenyataan ini sudah dijelaskan oleh
Rosulullah SAW dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Auf bin Malik
“Yahudi telah berpecah menjadi 71 golongan, satu golongan di surga dan 70
golongan di neraka. Dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, 71
golongan di neraka dan satu di surga. Dan demi Allah yang jiwa Muhammad
ada dalam tangan-Nya umatku ini pasti akan berpecah belah menjadi 73
golongan, satu golongan di surga dan 72 golongan di neraka.” Lalu beliau
ditanya: “Wahai Rasulullah siapakah mereka ?” Beliau menjawab: “Al
Jamaah.” (HR. Sunan Ibnu Majah).
Islam sebagai agama islam yang diturunkan untuk manusia, yang
didalamnya terdapat pedoman serta aturan yang menuntun manusia membawa
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Serta dalam agama islam terdapat tiga
sendi utama dalam agama islam dilihat dari tataran sisi keilmuan, yaitu iman,
islam dan ihsan.
“Ahlu Sunnah Wal Jamaah” adalah golongan yang senantiasa mengikuti jejak
hidup Rasulallah Saw. Dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang
berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi,
sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin
„Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
BM

Anda mungkin juga menyukai