Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Asy’ariyah

Dosen Pembimbing :
Dr.Hj. Marhaeni Saleh M.Pd
Disusun oleh :

1. Fadel Putra Abdillah 30700119006


2. Hasbi 30700119007
3. Mohammad Resky Al-Fajir 30700119031
4. Samsu Alam 30700119033

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN


MAKASSAR
2020
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah menganugerahkan segala
rahmat dan hidayah-Nya, karena hanya dengan karunia-Nya makalah ini dapat
terselesaikan tanpa hambatan yang berarti. Shalawat serta salam tetap tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW. utusan dan manusia pilihan-Nya yang
mengantarkan umat manusia minadzdzulumatiilan-nuur, yakni addinul Islam (dari
zaman kegelapan menuju zaman yang bercahaya, yakni agama Islam).
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Dr.Hj. Marhaeni Saleh M.Pd sebagai dosen pembimbing mata
kuliah Teologi Islam
2. Rekan-rekan yang memberikan saran-sarannya dan semangat pada
pemakalah agar dapat menyusun makalah ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan
dengan senang hati menerima kritik dan saran yang konstruktif demi
kesempurnaan makalah ini.

Samata, 19 Maret 2020

Penulis

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar....................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................1
C. Tujuan..................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Asy’ariyah........................................................................2
B. Tokoh Pelopor Asy’ariyah..................................................................2
C. Sejarah Munculnya Asy’ariyah..........................................................3
D. Metode Asy’ariyah.............................................................................5
E. Ajaran-ajaran Asy’ariyah...................................................................6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................13
B. Kritik dan Saran...................................................................................13
Daftar Pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Teologi Islam adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan dan
derivasi-Nya dengan berfikir secara agamis, dialektis untuk menguatkan
keimanan umat Islam dan membantah serangan non-muslim atas akidah
Islam.Ilmu ini menjadi sangat penting karena berkaitan langsung dengan
keyakinan seorang hamba kepada Tuhannya. Sejarah mencatat, bahwasanya
ilmu ini berkembang terus-menerus dan banyak memunculkan aliran-aliran
seiring dengan perpecahan umat Islam yang saling memegang erat
argumentasinya.
Hal ini dikarenakan pemahaman akal terhadap nash-nash al-Qur’an
maupun hadits mengenai segala sesuatu tentang Tuhan serta faktor lain yang
mendukung kemunculan berbagai aliran tersebut. Aliran yang pertama kali
muncul dalam ilmu kalam adalah aliran Khawarij, lalu muncul aliran lain
Salah satu di antaranya adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Namun, di dalam
makalah ini akan membahas lebih rinci tentang Asy’ariyah.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Asy’ariyah ?
b. Siapa pelopor Asy’ariyah ?
c. Bagaimana sejarah munculnya aliran Asy’ariyah ?
d. Bagaimana metode yang digunakan dalam pemikirannya tentang ilmu
kalam ?
e. Apa saja pokok-pokok ajaran dalam Asy’ariyah ?
C. Tujuan
a. Memberikan pengetahuan serta wawasan baru mengenai Asy’ariyah.
b. Membantu pelajar mengerti dan memahami perkembangan aliran ini.
c. Untuk bahan diskusi pembelajaran atau perkuliahan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Asy’ariyah
Jika membicarakan aliran ilmu kalam Asy’ariyah ini, maka tidak
mungkin terlepas dari pembicaraan golongan terbesar umat Islam yang
terkenal dengan sebutan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah. Ahl as-Sunnah
artinya penganut sunnah Nabi. Wal Jama’ah artinya penganut i’tiqads ebagai
i’tiqad jama’ah sahabat-sahabat Nabi. Jadi, kaum Ahl as-Sunnah wal Jama’ah
adalah kaum yang menganut i’tiqad seperti yang dianut oleh Nabi SAW. dan
sahabat-sahabat beliau. Sebagai reaksi dari timbulnya firqah-firqah yang
sesatsebelumnya, maka pada abad ke-III Hijriyah timbullah golongan yang
bernama Ahl as-Sunnah wal Jama’ah ini yang dikepalai oleh dua orang ulama
besar dalam Ushuluddin, yaitu Syeikh Abu Hasan al Asy’ari dan Syeikh Abu
Mansur al Maturidi. Kadang-kadang Ahl as-Sunnah wal Jama’ah ini disebut
dengan Sunny, terkadang juga disebut Asy’ari atau Asy’ariyah karena
dikaitkan kepada guru besarnya yang pertama Abu Hasan al Asy’ari.

B. Tokoh Pelopor Asy’ariyah


Tokoh yang menjadi pelopor dalam aliran ini merupakan seorang
ulama besar besar, yakni al-Asy’ari. Nama lengkap beliau adalah Abu al-
Hasan ‘Ali Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin ‘Abdillah bin Musa bin
Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari dan lebih dikenal dengan nama
Abu al-Hasan al-Asy’ari. Beliau lahir di kota Basrah (Irak) pada tahun 260
H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M di kota Baghdad. Ia merupakan
keturunan salah seorang sahabat Rasulullah yang termasyhur, yaitu Abu
Musa al-Asy’ari. Pada waktu kecil, al-Asy’ari berguru pada seorang tokoh
Mu’tazilah terkenal sekaligus sebagai ayah tirinya bernama Abu ‘Ali al-
Jubba’i (w. 303 H/915 M). berkat didikan ayah tirinya itu, al-Asy’ari
kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah.

2
Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah sampai ia berusia 40. Setelah
itu, dia mengasingkan dirinya sendiri selama 15 hari di rumahnya. Lalu,
secara tiba-tiba ia pergi ke masjid Basrah untuk menyatakan di depan orang
banyak bahwa ia telah keluar dan akan menunjukkan keburukan-keburukan
dan kelemahan-kelemahan Mu’tazilah. Menurut Ibn ‘Asakir, yang melatar
belakangi al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuan al-
Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebanyak tiga kali,
yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga kali
mimpinya, Rasulullah SAW. memperingatkannya agar segera meninggalkan
paham Mu’tazilah dan segera membela paham yang telah diriwayatkan dari
beliau.

C. Sejarah Munculnya Asy’ariyah


Aliran ini lahir tidak terlepas dari oleh situasi politik yang
berkembang pada masa itu. Pada masa khalifah al-Ma’mun, serangan
Mu’tazilah terhadap para fuqaha dan muhadditsin semakin gencar. Tak
seorangpun pakar fiqh yang populer dan pakar hadits yang masyhur luput dari
gempuran mereka. Serangan dalam bentuk pemikiran serta penyiksaan fisik
oleh penguasa. Akibatnya timbul kebencian masyarakat terhadap Mu’tazilah
dan berkembang menjadi permusuhan.
Pada akhir abad ke-3 Hijriah muncul dua tokoh yang menonjol, yaitu
Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari di Bashrah dan Abu Manshur al-Maturidi di
Samarkand. Keduanya bersatu dalam melakukan bantahan terhadap
Mu’tazilah walaupun di tempat yang berbeda. Al-Asy’ari awalnya adalah
seorang murid dan juga seorang tokoh Mu’tazilah. Karena kepintaran serta
kemahirannya, ia bahkan sering mewakili gurunya dalam berdiskusi. Namun,
hal itu berjalan hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu ia menyatakan
keluar dan menjauhkan diri dari Mu’tazilah. Sebelum ia menyatakan keluar
dari Mu’tazilah, ia sempat mengasingkan dirinya di dalam rumah selama 15
hari. Dan sebelumnya ia juga mengalami perdebatan dengan al-Jubbai
gurunya sendiri.

3
Ibnu ‘Asaki rmenceritakan bahwa pada suatu malam al-Asy’ari
bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Lalu beliau menyuruhnya untuk
meninggalkan paham Mu’tazilah dan supaya al-Asy’ari membela sunnahnya.
Selain itu, al-Asy’ari juga merasa tidak puas dengan jawaban-jawaban sang
guru mengenai konsepsi aliran tersebut. Al-Asy’ari sendiri menceritakan,
“Pada suatu malam timbul keraguan-keraguanku tentang aqidah yang aku
anut, lalu aku berdiri dan shalat dua rakaat. Kemudian aku berdo’a kepada
Allah SWT. Supaya diberi-Nya petunjuk kejalan yang tepat. Lantas aku tidur.
Tiba-tiba aku melihat Rasulullah SAW. Dalam mimpiku. Maka aku adukan
halku kepada beliau, dan Rasulullah bersabda, ‘Tetaplah engkau pada
sunnahku’. Setelah aku bangun, aku coba bandingkan masalah-masalah
teologi (kalam) dengan apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Maka aku berketetapan hati memilih bimbingan yang terdapat pada kedua
sumber itu dan aku tinggalkan apa yang selama ini aku anut”.
Selanjutnya, pada suatu hari jum’at di Bashrahia naik mimbar dan
berkata, “Saudara-saudara kaum Muslimin yang terhormat! Siapa yang
sudah mengetahui saya, baiklah. Namun bagi yang belum mengetahui saya,
saya ini adalah Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari, anak dari Ismail bin Abi Basyar.
Dulu saya pernah berpendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bahwa Tuhan
Allah itu tidak bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat, dan bahwasanya
manusia menjadikan (menciptakan) perbuatannya sendiri serupa dengan
kaum Mu’tazilah. Nah, sekarang saya nyatakan terus terang bahwa saya
telah taubat dari faham Mu’tazilah dan sekarang saya lemparkan i’tiqad
Mu’tazilah itu seperti saya melemparkan baju sayaini (ketika itu dibukanya
bajunya itu lalu dilemparkan) dan saya setiap saat siap untuk menolak faham
Mu’tazilah yang salah dan sesat itu”.
Al-Asy’ari merupakan seorang muslim yang sangat gairah terhadap
keutuhan kaum muslimin. Ia sangat mengkhawatirkan al-Qur’an dan hadits
menjadi korban paham-paham Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak
dapat dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal fikiran, sebagaimana
juga dikhawatirkan menjadi korban sikap ahli hadits anthropomorphist yang

4
hanya memegangi nash-nash dengan meninggalkan jiwanya dan hampi
rmenyeret Islam kepada kelemahan kebekuan yang tidak dapat dibenarkan
agama. Oleh karena itu, al-Asy’ari mengambil jalan tengah antara golongan
rasionalis dan golongan tekstualis dan ternyata jalan tersebut dapat diterima
oleh mayoritas kaum Muslimin.
Secara ringkas, kemunculan dan perkembangan aliran Asy’ariyah ini
dapat digambarkan bahwa, setelah abad ke-3 Mu’tazilah semakin melemah
maka ketika itulah al-Asy’ari tampil di tengah-tengah ulama melanjutkan
aktivitas mereka untuk melaksanakan pekerjaan besar sebab ia adalah murid
para ulama Mu’tazilah dan mengenal benar kegigihan mereka dalam hal ini.
Di samping itu ia telah menjadi imam Ahl as-Sunnah yang terkenal waktu itu,
setelah dominasi Mu’tazilah hilang. Kebanyakan ulama pada masanya
memberi gelar al-Asy’ari sebagai Imam Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah.

D. Metode Asy’ariyah
Al-Asy’ari memang merupakan seorang ulama yang pernah menganut
paham Mu’tazilah. Dalam perkembangan pemikirannya, ia tidak menjauhkan
diri dari pemakaian akal fikiran dan argumentasi akal. Di dalam kitabnya
“Istihsan al khawdi fil ‘ilmi al-kalam” (kebaikan menyelami ilmu kalam), ia
menentang keras orang yang berkeberatan membela agama dengan ilmu
kalam dan argumentasi fikiran. Selain itu, menurut al-Asy’ari berpegang
kepada nash harfiah dan mengharamkan menggunakan akal untuk memahami
hakikat agama adalah suatu kekeliruan yang hanya dilakukan oleh orang
pemalas dan bodoh.
Di samping itu, ia juga mengingkari orang-orang yang berlebih-
lebihan menghargai akal fikiran, yaitu golongan Mu’tazilah. karena golongan
ini tidak mengakui sifat-sifat Tuhan karena dalam bentuk yang tidak dapat
diterima oleh akal. Juga karena mereka mengingkari kemungkinan melihat
Tuhan dengan mata kepala. Maka, yang terbaik untuk kepentingan agama dan
umat adalah mengkompromikan antara nash dan akal.

5
Dengan demikian, jelaslah kedudukan al-Asy’ari seperti yang
digambarkan para pengikutnya, sebagai seorang muslim yang benar-benar
ikhlas membela kepercayaannya. Al-Asy’ari sampai pada kesimpulannya
mempercayai sepenuhnya isi nash-nash al-Qur’an dan hadits dengan
menjadikannya sebagai dasar, di samping menggunakan akal fikiran yang
tugasnya tidak lebih dari pada memperkuat nash-nash tersebut.

E. Ajaran-ajaran Asy’ariyah
Hampir setiap pendapat dan pemikiran dalam aliran ini yang
dipelopori oleh al-Asy’ari bercirikan pengambilan jalan tengah. Formulasi
pemikiran al-Asy’ari secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis
antara formulasi ortodoks ekstrem pada satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain.
Doktrin-doktrin dari berbagai pendapat Asy’ari antara lain sebagai
berikut:
a. Sifat-Nya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat
Allah tidak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa
mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari harus berhadapan dengan dua
kubu yang saling bertentangan dalam pandangan mengenai sifat-sifat
Allah. Dua kubu itu adalah Mu’tazilah yang rasionalis dan Mujassimah,
Musyabbihah dan Hasywiyah yang antropomorfis.
Dalam hal ini, Mu’tazilah berpendapat bahwasanya Tuhan tidak
mempunyai sifat melainkan dzat-Nya. Aliran Mu’tazilah memberikan
pada akal daya yang besar berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat
dikatakan mempunyai sifat jasmani. Oleh karena itu, Mu’tazilah
menafsirkan ayat-ayat yang terkesan Tuhan bersifat jasmani secara
metaforis dengan pengertian yang layak bagi kebesaran dan keaguangan
Allah. Dalam sebuah karangan Imam Mu’tazilah yakni Zamakhsyari, ia
terang-terangan mengatakan bahwa kursi Tuhanhanya “khayal” fantasi
saja. Kaum Mu’tazilah sendiri mengartikan ‘Arsy sebagai “kerajaan” dan
“kursi” sebagai pengetahuan.

6
Berbeda dengan Mu’tazilah yang berusaha mengartikan sifat-sifat
Tuhan dengan mengkiaskan kepada sesuatu yang lebih rasional, kaum
Mujassimah, Musyabbihah dan Hasywiyah sebaliknya. Mereka
mengartikan sifat yang ada pada Allah secara dominan dengan hanya
pada yang lahirnya saja, atau hanya secara harfiahnya. Golongan-
golongan ini mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat makhluknya.
Menghadapi kedua kubu ini, al-Asy’ari mengakui adanya sifat-sifat
Allah seperti mendengar, melihat, bertangan, bersela, bermuka dan
lainnya tetapi tidak boleh diartikan secara harfiah. Selain itu, al-Asy’ari
berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu tidak bisa dibandingkan dengan
sifat-sifat makhluk-Nya, sifat Tuhan itu adalah sesuatu yang bukan dzat
tetapi melekat pada dzat itu.
b. Kebebasan dalam Berkehendak
Manusia adalah makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna
dengan anugerah akalnya untuk memilah dan memilih, menentukan serta
mengaktualisasikan perbuatannya. Mengenai masalah ini, ada beberapa
kelompok dari perpecahan Islam yang juga berbeda pendapat. Mereka
adalah Mu’tazilah, Qadariyah dan Jabariyah.
Menurut aliran Mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan
perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya.
Mu’tazilah yang berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu
adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak
kepada hamba-Nya kemudian hambalah yang harus menanggung akibat
perbuatan-Nya. Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan untuk
melakukan perbuatannya tanpa ada paksaan sedikitpun dari Tuhan.
Selanjutnya, kaum Mu’tazilah mengemukakan apabila Allah yang
menciptakan perbuatan manusia, maka perbuatan itu tidak dapat
dikatakan perbuatan bagi mereka. Ayat-ayat yang dijadikan sandaran bagi
pemikiran mereka ini antara lain sebagai berikut:
ِ ِ‫وما ربُّك بِظَاَّل ٍم لِّْلعب‬
)٤٦ : ‫يد (فصلت‬ َ َ َ ََ

7
“Tuhanmu tidaklah zalim kepada hamba”.

)٤٠ : ‫ (النساء‬... ‫ِإ َّن اللّهَ الَ يَظْلِ ُم ِم ْث َق َال َذ َّر ٍة‬
“Sesungguhnya Allah tidaklah zalim sedikitpun”.

)٤٩ : ‫َأحداً (الكهف‬ ِ


َ ‫ك‬ َ ُّ‫َواَل يَظْل ُم َرب‬
“Tuhanmu tidaklah menzalimi seorang pun”.
Dengan berlandaskan ayat-ayat tersebut, Mu’tazilah berpendapat
bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatan mereka.Tuhan
tidak ikut campur tangan di dalamnya.
Sedangkan menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai daya
upaya, ataupun ikhtiar. Manusia tidak berkuasa mengadakan atau
menciptakan sesuatu, tidak memperoleh (kasb) sesuatu, yang laksana bulu
yang bergerak kesana-kemari dipermainkan oleh angin. Jabariyah
membebaskan manusia dari tanggung jawab terhadap perbuatannya.
Manusia berada di bawah kekuasaan qadar dan taqdir Tuhan. Dan
sebenarnya manusia terpaksa dalam semua perbuatannya.
Sebaliknya, Qadariyah berbeda pendapat dengan Jabariyah.
Menurut Qadariyah, manusia melakukan perbuatan dengan bebas dan
menurut keinginan mereka sepenuhnya. Tuhan sama sekali tidak ada
hubungannya dengan perbuatan manusia. Aliran ini berpendapat bahwa
manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya,
yang dalam istilah modern disebut free will and free act.
Sebagai jalan tengah dari keduanya, maka datanglah al-Asy’ari
berpendapat bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu tetapi
berkuasa untuk memperoleh sesuatu. Lebih jauh lagi, al-Asy’ari
menyatakan bahwa kehendak Tuhan harus berlaku. Apabila kehendak
Tuhan tidak berlaku, berarti Tuhan lupa, lalai dan lemah untuk melakukan
kehendak-Nya. Manusia sendiri berkehendak setelah Tuhan menghendaki
agar manusia berkehendak. Tanpa dikehendaki oleh Tuhan, manusia tidak
akan berkehendak apa-apa.

8
c. Akal dan Wahyu serta Kriteria Baik dan Buruk
Meskipun al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah sama-sama
mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi keduanya berbeda dalam
memberikan porsi terhadap akal dan wahyu dalam menghadapi persoalan
kontradiktif antara akal dan wahyu. Kaum Mu’tazilah mengutamakan akal
daripada wahyu. Sedangkan al-Asy’ari mengutamakan wahyu daripada
akal. Akal dijadikan pendukung untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an
maupun hadits. Karena kedudukan al-Qur’an dan hadits lebih tinggi dari
pada akal. Dalam menentukan baik dan buruk, Mu’tazilah
mendasarkannya pada akal, sedangkan al-Asy’ari harus mendasarkannya
pada wahyu.
Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan
perantara akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan
pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, berterima kasih kepada
Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib
diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan
menjauhi yang jahat adalah pula wajib. Tegasnya, sebelum mengetahui
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat baik
dan menjauhi perbuatan buruk, orang harus terlebih dahulu mengetahui
Tuhan dan mengetahui baik dan buruk.
Al-Asy’ari dalam pendapatnya, segala kewajiban manusia hanya
dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi
wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan
menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat
mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajbkan orang mengetahui
Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat
diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan
yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.
d. MelihatTuhan
Menurut aliran Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata
kepala walaupun dalam surga, hal itu akan menimbulkan kesan seolah-

9
olah Tuhan ada dalam surga atau di mana. Dengan demikian, mereka
mena’wilkan ayat-ayat yang mengatakan adanya ru’yat. Sedangkan
menurut golongan Zahiriah atau Musyabbihah, Tuhan dapat dilihat
dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula.
Dengan menempuh jalan tengah antara kedua golongan tersebut,
al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat tetapi tidak menurut
cara tertentu dan tidak pula pada arah tertentu apalagi digambarkan.
Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat
dilihat atau Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk
melihat-Nya.
e. Pembuat Dosa Besar
Persoalan kalam pertama yang muncul adalah persoalan siapa yang
kafir dan siapa yang bukan kafir. Persoalan ini kemudian menjadi wacana
perbincangan aliran-aliran kalam yang ada. Kerangka berfikir yang
digunakan setiap aliran ternyata mewarnai terhadap pandangan masing-
masing tentang status pelaku dosa besar.
Al-Asy’ari sebagai wakil dari Ahl as-Sunnah menyatakan
pendiriannya dengan tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke
Baitullah walaupun melakukan dosa besar seperti berzina atau mencuri.
Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan
keimanan yang mereka miliki.
Al-Asy’ari juga mengatakan bahwa orang mu’min yang
mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah pada Tuhan apakah akan
diampuni dan langsung masuk surga ataukah dijatuhi siksa karena
kefasikannya, tetapi kemudian dimasukkan kedalam surga.
f. Iman dan Kufur
Persoalan iman dan kufur dalam teologi Islam muncul untuk
pertama kali ketika kaum Khawarij mencap kafir sejumlah tokoh sahabat
karena peristiwa tahkim yang selanjutnya berkembang dengan tesis utama
terhadap setiap pelaku dosa besar yang dianggap kafir. Lalu hal ini

10
berkembang menjadi sebuah perbincangan aliran-aliranteologi Islam, di
antaranya Murji’ah, Mu’tazilah.
Aliran Khawarij yang lebih bertendensi politis memandang bahwa
iman tidak semata-mata percaya kepada Allah SWT. Tetapi mengerjakan
segala perintah kewajiban agama. Siapa pun yang menyatakan dirinya
beriman kepada Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak
melaksanakan kewajiban agama atau bahkan melakukan dosa besar
dipandang kafir.
Aliran Murji’ah beranggapan bahwa iman ialah mengenal Tuhan
dan Rasul-rasul-Nya. Jika sudah mengenal Tuhan dan Rasul-Nya maka
itu sudah cukup, sudah menjadi mu’min. Kaum ini juga mengatakan
bahwa orang mu’min yang percaya dalam hati adanya Tuhan dan para
Rasul-Nya ia adalah mu’min walaupun ia mengerjakan segala macam
dosa.
Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa amal perbuatan merupakan
salah satu unsur terpenting dalam konsep iman. Iman tidak bisa
mempunyai arti tasdiq, yaitu menerima apa yang dikatakan atau
disampaikan orang sebagai benar. Iman mesti mempunyai arti aktif,
karena manusia akalnya mesti dapat sampai kepada kewajiban
mengetahui Tuhan. Dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tasdiq,
bukan pula ma’rifah, tetapi ‘amal yang timbul sebagai akibat dari
mengetahui Tuhan. Tegasnya, iman bagi mereka adalah pelaksanaan
perintah-perintah Tuhan.
Dari beberapa argumentasi tentang iman di atas, maka definisi
iman menurut al-Asy’ari dapat kita peroleh dari penjelasan yang
dikemukakan oleh Asy-Syahrastani, salah seorang teolog Asy’ariyah
seperti ini:
Al-Asy’ari berkata, “…Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-
janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan ‘mengatakan’ dengan
(qawl) dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bi
al-arkan) sekadar meupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu,

11
siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan
membenarkan utusan-utusan-Nya beserta yang mereka bawa darinya,
iman orang semacam itu merupakan iman yang shahih…. Dan seseorang
tidak akan tanggal keimanannya, kecuali jika ia mengingkari salah satu
dari hal-hal tersebut”.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berbagai penjelasan mengenai Asy’ariyah telah kami paparkan di
bagian sebelumnya. Kita mendapatkan sebuah kesimpulan bahwasanya aliran
ini merupakan reaksi dari berbagai ajaran aliran-aliran yang banyak muncul
dari kalangan umat Islam sendiri terutama dalam membahas masalah teologi
atau ilmu kalam yang sangat penting bagi kehidupan manusia sebagai seorang
hamba. Di mana berbagai pandangan dan persoalan tersebut banyak
dipertanyakan.
Asy’ariyah hadir sebagai jalan tengah antara berbagai pendapat yang
mendasarkan pemikiran akalnya pada nash-nash al-Qur’an dan hadits
sehingga ada keseimbangan antara akal dan wahyu. Al-Asy’ari adalah ulama
yang dipandang sebagai tokoh ulama paling berpengaruh dalam pemikiran
aliran ini dan bisa dikatakan sebagai pelopornya. Berbagai pemikirannya
banyak dijadikan rujukan bagi para ulama untuk memecahkan masalah-
masalah teologi karena dianggap netral dan membuat porsi yang tidak
berlebihan dalam penggunaan wahyu dan akal dalam hal-hal teologi.
Walaupun dalam beberapa hal beliau tidak menggunakan akal untuk
menafsirkannya karena bersifat qath’i.
B. Kritik dan Saran
Penulis menyadari jika makalah yang ada dalam tangan para pembaca
ini belum mencukupi dalam kesempurnaan karena kesempurnaan hanyalah
milik Allah SWT. Dan masih banyak kekurangan di dalamnya. Oleh karena
itu, kami meminta kritik dan saran yang mendukung untuk pembuatan bacaan
dan makalah untuk yang lebih baik lagi.
Untuk para pembaca yang budiman, masalah-masalah teologi sering
kita jumpai dalam kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu lebih banyaklah
membaca guna mendapatkan informasi tentang ilmu kalam untuk kehidupan
yang lebih nyaman dengan keyakinan dalam qalbu.

13
Daftar Pustaka

Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. 2013. Bandung: Pustaka Setia
A. Hanafi, Theology Islam. 1979. Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Harun. Teologi Islam. 2010. Jakarta: UI-Press
http://www.academia.edu/download/37064121/MAKALAH-TEOLOGI-
ISLM.docx
https://www.academia.edu/23186460/MAKALAH_al_asyariyah
https://www.academia.edu/37721851/
Makalah_Asyariyyah_dan_Maturidiyyah_Faisal_Hilmi
http://mpi2umi.blogspot.com/2015/05/tugas-makalah-pemikiran-aliran-
asyariah.html?m=1
https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0,5&q=makalah+asy
%27ariyah#d=gs_qabs&u=%23p%3DDvLjygJb8mwJ

Anda mungkin juga menyukai