Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ALIRAN ASY’ARIYAH
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ilmu Tauhid
Dosen Pengampu : Aiyuhan Nurul Ain M,Ag

Disusun Oleh :

Alis Laela ( 32230007 )

Army Ayusalekha Purnayuda ( 32230001 )

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


INSIP PEMALANG
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufiq dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
meskipun terdapat kekurangan di dalamnya. Ucapan terima kasih kepada bu Aiyuhan Nurul
Ain, M.Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu Tauhid: Analisa dan Perbandingan,
yang telah memberikan tugas kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang aliran Asy’ariyah. Kami
juga menyadari sepenuhnya, bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari
kata sempurna.

Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
ini. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan
dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Pemalang, 15 Mare 2024.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG........................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH...................................................................................................4
C. TUJUAN PENULISAN.....................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................6
A. ALIRAN TEOLOGI ASY’ARIYAH.................................................................................6
B. TOKOH-TOKOH PENTING ASY’ARIYAH:................................................................12
BAB III PENUTUP................................................................................................................14
A. KESIMPULAN.............................................................................................................14
B. SARAN.........................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................15
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Munculnya berbagai macam golongan aliran pemikiran dalam Islam telah
memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul
setelah wafatnya Rasulullah. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab
munculnya berbagai golongan dengan segala pemikirannya. Di antaranya adalah faktor
politik sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan para
pengikut Muawiyah, sehingga muncullah golongan-golongan baru yaitu golongan
Khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu
pada golongan yang lain.
Antara golongan-golongan tersebut memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Ada yang berpegang pada wahyu, ada pula yang
menetapkan akal dalam menafsirkan wahyu. Dengan berdasar pada hadis, sekarang
banyak yang mengklaim dirinya sebagai Ahlussunnah wal jama’ah. Sebagai reaksi
terhadap firqoh-firqoh yang berbeda di masa-masa awal, maka pada akhir abad ke-3 H
timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlusunnah wal jama’ah. Golongan ini
dipimpin oleh dua ulama besar yaitu, Syaikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari sebagai pendiri
aliran Asy’ariyah dan Syaikh Abu Mansur al-Maturidi sebagai pendiri aliran
Maturidiyah. Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu,
tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontraversi dalam
umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah
teologi. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah pembahasan mendalam untuk beberapa
aliran-aliran ini.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Bagaimana pemikiran aliran Asy’ariyah?
2. Siapa tokoh pemikiran aliran Asy’ariyah?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas final mata kuliah
Aliran Asy’ariyah: Analisa dan Perbandingan yang diampu oleh bu Aiyuhan Nurul Ain,
M.Ag. Dan yang paling penting adalah untuk menjawab persoalan-persoalan yang tertera
pada rumusan masalah di atas. Yang meliputi:
1. Penjelasan tentang aliran Asy’ariyah.
2. Mengetahui tokoh tentang aliran Asy’ariyah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. ALIRAN TEOLOGI ASY’ARIYAH


Salah satu aliran teologi yang terpenting dalam Teologi Islam disebut juga aliran
Ahlusunnah wal Jamaah yang berarti golongan yang mayoritas yang sangat teguh
berpegang pada sunnah Nabi SAW. Nama aliran ini dinisbatkan kepada pendirinya, Abu
Hasan al-Asy’ari. Aliran ini muncul pada awal Abad ke-9 ketika aliran Mu’tazilah berada
dalam tahap kemunduran. Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari (Basrah, 260 H/873 M -
Baghdad, 324 H/935 M). Seorang ahli hukum Islam terkenal, pemuka kaum teolog dan
pendiri aliran Asy’ariyah. Ia memiliki hubungan keturunan dengan Abu Musa al-Asy'ari,
seorang sahabat Nabi SAW yang juga periwayat hadis.
Pada mulanya ia adalah murid Abu Ali al-Jubba'i (salah seorang terkemuka dalam
golongan Mu'tazilah) sehingga, menurut Husain bin Muhammad al-Askari, al-Jubba'i
berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya. Empat puluh tahun al-
Asy'ari menganut paham Mu'tazilah, dan pada akhirnya ia meninggalkan paham tersebut.
Faktor penyebabnya, menurut pendapat yang berasal dari as-Subki dan Ibnu Asakir, ialah
pada suatu malam al-Asy'ari bermimpi; dalam mimpinya itu ia mendengar Nabi
Muhammad SAW mengatakan bahwa mazhab ahli hadislah yang benar, sedangkan
mazhab Mu'tazilah adalah salah. Sebab lain, al-Asy'ari pernah berdebat dengan gurunya,
al-Jubba'i dan dalam perdebatan itu guru tidak dapat menjawab tantangan muridnya itu.
Salah satu perdebatan itu, menurut as-Subki yaitu:
Al-Asy'ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut; mukmin, kafir, dan anak kecil di
akhirat?

Al-Jubba'i : Yang baik (mukmin) masuk dalam surga, yang kafir masuk neraka, dan anak
kecil terlepas dari bahaya neraka.

Al-Asy'ari : Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga,
mungkinkah itu?

Al-Jubba'I : Tidak, sebab yang mungkin mendapat tempat baik adalah orang yang patuh
kepada Tuhan; sedangkan anak kecil belum mempunyai kepatuhan seperti itu.
Al-Asy'ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “itu bukanlah salahku. Jika
sekiranya engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan
baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu”.

Al- Jubba'I : Allah akan menjawab,"aku tahu jika engkau terus hidup engkau akan berbuat
dosa dan karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu aku cabut nyawamu
sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab".

Al-Asy'ari : Sekiranya yang kafir mengatakan, "engkau ketahui masa depanku


sebagaimana engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya engkau tidak jaga
kepentinganku?"

Di sinilah al- jubba'i terdiam.

Perdebatan di atas menunjukkan ketidakpuasan al-Asy'ari terhadap aliran


Mu'tazilah yang dianutnya selama ini. Sehingga al-Asy’ari mengasingkan diri di rumah
selama lima belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Setelah itu ia keluar
rumah, pergi ke Masjid, naik mimbar dan mengatakan kepada umat bahwa ia telah
mengasingkan diri dan berpikir mendalam tentang keterangan-keterangan serta dalil-dalil
yang diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang diajukan dalam penelitiannya
sama kuatnya. Oleh karena itu, ia meminta petunjuk kepada Allah SWT dan atas petunjuk
itu ia meninggalkan keyakinan-keyakinan yang lama dan menganut keyakinan baru yang
di tulis dalam buku-bukunya. “Kemudian keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan
sebagaimana saya melemparkan baju ini”. (Referensi buku yang ditulis oleh al-Asy’ari
dalam bukunya: al-Luma’ fi ar-radd ‘ala ahlaz-Ziyag wa al-Bida’).

Al-Asy’ari membantah ajaran Mu’tazilah berikut:

1. Ajaran tentang tidak adanya sifat Tuhan.


2. Faham keadilan Tuhan yang dibawa Mu’tazilah.
3. Al-wa’d wa al- wa’id (janji baik dan ancaman buruk).

Bagi al-Asy’ari, orang yang berdosa besar tetap mukmin karena imannya masih
ada, tetapi dosa besar yang dilakukannya, ia menjadi fasik. Sekiranya orang yang berdosa
besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya tidak didapati kufur
atau iman; dengan demikian bukanlah ia ateis dan bukan pula monoteis, bukan teman dan
bukan pula musuh. Ini tidaklah mungkin. Pengikut di antara mereka yang terkenal adalah;
Abu Bakar Muhammad al-Baqillani, al-Isfirayaini, al-Qusyairi, al-Juwaini, dan al-Ghazali.
Di antara pengikutnya yang paling berpengaruh adalah al-Ghazali yang menyebarluaskan
ajaran Islam yang lebih khusus ahlusunnah waljamaah.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedia Islam, Jilid I (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru van Hoeve,1994), h. 184.

Abu Musa al-Asy’ari memiliki suara yang merdu ketika membaca al-qur’an,
sehingga Nabi SAW menyebutnya dikaruniai seruling Nabi Daud. Pada suatu malam, Nabi
dan Istrinya lewat di depan rumah al-Asy’ari lalu ia mendengarnya membaca Alquran
lantas Nabi berhentisampai selesai membaca Alquran kemudian Nabi baru pergi setelah
berhenti mengaji. Sebagai sahabat Nabi SAW, al-Asy’ari banyak menerima ayat Alquran
dan Hadis dari Nabi SAW. Kemudian ia menerima penyampaian Hadis Nabi SAW dari al-
Khulafa’ ar-Rasyidun (empat sahabat Nabi SAW) dan dari sahabat Mu’as Bin Jabal, Ibnu
Mas’ud, Ubay Bin Ka’b, dan Ammar.

Sebagaimana layaknya pengikut Hambali, al-Asy’ari berpendapat bahwa Alquran


sepenuhnya bukan makhluk, termasuk suara dan hurufnya. Sebagian kalangan Asy’ariyah
menetapkan bahwa hanya esensi Alquran bersifat Qadim, sedang perwujudannya dalam
bentuk suara dan huruf adalah makhluk. Namun, sekalipun menolak doktrin-doktrin
Mu’tazilah, al-Asy’ari telah menggunakan metode dialektik rasional Mu’tazilah terhadap
dogma-dogmaortodoksi Islam. Di samping ia menggunakanya dalam hal-hal keduniaan
juga berpegang teguh terhadap aspek-aspek dengan ketuhanan dengan memberikan batas
yang tegas untuk menghindari spekulasi dengan menggunakan kaimat “bila kaifa” (tanpa
bertanya bagaimana). Al-Asy’ari juga dikenal karena doktrin kasab (lih. perolehan)
kaitannya dengan perbuatan manusia.

Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya mengangkat ujung jari,


adalah ciptaan Tuhan, namun ia diperoleh untuk dipertanggungjawabkan. Dengan segala
sesuatu yang mungkin terjadi, al-Asy’ari memberikan pernyataan insya Allah (jika Allah
menghendaki) sebagai ungkapan syarat terhadap hal-hal yang mungkin terjadi di masa
depan. Hal ini merupakan perjuangan besar al-Asy’ari dalam mengukuhkan paham
ortodoks. Seorang sufi, misalnya Hasan al-Bashri, berusaha mengatasi problem metafisis
dengan pendekatan intuitif bahkan mengintegrasikan filsafat ke dalam pemikiran Islam
dalam rangka mempersiapkan sarana dan konsep untuk menghadapi pemikiran metafisik
secara tepat. Dalam teologi, paham Asy’ari menyusun barisan perlawanan terhadap
pemikiran rasional, yang pada akhirnya juga digunakan untuk menentang pemikiran
filsafat, sebagaimana yang dikembangkan oleh al-Ghazali.

Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), Jilid I (Jakarta: PT. RajaGrafindo


Persada, 1999), h. 41-42

Al-Asy’ari juga pernah berkata, “pendapat-pendapat dan faham-faham kami


didasarkan pada kitabullah (Alquran), sunah Rasulullah SAW, pendapat-pendapat para
sahabat dan tabi’in serta ahli hadis”. Adapun ajaran-ajaran pokok al-Asy’ari yaitu:

1. Tentang sifat Allah SWT. Al-Asy’ari berbeda pendapat dengan Mu’tazilah, baginya
Allah Swt mempunyai sifat (sifat dua puluh) seperti, al-Ilm (mengetahui), al-Qudrah
(kuasa), al-Hayah (hidup), as-Sam’a (mendengar), dan al-Basar (melihat).
2. Tentang kedudukan Alquran. Alquran adalah kalam Allah dan bukan makhluk dalam
arti diciptakan. Karena Alquran sabda Allah SWT maka pastilah Alquran bersifat
Qadim.
3. Tentang melihat Allah SWT di akhirat. Allah Swt akan dapat dilihat di akhirat dengan
mata kepala karena Allah SWT mempunyai wujud.
4. Tentang perbuatan manusia. Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan oleh Allah
SWT. Walaupun al-Asy’ari mengakui adanya daya dalam diri manusia, daya itu tidak
efektif.
5. Tentang antropomorfisme. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah SWT mempunyai
mata, muka, tangan dan sebagainya seperti disebut dalam Alquran (QS. 55:27 ) dan
(QS. 54: 14). Akan tetapi, tidak dapat diketahui bagaimana bentuknya.
6. Tentang dosa besar. Orang mukmin yang berdoasa besar tetap dianggap mukmin
selama ia masih beriman kepada Allah SWT dan Rasulnya. Ia hanya digolongkan
sebagai orang ‘asi (durhaka). Tentang dosa besarnya diserahkan kepada Allah SWT,
apakah akan diampuni atau tidak.
7. Tentang keadilan Allah SWT. Allah SWT adalah pencipta seluruh alam. Dia memiliki
kehendak mutlak terhadap ciptaannya. Karena itu ia dapat berbuat sekehendaknya. Ia
dapat memasukkan seluruh manusia ke dalam surga, sebaliknya dapat pula
memasukkan semua manusia ke dalam neraka. Pemikiran-pemikiran al-Asy’ari
tersebut dapat diterima oleh kebanyakan umat Islam karena sederhana dan tidak
filosofis. Sehingga pendapatnya cepat banyak yang mendukung
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 185-187.
Dan tidak sedikit jumlahnya. Faktor lain yang mempercepat proses
perkembanganya karena mendapat dukungan dari pemerintah Bani Abbas yang berkuasa
saat itu dan kemampuan mempertahankan pendapat-pendapatnya. Aliran Asy’ariyah
mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan mampu mendominasi alam pikiran dunia
Islam dan penyebaran dilakukan di berbagai pelosok dunia Islam. Ajaran ini berkembang
di daerah penguasa, seperti dinasti Abbasiyah, menghapuskan pengajaran yang bercorak
Syiah dan menggantikan dengan pengajaran yang bercorak Sunni Asy’ariyah. Bahkan
kurikulum di sekolah-sekolah diganti dengan kurikulum-kurikulum yang bercorak
Asy’ariyah. Pemikiran yang lain al-Asy’ari tentang kuasa Tuhan, yaitu:
1. Tuhan adalah wajibul wujud (wajib ada) berdasarkan wahyu dari padanya serta dapat
ditangkap oleh akal pikiran dengan bukti wujud alam semesta.
2. Sifat yang Qodim, maka Tuhan mempunyai sifat yang Qodim pula, karena sifatnya
juga zat-Nya.
3. Tuhan berkuasa mutlak dan karenanya, kemauan, kehendak dan perbuatannya tidak
bisa diganggu gugat.
4. Manusia dan akalnya bisa mengetahui Tuhan, tetapi akal manusia tidak menunjukkan
kewajiban untuk melakukan sesuatu yang baik karena kebaikannya dan tidak pula
menunjukkan yang buruk dan meninggalkan karena keburukannya, tetapi semua
hanya ditujukan oleh wahyu, qodla dan qodar di tangan Tuhan.
5. Manusia tidak berkuasa untuk menciptakan sesuatu ia hanya mempunyai sikap kasab
(usaha) untuk memperoleh sesuatu dari perbuatannya, sedang hasil atau tidaknya
berada di tangan Tuhan.

B. TOKOH-TOKOH PENTING ASY’ARIYAH:


1. Al-Baqillani atau nama lengkapnya Muhammad bin at-Tayyib bin Muhammad Abu
Bakar al-Baqillani. Ia mendalami ajaran Asy’ariyah melalui kedua gurunya yaitu, Ibnu
Mujahid dan Abu Hasan al-Bahili. Kedua gurunya itu adalah murid langsung dari al-
Asy’ari, namun al-Baqillani ada perbedaan pendapat dengan al-Asy’ari, terutama pada
sifat Tuhan dan perbuatan manusia. Menurut al-Asy’ari dan al-Baqillani yaitu:
a. Sifat Tuhan, bagi al- Baqillani, apa yang disebut sifat oleh al-Asy’ari, bukanlah
sifat, melainkan hal. Sifat memberi pengertian sesuatu yang menetap, sedangkan
hal sesuatu yang tidak menetap, pendapat ini sesuai dengan pendapat Abu Hasyim
dari Mu’tazilah.
b. Perbuatan manusia, menurut al-Asy’ari, diciptakan oleh Tuhan, tapi manusia diberi
daya untuk mewujudkan kehendaknya, namun daya itu juga diciptakan oleh Tuhan.
Daya yang ada pada diri manusia itu tidaklah efektif. Sedangkan menurut al-
Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan
perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri
manusia. Adapun bentuk dan sifat dari gerak itu ditentukan oleh manusia sendiri.
2. Al-Juwaini, nama lengkapnya Abdul Ma’ali al-Juwaini dan mendapat gelar Imam al-
Haramain karena ia pernah tinggal di Mekah dan Madinah untuk memberikan Pelajaran
dan fatwa. Bukunya yang terkenal adalah al-Irsyad (Petunjuk), yang menguraikan
masalah-masalah fikih yang bersumber pada ajaran Imam Syafi’i dengan corak faham
Asy’ariyah. Dalam pandangan teologinya, ia tidak sepenuhnya setuju dengan
pemikiran-pemikiran al-Asy’ari. Misalnya soal antropomorfisme. Ia berpendapat bahwa
semua gambaran tentang Tuhan yang bersifat jasmani seperti: muka, tangan, mata, dan
wajah harus dita’wilkan. Tangan dita’wilkan dengan kekuasaan, mata diartikan
penglihatan, dan wajah Tuhan diterjemahkan dengan wujud Tuhan, dan seterusnya.
Adapun soal perbuatan manusia, menurut al-Juwaini sama dengan pendapat al-
Baqillani dan bahkan lebih maju lagi.
3. Al-Ghazali, nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Atas
pengaruhnya, ajaran al-Asy’ari meluas di kalangan ahlusunah waljamaah, ia juga
mengajar di Madrasah Nizamiyah. Ia diberi gelar Hujjah al-Islam karena melalui karya-
karyanya ia telah membelah Islam dari paham-paham yang menyesatkan seperti paham
Batiniah. Paham Batiniah adalah paham yang menyatakan bahwa Alquran mempunyai
arti zahir (lahir) dan arti batin. Arti batin hanya disampaikan Nabi Muhammad SAW
kepada Ali bin Abi Thalib, tidak yang lainya. Berbeda dengan al-Baqillani dan al-
Juwaini, seluruh pendapat al-Ghazali seirama atau sejalan dengan pemikiran al-
Asy’ariOleh karena itu, dapat dikatakan bahwa al-Ghazali kembali kepada pendapat-
pendapat al-Asy’ari yang asli dengan memberikan argumen-argumen yang bahkan
lebih kuat.
4. As-Sanusi, nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi (833-
895H/ 1427-1490 M). Penyebaran konsep teologinya tentang sifat Tuhan dan sifat
Rasul ke dalam tiga bagian yaitu:
a. Sifat wajib bagi Tuhan ada 20. Kemudian sifat wajib ini dikelompokkan lagi
menjadi tiga bagian yaitu:
1) Sifat nafsiyah (kedirian Tuhan).
2) Sifat salbiyah (sifat yang membedakan Zat Tuhan dengan lainya).
3) Sifat ma’ani (sifat yang abstrak).
b. Sifat mustahil bagi Tuhan ada 20.
c. Sifat jaiz bagi Tuhan hanya 1.

Perbandingan pendapat antar tokoh dalam aliran al-Asy’ariyah:

1. Al-Baqillani, berbeda pendapat dengan al-Asy’ari maupun tokoh yang lainnya


terutama pada pemikiran tentang sifat Tuhan dan perbuatan manusia. Dalam
pemikiran ini ia membantah pemikiran gurunya dalam hal konsep sifat dan
perbuatan manusia.
2. Al-Juwaini, juga berbeda pendapat dengan al-asy’ari maupun tokoh yang lainnya
terutama pada pemikiran tentang persoalan antropomorfisme.
3. Al-Ghazali, satu-satunya tokoh al-Asy’ari yang sepaham pemikiran dengan
gurunya, bahkan al-Ghazali melebihi kapasitas ilmu gurunya.
4. As-Sanusi, tokoh ini tidak menjelaskan perbedaan maupun persamaan dalam
pemikiran dengan tokoh yang lainnya bahkan terhadap gurunya.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Asy’ariyah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam periode klasik yang
namanya dinisbatkan kepada nama pendirinya yaitu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari.
Dalam belajar agama, Al-Asy’ari mula-mula berguru kepada Abu Ali al-Jubba’i seorang
pemuka Mu’tazilah. Akan tetapi, pada usia 40 tahun ia menyatakan diri keluar dari
Mu’tazilah, karena ia mengalami berbagai keraguan dan tidak puas terhadap doktrin-
doktrin Mu’tazilah.
B. SARAN
Dalam penyusunan makalah ini, saya selaku pemakalah sangat menyadari
kekurangan yang baik dalam aspek penulisan maupun isi dari makalah. Oleh karena itu,
saya selalu terbuka atas kritik dan saran yang membangun. Hal tersebut sangat penting
karena bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan baik bagi penulis maupun
pembaca. Kritik dan saran tersebut bisa dijadikan pembanding untuk menghasilkan karya
yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedi Islam Di Indonesia, Jilid 2. Departemen Agama R.I. Perguruan Tinggi Agama
/IAIN Jakarta. 1992/1993.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedia Islam, Jilid I. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeve, 1994.

Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), Jilid I. penerjemah Ghufron A. Mas’adi, Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 1999.

Abdul Mun’im Al-Hafni,. Ensiklopedia:Golongan, Kelompok, Aliran, Partai dan Gerakan


islam seluruh dunia, cet.II. penerjemah Muhtarom dan Tim Grafindo, Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2009.

Syahrir dan Hasan Bakti Nasution Harahap,. Ensiklopedia Akidah Islam, cet; II. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2009.

Anda mungkin juga menyukai