Anda di halaman 1dari 46

MENGENAL IMAM-IMAM DALAM ASWAJA

(BIDANG AKIDAH, FIQIH DAN TASAWUF)

Tugas Makalah

Di ajukan untuk memenuhi mata kuliah Aswaja II

Dosen pengampu :

Dr. H. M. Ridlwan Hambali,. Lc.Ma

Di susun oleh :

Nur’aini (3320190247)

Fahma Lucky NWS (3320190280)

Nanang Yahya Ihsom (3320190191)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI BOJONEGORO

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami ucapkan kepada Allah SWT tak

lupa sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada Rasulullah

Muhammad SAW . Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini

dengan lancar, tanpa hambatan apapun.

Makalah ini kami susun guna untuk memenuhi tugas matakuliah

Aswaja II yang telah diberikan Bapak Dr. M. Ridlwan Hambali,.Lc,.Ma,

Kami berharap makalah ini dapat di gunakan sebagai bahan bacaan dan

refrensi oleh pembaca, meskipun makalah ini jauh dari kata sempurna.

Semoga makalah sederhana ini dapat di pahami oleh siapa saja

yang membaca, sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan

kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang

membangun agar kedepannya bisa membuat makalah lebih baik lagi.

Bojonegoro, 13 Februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………. ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. iii

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................

A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................1
C. Tujuan .......................................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. Bidang Akidah............................................................................................3
B. Bidang Fikih ..............................................................................................8
C. Bidang Tasawuf .........................................................................................33

BAB 3 PENUTUP..................................................................................................13

A. Kesimpulan................................................................................................40
B. Saran..........................................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA 4
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pedoman Nahdlatul Ulama berpedoman kepada Al-Qur’an, As-Sunnah,

Al-Ijma’ dan Al-Qiyas. Aqidah Nahdlatul Ulama beraqidah Islam menurut

faham Ahlussunnah wal Jama’ah; dalam bidang aqidah mengikuti madzhab

Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi; dalam fiqih

mengikuti salah satu dari madzhab empat (Hanafi, Maliki Syafi’i dan

Hanbali); dan dalam bidang tasawuf mengikuti madzhab Imam Al-Junaidi.

Nahdlatul Ulama berpedoman kepada Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-

Qiyas.Nahdlatul Ulama beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal

Jama’ah; dalam bidang aqidah mengikuti madzhab Imam Abu Hasan Al-

Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi; dalam fiqih mengikuti salah satu

dari madzhab empat (Hanafi, Maliki Syafi’i dan Hanbali); dan dalam bidang

tasawuf mengikuti madzhab Imam Al-Junaidi Al-Bagdadi dan Abu Hamid Al-

Ghazali. Dalam Kehidup berbangsa dan bernegara di Indonesia Nahdlatul

Ulama berasas kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

B. Rumusan Masalah

1. Siapa imam aswaja bidang Akidah?

2. Siapa imam aswaja bidang Fikih?

3. Siapa imam aswaja bidang Tasawuf?

C. Tujuan makalah

1
1. Mengenal imam aswaja bidang Akidah

2. Mengenal imam aswaja bidang Fikih

3. Mengenal imam aswaja bidang Tasawuf

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Bidang Akidah

a.1 Abu Hasan al-Asy’ari

Abu Hasan al-Asy’ari adalah orang yang pertama mendirikan aliran al-

Asy’ariah. Nama lengkap beliau adalah ’Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin

Isma’il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa al-

Asy’ari. Ia adalah keturunan dari Abu Musa al-Asy’ari, salah seorang sahabat

Nabi saw. yang menjadi perantara dalam sengketa antara Ali bin Abi Thalib

dan Mu’awiyah.

Abu Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H (873 M) dan

wafat di Baghdad pada tahun 324 H (935 M). Pada waktu kecilnya, ia berguru

pada seorang pengikut al-Muktazilah yang terkenal, yaitu al-Jubba’i. Ia

mempelajari ajaran-ajaran al-Muktazilah sekaligus mendalaminya terus sampai

usia 40 tahun. Setelah ia belajar berbagai ilmu di kota Bashrah, maka Abu

Hasan al-Asy’ari pergi ke kota Baghdad, ibu kota khilafah Islamiyah saat itu,

dan meneruskan belajar di sana. Ia belajar ilmu Kalam menurut paham al-

Muktazilah, maka beliau termasuk pendukung dan orang al-Muktazilah yang

tangguh. Walaupun Abu Hasan al-Asy’ari termasuk alim dan terkemuka dalam

bidang hadis, tetapi perhatian beliau tidak tertarik ke arah memperbanyak

riwayat hadis. Karenanya, Abu Hasan al-Asy’ari tidak digolongkan ke dalam

ulama Ahl al-Hadis. Sebaliknya perhatiannya tercurah ke dalam bidang akidah,

3
terutama meneliti pendapat-pendapat berbagai aliran dan golongan yang

berkembang saat itu, beserta hujah dari masing-masing aliran tersebut.

Dalam riwayat dikatakan bahwa Abu Hasan al-Asy’ari berusaha mendekati

ulama-ulama aliran fikih Sunni, sehingga ada yang mengatakan bahwa ia

bermazhab Syafi’i. Ada juga yang menyatakan Abu Hasan al-Asy’ari

bermazhab Hanbali, dan bahkan ada keinginannya menjauhi aliran-aliran fikih.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, yang terjadi justeru disatukan dan

bahkan saling melengkapi.Menurut Syekh al-Qadhi al-‘Iyadh dalam kitab al-

Madarik, mengatakan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari adalah penganut

mazhab Maliki. Hal ini telah dikuatkan pula oleh Syekh Rafi’i al-Hanbal,

seorang pengikut mazhab Syafi’i, bahwa Abu Hasan al-Asy’ari adalah pengikut

mazhab Maliki, dan memang pada masa beliau yang paling luas tersebarnya di

seluruh Irak adalah mazhab Maliki.

Adapun mengenai karya-karya Imam Abu Hasan al-Asy’ari, kurang lebih

puluhan karya yang dihasilkan, namun ada tiga karyanya yang sangat

monumental dan sangat terkenal, yaitu: (1) Maqalah al-Islamiyyin (pendapat-

pendapay golongan Islam), (2) al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah (keterangan

tentang dasar-dasar agama), (3) al-Luma’ fi al-Ra’d ‘ala Ahl al-Ziyaq wa al-

Bida’. Dari beberapa karya kitab yang telah dihasilkan inilah dapat diketahui

secara umum ajaran-ajaran al-Asy’ari.

a.2 Al-Imam Abu Mansur Al-Maturidi

Namanya adalah Muhammad bin Muhammad Abu Mansur Al-Maturidi, ia

di lahirkan di sebuah kota yang bernama maturid didaerah Samarqand

4
(termasuk daerah Uzbekistan) pada tahun 853 M dan meninggal pada tahun

333 H/ 944 M. Ia adalah pendiri dari aliran Al-Maturidiyah salah satu golongan

aliran dari madzhab Ahlussunnah. Tidak seorangpun secara pasti mengetahui

tahun kelahirannya. Ini adalah sebuah observasi penting karena ini berarti

bahwa orang yang membuat isnad tidak mengetahui cukup informasi

tentangnya untuk menjadikannya sebagai sumber, artinya tidak ada seorang

alim pun yang pernah mengenalnya. Maturidi hidup sezaman dengan Asy'ari,

hanya saja maturidi tinggal di samarqand sedangkan asy'ari tinggal bashrah.

Asy'ari adalah pengikut dari madzhab syafi'iyah sedangkan maturidi adalah

pengikut dari madzhab hanafiyah. Boleh jadi ada beberapa perbedaan pendapat

antara kedua orang tersebut, karena adanya perbedaan pendapat antara syafi'i

dan abu hanifah sendiri.

Sebagai pengikut abu hanifah yang banyak memakai rasio dalam

pandangan keagamaannya, al maturidi banyak pula memakai akal dalam sistim

teologinya. Maturidi mendasarkan fikiran-fikirannya dalam soal-soal

kepercayaan kepada fikiran-fikiran Imam Abu Hanifah yang tercantum dalam

kitabnya "al-fiqh al-akbar" dan "al-fiqh al-absat" dan memberikan ulasan-

ulasannya terhadap kedua kitab tersebut. Oleh karena itu antara teologi

maturidi dan asy'ari terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai

reaksi terhadap aliran Mu'tazilah. Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat

persamaan antara almaturidi dan asy'ari. Baginya tuhan juga mempunyai sifat-

sifat, maka menurut pendapatnya Tuha mengetahui bukan karena zat-Nya,

tetapi mengetahui dengan Pengetahuan-Nya, dan berkuasa bukan dengan zat-

5
Nya. Tetapi dalam soal perbuatan-perbuatan manusia, al maturidi sependapat

dengan golongan mu'tazilah bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan

perbuatan-perbuatannya. dengan demikian dia mempunyai faham qadariah dan

bukan faham jabariyah atau kasb asy'ari. Sama dengan asy'ari, al maturidi

menolak ajaran mu'tazilah tentang al-salah wa al-aslah, tetapi disamping itu al

maturidi berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu,

al maturidi juga tidak sefaham dengan mu'tazilah tentang masalah al-Qur'an

yang menimbulkan kehebohan waktu itu. Sebagaimana asy'ari ia mengatakan

bahwa kalam atau sabda Tuhan tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.

Mengenai soal dosa besar al maturidi sefaham dengan al asy'ari yaitu

bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya

akan ditentukan tuhan kelak di akhirat. Iapun menolak faham posisi menengah

kaum mu'tazilah. Tetapi dalam soal al-wa'd wa al-wa'id almaturidi sefaham

dengan mu'tazilah. Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tidak boleh tidak

mesti terjadi kelak. Dan juga dalam soal anthropomorphisme al maturidi

sealiran dengan mu'tazilah. Ia tidak sependapat dengan dengan asy'ari bawha

ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat

diberi interpretasi atau ta'wil. Menurut pendapatnya tangan, wajah dan

sebagainya mesti diberi arti majazi atau kiasan. Salah satu pengikut penting

dari dari al maturidi adalah Abu al-Yusuf Muhammad al-Bazdawi (421-493 H).

Nenek al-bazdawi adalah murid dari al maturidi, dan al bazdawi mengetahui

ajaran-ajaran al-maturidi dari orang tuanya. Al-bazdawi sendiri mempunyai

murid-murid dan salah seorang dari mereka adalah Najm al-Din Muhammad

6
al-Nasafi (460-537 H) pengarang buku al-'Aqa'idal nasafiah. Seperti al-

Baqillani dan al-Juwaini, al-bazdawi tidak pula selamanya sefaham dengan al

maturidi. Kemudian diantara tokoh aliran Maturidiyah ini terdapat perbedaan

faham sehingga dapat dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua

golongan. Yaitu golongan Samarqand yaitu pengikut-pengikut al maturidi

sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdaw. Jika

golongan samarqand mempunyai faham-faham yang lebih dekat kepada faham

mu'tazilah, maka golongan bukhara cenderung lebih dekat kepada pemahaman

aliran asy'ariyah.

Kitab-kitab yang pernah dikarang oleh al Maturidi diantaranya adalah ;

· Kitab Al Tawhid

· Kitab Radd Awa'il al-Adilla

· Radd al-Tahdhib fi al-Jadal

· Kitab Bayan Awham al-Mu'tazila

· Kitab Ta'wilat al-Qur'an

· Kitab al-Maqalat

· Ma'akhidh al-Shara'i' in

· Al-Jadal fi Usul al-Fiqh

· Radd al-Usul al-Khamsa

7
· Radd al-Imama

· Al-Radd 'ala Usul al-Qaramita

· Radd Wa'id al-Fussaq

B. Bidang Fikih

b.1 Malik bin Anas, Pendiri Mazhab Maliki

Imam Malik (711-795 masehi/93-179 hijriah) merupakan ulama ahli

fiqih dan hadis. Beliau lahir dari keluarga pecinta ilmu hadis, atsar, dan

fatwa para sahabat Nabi Muhammad SAW. Ayahnya Anas, salah satu

periwayat hadis. Sedangkan kakeknya Malik bin Abi Amir, salah satu

tokoh ulama dari kalangan tabiin, orang Islam di masa awal yang

mengalami zaman bersama para Sahabat Nabi. Malik bin Abi Amir,

banyak meriwayatkan hadis dari tokoh-tokoh besar sahabat, seperti

Sayyidina Umar, Sayyidina Usman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah,

Sayyidah ‘Aisyah, Abu Hurairah, Hassan bin Tsabit dan ‘Uqail bin Abi

Thalib. Malik bin Abi Amir memiliki hubungan baik dengan Sayyidina

Usman bin Affan. Suatu ketika Sayyidina Usman pernah mengutus Malik

bin Abi Amir untuk menaklukkan Afrika hingga berhasil. Saat Sayyidina

Usman mengumpulkan semua mushaf, Malik bin Amir termasuk di antara

tabiin yang dipercaya untuk menulis mushaf. Kedekatan dengan ilmu ini

menurun pada cucunya, Imam Malik. Imam Malik sudah menunjukkan

kesungguhan dalam menimba ilmu. Dia hafal Alqur’an saat masih usia

belia, kemudian beralih menghafal hadis dengan tekun dan sungguh-

sungguh. Sebagian besar waktu Imam Malik dihabiskan untuk menulis dan

8
menghafalkan hadis. Selain tekun menghafal hadis, Imam Malik kecil juga

rajin belajar ilmu fiqih. Dia belajar fiqih pertama kali kepada Rabi’ah bin

Abdirrahman. Kelurga, terutama ibunya, sangat antusias melihat

ketekunannya belajar. Suatu ketika dia pamit kepada ibunya untuk pergi

belajar kepada Rabi’ah, lalu dengan penuh perhatian ibunya memakaikan

pakaian yang bagus dan surban sembari berkata; “Pergilah belajar dan

jangan lupa menulis apa yang didengar dari Rabi’ah. Pelajari adab Rabi’ah

sebelum ilmunya.”

Imam Malik juga tekun menghadiri halaqah Abdurrahman bin

Hurmuz. Selama 13 tahun beliau belajar terus menerus kepada Ibnu

Hurmuz tanpa diselingi belajar kepada guru lain. Ibnu Hurmuz merupakan

guru favorit dan sangat berpengaruh dalam kehidupan intelektul imam

Malik.Dalam suatu halaqah, Ibnu Hurmuz pernah berkata; “Sebaiknya

seorang guru tidak segan mewariskan kata “la adri (tidak tahu)” kepada

santrinya.” Di kemudian hari, setiap kali Imam Malik ditanya tentang

suatu masalah, Ibnu Hurmuz sering mengatakan “la adri.” Ketekunan

Imam Malik menuntut ilmu menjadikannya berpengetahuan luas dan

mendalam tentang berbagai bidang ilmu agama. Sehingga, di kemudian

hari beliau menjadi rujukan banyak para pecinta ilmu. Ulama besar seperti

Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pernah menimba ilmu dan belajar

kepada beliau. Disebutkan bahwa tokoh dan ulama terkenal yang pernah

belajar kepada Imam Malik tak kurang dari 1.300 orang. Pergulatan

pemikiran keagamaan masa Imam Malik

9
Kota Madinah menjadi tempat belajar Imam Malik. Selama hidupnya,

beliau tidak pernah mengembara ke negeri lain untuk mencari ilmu. Beliau

hanya mencukupkan belajar ilmu kepada tokoh dan ulama dari kalangan

tabiin di Madinah. Pada mulanya, beliau mempelajari dan menghafal

Alquran, hadis Nabi Muhammad SAW, atsar, fiqih, dan fatwa sahabat dan

tabiin. Pada masa kehidupan Imam Malik, wilayah kekuasaan Islam

membentang luas ke berbagai penjuru dunia. Kondisi ini membutuhkan

strategi khusus para ulama dalam merespons masalah kehidupan sosial dan

keagamaan. Dalam kehidupan beragama muncul dua corak metode dan

aliran dalam memahami teks-teks keagamaan. Pertama, metode ahli hadis

atau ahli atsar. Aliran ini mendasarkan pemahaman keagamaan pada nash-

nash Alquran dan Sunah Nabi Muhammad SAW. Kedua, metode ahli ra’yi.

Aliran ini mendasarkan pemahaman keagamaan pada legal reasons atau

maksud dan tujuan syariah. Mereka tidak berpatokan kepada nash-nash

Alquran dan Sunah secara tekstual, namun pada ‘illah-‘illah hukum yang

terkandung dalam nash-nash Alquran dan Sunah tersebut. Aliran ahli hadis

diwakili kalangan umat Islam yang berdomisili di Hijaz, khususnya di

Madinah. Sedangkan ahli ra’yi diwakili kalangan umat Islam di Irak.

Sering terjadi perdebatan antara dua aliran ini dalam pemahaman

keagamaan, terutama fiqih, sejak periode tabiin. Kalangan ahli hadis

sering mencela kalangan ahli ra’yi dengan tuduhan bahwa ahli ra’yi

meninggalkan sebagian hadis dan lebih mendahulukan hasil pemikiran

terhadap nash. Sedangkan ahli ra’yi menuding ahli hadis tidak mengetahui

maksud dan tujuan syariah. Kalangan ahli ra’yi sering mengalahkan

10
argumentasi ahli hadis dalam perdebatan. Imam Malik termasuk ulama

Madinah yang sering berseberangan dengan kalangan ahli ra’yi di Irak.

Salah satu pemikiran ahli ra’yi yang tidak disetujui beliau adalah qiyas ala

ahli ra’yi, yaitu menganalogikan hukum suatu masalah yang tidak ada

nash hukumnya dalam Alquran atau Sunah dengan hukum suatu masalah

yang ada nash hukumnya. Beliau dan kebanyakan ulama Madinah lebih

mendahulukan metode al-Mashalih dalam merespons masalah baru yang

tidak ada nash hukumnya dalam Alquran dan Sunah.

Warisan Intelektual Imam Malik sangat besar terhadap pemikiran

keagamaan umat Islam. Ada dua warisan besar Imam Malik yang masih

diakui umat Muslim di seluruh dunia hingga hari ini: kitab al-Muwattha’

dan Mazhab Maliki. Kitab al-Muwattha’ adalah karya terbesar Imam

Malik dan menjadi rujukan penting hingga hari ini, khususnya di kalangan

pesantren dan ulama kontemporer. Kitab ini dinilai banyak kalangan

memiliki banyak keistimewaan. Sebab, kitab al-Muwattha’ disusun

berdasarkan klasifikasi fiqih dengan memperinci kaidah-kaidah fiqih yang

disarikan dari hadis Nabi Muhammad SAW dan fatwa para sahabat. Imam

Malik wafat pada usia 92 tahun pada tahun 179 H/795 M. Beliau termasuk

ulama yang dikarunia umur panjang dan menghabiskan seluruh umurnya

untuk ilmu dan pengabdian terhadap agama dan umat. Dalam rentang

umur yang panjang tersebut, Imam Malik pernah hidup dalam dua

kekuasan Islam terbesar, Umawiyah dan Abbasiyah. Konon, Abdullah bin

Muhammad bin Ibrahim, gubernur Madinah dari dinasti Abbasiyah,

termasuk orang yang mensalati jenazah Imam Malik dan mengantarkan

11
sampai pembaringan terakhirnya di Baqi’. Mazhab Maliki masih hidup

hingga hari dan menjadi mazhab resmi di beberapa negara.

b.2 Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab Hanbali

Keilmuan Islam mulai mencapai puncaknya pada abad kedua

hijriah. Setelah wafatnya Nabi, salah satu persoalan adalah tentang

penetapan hukum dalam Islam. Hal ini juga didesak meluasnya Islam ke

pelbagai daerah, yang memberi ragam pendekatan atas sumber hukum

Islam. Di antara kemilau era itu, Mazhab Hanbali adalah salah satu

mazhab yang banyak diikuti dan masih eksis hingga hari ini. Tokoh

pendirinya bernama Imam Ahmad bin Hanbal. Ahmad bin Hanbal lahir di

Baghdad, pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H. Pada nasabnya, ia

bernama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal dari kalangan Bani

Syaiban, salah satu kabilah di Arab. Nama Ahmad bin Hanbal ini

disandarkan pada kakeknya. Sebagaimana dicatat Adz Dzahabi dalam

kitab Siyar A’lam an Nubala’, ayahnya adalah seorang pimpinan militer di

Khurasan. Saat masih kanak-kanak, Ahmad bin Hanbal ditinggal wafat

oleh ayahnya yang gugur dalam pertempuran melawan Bizantium.

Sedangkan kakeknya, Hanbal, adalah seorang gubernur pada masa Dinasti

Umayyah. Banyak ulama menyebutkan bahwa Imam Ahmad berkutat

mencari ilmu di Baghdad dan sekitarnya sampai usia 19 tahun. Setelah

menghafal Al Quran di usia belia, ia mulai mengumpulkan hadis dan

mendalami fikih sejak umur 15 tahun. Setelah masa-masa di Baghdad, ia

berkelana ke banyak daerah, seperti Kufah, Basrah, Makkah, Madinah,

Yaman dan Syam, guna berguru kepada ulama terkemuka setempat. Para

12
periwayat hadis banyak sekali tercatat pernah tinggal, atau setidaknya,

singgah di Baghdad. Para tokoh ulama ini diabadikan oleh al-Khatib al-

Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Oleh sebab itu Ahmad bin Hanbal begitu

terpengaruh oleh mereka, dan nantinya merupakan salah satu kalangan

ahlul hadits terkemuka. Sebagian besar kekayaan ilmu Ahmad Ibn Hanbal

diperoleh di kota kelahirannya, Baghdad. Sebagai sosok yang besar di sana

pada kurun abad ke 2 hijriah, Ahmad bin Hanbal berada dalam pusaran

keilmuan Islam. Berkat ketekunannya mengumpulkan hadis, Ahmad bin

Hanbal memiliki hafalan hadis yang banyak sekali. Ini membuatnya sangat

kompeten dalam periwayatan hadis, dan segera menjadi salah satu tokoh

terkemuka di bidang tersebut.

Di samping itu, ilmu fikih mulai banyak dikembangkan pada masa

pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Saat Mu’awiyah Ibn Abi

Sufyan mengambil alih kekuasaan dari Ali bin Abi Thalib, pusat pemerintahan

dipindahkan dari Madinah ke Damaskus. Kemudian ketika Abbasiyah

mengambil alih kekuasaan dari Bani Umayyah, pusat kerajaan atau ibu kota

politik dunia islam dipindah ke kota Baghdad. Beliau belajar kepada para guru

tersohor, seperti Syekh Abu Yusuf – salah satu murid utama Abu Hanifah,

kemudian Abdur Razzaq – salah satu generasi pemula penyusun kitab hadis,

serta Imam asy Syafi’i. Ketika Imam asy-Syafi’i tinggal di Baghdad, Ahmad

Ibn Hanbal rajin mengikuti halaqahnya. Kedalaman ilmu fikih dan hadisnya

menjadikan pribadi Ahmad ibn Hanbal sebagai pribadi yang unggul di majelis

Imam asy-Syafi’i. Imam asy-Syafii juga tercatat berjumpa dengan Imam

Ahmad di dataran Hijaz saat Imam Ahmad sedang melakukan haji, serta saat

13
Imam asy-Syafi’i sedang berkunjung ke Irak. Imam asy Syafi’i pun memuji

sosok Imam Ahmad bin Hanbal: “Aku keluar dari Irak, dan tiada kutemui

orang yang lebih mumpuni ilmunya dan zuhud dibanding Ahmad bin Hanbal,”

tutur beliau. Ia digambarkan para muridnya sebagai pribadi yang wara’, santun,

dan ramah. Ahmad bin Hanbal fokus menimba ilmu, dan baru menikah pada

usia 40 tahun. Di usia itu, dengan perbendaharaan ilmu yang kaya khususnya

dalam bidang hadis dan fikih, Ahmad mendirikan majelis tersendiri di kota

Baghdad. Oleh beberapa ulama ia dinilai mengikuti jejak Imam Abu Hanifah

yang membuka majelis saat usia serupa, dan dianggap baru memberanikan diri

membuka majelis usai wafatnya Imam Syafi’i sebagai bentuk takzim. Dari

majelis ini pula, Ahmad bin Hanbal mulai merumuskan dasar-dasar

mazhabnya, mengeluarkan fatwa, dan membimbing murid-muridnya.

Polemik Ahlu al-Ra’yi dan Ahlul Hadits. Sebagaimana disebutkan

sebelumnya Ahmad bin Hanbal merupakan sosok pemuka kalangan ahlul

hadits. Kalangan ini berhati-hati terhadap dominasi akal atas wahyu, yang

berada dalam kubu kaum rasionalis atau ahlu al-ra’yi, dan mempertahankan

posisi hadis sebagai sumber hukum Islam. Murid-murid utamanya pun banyak

ulama hadis tersohor, seperti Imam al Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu

Dawud. Ahmad bin Hanbal sebenarnya juga berguru pada kalangan rasionalis

itu. Salah satu gurunya, Abu Yusuf, dinilai banyak berorientasi pada fikih Irak

yang di dominasi oleh ahlu al-ra’y (penggunaan akal) dalam mengambil

simpulan hukum. Hal ini memberikan semacam inspirasi dan semangat kepada

Ahmad Ibn Hanbal untuk mengoleksi hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.

Karena berhati-hati terhadap dominasi rasio atas wahyu, baik dalam akidah

14
maupun hukum Islam, kalangan ini berbenturan dengan kaum rasionalis. Pada

mulanya, daerah Irak banyak mengikuti rumusan Imam Abu Hanifah. Pendiri

Mazhab Hanafi ini mengemukakan peran akal dalam perumusan hukum, yaitu

dalam metode qiyas dan istihsan. Meski bermula sebagai diskursus hukum

Islam, penggunaan rasio ini di kemudian hari melebar pada soal-soal

ketuhanan, yang semakin digiatkan oleh kalangan Muktazilah. Hal inilah yang

pada abad kedua dan ketiga Hijriah kurang mendapat simpati dari ahlul hadits,

yang saat itu menjadi mayoritas.

Selanjutnya, kedatangan Imam asy-Syafi’i di Baghdad pada akhir abad

kedua hijriah, menjadi oase bagi kalangan ahlul hadits. Sosok inilah peletak

dasar-dasar rasionalitas untuk ahlul hadits, dan banyak diikuti umat Islam,

salah satunya Ahmad bin Hanbal. Karena polemik ilmiah ini, Ahmad bin

Hanbal menekankan untuk menjauhi peran qiyasberikut dominasi rasio dalam

perumusan hukum. Begitu juga ia berada pada koridor untuk menyandarkan

amaliah dan hukum Islam pada hadis, maupun pendapat sahabat dan tabi’in,

kendati secara kualitasnya tidak mencapai derajat yang sahih, selama tidak

bertentangan dengan Alquran dan hadis sahih. Keriuhan debat intelektual di

atas menunjukkan bahwa Baghdad di masa itu merupakan pusat transmisi hadis

dan kajian fikih kaum Sunni. Sekurang-kurangnya ada dua poros utama di

sana: kaum rasionalis yang dikembangkan pengikut Imam Abu Hanifah, dan

kalangan ahlul hadits yang diikuti Ahmad bin Hanbal.

Peristiwa Mihnah dan Keteguhan Ahmad bin Hanbal. Selain metode fikih,

satu hal yang bisa dicermati dari Imam Ahmad bin Hanbal ini adalah rumusan

teologisnya. Ahmad bin Hanbal, selain dikenal sebagai muhaddits dan ahli

15
fikih, ia juga memiliki dasar-dasar teologi yang banyak diikuti. Rumusan ini

juga tak lepas dari polemik ahlu al-ra’yi dan ahlul hadits sebagaimana

disebutkan di atas. Klimaks dari persoalan teologi ini adalah peristiwa mihnah,

yang dimulai pada masa Khalifah Al Makmun pada masa Dinasti Abbasiyah.

Mihnah, secara bahasa berarti pengujian, pengadilan, atau inkuisisi. Peristiwa

ini ditandai dengan pengujian para ulama atas doktrin khalqiyatul Qur’an atau

‘Alquran adalah makhluk’. Praktek inkuisisi Muktazilah yang dikenal luas

antara tahun 218-234 H / 833-848 itu terkait dengan pengaruh Muktazilah –

sebagai oposisi dari ahlul hadits – yang memengaruhi kebijakan religio-politik

khalifah al-Ma`mun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq. Kalangan Muktazilah,

menyerukan salah satu doktrin terkait posisi Alquran sebagai makhluk, bukan

bagian dari firman Tuhan yang qadim. Hal ini berbeda dengan doktrin yang

diyakini oleh kalangan ahlul hadits, karena dengan meyakini Alquran sebagai

makhluk atau ciptaan, akan mendelegitimasi posisi Alquran sebagai firman

Tuhan. Peristiwa Mihnah dimulai pada tahun 218 H/ 833 M. Bermula dari

dekrit khalifah al-Ma’mun, dan berakhir pada masa kepemimpinan al-

Mutawakkil. Selain kedekatan penguasa dengan kaum Muktazilah, peristiwa

ini juga bentuk antisipasi pandangan alternatif yang bisa mengurangi kuasa

pemerintah. Para ulama dikumpulkan, dan mereka yang mengakui bahwa

Alquran adalah makhluk akan dibebaskan dari hukuman. Penolak doktrin ini

dianggap sesat dan tidak diterima persaksiannya. Tujuh ulama kalangan hadis

diasingkan ke daerah Riqqah. Mereka baru bisa kembali ke Baghdad karena

terpaksa mengakui hal itu, atas pertimbangan nyawa. Sikap Ahmad Ibn Hanbal

juga menentang khalqiyat Alquran ini, yang menyeretnya ke forum mihnah. Di

16
depan khalifah al-Mu’tashim, Ahmad Ibn Hanbal dicambuk lalu dipenjarakan

karena pantang mengakui bahwa Alqur`an adalah mahluk. Pada masa

pemerintahan al-Watsiq, Ahmad Ibn Hanbal dibuang dari Baghdad. Sikap ini

tercatat dalam perkataannya sebagai berikut, dan menunjukkan posisinya

terhadap kalangan rasionalis yang banyak berkutat pada debat teologi:

“…Aku bukanlah seorang yang berkecimpung dalam ilmu kalam. Aku

tidak menilai ilmu kalam, kecuali yang terdapat dalam Kitab Allah, sunnah

Nabi Saw, atau dari ketetapan sahabat dan tabi’in. Adapun selain itu,

membincangkannya merupakan perbuatan yang tak terpuji.” Sikap ini

diteguhkannya terus, meski mendapat hukuman berkali-kali, baik dicambuk

maupun dipenjara. Pada masa Khalifah Al Mutawakkil, represi ini berakhir. Ia

menghapuskan putusan seputar persaksian doktrin atas kemakhlukan Alquran.

Akibat represi yang lama terjadi ini, pemerintah bersimpati kepada Ahmad bin

Hanbal. Namun sebagaimana dicatat Abu Nu’aim Al Ashbihani dalam Hilyat al

Auliya,’ sosok besar ini menolak simpati dan hadiah dari pemerintah dengan

halus. Sebagai seorang ulama, karya peninggalan Ahmad bin Hanbal yang

paling monumental adalah kitab Musnad Ahmad, dengan koleksi hadis di

dalamnya sekitar 40 ribu hadis. Kitab hadis ini juga menunjukkan hadis-hadis

yang digunakan oleh Imam Ahmad sebagai dasar hukum dan pondasi

mazhabnya. Beberapa kitab lain yang disusunnya adalah al-’Ilal, al-Tafsir, an-

Nasikh wa al-Mansukh, az-Zuhd, al-Masa`il, Fadho`il as-Shahabah dan

lainnya. Produk pemikiran Ahmad bin Hanbal juga diabadikan dalam catatan

anak dan para muridnya. Pada akhir hayatnya, Imam Ahmad bin Hanbal

menderita sakit selama 10 hari, dan meninggal pada siang hari tanggal 22

17
Rabiul Awal tahun 241 H/855 M. Berdasarkan keterangan adz Dzahabi dalam

Siyar A’lam an Nubala’, ia dimakamkan setelah salat Jumat, dihadiri tak

kurang dari 800 ribu orang dari banyak daerah. Ia dihormati atas capaian tinggi

dalam kontribusinya untuk Islam, khususnya bidang fikih dan hadis.

b.3 Imam Syafi’i, Pendiri Mazhab Syafi’i

Sebagai muslim Indonesia, tentu mayoritas kita tidak asing dengan Imam

al-Syafi’i. Ia merupakan pendiri Mazhab Syafii. Mazhab ini cukup banyak

dianut di Indonesia, bahkan bisa dibilang mayoritas di Indonesia. Nama

lengkap pendiri mazhab ini adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman

bin Syafi’ bin Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib.

Nama terakhir adalah kakek dari Rasulullah. Imam Syafii lahir dari rahim

seorang ibu yang salehah, serta dari ayah yang terkenal kesabaran dan

keikhlasannya. Bahkan Syafi’ bin Saib, kakek buyutnya, merupakan sahabat

Rasulullah SAW. Nama al-Syafi’i, yang akrab di telinga kita, diambil dari

nama kakek buyutnya tersebut. Sedangkan ibunya merupakan perempuan

keturunan Ali bin Abi Thalib RA dari jalur Sayyidina Husein RA. Idris, ayah

Imam al-Syafi’i adalah seorang pemuda asal Makkah yang merantau ke Gaza,

Palestina. Di Gaza ia bertemu dengan Fatimah binti Ubadillah, seorang

perempuan salehah dari kaum Azdi. Idris menikah dengan Fatimah binti

Ubaidillah, dengan tanpa sengaja. Pasalnya, saat itu Idris sedang dihukum ayah

Fatimah karena tidak sengaja memakan buah delima milik ayah Fatimah yang

hanyut di sungai. Harapannya, kelak, agar ayah Fatimah mau mengikhlaskan

buah tersebut, Idris rela menjadi buruh ayah Fatimah hingga beberapa tahun

tanpa digaji. Keikhlasan Idris inilah yang membuat ayah Fatimah menjatuhkan

18
pilihan kepadanya sebagai menantu. Buah cinta dari keduanya lahir pada tahun

150 H. Saat itu, bertepatan dengan wafatnya dua ulama besar: Imam Abu

Hanifah Nu’man bin Tsabit, pendiri Mazhab Hanafi yang wafat di Irak dan

Imam Ibn Jureij al-Makky, seorang mufti Hijaz yang wafat di Makkah. Hal ini

disebut sebagai salah satu firasat bahwa bayi yang lahir tersebut akan

menggantikan dua ulama yang telah meninggal, baik dalam keilmuan dan

kesalehan. Kehidupan bahagia Idris, Fatimah dan jabang bayi tidak berjalan

bahagia. Idris, ayah Imam al-Syafi’i meninggal dunia dalam usia yang relatif

muda. Fatimah harus berjuang sendiri mengasuh buah hati dalam kondisi

ekonomi yang cukup memprihatinkan. Sadar dengan kondisi dirinya saat itu,

Fatimah kemudian membawa bayinya yang masih berumur dua tahun ke

Makkah, kota asal ayahnya. Ia ingin putra semata wayangnya tumbuh besar di

tanah kelahiran ayahnya.

Minat Keilmuan Imam al-Syafi’i: dari Sastra, Fikih hingga Hadis. Jika

keilmuan yang berkembang di Irak adalah filsafat dan melahirkan para tokoh

yang beraliran rasionalis seperti Abu Hanifah, beda halnya dengan Makkah,

tempat Imam al-Syafii tumbuh remaja. Di Makkah justru sedang berkembang

ilmu kesusasteraan. Bahkan Makkah menjadi salah satu tujuan favorit bagi

para penuntut ilmu sastra Arab. Tinggal di lingkungan yang dihuni para ulama

sastra, tidak disia-siakan oleh Imam al-Syafii. Ia sangat menggandrungi prosa

dan syair-syair Arab klasik. Masa mudanya di Makkah ia habiskan untuk

mencari naskah-naskah sastra, berkeliling ke kabilah-kabilah badui padang

pasir, seperti kabilah Hudzel (salah satu kabilah yang terkenal sebagai ahli

sastra) untuk belajar sastra. Bahkan ia rela menetap beberapa hari di kabilah-

19
kabilah tersebut demi mempelajari sastra Arab. Hobinya belajar sastra Arab ini

secara tidak langsung memudahkan ia memahami Alquran dan hadis. Kedua

hal ini penting sekali dalam proses berijtihad dan menggali hukum syariat.

Karena memahami Alquran maupun hadis dibutuhkan kepiawaian dalam

memahami Alquran yang diturunkan dalam bahasa Arab yang fasih dan murni.

Kepiawaian al-Syafii dalam bidang sastra ini akhirnya menjadikannya mahir

dalam menggubah syair-syair Arab. Syair-syair karya Imam al-Syafii tersebut

kemudian dikumpulkan oleh Syekh Yusuf Muhammad al-Biqa’i dan jadilah

buku kecil berjudul Diwan al-Syafi’i yang memuat sekitar 150an syair karya

al-Syafii yang terserak dalam karya-karyanya. Menurut al-Hamawi dalam

Irsyad al-Arib fi Ma’rifah al-Adib, ketertarikan Imam al-Syafii terhadap sastra

Arab nyatanya hanya menjadikannya bersyair dan berdendang sehari-harinya.

Hingga pada suatu hari ia bertemu dengan Mus’ab bin Abdullah bin Zubair dan

menganjurkannya untuk belajar fikih dan hadis. Tidak hanya Mus’ab, Imam

Muslim bin Khalid, guru Imam al-Syafi’i yang lain juga menganjurkannya

untuk belajar fikih. “Alangkah baiknya jika kecerdasanmu itu digunakan untuk

mempelajari ilmu fikih, hal ini lebih baik bagimu,” nasihat Imam Muslim bin

Khalid kepada Imam al-Syafi’i. Ucapan tersebut diakui sendiri oleh al-Syafii

sebagai pelecut semangatnya untuk belajar ilmu fikih dan hadis. Ia pun belajar

kepada dua ulama besar Makkah saat itu: Imam Sufyan bin Uyainah, pakar

hadis dan Muslim bin Khalid al-Zanji, pakar fikih Mekkah.

Hijrah demi Ilmu. Hijrah yang dimaksud dalam hal ini bukan hijrah dalam

arti tobat, sebagaimana yang sering digunakan saat ini. Hijrah dalam hal ini

adalah berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Sebagaimana hijrahnya nabi

20
dari Makkah ke Yatsrib, Madinah. Selain hijrah ke Madinah pada tahun 170 H

untuk belajar langsung kepada Imam Dar al-Hijrah, yakni Imam Malik bin

Anas, Imam al-Syafii juga berkunjung ke Irak dan Kufah untuk belajar kepada

murid-murid Imam Abu Hanifah, sebelum akhirnya kembali lagi ke Madinah

menemani Imam Malik hingga wafat pada tahun 179 H. Bahkan Imam al-

Syafi’i terhitung berkunjung ke Irak sebanyak tiga kali. Selain Irak, Ia juga

pernah berkunjung ke Persia, Turki dan Ramlah (Palestina), hingga akhirnya

menetap dan wafat di Mesir. Kesempatan Imam al-Syafii untuk berkunjung ke

berbagai kota ini tak ayal membantunya mengetahui budaya serta adat istiadat

yang berlaku di kota-kota tersebut. Hal ini secara tidak langsung menjadi

referensi Imam al-Syafii untuk membangun fatwa-fatwa dalam mazhabnya

kelak. Kegemaran Imam al-Syafi’i dalam berhijrah dari kota ke kota ini

didokumentasikannya dalam beberapa bait syair tentang anjuran untuk

berhijrah, di antaranya: “Musafirlah! Engkau akan menemukan sahabat baru

pengganti sahabat-sahabat lama yang engkau tinggalkan. Dan bekerjalah yang

giat! Karena kenikmatan hidup akan tercapai dengan bekerja keras.” “Singa

jika tidak keluar dari sarangnya, ia tidak akan mendapatkan makanan. Begitu

juga dengan anak panah, jika tidak meluncur dari busurnya, anak panah

tersebut tidak akan mengenai sasaran.”

Rangkaian hijrah Imam al-Syafii tersebut menghasilkan ‘permata’ yang

tidak ternilai harganya. Menurut Syekh Ali Jum’ah, Imam al-Syafii menulis

lebih dari 30 karya monumental. Sayangnya, tidak semuanya sampai di tangan

kita. Beberapa kitab hilang dan beberapa kitab masih dalam proses pengetikan

dan pentahqiqan (koreksi). Salah satu karya hebatnya adalah kitab al-Risalah,

21
yang disebut-sebut sebagai kitab ushul fikih pertama yang ditulis secara

sistematis. Berkat al-Risalah juga, Imam al-Syafi’i dijuluki sebagai Nasir al-

Sunnah (pembela sunnah). Dituduh sebagai pengikut dan penyebar faham

Syiah Ketika Imam al-Syafi’i menjadi mufti di Yaman, fitnah kejam melanda

dirinya. Saat itu ia difitnah sebagai pendukung partai Syiah yang sedang

gencar-gencarnya mengancam eksistensi negara dan khalifah saat itu. Hal ini

tentu maklum, karena khalifah saat itu adalah Harun al-Rasyid adalah bagian

dari Dinasti Abbasiyah, dinasti yang berseteru dengan kelompok Syiah. Imam

al-Syafii pun dijebloskan ke dalam penjara dan hampir dihukum mati, karena

diisukan berkomplot untuk menumbangkan khalifah. Namun Imam al-Syafii

mencoba berdiskusi dengan Khalifah Harun al-Rasyid. Sebagaimana

dikisahkan oleh al-Hamawi, Imam al-Syafii ditanya tiga hal, meliputi

pemahaman terhadap Alquran, keilmuan astronomi dan nasab kaum Arab. Tak

disangka, jawaban yang diberikan oleh Imam al-Syafi’i cukup mengena di hati

khalifah, sekaligus menjadi bantahan atas tuduhan sebagai pengikut Syiah yang

dialamatkan kepadanya. Ia dibebaskan dan diberi hadiah 5 ribu dinar, bahkan

khalifah memintanya secara khusus untuk mengajarnya. Imam al-Syafi’i

menghabiskan waktunya untuk mengajar di Mesir. Menurut al-Dzahabi dalam

Siyar A’lam al-Nubala’ dengan mengutip kaul al-Rabi’ bin Sulaiman, Imam al-

Syafii membagi malamnya menjadi tiga: sepertiga pertama digunakan untuk

menulis, sepertiga kedua digunakan untuk shalat malam, dan sepertiga terakhir

digunakan untuk tidur. Imam al-Syafii wafat pada 30 Rajab 204 H. dalam usia

54 tahun.

22
b.4 Imam Hanafi

Abu Hanifah merupakan salah satu dari mazhab empat serangkai dalam

mazhab fiqh, Imam Abu Hanifah memang lebih dikenal sebagai faqih (ahli

hukum) dari pada muhaddits (ahli hadits). Keahliannya dalam bidang fiqh telah

diakui oleh banyak pakar, bahkan para imam sendiri seperti Imam Malik dan

Imam Syafi’i. Namun, bukan berarti ia kurang ahli dibidang hadits karena

maha gurunya seperti Atha’, Nifi’, Ibnu Hurmuz, Hammad bin Abi Sulaiman,

Amr bin Dinar dan yang lainnya telah pula mengajarkan hadits kepadanya

selain fiqh. Ada beberapa macam pendapat dari orang-orang Islam tentang

kedudukan mazhab ini. Sebagian dari mereka berpendapat dan menganggap

bahwa mazhab Abu Hanifah ialah satu mazhab yang baru serta lain dari

mazhab-mazhab lain.

Mazhab ini dinamai sesuai dengan nama ulama pendirinya, yaitu Abu

Hanifah, yang nama aslinya adalah Nu’man bin Tsabit Ibnu Zufy al-Taimy,

yang masih ada hubungan keluarga dengan ‘Ali bin Abi Thalib, bahkan Ali

pernah berdoa untuk Tsabit supaya Allah memberkahi keturunannya, sehingga

tidak heran jika dikemudian hari dari keturunannya muncul Ulama’ besar

seperti Abu Hanifah. Beliau lahir di Kufah tahun 80 H/ 699M dan wafat di

Baghdad tahun 150 H / 767 M. Beliau ini berasal dari keturunan Persia, yang

menjalani hidup didua masa kekhalifahan yang sosial politiknya berbeda, yaitu

masa akhir kekhalifahan Bani Umayyah dan awal masa kekhalifahan

abbasiyyah. Beliau dikenal dengan sebutan “Abu Hanifah” , sebab dalam

kebiasaan bangsa Arab, nama putra (yaitu Hanifah) dijadikan sebagai sebuah

nama panggilan bagi ayahnya dengan menggunakan kata “Bapak (Abu/Ayah)”,

23
sehingga lebih dikenal dengan sebutan “Abu Hanifah”. Dalam kaitannya

dengan sebutan tersebut, Yusuf Musa berpendapat bahwa sebutan tersebut lebih

disebabkan adanya kehidupan kesehariannya yang selalu berteman dengan tinta

(dawat) guna menulis dan mencatat semua ilmu pengetahuan yang didapat dari

teman-temannya dan kata “Hanifah” dalam bahasa berarti “Tinta”. Karena

inilah, beliau dikenal sebagai pemuda yang rajin dalam segala hal, baik

belajarnya maupun peribadatannya, sebab kata “hanif” dalam bahasa Arab juga

berarti “condong” kepada hal-hal yang benar, sehingga pada masa kedua

khalifah, beliau tetap saja tidak menjabat sebagai qadli, karena tidak senang

pada kemewahan setelah jabatan itu dipegangnya. Dalam studinya, pada

awalnya Abu Hanifah senang sekali belajar bidang Qira’ah dan tajwid kepada

Idris ‘Asham, al-Hadits, Nahwu Sharaf, sastra, sya’ir dan ilmu yang sedang

berkembang pada saat itu, diantaranya adalah ilmu-kalam (theologi). Karena

ketajamannya dalam memecahkan semua persoalan, beliau sanggup membuat

Argumentasi yang dapat menyerang kelompok Khawarij dan doktrinnya yang

sangat ekstrim, sehingga beliau menjadi salah satu tokoh theologi Islam.

Pada Abad ke-2 hijriyyah, Imam Abu Hanifah memulai belajar ilmu fiqh

di Irak pada Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah bin Mas’ud ( (w. 63

H / 682 M) dan beliau berguru selama 18 tahun kepada Hammad bin Abu

Sulaiman al-Asy’ary, murid dari ‘Alqamah bin Qais dan Ibrahim al-Nukhaiy

al-Tabi’iy (al-Qadli Syuriah), kemudian kepemimpinan Madrasah diserahkan

kepada Hammad bin Abi Sulaiman al-Asy’ary dan disinilah Imam Abu Hanifah

banyak belajar pada para fuqaha’ dari kalangan Tabi’in, seperti Atha’ bin Rabah

dan Nafi’ Maula bin Umar. Dari Guru Hammad inilah Imaam Abu Hanifah

24
banyak belajar Fiqh dan al-Hadits. Untuk mencari tambahan dari apa yang

telah didapat di Kuffah, Abu Hanifah beberapa beberapa kali pergi ke Hijaz

dan Makkah meskipun tidak begitu lama untuk mendalami Fiqh dan al-Hadits

dan tempat ini pulalah beliau dapatbertemudan berdiskusi dalam berbagai

bidang ilmu Fiqh dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra, sehingga

tidak mengherankan jika sepuluh tahun sepeninggal guru besarnya (Hammad

bin Abi Sulaiman al-Asy’ary tahun 130 H), Majlis Madrasah Kuffah

bersepakat untuk mengangkat beliau Abu Hanifah sebagai Kepala Madrasah

dan selama itu beliau mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa-fatwanya

dalam bidang fiqh. Kemudian fatwa-fatwa itulah yang menjadi dasar

pemikiraan Hanafi sampai sekarang. Keberhasilan beliau ini pada hakikatnya

terdorong oleh nasihat para guru setianya, diantaranya adalah Imam Amir ibn

Syahrilal-Sya’biy dan Hammad ibn Sulaiman al-Asy’Ary. Di samping itu

semasa hidupnya, beliau dikenal sebagai sosok ‘ulama’ yang sangat dalam

keilmuan keagamaannya, ahli zuhud, sangat tawadlu’ dan teguh dalam

memegangi prinsip-prinsip ajaran Islam, bahkan beliau tidak tertarik sama

sekali pada jabatan-jabatan pemerintahan yang pernah ditawarkan kepadanya.

Ilmu yang dimiliki oleh Abu Hanifah demikian luas terutama temuan-

temuannya di bidang hukum dan memecahkan masalah-masalahnya sejumlah

60.000 masalah, hingga ia digelar dengan Imam al-A’zdam dan kekuasaan

ilmunya itu diakui oleh Imam Syafi’i, beliau berkata: “manusia dalam bidang

hukum adalah orang-orang yang berpegang kepada Abu Hanifah”.[6]

Tampaknya ilmu Abu Hanifah bukan hanya bidang hukum tetapi juga meliputi

bidang-bidang lainnya termasuk tasawuf. Kehidupan Abu Hanifah di masa

25
Dinasti Umayyah selama 52 tahun, dan di masa Dinasti Abasiyyah selama 18

tahun. Dengan demikian beliau mengetahui hiruk pikuk pergantian kekuasaan

Islam antara kedua Dinasti tersebut. Ketika Umar bin abdul aziz berkuasa (99-

101 H), Abu Hanifah sudah menjelang dewasa. Untuk menjamin ekonominya,

Abu Hanifah dikenal sebagai pedagang sutera. Dalam dagang ia dikenal jujur

dan lugas. Kemakmuran hidupnya diperoleh dari dagang ini.[9] Bakat

berdagangnya didapatkan dari ayahnya yang dulu juga seorang pedagang kain

sutra asli Persia, yang masuk Islam pada masa pemerintahan Khulafaur

rasyidin. Abu Hanifah dibesarkan di Kufah. Setidaknya ada empat orang

sahabat Nabi yang masih hidup ketika Abu Hanifah lahir. Anas bin malik di

Basrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi di Madinah,

Abu al-Thufail, Amir bin Wailah di Mekah. Bahkan ada yang mengatakan

bahwa beliau sempat berjumpa dengan Anas bin Malik di Mekah. Kalau ini

benar maka Abu Hanifah merupakan seorang tabi’in. Tetapi karena sebagian

besar ilmunya diperoleh dari generasi tabiit-tabi’in, maka tidak tepat dia

disebut tabi’in. Seperti halnya ulama lain, Abu Hanifah menguasai ilmu kalam

(dikenal dengan fiqh al-Kabir) dan ilmu fiqh. Dari segi lokasi di mana ia

dibesarkan, dapat diperkirakan bahwa pemikiran keagamaan yang

dikembangkan oleh Abu Hanifah adalah pemikiran Rasional. Imam Abu

Hanifah wafat pada tahun 150 H/ 767 M pada usia 70 tahun dan dimakamkan

di pakuburan Khizra, kemudian pada tahun 450 H /1066 M, didirikanlah

sebuah sekolah yang diberi nama “Al-Jami’ Abu Hanifah”. Dari keberhasilan

Abu Hanifah dalam mendidik ratusan murid yang memeliki wawasan luas

dalam bidang fiqh, maka wajar jika sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya

26
tersebar luas melalui para muridnya yaang memang cukup banyak. Diantaranya

adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarrak, Waki’ bin Jarah bin Hasan al-

Syaibaniy dan lain-lain, sehingga tidak heran jika murid-muridnya menjabat

sebagai Hakim dalam pemerintahan dinasti Abbasiyyah, Saljuk, Utsmani dan

Mongol.

Pola Pemikiran dan Metode Istinbath Imam Hanafi.Imam Abu Hanifah

termasuk ulama’ yang tangguh dalam memegangi prinsip pemikirannya. Hal

ini dapat dibuktikan dari adanya tawaran beberapa jabatan resmi di

pemerintahan, tetap saja tidak mau menerimanya, baik pada masa kekholifahan

Bani Umayyah di Kuffah yang dijalaninya selama 52 tahun maupun

kekholifahan Bani Abasiyyah di bagdad selama 18 tahun, bahkan yang

menawarinya adalah penguasa kerajaan sendiri, yaitu Yazid bin Umar dari

kerajaan Bani Umayyah dan Abu ja’far al-Manshur dari kerajaan Bani

Abbasiyyah sebagai seorang Hakim. Akibatnya beliau dipenjarakan sampai

meninggal dunia. Dalam perjalanan hidupnya, Imam Abu Hanifah selama 52

tahun ( yang mana pemerintahannya dipegang oleh Bani Umayyah yang

berpusat di Kufah) pernah menyaksikan tragedi-tragedi besar, sehingga dalam

satu sisi, kota ini memberikan arti dalam kehidupannya dalam menjadikan

dirinya sebagai salah seorang ulama’ besar dengan julukan “Al-Imam al-

A’dlam”. Akan tetapi disisi lain beliau merasakan kota Kuffah sebagai kota

yang penuh teror yang di dalamnya diwarnai dengan pergolakan politik.

Sedang untuk mengetahui methode Istidlal Imam Abu Hanifah, dapat dilihat

dari pengakuan yang dibuatnya sendiri, yaitu: “Sesungguhnya saya mengambil

kitab al-Qur’an dalam menetapkan Hukum, jika tidak ditemukan, maka saya

27
mengambilnya dari al-Hadits yang shahih dan yang tersiar secara mashur di

kalangan orang-orang terpercaya. Jika tidak ditemukan dari keduanya, maka

saya mengambilnya dari pendapat orang-orang terpercaya yang aku kehendaki,

lalu saya tidak keluar dari pandangan mereka. Jika masalah tersebut sampai

pada Ibrahim al-Sya’by, Hasan ibn Sirin dan Sa’id ibn Musayyab, maka aku

berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.” Abu Hanifah berkata: “Pertama-

tama saya mencari dasar hukum dalam al-Qur’an, kalau tidak ada saya

mencarinya dari dalam al-Sunnah Nabi, kalau tidak ada, saya pelajari fatwa-

fatwa para sahabat dan saya memilih mana yang saya anggap paling kuat,

tetapi jika orang telah melakukan ijtihad, maka saya pun melakukan ijtihad.”

Dalam menanggapi persoalan, Imam Abu Hanifah selalu mengatakan:”

inilah pendapatku dab jika ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat

dari aku, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.” Beliau pernah suatu saat

ditanya oleh seseorang: “Apakah yang telah engkau fatwakan itu benar dan

tidak diragukan lagi?.” Lalu beliau menjawab:” Demi Allah, boleh jadi itu

adalah suatu fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi akan kesalahannya.”

Berdasarkan kenyataan dari pernyataan diatas, terlihat bahwa Imam Abu

Hanifah dalam menetapkan hukum syar’i (beristidlal), tidak selalu

memutuskan melalui dalalahnya secara qath’i dari al-Qur’an dan al-Sunnah

yang keshahihannya yang masih diragukan, tetapi mempergunakan al-ra’yu,

sebab beliau sangat selektif dalam menerima al-Sunnah, sehingga beliau tetap

memperhatikan mu’amalah manusia dan adat-istiadat serta ‘urf mereka.

Dengan demikian, dalam beristinbathnya, imam Abu Hanafi tetap

mempergunakan al-Qiyas sebagai dasar pegangannya, jika tidak bisa dengan

28
menggunakan al-Qiyas, maka berpegang pada istihsan selama dapat dilakukan.

Jika tidak bisa baru beliau berpegang pada adat dan ‘Urf. Dalam

mengistinbath hukum, Abu Hanifah berpegang pada al-Qur’an dan sangat

berhati-hati dalam menggunakan Sunnah. Selain itu, ia banyak menggunakan

qiyas, istihsan dan urf. Menurut Manna’ al-Qatthan, Abu Hanifah juga sering

menggunakan hilu al-Syari’ah, yang digunakannya ketika kondisi dan keadaan

mendesak. Belakangan diketahui bahwa Imam Abu Hanifah juga

mengumpulkan hadis dalam sebuah buku yang disebut Musnad Abu Hanifah.

Mazhab Hanafiyyah banyak dianut oleh umat Islam di Pakistan, India,

Afganistan, Turki, Asia Tengah, Mesir, Brazil dan Amerika Latin.

Karya-Karya dan Pengikut Imam Hanafi. Dalam menelusuri sejauh mana

penyebaran dana perkembangan suatu mazhab, diperlukanlah adanya

pengungkapan terhadap sejauh mana karya-karya yang telah dihasilkannya itu

beredar dan dikembangkan oleh generasi penerusnya. Maka dari itu, karya-

karya yang telah dihasilkan oleh Imam Abu Hanifah sebagai dasar pokok

pengembangan mazhabnya dapat dilihat dari tiga karya besarnya, sekalipun

masih dalam bentuk sebuah majalah ringkas, tetapi sangat terkenal, yaitu

sebagai berikut:

Kitab Fikh al-Akbar

Kitab al-‘Alim wa al-Mu’allim

Kitab al-Musnad fi Fiqh al-Akbar

Dalam menanggapi masalah ini, Ayeed Amir Ali menyatakan bahwa

karya-karya Abu Hanifah, baik yang berkaitan dengan fatwa-fatwa maupun

29
ijtihad-ijtihadnya saat itu ( pada masa beliau masih hidup) belum dibukukan,

tetapi baru setelah wafat, muri-murid dan pengikutnya membukukan, sehingga

menjadi mazhab ahl al-Ra’yi ini menjadi hidup dan berkembang dan dalam

perkembangan selanjutnya berdiri sebuah Madrasah yang kemudian dikenal

dengan sebutan “Madrasah Hanafi atau Madrasah Ahl al-Ra’yi, selain namanya

yang terkenal menurut versi sejarah hukum Islam sebagai “Madrasah Kufah”.

Murid-Murid Abu Hanifah. Sistem Penyebaran dari suatu pemikiran

seorang tokoh, dapat dilihat dari adanya dan tidaknya para murid dan

pendukungnya, diantaranya adalah sebagai berikut:

Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Auza’iy (113-182 H) Dan beliau ini

menjadi seorang “Qadlibal-Qudhat (ketua Hakim tinggi yang diberi kekuasaan

untuk mengangkat para Hakim daerah) pada masa khalifah Harun al-Rasyid

dan menyusun kitab dengan judul: “al-Kharaj” yang membahas tentang

“Hukum Pajak Tanah”.

Muhammad bin Hasan bin Farqad al-Syaibany (132-189 H) Dan beliau

inilah, salah satu murid Abu Hanifah yang banyak sekali menyusun dan

mengembangkan hasil karya Abu hanifah, diantaranya yang terkenal adalah Al-

Kutub al-Sittah (enam kitab), yaitu:

Kitab al-Mabsuth

Kitab al-Ziyad

Kitab al-Jami’ al-Shaghir

Kitab al-Jami’ al-Kabir

30
Kitab al-Siyarul Kabir

Kitab al-Siyarul Shaghir[19]

Zufar bin Huzaili (110-189 H)

Beliau merupakan salah satu ulama Abu Hanifah yang mengikuti contoh

gurunya, dan menolak menerima tawaran sebagai Qadli meskipun banyak

sekali tawaran menarik disodorkan kepadanya. Zufar lebih memilih untuk

mengajar, yang terus dilakukan hingga dia wafat pada usia 42 tahun di

Basrah.Dengan Demikian, maka melalui karya-karya itulah Abu Hanifah dan

mazhabnya berpengaruh sangat luas dalam dunia Islam, khususnya mereka

yang berhaluan sunny, sehingga pada masa pemerintahan dipegang oleh

khalifah Bani Abbasiyyah, mazhab Abu Hanifah menjadi sebuah aliran

mazhab yang paling banyak diikuti dan dianut oleh ummat Islam, bahkan pada

kerajaan “Utsmani” menjadi salah satu aliran ,azhab resmi negara dan sampai

sekarang tetap menjadi kelompok mayoritas di samping aliran mazhab syafi’i.

Para Pengikut Mazhab Hanafi saat ini sebagian besar tersebar di daerah

India, Afghanistan, Iraq, Syria, Turki, Guyana, Trinidad, Suriname dan juga

sebagian di antaranya berada di daerah Mesir. Ketika para penguasa Kerajaan

Ottonom menyusun Undang-Undang hukum Islam berdasarkan mazhab Hanafi

pada abad ke 19 dan menjadikannya sebagai hukum resmi negara, siapapun

ulama’ yang berkeinginan menjadi seorang hakim diwajibkan untuk

mempelajarinya. Dengan demikian, mazhab ini tersebar luas di sepanjang

wilayah pemerintahan kerajaan Ottoman di akhir abad ke -19.

31
Perkembangan Mazhab Imam Hanafi. Mazhab Hanafi tercermin di Irak,

negeri kelahirannya, dan di Syria. Pada awalnya mazhab berkembang ke

Afganistan, anak benua India (di mana minoritas kaum Syi’ah berada), dan

Turki Asia tengah. Mazhab ini menjadi favorit bagi para penguasa Turki Seljuk

dan Turki Usmani dan mazhab ini memperoleh pengakuan resmi di seluruh

Dinasti Usmani, sebuah status yang dipelihara di pengadilan-pengadilan para

qadli, bahkan di provinsi-provinsi Usmani terdahulu di mana mayoritas

penduduk bumi putranya adalah para pengikut mazhab lain, seperti Mesir.

Dapat dikatakan bahwa perkembangan Mazhab Hanafi boleh dikatakan

menduduki posisi yang paling tinggi dan luas dibandingkan dengan mazhab-

mazhab lain. Hal ini disebabkan dengan adanya hal-hal sebagai berikut. Pada

masa kekhalifahan Abbasiyyah, ia menjadi alirang Mazhab yang secara umum

menjadi pegangan masyarakat di Irak yang dapat mengalahkan Mazhab lain

lantaran pengaruhnya dalam Mahkamah-Mahkamah Pengadilan. Pada masa

kekhalifahan Ustmaniyyah, Mazhab ini menjadi mazhab resmi pemerintahan,

bahkan berubah menjadi satu-satunya sumber dari panitia negara dalam

menyusun kitab “Majallah al-Akhkam al-‘Adaliyyah (Kompilasi Hukum

Islam). Dari kedua kekhalifahan itulah, yang membuat Mazhab aliran Hanifah

berkembang pesat di berbagai negara, khususnya negara-negara yang pada

masa dahulu tunduk kepada keduanya, seperti:

Mesir, Syria dan Lebanon

Tunisia yang menjadi mazhab keamiran.

Turki dan dibeberapa negara yang dahulunya tunduk kepada kekuasaan Turki

32
Albania yang menjadi aliran mazhab yang umum dipakai oleh masyarakat.

Balkan dan Tanzaniyyah yang menjadi panutan dalam bidang peribadatan.

Pakistan, Afganistan, Turkinistan dan penduduk muslim yang berdomisili di

India dan Tiongkok, begitu juga para penganutnya di negara-negara lain.

Dengan demikian, maka kenyataan seperti itu dapat disimpulkan bahwa

kesemua penganut aliran Mazhab Hanafi itu lebih kurang ada sepertiga dari

jumlah seluruh ummat Islam sedunia.

C. Bidang Tasawuf

c.1 Syekh Junaid Al-Baghdadi, Imam Tasawuf Panutan NU

Nahdlatul Ulama mengikuti Imam Asyari dan Imam Maturidi dari sisi

aqidah, imam empat mazhab dari sisi fiqih, dan Imam Junaid Al-Baghdadi

serta Imam Al-Ghazali dari segi tasawuf. Kenapa para kiai mengangkat nama

Imam Junaid Al-Baghdadi? Apakah karena ia bergelar sayyidut thaifah di

zamannya, pemimpin kaum sufi yang ucapannya diterima oleh semua kalangan

masyarakat? Junaid bin Muhammad Az-Zujjaj merupakan putra Muhammad,

penjual kaca. Ia berasal dari Nahawan, lahir dan tumbuh di Irak. Junaid

seorang ahli fikih dan berfatwa berdasarkan mazhab fikih Abu Tsaur, salah

seorang sahabat Imam Syafi’i. Junaid berguru kepada As-Sarri As-Saqthi,

pamannya sendiri, Al-Harits Al-Muhasibi, dan Muhammad bin Ali Al-

Qashshab. Junaid adalah salah seorang imam besar dan salah seorang imam

terkemuka dalam bidang tasawuf. Ia juga memiliki sejumlah karamah luar

biasa. Ucapannya diterima banyak kalangan. Ia wafat pada Sabtu, 297 H.

33
Makamnya terkenal di Baghdad dan diziarahi oleh masyarakat umum dan

orang-orang istimewa.

Syekh Ibrahim Al-Laqqani dalam Jauharatut Tauhid menyebut Imam Malik

dan Imam Junaid Al-Baghdadi sebagai pembimbing dan panutan umat Islam.

‫ومالك وسائر األئمة وكذا أبو القاسم هداة األمة‬

Artinya, “Imam Malik RA dan seluruh imam, begitu juga Abul Qasim

adalah pembimbing umat,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Laqqani, Jauharatut

Tauhid pada Hamisy Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru

Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 89).

Syekh M Nawawi Banten juga menyebutkan sejak awal Imam Junaid Al-

Baghdadi sebagai panutan umat dari sisi tasawuf. Menurutnya, Imam Junaid

Al-Baghdadi layak menjadi pembimbing umat dari sisi tasawuf karena

kapasitas ilmu dan amalnya.

‫ويجب على من ذكر أن يقلد في علم التصوف إماما من أئمة التصوف كالجنيد وهو اإلمام سعيد بن محمد أبو‬

‫القاسم الجنيد سيد الصوفية علما وعمال رضي هللا عنه والحاصل أن اإلمام الشافعي ونحوه هداة األمة في‬

‫الفروع واإلمام األشعري ونحوه هداة األمة في األصول والجنيد ونحوه هداة األمة في التصوف فجزاهم هللا‬

‫خيرا ونفعنا بهم آمين‬

34
Artinya, “Ulama yang disebutkan itu wajib diikuti sebagaimam perihal

ilmu tasawuf seperti Imam Junaid, yaitu Sa’id bin Muhammad, Abul Qasim Al-

Junaid, pemimpin para sufi dari sisi ilmu dan amal. Walhasil, Imam Syafi’i dan

fuqaha lainnya adalah pembimbing umat dalam bidang fiqih, Imam Asy’ari dan

mutakallimin lainnya adalah pembimbing umat dalam bidang aqidah, dan

Imam Junaid dan sufi lainnya adalah pembimbing umat dalam bidang tasawuf.

Semoga Allah membalas kebaikan mereka dan semoga Allah memberikan

manfaat kepada kita atas ilmu dan amal mereka. Amiiin,” (Lihat Syekh M

Nawawi Banten, Nihayatuz Zein, [Bandung, Al-Maarif: tanpa catatan tahun],

halaman . Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Syekh M Ibrahim Al-

Baijuri. Menurutnya, jalan terang dan keistiqamahan Imam Junaid Al-Baghdadi

di jalan hidayah patut menjadi teladan. Ilmu dan amalnya dalam bidang

tasawuf membuat Imam Junaid layak menjadi pedoman.

‫وقوله كذا أبو القاسم كذا خبر مقدم وأبو القاسم مبتدأ مؤخر أي مثل من ذكر في الهداية واستقامة الطريق أبو‬

‫القاسم الجنيد سيد الطائفة علما وعمال ولعل المصنف رأى شهرته بهذه الكنية ولو قال جنيدهم أيضا هداة‬

‫األمة لكان أوضح‬

Artinya, “Perihal perkataan ‘Demikian juga Abul Qasim’, ‘demikian juga’

adalah khabar muqaddam atau predikat yang didahulukan. ‘Abul Qasim’

adalah mubtada muakhkhar atau subjek yang diakhirkan. Maksudnya, seperti

ulama yang sudah tersebut perihal hidayah dan keistiqamahan jalan adalah

Abul Qasim, Junaid, pemimpin kelompok sufi baik dari sisi ilmu maupun amal.

Bisa jadi penulis memandang popularitas Junaid melalui gelarnya. Kalau

35
penulis mengatakan, ‘Junaid juga pembimbing umat’, tentu lebih klir,” (Lihat

Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid,

[Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 89).

Meskipun sebagai seorang imam sufi di zamannya, Junaid Al-Baghdadi

tidak meminggirkan sisi fiqih dalam kesehariannya. Artinya, ia cukup

proporsional dalam menempatkan aspek fiqih (lahiriyah) dan aspek tasawuf

(batiniyah) di saat kedua aspek ini bersitegang dan tidak berada pada titik temu

yang harmonis di zamannya. Di zamannya, banyak ulama terjebak secara

fanatik di satu kutub yang sangat ekstrem, yang faqih dan yang sufi. Banyak

ulama mengambil aspek fikih dalam syariat Islam, tetapi menyampingkan

aspek tasawuf dalam syariat. Sebaliknya pun terjadi, banyak ulama mengambil

jalan sufistik, tetapi menyampingkan aspek fiqih dalam syariat. Junaid sendiri

bahkan ahli fiqih. Ia juga seorang mufti yang mengeluarkan fatwa berdasarkan

mazhab Abu Tsaur, salah seorang sahabat Imam Syafi’i. Baginya, jalan menuju

Allah tidak dapat ditempuh kecuali oleh mereka yang mengikuti sunnah

Rasulullah SAW sebagai keterangan Al-Baijuri berikut ini.

‫وكان الجنيد رضي هللا عنه على مذهب أبي ثور صاحب اإلمام الشافعي فإنه كان مجتهدا اجتهادا مطلقا‬

‫كاإلمام أحمد ومن كالم الجنيد الطريق إلى هللا مسدود على خلقه إال على المقتفين آثار الرسول صلى هللا‬

‫عليه وسلم ومن كالمه أيضا لو أقبل صادق على هللا ألف ألف سنة ثم أعرض عنه لحظة كان ما فاته أكثر‬

‫مما ناله ومن كالمه أيضا إن بدت ذرة من عين الكرم والجود ألحقت المسيئ بالمحسن‬

Artinya, “Imam Junaid dari sisi fiqih mengikuti Abu Tsaur, salah seorang

sahabat Imam Syafi’i. Abu Tsaur juga seorang mujtahid mutlak seperti Imam

36
Ahmad. Salah satu ucapan Imam Al-Junaid adalah, ‘Jalan menuju Allah

tertutup bagi makhluk-Nya kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak

Rasulullah SAW,’ ‘Kalau ada seorang dengan keimanan sejati yang beribadah

ribuan tahun, lalu berpaling dari-Nya sebentar saja, niscaya apa yang luput

baginya lebih banyak daripada apa yang didapatkannya,’ dan ‘Bila tumbuh

bibit kemurahan hati dan kedermawanan, maka orang jahat dapat dikategorikan

dengan orang baik,’” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil

Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa

catatan tahun], halaman 89-90). Keterangan Al-Baijuri menjelaskan sikap

sufisme Junaid Al-Baghdadi, yaitu tasawuf sunni. Jalan ini yang diambil oleh

Junaid Al-Baghdadi karena banyak pengamal sufi di zaman itu terjebak pada

kebatinan dan bid’ah yang tidak bersumber dari sunnah Rasulullah SAW. Oleh

karena itu, Imam Junaid layak menjadi panutan NU dari sisi tasawuf karena

tetap berpijak pada sunnah Rasulullah SAW.

‫وقوله هداة األمة أي هداة هذه األمة التي هي خير األمم بشهادة قوله تعالى كنتم خير أمة أخرجت للناس فهم‬

‫خيار الخيار لكن بعد من ذكر من الصحابة ومن معهم والحاصل أن اإلمام مالكا ونحوه هذاة األمة في‬

‫الفروع واإلمام األشعري ونحوه هداة األمة في األصول أي العقائد الدينية والجنيد ونحوه هداة األمة في‬

‫التصوف فجزاهم هللا عنا خيرا ونفعنا بهم‬

Artinya, “Perkataan ‘pembimbing umat’ maksudnya adalah pembimbing

umat Islam ini, umat terbaik sebagaimana kesaksian firman Allah SWT dalam

Al-Qur’an ‘Kalian adalah sebaik-baik umat yang hadir di tengah umat

manusia.’ Mereka para imam itu adalah orang pilihan di tengah umat terbaik

tetapi derajatnya di bawah para sahabat Rasulullah dan tabi’in. walhasil, Imam

Malik dan fuqaha lainnya adalah pembimbing umat dalam bidang furu’ atau

37
fiqih. Imam Asy’ari dan mutakalimin sunni lainnya adalah pembimbing umat

dalam bidang ushul atau aqidah. Imam Junaid dan sufi lainnya adalah

pembimbing umat dalam bidang tasawuf. Semoga Allah membalas kebaikan

mereka dan semoga Allah memberikan manfaat kepada kita atas ilmu dan amal

mereka,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala

Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan

tahun], halaman 90). Imam Junaid juga menyayangkan sikap naif sebagian

kelompok sufi yang mengabaikan realitas dan aspek lahiriyah. Menurutnya,

sikap naif sekelompok sufi dengan mengabaikan sisi lahiriyah mencerminkan

kondisi batinnya yang runtuh seperti kota mati tanpa bangunan.

‫وكان رضي هللا عنه يقول إذا رأيت الصوفي يعبأ بظاهره فاعلم أنه باطنه خراب‬

Artinya, “Imam Junaid RA mengatakan, ‘Bila kau melihat sufi

mengabaikan lahiriyahnya, ketahuilah bahwa batin sufi itu runtuh,’” (Lihat

Syekh Abdul Wahhab As-Syarani, At-Thabaqul Kubra, [Beirut, Darul Fikr:

tanpa catatan tahun], juz I, halaman 85).

Sebaliknya, ia juga menyayangkan sekelompok umat Islam yang hanya

mengutamakan sisi lahiriyah melalui formalitas hukum fiqih dengan

mengabaikan sisi batiniyah yang merupakan roh dari kehambaan manusia

kepada Allah. Walhasil, Imam Junaid Al-Baghdadi adalah ulama abad ke-3 H

yang mempertemukan fiqih dan tasawuf di saat keduanya tidak pernah

mengalami titik temu. Sikap proporsional Imam Junaid seperti ini sejalan

dengan pandangan NU yang tawasuth, tawazun, dan i’tidal, yaitu dalam

38
konteks ini mempertahankan dengan gigih syariat Islam melalui fiqih sekaligus

menjiwainya dengan nilai-nilai tasawuf sehingga tidak ada penolakan terhadap

salah satunya. Wallahu a‘lam.

39
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Imam aswaja dalam bidang akidah adalah Abu Hasan al-

Asy’ari adalah orang yang pertama mendirikan aliran al-

Asy’ariah. Nama lengkap beliau adalah ’Ali bin Isma’il bin

Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdullah bin Musa bin Bilal

bin Abi Burdah bin Abu Musa al-Asy’ari. Ia adalah keturunan

dari Abu Musa al-Asy’ari, salah seorang sahabat Nabi saw.

yang menjadi perantara dalam sengketa antara Ali bin Abi

Thalib dan Mu’awiyah dan Muhammad bin Muhammad Abu

Mansur Al-Maturidi, ia di lahirkan di sebuah kota yang

bernama maturid didaerah Samarqand (termasuk daerah

Uzbekistan) pada tahun 853 M dan meninggal pada tahun 333

H/ 944 M. Ia adalah pendiri dari aliran Al-Maturidiyah salah

satu golongan aliran dari madzhab Ahlussunnah. Tidak

seorangpun secara pasti mengetahui tahun kelahirannya. Ini

adalah sebuah observasi penting karena ini berarti bahwa orang

yang membuat isnad tidak mengetahui cukup informasi

tentangnya untuk menjadikannya sebagai sumber, artinya tidak

ada seorang alim pun yang pernah mengenalnya

2. Imam Aswaja dalam bidang akidah adalah Imam Malik (711-

795 masehi/93-179 hijriah) merupakan ulama ahli fiqih dan

hadis. Beliau lahir dari keluarga pecinta ilmu hadis, atsar, dan

40
fatwa para sahabat Nabi Muhammad SAW. Ayahnya Anas,

salah satu periwayat hadis, Ahmad bin Hanbal berada dalam

pusaran keilmuan Islam. Berkat ketekunannya mengumpulkan

hadis, Ahmad bin Hanbal memiliki hafalan hadis yang banyak

sekali. Ini membuatnya sangat kompeten dalam periwayatan

hadis, dan segera menjadi salah satu tokoh terkemuka di bidang

tersebut, Imam al-Syafi’i. Ia merupakan pendiri Mazhab Syafii.

Mazhab ini cukup banyak dianut di Indonesia, bahkan bisa

dibilang mayoritas di Indonesia. Nama lengkap pendiri mazhab

ini adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin

Syafi’ bin Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin

Abdul Muthalib. Nama terakhir adalah kakek dari Rasulullah.

Imam Syafii lahir dari rahim seorang ibu yang salehah, serta

dari ayah yang terkenal kesabaran dan keikhlasannya dan Abu

Hanifah merupakan salah satu dari mazhab empat serangkai

dalam mazhab fiqh, Imam Abu Hanifah memang lebih dikenal

sebagai faqih (ahli hukum) dari pada muhaddits (ahli hadits).

3. Imam aswaja dalam bidang tasawuf adalah . Junaid seorang

ahli fikih dan berfatwa berdasarkan mazhab fikih Abu Tsaur,

salah seorang sahabat Imam Syafi’i. Junaid berguru kepada As-

Sarri As-Saqthi, pamannya sendiri, Al-Harits Al-Muhasibi, dan

Muhammad bin Ali Al-Qashshab. Junaid adalah salah seorang

imam besar dan salah seorang imam terkemuka dalam bidang

41
tasawuf. Ia juga memiliki sejumlah karamah luar biasa.

Ucapannya diterima banyak kalangan

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata kata

sempurna. Oleh karena itu, penulis senantiasa dengan lapang dada

menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya

membangun demi perbaikan karya-karya berikutnya.

42
DAFTAR PUSTAKA

https://pwnujatim.or.id/pedoman-aqidah-dan-asa/&hl=en-ID
https://islami.co/biografi-ahmad-bin-hanbal-pendiri-mazhab-
hanbali/&hl=en-ID
https://islami.co/biografi-malik-bin-anas-pendiri-mazhab-maliki/&hl=en-
ID

43

Anda mungkin juga menyukai