Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

POKOK-POKOK AJARAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

KISWAH

Dosen Pengampu:

Abdul Wakil, M.Si

Di Susun Oleh Kelompok 3:

Endang Susilowati (221207290758)

Dinda Ayu Dwi Jayanti (221207290754)

PROGRAM STUDY EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM ZAINUL HASAN GENGGONG
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
2
Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat Hidayah dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini yang didalamnya membahas mengenai materi “Pokok -
pokok ajaran aswaja”. Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan
mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini, untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih pada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari itu semua kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karna itu, dengan tanda terbuka kami menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata
kami berharap semoga makalah ilmiah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi untuk pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Probolinggo, 8 februari 2024

Penyusun

DAFTAR ISI

2
COVER.........................................................................................................................................................i

KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii

BAB I...............................................................................................................................................1

PENDAHULUAN..........................................................................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..............................................................................................................2

C. Tujuan..................................................................................................................................2

BAB II.............................................................................................................................................3

PEMBAHASAN.............................................................................................................................3

A. Aswaja Bidang Aqidah (Asy’ari & Maturidi)..................................................................3

B. Aswaja Bidang Fiqh (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i & Hambali)............................4

C. Aswaja Bidang Tasawwuf (Imam Ghozalil, Imam Junaid al-Baghdady).....................5

BAB III.........................................................................................................................................14

PENUTUP....................................................................................................................................14

A. Kesimpulan........................................................................................................................14

DAFTARPUSTAKA....................................................................................................................15

BAB I

2
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw., telah melalui perjalanan yang
panjang. Pasca wafatnya Rasulullah Saw, bermunculan firqah-firqah (golongan-
golongan) dalam umat Islam, yang satu dan lainnya sulit didamaikan, apalagi
dipersatukan. Nahdhatul Ulama (NU) yang berpaham Ahlussunah wal Jama'ah
memiliki tanggung jawab besar dalam rangka melindungi umat Islam tetap berada
dalam tuntunan ajaran Islam yang lurus. Oleh sebab itu, NU telah memberikan garis-
garis yang jelas tentang sikap keagamaannya, baik dalam masalah akidah, syariah,
tasawuf, maupun siyasah.
NU mendasarkan paham keagamaannya pada Al-Qur'an, hadist, ijma' dan
qiyas. Pemahaman terhadap Al-Qur'an dan Hadist sendiri tentu berbeda-beda antara
satu paham dan lainnya. Jadi, meskipun paham-paham dalam Islam mendasarkan
sikap keagamaan terhadap Al-Qur'an dan Hadist, namun pemahaman dan tafsir atas
dasar tersebut berbeda.
Dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumbernya, NU mengikuti
Ahlussunnah wal Jamaah dengan menggunakan jalan pendekatan madzhab:
1. Dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jamaah yang
dipelopori oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur Al-
Maturidi.
2. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (madzhab salah satu dari
madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu'man, Imam Malik bin Anas, Imam
Muhammad bin Idris As-Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
3. Dalam bidang tasawuf mengikuti, antara lain Imam Junaid al-Baghdadi dan
Imam Al-Ghazali, serta imam-imam lainnya, seperti Syekh Abdul Qadir Al-
Jailani.
4. Dalam Siyasah mengikuti Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad al-Mawardi

A. Rumusan Masalah

2
Dengan melihat latar belakang yang telah penyusun paparkan sebelumnya, maka
ada hal yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa saja pokok-pokok ajaran aswaja dalam bidang Aqidah (Asy’ari & Maturidi)?
2. Apa saja pokok-pokok ajaran aswaja dalam bidang Fiqh (Madzhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i & Hambali)?
3. Apa saja pokok-pokok ajaran aswaja dalam bidang Tasawwuf (Imam Ghozalil, Imam
Junaid al-Baghdady)?

B. Tujuan
1. Untuk memberikan pemahaman tentang pokok-pokok ajaran aswaja dalam bidang
Tasawuf, Fiqh dan Aqidah.

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Aswaja Aswaja Bidang Aqidah (Asy’ari & Maturidi)


Permasalahan-permasalahan keagamaan sebenarnya sudah ada sejak zaman
Rasulullah Saw, masih hidup. Namun, waktu itu, setiap kali persoalan muncul, para
sahabat dapat segera memecahkannya dengan jalan Rasulullah Muhammad Saw.
Apabila ada ayat-ayat yang kurang bisa dipahami, Sahabat akan menanyakannya
langsung kepada Rasul, dan segera mendapatkan jawabannya. Apabila terjadi
perbedaan pendapat, Rasulullah Saw, akan menengahi dan selesailah masalah.
Namun begitu, setelah wafatnya Baginda Rasulullah Muhammad Saw. seiring
dengan berjalannya waktu, berbagai permasalahan keagamaan terus bermunculan. Al-
Qur'an dan Hadist yang menjadi pondasi utama umat Islam dalam berakidah dan
beribadah ditafsirkan secara berbeda-beda, sehingga niscaya menimbulkan
pemahaman yang berbeda.
Sesungguhnya persengketaan aqidah pada mulanya diakibatkan oleh
pertentangan masalah imamah. Dari persoalan tersebut, kemudian merambah ke
wilayah agama, terutama seputar hukum seorang muslim yang berdosa besar dan
bagaimana statusnya ketika ia meninggal; mukmin ataukah sudah kafir. Dari situ,
pembicaraan tentang aqidah kemudian meluas ke persoalan-persoalan Tuhan dan
manusia baik menyangkut perbuatan dan kekuasaan Tuhan, juga sifat keadilan Tuhan,
sampai pada persoalan apakah Al-Qur'an termasuk makhluk atau bukan.
Sampai kemudian lahirlah paham-paham aqidah, seperti Qadariyah,
Jabbariyah, Mu'tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah. Dua kelompok terakhir itulah
yang mengambil sikap moderat yang kemudian dikenal dengan pahamnya
Ahlusunnah wal Jamaah.
Disebut Asy'ariyah karena madzhab tersebut didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-
Asy'ari, dan Maturidiyah karena pendirinya adalah Imam Abu Manshur al-Maturidi.
1. Abu Al-Hasan Al-Asy'ari
Ahlusunnah wa Jama'ah sering juga disebut dengan ahlussunnah. atau sunni, atau
kadang-kadang disebut 'Asy'ari atau Asy'ariyah, dikaitkan kepada guru besar yang
bertama, Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari. Nama lengkap beliau adalah Abu Hasan Ali
bin Ismail, bin Abi Basyar. Ishaq bin Salim, bin Isma'il, bin Abdillah, bin Musa,
bin Bilal, bin Abi Burdah, bin Abi Musa al-Asy'ari.

2
Abu Hasan 'Ali, lahir di Bashrah (Irak) tahun 260 H, 55 tahun sesudah
meningalnya Imam Syafi'i. Pada mulanya, Abu Hasan merupakan murid dari ayah
tirinya sendiri, bernama Syeikh Abu 'Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jabai
yang merupakan ulama besar Mu'tazilah. Pada waktu Abu Hasan berusia remaja,
Mu'tazilah memang menjadi paham penguasa, dan ulama-ulama Mu'tazilah banyak
sekali bisa dijumpai, baik di Bashrah, Kullah, maupun Baghdad.
Imam Abu Hasan al-Asy'ari kemudian mendapatkan hidayah bahwa dalam
paham Mu'tazilah terdapat banyak kesalahan besar yang bertentangan dengan
i'tiqad dan kepercayaan Nabi Muhammad Saw., dan sahabat-sahabat beliau, selain
juga banyak yang bertentangan dengan al- Qur'an dan Hadis. Maka, beliau
kemudian memutuskan keluar dan tampil sebagai penentang untuk melawan
pendapat-pendapat kaum Mu'tazilah.
Abu Hasan Al-Asy'ari banyak berjuang menegakkan akidah Ahlusunnah
wal Jamaah dengan menggunakan tulisan maupun lisan, menandingi kaum
Mu'tazilah. Beliau telah merumuskan dan menulis kitab-kitab akidah sehingga
namanya terkenal sebagai seorang ulama Tauhid. Di antara kitab-kitab terkenal
karangan beliau adalah, Ibanah fi.
Ushuluddiyanah yang tediri dari 3 jilid besar, Maqallatul Islamiyiin. Al
Mujaz, dan masih banyak lagi.
Akidah Asy'ariyah merupakan jalan tengah (tawasuth) di antara kelompok-
kelompok keagamaan yang berkembang pada masa masa itu (abad 3 H). Kita
paham, paling tidak ada dua kelompok yang saling bertolak belakang, yakni
Jabariyah dan Qadariyah yang keduanya dikembangkan oleh Mu'tazilah.
Sikap tawasuth ditunjukkan oleh Asy'ariyah dengan konsep al-kasb. (upaya).
Menurut Asy'ari, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia
memiliki peranan dalam perbuatannya. Kash memiliki makna kebersamaan
kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Kasb juga memiliki makna keaktifan
dan bahwa manusia bertanggung jawab. atas perbuatannya.
Berbeda dengan Jabbariyah yang menganggap bahwa manusia tidak
memiliki daya dan upaya sama sekali, konsep Kasb Asy'ariyah menempatkan
manusia sebagai manusia yang selalu berusaha secara kreatif dalam kehidupannya,
namun tidak melupakan bahwa Tuhanlah yang menentukan semuanya.

2
Paham aqidah seseorang tentu saja sangat memengaruhi pola kehidupannya
sehari-hari, bukan saja pada masalah kepercayaan (keimanan), tetapi menyangkut
urusan ekonomi, budaya dan persoalan- persoalan lainnya.
Konsep aqidah Asy'ari banyak diterima bukan hanya disebabkan lebih mudah
dicerna akal sehat, tetapi karena ia mendasarkan konsep aqidahnya dengan
mengutamakan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadist di atas akal dan pikiran. Asya'ari
tidak menolak peran akal, sebab memahami al- Qur'an dan Hadist tanpa akal
adalah mustahil. Tetapi kemampuan akal terbatas, dan penggunaan akal dalam
menerjemahkan wahyu tidak bisa semena-mena. Adakalanya hal-hal yang
berkaitan dengan masalah- masalah aqidah (seperti Kehendak Allah, Keadilan
Allah, dll) tidak bisa dijangkau oleh akal. Pada saat yang demikian itulah akal
mesti tunduk kepada wahyu.
Pada perkembangannya. Paham Asy'ariyah terus menyebar dan meluas. Kian
lama kian banyak bermunculan ulama-ulama yang mengikuti, memperkuat, dan
mengembangkan paham Asy'ariyah. Salah satunya adalah Imam Abu Mansur Al-
Maturidi.
2. Abu Manshur Al-Maturidzi
Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Mahmud, Beliau lahir di
Samarqand, tepatnya di sebuah desa bernama Maturid. Paham aqidah Maturidiyah
dan Asy'ariyah memiliki keselarasan. Makanya, kedua imam besar inilah yang
kemudian dianggap sebagai pembangun Madzhab Ahlusuunnah wal Jama'ah.
Kalau ada yang berbeda. antara keduanya, itu hanya pada madzhab fiqh yang
mereka ikuti. Asy'ariyah menggunakan madzhab Imam Syafi'i dan Imam Malik,
sementara Maturidiyah menggunakan madzhab Imam Hanafi.
Di antara pemikiran Abu Manshur Al-Maturidi dalam masalah. aqidah adalah
upaya mendamaikan antara dalil aqli dan naqli (akal dan wahyu). Paham
Maturidiyah berpendapat bahwa, apabila kita berhenti berbuat pada saat tidak
terdapat nash (naql) maka itu merupakan suatu kesalahan, sama juga salah apabila
kita larut tidak terkendali dalam menggunakan rasio ('aql).
Jadi, antara 'aql dan naql memiliki peranan yang sama pentingnya.
Menafikan peran akal dalam memahami dalil naqi merupakan suatu kemustahilan.
Sekilas, pandangan tersebut sama dengan konsep 'Asy'ariyah, tetapi sebenarnya
terdapat perbedaan, yakni pada posisi akal terhadap wahyu. Dalam buku Aswaja
an-Nahdliyah dijelaskan bahwa menurut Maturidiyah, wahyu harus diterima

2
penuh. Tapi jika terjadi perbedaan antara wahyu dan akal maka akal harus berperan
menatakwilkannya. Terdapat dalam ayat-ayat tajsim (Allah bertubuh) atau tasybih
(Allah serupa makhluk), misalnya, harus ditafsirkan dengan arti majazi (kiasan).
Contoh seperti lafal “Yadullah” yang arti aslinya “Tangan Allah” ditakwil menjadi
“Kekuasaan Allah”.
Lagi, tentang sifat Allah. Maturidiyah dan Asy’ariyah sama-sama
menerimanya. Namun sifat-sifat itu bukan sesuatu yang berada diluar zat-nya. Sifat
tidak sama dengan zat, namun tidak dari selain Allah. Misalnya, Tuhan Maha
Mengetahui bukanlah dengan Zat-Nya, tetapi dengan pengetahuan(‘ilmu)-Nya
(ya’lamu bi ‘ilmihi).
Dalam persoalan kekuasaan dan kehendak (Qudrah dan Iradah) Tuhan,
Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi
oleh Tuhan sendiri, jadi kehendak tuhan itu mutlak. Meskipun demikian Tuhan
tidak dapat dipaksa atau terpaksa dalam berbuat, melainkan sesuai denga napa
yang dikehendakinya. Misalnya, Allah menjanjikan orang baik masuk surga dan
sebaliknya orang jahat masuk neraka, maka allah akan menepati janji-janji
tersebut. Namun manusia diberi kebebasan oleh Allah dalam menggunakan daya
untuk memilih antara orang yang baik dan yang buruk.
Dengan demikian menurut paham Maturidiyah, perbuatan itu tetap
diciptakan oleh tuhan. Sehingga perbuatan manusia sebagai perbuatan Bersama
antara manusia dan Tuhan. Allah yang mencipta, sementara manusia yang meng-
kasab-nya.

B. Aswaja Bidang Fiqh (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i & Hambali)


Sumber hukum Islam (Fiqih) yang utama adalah Al-Qur'an dan hadist.
Sementara kita tahu bahwa ayat-ayat al-Qur'an tidak bertambah dan tidak berkurang.
Sedangkan permasalahan-permasalahan baru terus muncul seiring perkembangan
zaman. Maka, dibutuhkan upaya penggalian hukum, atau yang lebih sering disebut
dengan istilah ijtihad.
Ijtihad sendiri sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw.. ketika
Sahabat menjumpai suatu persoalan yang harus segera diputuskan sementara mereka
tidak sedang bersama Rasulullah. Pada masa Khulafarurrashidin, khalifah kerap
mengumpulkan para Sahabat untuk membahas suatu masalah dan menentukan
hukumnya, lalu lahirlah ijma atau kesepakatan.

2
Di antara tokoh yang mampu berijtihad sejak generasi sahabat. tabi'in, dan
tabi'ut tabi'in, terdapat banyak tokoh yang ijtihadnya kuat (disebut mujtahid mustaqil).
Bukan hanya mampu berijtihad sendiri tetapi juga mampu menciptakan pola
pemahaman (manhaj) tersendiri terhadap sumber pokok hukum Islam, yakni al-Qur'an
dan Hadis. Hal tersebut dibuktikan dengan metode ijtihad yang mereka rumuskan
sendiri, menggunakan kaidah-kaidah ushul figh, qawa'idul ahkam, qawa'idul
fiqhiyyah dan sebagainya. Proses dan prosedur ijtihad yang mereka. hasilkan
dilakukan sendiri tersbut mendandakan bahwa secara keilmuan dan pemahaman
keagamaan serta ilmu penunjang dalam berijtihad lainnya telah mereka miliki dan
kuasai.
Perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam masalah fiqih memang tidak bisa dicegah,
tetapi bukan berarti setiap orang bebas untuk berijtihad (menjadi mujtahid). Bagi
orang awam, mengikuti para imam madzhab adalah wajib, demikian pendapat ulama
Nahdhiyyin.
Madzhab sendiri berarti jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan dalam
masalah keagamaan. Pada hakikatnya, semua orang pasti bermadzhab. Kalau tidak
bermadzhab pada madzhab-madzhab lama, mereka bermadzhab kepada madzhab
yang baru. Taqlid (mengikuti) pada imam madzhab bukanlah suatu kemunduran,
tetapi justru sebagai sarana melestarikan dan mengembangkan ajaran Islam. Dengan
bermadzhab, pewarisan dan pengamalan ajaran Islam menjadi terpelihara, ajaran
Islam terjamin kemurniannya.
Para imam madzhab adalah orang-orang yang sudah terkenal kealimannya dan
sangat menguasai ilmu-ilmu al-Qur'an dan hadist. Jadi, apabila dikatakan bahwa
bermadzhab bukanlah jalan yang diajarkan oleh Rasulullah, sesungguhnya hal
tersebut tidak berdasar. Sebab para Imam madzhab adalah orang-orang yang
ketaatannya pada al-Qur'an dan sunnah sudah teruji. Bermadzhab berarti mengikuti
apa yang sudah menjadi pegangan imam madzhab.
Di dalam fiqih, NU bermadzhab kepada madzhab 4 yang masyhur yakni,
Hanafi, Hambali, Syafi'i dan Maliki. Pertanyaan yang kerap muncul adalah kenapa
NU hanya memilih 4 madzhab untuk dijadikan pijakan dalam fiqih?
Dalam buku Aswaja an-Nahdliyah, sebagaimana dikutip K.H Busyairi harist,
adalah karena: Pertama, kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur. Jika
disebut nama mereka hampir dipastikan mayoritas umat Islam di dunia mengenal dan
tidak perlu lagi menjelaskan secara detail tentang keilmuan mereka. Kedua keempat

2
imam madzhab tersebut merupakan imam Mujtahid, Mutlak, Mustaqil, yaitu imam
yang mujtahid yang mampu secara mandiri menciptakan manhaj Al Fiqr (metode
berfikir), pola, proses dan prosedur istimbath dengan seluruh perangkat yang
dibutuhkan. Ketiga, imam madzhab itu mempunyai murid-murid yang secara
konsisten mengajar dan mengembangkan madzhabnya yang didukung oleh buku
induk yang masih terjalin keasliannya hingga saat ini. Keempat, jika ditelusuri
ternyata para imam madzhab tersebut mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual
diantara mereka.
1. Abu Hanifah an-Nu'man ibn sabit
Nama lengkapnya adalah imam Nu'man bin Tsabit. Beliau sering disebut
imam abu Hanifah, sementara madzhabnya dikenal dengan madzhab Hanafi. Imam
abu Hanifah adalah golongan tabiin yang lahir pada tahun 80 H dan wafat tahun
150H.
Abu Hanifah mendapat gelar Al-imam, Al-'HAM (imam agung), dan menjadi
tokoh panutan di Iraq. Beliau juga dikenal sebagai penganut aliran ahlul-rakyi dan
bahkan menjadi tokoh sentralnya.
Dikatakan ahl ra'yi bukan berarti abu Hanifah hanya mengandalkan akalnya. Tetapi
dalam memandang Nash, beliau lebih memandang apa yang ada dibalik nash (al-
quran dan hadist), bukan secara tekstual. Di antara manhaj istinbath nya yang terkenal
dalam konsep Al ihtihsan.
Meskipun abu Hanifah sangat terkenal sebagai imam mazhab fiqih tetapi tidak
ada suatu kitab pun yang beliau tulis sampai kepada kita . Fiqh abu Hanifah dan yang
menjadi rujukan utama mazhab Hanafi ditulis oleh dua orang murid utamanya: imam
abu Yusuf Ibrahim dan imam Muhammad bin Hasan as syaibani.

2. Maliki ibn Annas


Malik bin Annas dilahirkan tahun '93 Hijriyah dan wafat tahun 179 Hijriyah di
Madinah. Kelak iya dikenal sebagai imam Malik, pendiri madzhab Maliki. Imam
Malik adalah seorang ahli hadits yang masyhur dengan kitab monumentalnya berjudul
'Al-Muwatha' dinilai sebagai kitab hadis hukum yang paling sahih. Bahkan khalifah
Harun ar-rasyid pernah bermaksud menggantung kitab Al muwatha' di Ka'bah dan
menyeluruh seluruh Islam untuk mengikuti isinya. Tapi, Imam Malik menjawab:
"Jangan engkau lakukan itu, karena para shahabat Rasulullah SAW saja berselisih
pendapat dalam masalah furu (cabang), apalagi (kini) mereka telah berpencar ke

2
berbagai negeri." Imam Malik menyadari bahwa dalam masalah fiqih perbedaan
adalah suatu keniscayaan.
Imam Malik memiliki metode tersendiri dalam meng-istimbath- kan hukum,
dan metodenya tersebut masih berpengaruh sampai sekarang. Di antara langkah
penting yang ditawarkan oleh Madzhab Maliki dalam berijtihad adalah pengunaan al-
maslahah al-mursalah. Teori al-Maslahah al-Mursalah diilhami oleh satu paham
bahwa syari'ah Islam bertujuan mendatangkan manfaat, kesejahteraan dan kedamaian
bagi kepentingan masyarakat dan mencegah kemudharatän.
Selain itu, Imam Malik juga melahirkan manhaj istimbath "Amal al-Ahl al-
Madinah" yaitu perilaku sehari-hari penduduk Madinah. Imam Malik menempatkan
penduduk Madinah sebagai orang yang paling tahu terhadap sunnah Rasul, termasuk
nasakh dan mansukhnya. Apabila penduduk Madinah itu sepakat tentang sesuatu
perilaku, maka kesepakatan ini lebih tinggi nilainya dibanding qiyas dan khabar ahad
(kendati sahih sanad).
3. Muhammad Ibn Idris asy-Syafi'i
Pendiri Madzhab Syafi'i ini memiliki nama lengkap Muhammad bin Idris asy-
Syafi'i. Imam Syafi'i dilahirkan di Ghozza tahun 150 H dan wafat tahun 204 H di
Mesir. Beliau adalah juga murid dari Imam Malik di Madinah dan Imam Muhammad
bin Hasan di Baghdad yang merupakan murid senior dari Imam Abu Hanifah. Pada
masa wafatnya Imam malik (179 H), Imam Syafi'i telah dipercaya sebagai seorang
fuqaha yang masyhur di Hijaz dan jazirah arab lainnya.
Karya monumental dari Imam Syafi'i berjudul Ar-Risalah, sebuah. kitab ushul fiqh
yang pertama sampai kepada kita. Kitab itu pula yang membuat beliau dikenal
sebagai Bapak Ushul Fiqh.
Sementara itu fatwa-fatwa fiqh Imam Syafi'i dikelompokkan menjadi dua
macam, yang kemudian dikenal sebagai al-Qoul Qodim dan al-Qoul Jadid. Al-Qoul
Qodim (pendapat lama) merangkum pendapat- pendapat Imam Syafi'i sewaktu beliau
berada di Baghdad, sementara al- Qoul Jadid (pendapat baru) merangkum pendapat-
pendapat beliau setelah berada di Mesir. Semua pendapat-pendapat tersebut,
terangkum dalam kitab al-Umm.
4. Ahmad Ibn Hanbal
Nama lengkapnya Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, sering disebut
dengan Imam Hambali, Beliau dilahirkan di Baghdad, pada tanggal 20 Rabiul Awwal
tahun 164 H. Ketika masih bayi. Imam Ibn Hambal dibawa ke Baghdad tempat

2
ayahnya meninggal dalam usianya yang sangat dini, 30 tahun. Imam Ibn Hambal
merupakan murid Imam Syafi'i selama di Baghdad. Sampai Imam Syafi'i wafat beliau
masih selalu mendoakannya. Imam Ahman bin Hambal mewariskan sebuah kitab
hadits yang terkait dengan hukum Islam berjudul Musnad Ahmad.

C. Aswaja Bidang Tasawwuf (Imam Ghozalil, Imam Junaid al-Baghdady)


Dalam bidang tasawuf Aswaja memiliki prinsip untuk dijadikan pedoman bagi
kaumnya. Sebagaimana dalam masalah akidah dan fiqih, dimana Aswaja mengambil
posisi yang moderat, tasawuf Aswaja juga demikian adanya.
Manusia diciptakan Allah semata-mata untuk beribadah, tetapi bukan berarti
meninggalkan urusan dunia sepenuhnya. Akhirat memang wajib diutamakan
ketimbang kepentingan dunia, namun kehidupan dunia juga tidak boleh disepelekan.
Dalam emenuhi urusan dunia dan akhirat mesti seimbang dan proporsional.
Dasar utama tasawuf Aswaja tidak lain adalah Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh
karena itu, jika ada orang yang mengaku telah mencapai derajat Makrifat namun
meninggalkan Al-Qur'an dan sunnah, maka ia bukan termasuk golongan Aswaja.
Meski Aswaja mengakui tingkatan- tingkatan kehidupan rohani para sufi, tetapi
Aswaja menentang jalan rohani yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Imam Malik pernah mengatakan, "Orang yang bertasawuf tanpa mempelajari fiqih
telah merusak imannya, sedangkan orang yang memahami fikih tanpa menjalankan
tasawuf telah merusak dirinya sendiri. Hanya orang yang memadukan keduanyalah
yang akan menemukan kebenaran."
Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu memahami dan menghayati
pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama
kehidupannya. Demikian juga pengalaman- pengalaman para sahabat yang kemudian
diteruskan oleh tabi'in, tabi'ut tabi'in sampai pada para ulama sufi hingga sekarang.
Memahami Sejarah Kehidupan (suluk) q nabi Muhammad hingga para ulama
waliyullah itu, dapat dilihat dari kehidupan pribadi dan sosial mereka. Kehidupan
individu artinya, ke-zuhud-an (kesederhanaan duniawi) wara' (menjauhkan diri dari
perbuatan tercela) dan dzikir yang dilakukan mereka. Kehidupan sosial, yakni
bagaimana mereka bergaul dan berhubungan dengan sesama manusia. Sebab tasawuf
tercermin dalam akhlak; bukan semata hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga
hubungan manusia dengan manusia lainnya.

2
Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad dan para pewarisnya adalah
jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syari'at. Karena itu, kaum Aswaja
an-Nahdliyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-
kewajiban syari'at, seperti praktek tasawuf al-Hallaj (al-hulul) dengan pertanyaan "ana
al-haqq atau tasawuf Ibnu 'Arabi (ittihad; manunggaling kawula gusti).
Kaum aswaja an-Nahdliyah hanya menerima ajaran-ajaran tasawuf yang moderat,
yakni tasawuf yang tidak meninggalkan syari'at dan aqidah sebagaimana sudah
dicontohkan Al Ghazali, Junaid al-Baghdadi, juga Syekh Abdul Qodir al-Jailani
1. Abdul Qodir al-Jailani
Beliau lahir 470 H. (1077-1078) di al-Jil (disebut juga Jahilan dan Kilan), kini
termasuk wilayah Iran. Ibunya, Ummul Khair Fatimah bint al-Syekh Abdullah Sumi
merupakan keturunan Rasulullah Saw, melalui melalui cucu terkasihnya Husein.
Suatu ketika ibunya berkata, "Anakku, Abdul Qodir, lahir di bulan Ramadhan pada
siang hari bulan Ramadhan, bayiku itu tidak pernah mau diberi makan"
Ketika berusia 18 tahun, beliau pergi meninggalkan kota kelahirannya menuju
Baghdad. "Ku datangi ibuku dan memohon kepadanya, izinkan aku menempuh jalan
kebenaran, biarkan aku pergi mencari ilmu bersama para bijak dan orang-orang yang
dekat kepada Allah." Pada waktu itu Baghdad dikenal sebagai pusat ilmu
pengetahuan. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama, antara lain
Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra' dan juga Abu Sa'ad al
Muharrimiseim. Beliau menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu
menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan. pendapat para ulama.
Selanjutnya, pada tahun 521 H/1127 M, Syekh Abdul Qadir al- Jailani
mengajar dan menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada masyarakat. Tidak butuh
waktu lama beliau segera dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun, beliau
menghabiskan waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir Iraq dan akhirnya
dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi yang masyhur.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai pendiri Tarekat Qodiriyah,
sebuah istilah yang tidak lain berasal dari namanya. Tarekat ini terus berkembang dan
banyak diminati oleh kaum muslimin. Meski Irak dan Syiria disebut sebagai pusat
dari pergerakan Tarekat tersebut, namun pengikutnya berasal dari belahan negara
muslim lainnya, seperti Yaman, Turki, Mesir, India, hingga sebagian Afrika dan Asia,
termasuk Indonesia.
2. Abu al-Qosim Al-Junaidi Al-Baghdadi

2
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qosim al-Junaid bin Muhammad bin al-
Junaid al-Khazzaz al-Qowariri al-Nahawandi al- Baghdadi. Beliau dilahirkan di kota
Baghdad tanpa diketahui secara pasti tahun kelahirannya. Ayahnya seorang pedagang
barang pecah belah, sementar Ibunya merupakan saudara kandung Sari bin al-
Mughallis al- Saqathi (w.235 H/867M), seorang tokoh sufi terkemuka yang kelak.
menjadi gurunya.
Al-Junaid dikenal cerdas, dan pada usia dua puluh tahun bela telah mampu
mengeluarkan fatwa. Semua kalangan menerima madzhab yang dibangunnya, dan
beliau disepakati sebagai penyandang gelar "Syekh al- Thaiifah al-Shufiyyah wa
Sayyiduha" (Tuan Guru dan Pemimpin kaum sufi).
Abdul Wahhab al-Sya'rani, sebagaimana dikutip Dr. K.H Sae fuddin Chalim,
mengungkapkan paling tidak ada empat faktor yang mengantarkan al-Junaid menjadi
satu-satunya figur yang berhak menyandang gelar tersebut sehingga diakui sebagai
acuan dan standar dalam tasawuf Ahlussnah wal Jama'ah.
Pertama, konsistensi terhadap al-Kitab dan Sunnah. Penguasaan al- Junaid
terhadap al-Qur'an dan Sunnah membawa pengaruh positif terhadapnya dalam
membangun madzhabnya di atas fondasi Islam yang kuat dan shahih. Beribadah tanpa
adanya pengetahuan yang memadai dianggap bisa membawa seseorang ke dalam
kesesatan. Oleh karenanya. al-Junaid begitu mengedepankan ilmu agama sebagai
pegangan kaum sufi dalam menempuh jalan suluk.
Kedua, konsistensi terhadap syari'ah. Para ulama mengakui bahwa belum
pernah ditemukan di antara isyarat-isyarat al-Junaid dalam bidang tasawuf yang
bertentangan dengan syari'ah. Syariah adalah rel yang jika seorang sufi keluar dari
jalurnya maka pintu kebaikan akan tertutup baginya.
Ketiga, kebersihan dalam akidah. Al-Junaid membangun. madzhabnya di atas
fondasi akidah yang bersih, yaitu akidah Ahlussunah wal Jama'ah.
Keempat, ajaran tasawuf yang moderat. Ajaran tasawuf yang moderat
merupakan ciri-ciri tasawuf Ahlussunah wal Jama'ah. Al-Junaid memandang bahwa
orang yang baik bukanlah orang yang berkonsentrasi melakukan ibadah saja,
sementara ia tidak ikut berperan aktif dalam memberikan kemanfaatan kepada
manusia. Pandangan tasawuf yang demikian mematahkan tasawuf ekstrem yang
beranggapan bahwa jika seseorang sudah sampai pada derajat makrifat atau wali,
maka pengamalan terhadap ajaran-ajaran agama tidak diperlukan lagi baginya.
3. Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali

2
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad al-Ghazali Al-Thusi. Beliau dilahirkan di kota Thus (daerah
Khurasan) tahun 450 H/1058M. Beliau dikenal dengan al-Ghazali karena berasal dari
desa Ghazalah, atau ada yang menganggap bahwa sebutan al-Ghazali melekat karena
ayahnya bekerja sebagai pemintal tenun wol.
Masa kecil dan masa muda al-Ghazali dipenuhi dengan belajar ilmu agama,
dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu guru ke guru lain. la pernah belajar
kepada Ahmad bin Muhammad al-Radzikani al-Thusi. Imam Abu Nashr al-Isma'ili,
Syekh Yusuf al-Nassaj, Imam Abu al-Ma'ali Abdul Malik bin Abdllah al-Juwaini
yang merupakan ulama terkemuka Madzhab Syafi'i.
Kecemerlangan Al-Ghazali mengantarkannya menduduki guru besar di
Universitas Nizhamiyah Baghdad (Tahun 848/1091M). Di sanalah, waktu itu, Al-
Ghazali dikelilingi dengan berbagai kesenangan duniawi, tetapi hal tersebut tidak
membuatnya bahagia. Lalu beliau. memutuskan untuk pindah ke Damaskus di Syiria
dan tinggal di kota itu, Di sana beliau lebih banyak beri'tikaf dan berzikir, menjalani
riyadhah dan mujahadah. Setelah dua tahun, al-Ghazali kemudian meninggalkan
Damaskus menuju Baitul Maqdis di Palestina.
Imam al-Ghazali sebagai pelopor sufi mengembangkan tasawuf kepada dasar
aslinya seperti yang diamalkan oleh para sahabat Rasulullah Saw. Ia telah menulis
puluhan kitab, dan yang paling terkenal adalah Ihya Ulumiddin (Menghidupkan
kembali ajaran Islam). Melalui kitab tersebut. al-Ghazali memberikan pegangan dan
pedoman perkembangan tasawuf Islam, dan menjadi rujukan bagi mereka dalam
mengembangkan paham positifisme yang sesusi dengan akidah dan syariah.
Iman, Islam, dan ihsan mesti sejalan bersamaan. Beriman tanpa menjalankan
ibadah sesuai syariat membuat keimanan seseorang diragukan. Sementara Ihsan
adalah amal shalih, yang diwujudkan dalam akhlakul karimah dan kedekatan hamba
terhadap Tuhan.
Dengan tasawuf Al Ghazali, syekh Abdul Qodir Al-Jailani, dan umat yang
selalu dinamis dan dapat menyandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan bertemu
dengan Tuhan dan sekaligus dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi
oleh umat. Hal semacam ini pernah ditunjukkan oleh para penyebar Islam di
Indonesia, Walisongo. Secara individu, para wali itu memiliki kedekatan hubungan
dengan Allah dan pada saat yang sama Mereka selalu membenahi akhlak masyarakat

2
dengan penuh kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh
lapisan masyarakat dengan penuh keikhlasan dan ketertundukan.
4. Siyasah Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad al-Mawardi
Sejak awal berdirinya NU banyak terlibat dalam masalah politik, baik politik
praktis maupun kultural. Kita tidak bisa melupakan era-era awal kemerdekaan,
banyak tokoh NU yang menduduki jabatan di pemerintahan. Bahkan, pada tahun
1952, lewat Muktamar tersebut NU menegaskan dirinya sebagai organisasi
keagamaan yang lebih banyak konsentrasi dalam masalah-masalah yang dihadapi
umat Islam. Sebenarnya, wacana kembali ke Khittah NU tahun 1926 sudah lama
disuarakan, namun baru menjadi diskusi dan perdebatan yang serius ketika Muktamar
di Situbondo.
Dalam formulasi Khittah NU ditegaskan bahwa nu tidak terlibat dalam
organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. Namun begitu, nu tidak
melarang anggotanya untuk terlibat dalam urusan politik karena hal tersebut bukanlah
eksistensi dari Khittah.
Dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta (1989) dirumuskan 9 (sembilan) Pedoman
Politik Warga NU, yaitu garis-garis pedoman untuk melangkah bagi kaum Nahdhiyin
yang menerjuni dunia politik dengan tetap menjunjung tinggi Khitthah Nahdlatul
Ulama.
Di lingkungan NU juga dikenal istilah Politik Kebangsaan, Politik Kerakyatan
dan Politik Kekuasaan. Berikut ini 9 Pedoman Politik Warga NU dimaksud:
1) Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945.
2) Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan
menuju integrasi bangsa dengan langkah- langkah yang senantiasa menjunjung
tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu
terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan.
sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
3) Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan
yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari
hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4) Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan
budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil

2
dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5) Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani
dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-
norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah
dalam memecahkan masalah bersama.
6) Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-
konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai
pengamalan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
7) Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan
dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
8) Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik warga NU harus tetap
berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu' dan saling menghargai satu
sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan
di lingkungan Nahdlatul Ulama.
9) Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi
kemasyarakatan timbal batik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan
iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang
lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat
untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam
pembangunan.
Warga dan kiai NU yang ingin terjun ke dunia politik diperbolehkan asal
mengerti ilmu politik dan piawai menjalankan strategi siyasah dengan tidak membawa
label organisasi. Potensi politik kader NU juga hendaklah dikelola dengan profesional
agar memberikan kontribusi bagi NU dan tidak sekadar "menjual" organisasi. Inilah
pentingnya pemaknaan politik bagi kalangan Nadhiyin agar NU tidak menjadi korban
ketika pesta demokrasi.
Menghindarkan dari urusan politik dan menyerahkan sepenuhnya kepada
orang yang tidak kompeten justru membahayakan, Selain menghayati Khittah NU.
paling tidak warga NU penting mengetahui Rujukan siyasah kaum Aswaja. Salah satu
ahli fiqih siyasah yang juga bermadzhab Syafi'i, iya nih Abu Hasan Al Mawardi (w
450H).

2
Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-
Mawardi Al-Bashri. Al-Mawardi q dilahirkan di Bashrah pada tahun 364 H atau 975
M. Panggilan Al Mawardi diberikan kepadanya karena kecerdasan dan kepandaian
dalam berorasi, berdebat, berargumen dan memiliki ketajaman analisis terhadap setiap
masalah yang dihadapinya. Sementara julukan Al bashri dinisbatkan pada tempat
kelahirannya.
Al-Mawardi kecil hingga remaja belajar fiqih Syafi'iyah di Bashrah sebelum
kemudian merantau ke Baghdad dan mendatangi para ulama untuk menyempurnakan
keilmuannya dalam bidang fiqih. Imam Al Mawardi dikenal sebagai duta diplomasi
pemerintah Bani Buwaih dan di sisi lain sebagai duta diplomasi Khalifah Abbasiyah,
terutama Khalifah Qoim Baimillah.
Salah satu diantara misinya selama menjadi duta diplomasi adalah untuk
mendamaikan antara kupu-kupu politik yang berseberangan dan kupu-kupu lain yang
sering berlindung di bawah kekuatan senjata dalam menyelesaikan persoalan.
Al-Mawardi telah menulis banyak kitab baik tafsir, fiqih, hisbah, maupun
Sosio-politik. Satu karyanya yang paling monumental adalah kitab ahkam
Shulthaniyyah (hukum-hukum ketatanegaraan) yang sampai sekarang menjadi kita
perujukan paling populer bagi setiap orang yang mengkaji ilmu perpolitikan di
kalangan Islam.
Selain itu di antara pemikiran Al Mawardi yang cukup terkenal adalah,
pemetaan-buku pemisahan-antara perkara dunia dan agama dalam bukunya Adabud
Dunya was Din (perkara dunia dan perkara akhirat). Menurutnya, perkara dunia
adalah perkara kenegaraan (politik), sedangkan perkara agama adalah syariat Tuhan.
Pemisahan ranah politik dan agama menjadi penting dalam rangka mengantisipasi
percampuran keduanya. Dengan begitu, politisasi agama dapat dihindari.

2
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pokok-pokok ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah dapat dikelompokkan menjadi tiga


ajaran pokok, yaitu iman, islam, dan ihsan. Iman adalah keyakinan hati seorang mukmin
terhadap kebenaran ajaran-ajaran Islam, termasuk hal-hal tentang ketuhanan, tentang
kenabian, dan tentang hal-hal gaib yang telah dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits.
Iman meliputi aspek tauhid (tahu kebenaran Allah), tawakkul (tahu kebenaran Allah), tauhid
al-ulah (tahu kebenaran Nabi Muhammad SAW), tauhid al-rububiyah (tahu kebenaran Allah
sebagai rubuh), tauhid al-asma' wa al-sifat (tahu kebenaran sifat Allah), dan tauhid al-malakut
(tahu kebenaran hakimah Allah). Iman juga meliputi aspek tauhid al-mu'minin (tahu
kebenaran umat), tauhid al-mu'minin (tahu kebenaran diri), dan tauhid al-mu'minin (tahu
kebenaran hubungan dengan umat).

Islam (ilmu fikih) meliputi madzhab (pandangan hukum) yang diikuti oleh muslimin,
yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Setiap madzhab memiliki sifat-sifat
berbeda, tetapi semuanya berpengaruh pada tingkatan hukum yang berlaku.

Ihsan (tasawuf) adalah usaha untuk menjaga hati agar dalam berperilaku dan
bertingkah laku selalu menuju satu harapan, yakni mengharap ridha Allah SWT sebagai
wujud dari ihsan. Hal itu terwujud dengan mengetahui seluk-beluk penyakit hati dan
mengobatinya dengan senantiasa bermujahadah dengan amal baik.

Pokok-pokok ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah juga mencakup tawhid (tahu


kebenaran Allah), tawakkul (tahu kebenaran Allah), taqwa (tahu kebenaran diri), syukur (tahu
kebenaran kemenangan), tawhid al-mu'minin (tahu kebenaran umat), tauhid al-mu'minin
(tahu kebenaran diri), dan tauhid al-mu'minin (tahu kebenaran hubungan dengan umat).
Pokok-pokok ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengacu pada hadis Imam Thabrani,
yang menjelaskan bahwa umat yang berpijak kepada kebenaran ajaran-ajaran Islam akan
berpijak kepada kebenaran Allah.

2
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai