2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
Melalui makalah ini nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan
dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, baik tentang riwayat asal mula munculnya aliran ini,
perkembangannya, doktrin-doktrinnya dan yang terpenting adalah kepercayaannya. Semoga
makalah ini dapat memberikan gambaran dan penjelasan yang baik terhadap Ahlussunnah wal
Jama’ah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Ahlussunnah wal Jama’ah
2. Bagaimana riwayat asal mula munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah?
3. Apa saja doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah.
2. Untuk mengetahui riwayat asal mula munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah.
3. Untuk mengetahui doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama'ah
BAB II
PEMBAHASAN
5
Imam Abu Hasan al-Asy’ari (lahir di Bashrah, 260 H / 873 M, dan wafat di Baghdad,
324 H / 935 M) ialah seorang ahli fiqh terkenal, pemuka teolog Islam pada masanya. Menurut
catatan sejarah, Abu Hasan al-Asy’ari adalah murid dari ayah tirinya yakni Syaikh Abu Ali
Muhammad bin Abdil Wahab al-Juba’I (seorang ulama besar Mu’tazilah), kemudian Abu
Hasan al-Asy’ari keluar dari paham gurunya itu karena menurutnya banyak keyakinan yang
tidak benar. Kemudian beliau membangun paham sendiri yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah.
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyah,
karena dinishbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari. Juga sering disebut sebagai paham
Ahlussunnah saja, juga sering disebut sunni dan pengikutnya disebut sunniyun. Seluruh ajaran
Ahlussunnah wal Jama’ah yang disusun oleh Abu Hasan al-Asy’ari, dibukukan oleh beliau
diantaranya terdapat dalam kitab yang beliau susun seperti : Al-Ibanah fi Ushuliddiniyyah,
Maqalatul Islamiyyin, Al-Mujaz, dan lain-lain.
C. Doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah
Menurut Ahlussunnah Allah itu satu, unik, qadim dan wujud. Dia bukan substansi,
bukan tubuh, bukan oksigen, tidak terbatasi oleh arah dan oleh ruang. Dia memiliki sifat-sifat
seperti mengetahui, hidup, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan lain-lain.
Menurutnya prinsip-prinsip bahwa Tuhan itu unik dan pada dasarnya berbeda dari sifat-sifat
makhluk dan dengan doktrin “mukhalafah”, atau perbedaan mutlak. Berdasarkan doktrin ini,
bila suatu sifat diaplikasikan kepada Tuhan, maka sifat tersebut mesti dipahami secara unik
dan jangan dipahami seperti kita memahaminya terhadap makhluk. Karena doktrin
“mukhalafah” inilah, Ahlussunnah berpendirian bahwa kita tidak boleh menyebutkan sifat
Tuhan selain daripada yang termaktub secara jelas di dalam Al-Qur’an. Sifat-sifat Tuhan
6
berbeda dari sifat makhluk, bukan dalam tingkatan tetapi dalam jenisnya yakni dalam segenap
hakikatnya[5].
Sedangkan bagi al-Baqillani apa yang disebut sifat Allah bukanlah sifat dalam arti
tekstual, tetapi mengandung makna hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim. Sedangkan Abu
Huzail menjelaskan bahwa sifat yang dimaksud adalah zat atau esensi Tuhan. Menurutnya arti
“Tuhan Mengetahui” ialah tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan, dan pengetahuan
itu adalah Tuhan sendiri. Arti Tuhan mengetahui dengan esensinya, kata al-Jubba’i ialah untuk
mengetahui, tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan
mengetahui[6].
Menurut al-Ghazali, sifat-sifat Tuhan, berbeda dari esensi Tuhan, tetapi berwujud
dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk
mengatasinya Ahlussunnah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula
lain dari Tuhan[7].
Sedangkan menurut Hamka, “membahas sifat dan dzat manusia saja sangat sulit
apalagi membahas sifat dan dzat Tuhan”. Oleh sebab itu, ia lebih menitikberatkan kajiannya
kepada manfaat praktis apa yang bisa ditarik dari pembicaraan Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Manfaat apa yang dapat diambil dari pendiskusian tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya untuk
mempertinggi kualitas iman seseorang, dan pada gilirannya akan mempertinggi pula kualitas
dan kuantitas amal sholehnya[8].
Mengenai konsep keadilan Allah SWT, pendapat Ahlussunnah bahwa Allah SWT
pencipta segala perbuatan hamba-Nya. Dia berkehendak atas terjadinya segala perbuatan
makhluk-Nya baik maupun buruk. Apabila seorang hamba bermaksud akan berbuat sesuatu,
maka Allah menentukan apa yang dikerjakan oleh hamba tersebut, atas perbuatannya itu si
hamba mempunyai kasab. Menurut Ahlussunnah, kasab ialah berbarengannya kemampuan si
hamba dengan perbuatannya. Jadi hamba hanya punya kasab, sedangkan perbuatannya sendiri
diciptakan Allah SWT[9].
Dalam uraian tersebut nampaklah bahwa aliran ini bersikap tengah-tengah antara
pendapat Qadariah dan Jabariah. Allah menciptakan kemamapuan dan kemauan si hamba yang
keduanya berperan dalam berlangsungnya perbuatan, sehingga perbuatannya itu makhluk
Allah. Jadi makhluk Allah itu ada yang tercipta tanpa perantara seperti batu, pohon-pohon dan
sebagainya. Ada yang memakai perantara yaitu segala makhluk yang dihasilkan kerja
manusia. Karena si hamba merupakan perantara itulah maka dia bertanggung jawab dan
mendapat balasan baik atau buruk. Dengan demikian, maka Allah itu bersifat adil, yaitu
memberi pahala kepada seorang hamba sesuai dengan apa yang diusahakannya.
7
Menurut Mu’tazilah, barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir atau melakukan dosa
besar maka orang itu akan kekal dalam neraka, dan barangsiapa yang mati dalam keadaan
beriman, dia pasti masuk surga untuk selama-lamanya. Kaum Mu’tazilah tidak menyebut
adanya kemungkinan pengampunan Allah dan syafaat di hari kiamat[10].
Ahlussunnah tidak sepaham dengan Mu’tazilah mengenai al-Wa’d wa al-Wa’id
tersebut. Menurut Ahlussunnah, tidak ada yang kekal dalam neraka, kecuali orang yang mati
dalam keadaan kufur. Dan Allah berkuasa untuk mengampuni orang yang dikehendaki-Nya.
Pengampunan itu masih ditambah dengan adanya syafa’at (pembelaan) dari Nabi dan para
Rasul serta para Sholihin di hari kiamat[11].
Dasar pemikiran Ahlussunnah ialah bahwa Allah SWT itu pemilik mutlak atas semua
makhluk-Nya. Dia berbuat apa saja yang dia kehendaki dan menghakimi segala sesuatu
menurut kehendak-Nya. Andaikata Allah memasukkan makhluk-Nya ke dalam surga, hal itu
bukanlah suatu ketidakadilan. Sebaliknya kalau Allah memasukkan semua makhluk-Nya ke
dalam neraka, hal itu bukanlah suatu kedzaliman, sebab yang dinamakan dzalim itu ialah
memperlakukan sesuatu yang bukan miliknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Sedangkan Allah adalah pemilik mutlak atas segala sesuatu, sehingga tidak bisa digambarkan
timbulnya kedzaliman daripada-Nya[12].
Dalam hal ini Ahlussunnah berbeda dari paham Mu’tazilah dan para filosof dan sejalan
dengan paham umat muslim ortodoks, yang menyatakan bahwa Allah itu dapat dilihat, tapi
mereka tidak sepakat mengenai apakah Tuhan dapat ditunjukkan. Mereka menerima prinsip
filsafat bahwa apa saja yang menempati ruang atau arah haruslah memiliki waktu, padahal
Allah tidak tidak terikat dengan waktu. Pengakuan ini mengakibatkan mereka dihantui
kerumitan, sebab bila Tuhan tidak “meruang atau mewaktu” dan sesuatu yang dapat dilihat,
maka Tuhan tidak dapat dilihat, namun pendapat ini bertentangan dengan paham mereka
bahwa Tuhan dapat dilihat. Jadi untuk mengatasi kesulitan ini, mereka menyatakan bahwa
suatu benda biarpun benda itu tidak ada di depan orang yang melihatnya, mungkin saja untuk
dilihat. Ini alasan yang lemah dan ganjil sekali, sebab sangat bertentangan dengan segenap
prinsip optika[13].
Disamping itu, Ahlussunnah juga sependapat dengan kaum ortodoks,
dan Ahlussunnah menegaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi mengenai hal ini
harus dipahami secara kiasan. Dengan pola pikir rasional, Ahlussunnah mengemukakan bahwa
kata dan makna ayat dan hadits yang menerangkan tentang hal ini, menunjukkan bahwa kita
jangan memahaminya secara harfiah dan menafsirkannya bahwa melihat Tuhan artinya
“melihat tanda-tanda dan ganjaran-Nya atau mengetahui-Nya dengan hati”[14]
8
Ahlussunnah mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan yang berpengaruh
atas segala perbuatannya dengan izin Allah SWT. Manusia juga mempunyai pilihan ikhtiar,
tapi manusia dipaksa atas pilihannya. Kemampuan manusia tidak berpengaruh secara asli atas
amal perbuatannya, hanya seperti tangan yang lumpuh. Karena itu, maka manusia tidak bisa
berbuat apa-apa jika tidak digariskan oleh izin dan kekuasaan Allah SWT. Dengan
demikian, Ahlussunnah tidak mengakui adanya ikhtiar pada manusia, sesuai dengan firman
Allah bahwa :”Dia menciptakan apa saja yang dikehendaki termasuk yang diciptakan-
Nya dengan perantara perbuatan mereka”[15].
Sedangkan Hamka berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
berkehendak dan berbuat. Pilihan untuk menjadi kafir atau menjadi mukmin adalah
berdasarkan pilihan bebas manusia itu sendiri, bukan ditentukan oleh Tuhan. Kebebasan
berkehendak dan berbuat tersebut dimungkinkan dimiliki oleh manusia, karena kepada
manusia diberikan potensi akal. Dengan akal inilah manusia menimbang mana yang baik dan
mana yang buruk, mana yang mendatangkan kemudlaratan dan mana yang mendatangkan
kemanfaatan[16]
BAB III
HASIL ANALISIS
9
maupun indera luar. Dalam hal ini yang dimaksudkan dzat Allah dapat terlihat berupa ganjaran-
Nya, nikmat-Nya, atau merasakan kedekatan dengan-Nya melalui hati manusia itu sendiri.
Dengan demikian, penulis setuju bahwa Ahlussunnah adalah aliran kalam yang lebih
memilih netral daripada condong ke satu arah. Mudah diterima karena konsep ajarannya tidak
memaksa atau radikal. Jadi, apabila suatu kaum menyatakan perang dengan kekerasan atas
nama Ahlussunnah wal Jama’ah maka mereka bukanlah Ahlussunnah yang sebenarnya, karena
Ahlussunnah tidak mengajarkan kekerasan namun lebih santun dan terbuka dalam berda’wah.
Pesan tersirat dari ajaran Ahlussunnah ialah berpikir maju namun tetap berlandaskan
al-Qur’an dan hadits Nabi, agar diri kita tidak dibutakan oleh dunia dengan tetap berpegang
pada syariat agama Islam. Sangat penting bagi generasi muda seperti mahasiswa untuk
menghadapi modernisasi zaman yang semakin pesat dan sarat akan tipu daya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ahlussunnah wal jama’ah mempunyai paham : 1) Yang dihukumkan orang islam ialah
orang yang mempunyai kepercayaan hati, dibuktikan dalam bentuk perkataan dan amaliahnya;
2) Orang islam yang berbuat dosa besar dan sampai matinya belum bertaubat, maka diklaim
sebagai mukmin yang melalukan maksiat. Hukumannya akan masuk neraka, tetapi mempunyai
harapan besar masuk surga, walaupun sudah berabad-abad lamanya; 3) Semua perbuatan Allah
mengadakan / meniadakan sesuatu itu kita tidak mengetahuinya, dan yang mengetahui
hanyalah Allah sendiri.
Semua umat islam di tanah air kita Indonesia ini adalah termasuk golongan ahlussunnah
wal jama’ah, tak ada kecualinya, karena i’tiqad dan ibadahnya semua sesuai dengan ajaran
Allah dan Rasul-Nya.
10
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar. Perlamadani, Jakarta. 2003.
Hasan, Muhammad Tholhah. Ahlussunnah wal Jama’ah Dalam Presepsi dan Tradisi
NU. Lantabora Press, Jakarta, 2003.
Kodir, Koko Abdul. Metodologi Studi Islam. Pustaka Setia, Bandung, 2014.
11
[1] Shobirin, Ilmu Kalam, Dharma Bhakti, Jakarta, 2013, hlm. 152
[2] Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah Dalam Presepsi dan Tradisi NU,
Lantabora Press, 2003, hlm. 1
[3] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 58
[4] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 59
[5] M.M. Sharif, Aliran-Aliran Filsafat Islam, Nuansa Cendikia, Bandung, 2004, hlm. 63
[6] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 135
[7] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 136
[8] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Perlamadani, Jakarta, 2003, hlm.
182
[9] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 61
[10] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 62
[11] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 71
[12] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 63
[13] M.M. Sharif, Aliran-Aliran Filsafat Islam, Nuansa Cendikia, Bandung, 2004, hlm. 78
[14] M.M. Sharif, Aliran-Aliran Filsafat Islam, Nuansa Cendikia, Bandung, 2004, hlm. 120-
121
[15] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 64
[16] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Perlamadani, Jakarta, 2003,
hlm. 206
12