Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH DAN ISLAM NUSANTARA


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah ASWAJA
Dosen Pengampu :
Istinganah MA.

DISUSUN OLEH :

1. Fitria Aprilianti (19116765)


2. Siti Mudrikah (19116800)
3. Siti Malikhatul Baroroh (19116799)
4. Titik Fajriyati (19116805)

KELAS PAI II F
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA KEBUMEN
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufiq dan
hidayah-Nya, Shalawat serta salam senantiasa kami curahkan kepada baginda kita
Nabi Muhammad Saw. serta keluarga, sahabat dan para penerus risalahNya,
sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah “Ahlussunnah Wal
Jamaah dan Islam Nusantara” guna memenuhi tugas mata kuliah Aswaja.

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Istinganah selaku dosen


pengampu Mata Kuliah Awaja, karena lantaran beliaulah kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Terimakasih juga kami ucapkan
kepada semua pihak atas dukungan dan kerjasama baik tenaga maupun pikiran
hingga terselsaikannya makalah ini.

Dengan adanya makalah ini semoga dapat membantu pembaca


mempermudah proses belajar. Akhir kata penulis menyadari masih banyak
kesalahan baik dalam penulisan maupun tata bahasanya untuk itu kami menerima
kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun agar tercapainya
kesempurnaan dalam penulisan makalah ini. Terimakasih.

Kebumen, 29 Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Latar belakang ........................................................................ 1

B. Rumusan masalah ........................................................................ 1

C. Tujuan masalah ........................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 1

A. Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) ...................................... 2

B. Islam Nusantara .......................................................................... 7

C. Keterkaitan Aswaja dan Islam Nusantara ..................................... 12

BAB III PENUTUP ................................................................................. 13

A. Kesimpulan ................................................................................... 13

B. Saran .................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ahlussunnah Wal Jama’ah atau yang sering disebut Aswaja, pada


awal mulanya merupakan sebuah pemikiran teologis yang muncul dan
kemudian dicetuskan oleh ulama Timur Tengah pada awal permulaan Islam.
Kemunculan Aswaja tidak lain adalah identifikasi terhadap kelompok yang
memiliki truth claim pengikut utama Nabi Muhammad SAW. Golongan ini
yang mengklaim diri sebagai kaum yang mengadopsi pola pikir dan nilai-nilai
dasar ajaran Islam yang sesuai dengan perilaku Nabi.

Islam Nusantara adalah cara pendekatan dengan menggunakan


kebudayaan dan kearifan lokal agar mudah di terima oleh masyarakat
Indonesia, serta menanamkan rasa kebersamaan dan toleransi antar manusia.
Istilah Islam Nusantara masih asing di telinga masyarakat Indonesia. Bahkan
sebagian ada yang berpendapat negatif tentang Islam Nusantara sebagai alat
liberalisme Islam dengan menggunakan budaya. Bagi mereka yang belum
mengenal Islam Nusantara memang wajar dengan adanya pendapat seperti itu.
Di dalam makalah ini akan dibahas mengenai Aswaja itu sendiri kemudian
Islam Nusantara dan keterkaitan antar keduanya yaitu Aswaja dan Islam
Nusantara.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) ?
2. Apa yang dimaksud Islam Nusantara?
3. Apa keterkaitan antara Ahlussunnah wal Jama’ah dan Islam Nusantara?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu Ahlussunnah Wal Jama’ah
2. Mengetahui apa itu Islam Nusantara
3. Mengetahui keterkaitan antara Ahlussunnah Wal Jama’ah dan Islam
Nusantara

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. Ahlussunnah Wal Jama’ah
1. Sejarah Ahlussunnah wal Jama’ah

Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan akumulasi pemikiran


keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan para ulama terdahulu
untuk menjawab persoalan yang muncul pada zaman tertentu. Karenanya,
proses terbentuknya Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai suatu faham atau
madzhab membutuhkan waktu yang panjang. Seperti diketahui, pemikiran
keagamaan dalam berbagai bidang, seperti ilmu tauhid, fiqih, atau
tasawwuf terbentuk tidak dalam satu masa, tetapi muncul bertahap dan
dalam waktu yang berbeda.

Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah teridiri dari tiga kata, yaitu ahl,
as-sunnah dan al-jama’ah. Kata ahl dapat berarti pengikut, keluarga atau
pemeluk aliran madzhab. Menurut istilah syara’ kata as-sunnah ialah
sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama, sebagaimana
dipraktikkan Rasulullah SAW. Menurut pengertian al-Jama’ah secara
syara’ islah kelompok mayoritas dalam golongan Islam. Dari pengertian
etimologis di atas, maka makna Ahlussunnah wal Jama’h dalam sejarah
Islam adalah golongan terbesar ummat Islam yang mengikuti sistem
pemahaman Islam, baik dalam tauhid dan fiqih dengan mengutamakan
dalil Al-Qur’an dan Hadits daripada dalil akal.1

Terdapat definisi lain dari Ahlussunnah ialah penganut sunnah


Nabi. Sedangkan wal Jama’ah ialah penganut i’tiqod sebagai i’tiqod
Jama’ah sahabat-sahabat Nabi. Dalam pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa kaum Ahlussunnah wal Jama’ah ialah kaum yang menganut i’tiqod
yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau.2

1
Nuril Huda, Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) Menjawab, (Jakarta Pusat : 2007), hlm. 10-14.
2
Siradjuddin Abbas,I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah,( Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2005),
hlm.2

2
Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlussunnah Wal
Jama’ah hanya merupakan kelangsungan dari desain yang dilakukan sejak
zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin. Namun kemudian sistem
ini menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke II H.

Seorang ulama besar bernama Al-Imam Hasan Al-Bashry dari


golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah majlis ta’lim (tempat
mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam). Beliau wafat tahun 110
H. Di antara murid beliau, bernama Washil bin Atha’. Ia adalah salah
seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab. Pada suatu
ketika timbul masalah antara guru dan murid, tentang seorang mu’min
yang melakukan dosa besar. Pertanyaan yang diajukan saat itu, apakah dia
masih tetap mu’min atau tidak? Jawaban Al-Imam Hasan Al-Bashry, “Dia
tetap mu’min selama ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi dia
fasiq dengan perbuatan maksiatnya”. Tetapi, jawaban gurunya tersebut,
ditanggapi berbeda oleh muridnya, Washil bin Atha’. Menurut Washil,
orang mu’min yang melakukan dosa besar itu sudah bukan mu’min lagi.
Sebab menurut pandangannya, “Bagaimana mungkin, seorang mu’min
melakukan dosa besar? Jika melakukan dosa besar, berarti iman yang ada
padanya itu iman dusta”.

Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, sang murid tersebut


dikucilkan oleh gurunya, hingga ke pojok masjid dan dipisah dari
jama’ahnya. Karena peristiwa itu Washil disebut Mu’tazilah, yakni orang
yang diasingkan. Adapun beberapa teman yang bergabung bersama Washil
bin Atha’ antara lain bernama Amr bin Ubaid. Selanjutnya mereka
memproklamirkan kelompoknya dengan sebutan Mu’tazilah. Kelompok
ini, ternyata dalam cara berfikirnya dipengaruhi oleh ilmu dan filsafat
Yunani. Sehingga, terkadang mereka terlalu berani menafsirkan Al-Qur’an
sejalan dengan akalnya. Kelompok ini, dalam sejarahnya terpecah menjadi
golongan-golongan yang tidak terhitung jumlahnya karena tiap-tiap
mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bahkan, di antara mereka

3
ada yang terlalu ekstrim, berani menolak Al-Qur’an dan As-Sunnah
apabila bertentangan dengan akalnya.

Semenjak itulah para ulama mengutamakan dalil Al-Qur’an dan


Hadist. Kelompok ini kemudian disebut kelompok Ahlussunnah wal
Jama’ah. Penganut madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih
mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadist daripada akal. Karena itu
madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas
apabila tidak mendapatkan dalil nash yang jelas dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah.3

2. Pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah

Ahulussunnah wal Jama’ah atau biasa disebut dengan Aswaja


secara bahasa berasal dari kata ‘Ahlun’ yang berarti keluarga, golongan
atau pengikut. ‘Ahlussunnah’ berarti golongan yang mengikuti sunnah,
baik perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi SAW. Sedangkan ‘al-
Jama’ah’ adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Jika dikaitkan
dengan mandzhab dapat diartikan sekumpulan orang yang berpegang
teguh kepada salah satu imam madzhab dengan tujuan mendapatkan
keselamatan dunia dan akhirat.4

Sedangkan secara istilah, Aswaja berarti golongan umat Islam yang


dalam bidang tauhid menganut pemikiran Imam Abu Hasan Asy’ari dan
Abu Mansur al Maturidi, sedangkan dalam bidang fiqih menganut Imam
Mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syfi’i, Hambali), serta dalam bidang
tasawuf menganut Imam al Ghazali dan Junaidi al Baghdadi.5

Menurut Said Aqil Siradj, Aswaja adalah kelompok yang bersikap


netral (tengah-tengah) tidak memihak pada salah satu partai yang ada, dan
lebih berorientasi pada kegiatan ilmiah dan amal ibadah. metodologi

3
Nuril Huda ,Ibid, 2007, hlm. 21.
4
Said Aqil Siraj, Ahlussunnah wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis,( Jakarta: Pustaka Cendikia
Muda, 2008), hlm. 6
5
Ali Khaidar, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia: Pendekatan Fiqih dalam Politik, ( Jakarta:
Gramedia,1995),hlm. 69-70

4
berfikir keagamaan yang mencakup segala hal dan berdiri diatas prinsip
keseimbangan dalam akidah, penengah, dan perekat dalam kehidupan
sosial, serta keadilan toleransi didalam politik. Mengikuti dan memegang
teguh apa yang telah ditentukan oleh Rasul dan sahabat-Nya.6

Harun Nasution mendefinisikan Ahlussummah wal Jama’ah


sebagai golongan yang berpegang pada sunnah Nabi SAW merupakan
mayoritas, sebagai lawan dari golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas
dan teologi berpegang pada sunnah. Sedangkan Ahmad Amin, Aswaja
adalah kaum yang percaya dan menerima hadits shohih tanpa memilih dan
interpretasi.

Sedangkan faham Sunni, menurut Masdar F. Mas’udi adalah


keagamaan yang berwatak keseimbangan (ahlul istiqomah atau dalam hal
ini memahami sebagai ummatan wasathan) yang bersedia memahami
segala sesuatu, bukan dalam kacamata kuda dan kacamata hitam-putih.
Nuansa-nuansa itu adalah aspirasi sejarah dan budaya, serta semua
manusia hidup terlibat didalamnya.7

Selanjutnya, proses Islamisasi yang dilakukan Walisongo, bukan


sekedar masyarakat masuk Islam, tetapi juga mengubah struktur sosial
masyarakat menuju tatanan sosial yang lebih adil, manusiawi dan berakar
pada transisi masyarakat setempat. Transisi keagamaan itulah yang kini
dikenal dengan sebutan Ahlussunnah Wal Jama’ah atau disingkat Aswaja
dengan kekuatan basisnya yaitu pesantren dan ulama.

Madzhab Aswaja dalam Ilmu Tauhid

Di dalam mempelajari Ilmu Tauhid madzhab Ahlussunnah wal


Jama’ah menggunakan dalil naqli dan ‘aqli. Dalil naqli ialah dalil dari Al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah, sedangkan dalil aqli ialah dalil yang
berdasarkan akal atau rasio manusia.

6
Said Aqil Siraj, Ibid, hlm.21-22
7
Masdar F. Mas’udi, NU danTheologiAsyariyah, dalam Ahmad Baso, NU Studies, (Jakarta :
Erlangga, 2006) ,hlm.32

5
Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mendahulukan atau
mengutamakan dalil naqli daripada dalil aqli. Fatwa agama yang datang
dari manapun saja kalau tidak berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-
Ijma’ dan Al-Qiyas wajib kita tolak. Maka di dalam ilmu Tauhid kita
berpegang kepada Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu
Manshur Al-Maturidi.

Dalam ilmu Tauhid, rukun iman menurut Ahlussunnah wal


Jama’ah ada 6, yaitu iman kepada Allah, iman kepada para Nabi/Rasul
Allah, iman kepada Kitab Suci Allah, iman kepada Malaikat Allah, iman
kepada hari akhir, dan iman kepada Qadla/Qadar Allah.

Madzhab Aswaja dalam Ilmu Fiqih

Ahlussunnah wal Jama’ah berhaluan salah satu dari keempat


madzhab. Seluruh umat Islam di dunia dan para ulamanya telah mengakui
empat madzhab yaitu madzhab Hanafi yang dibawa oleh Imam Abu
Hanifah, madzhab Maliki yang dibawa oleh Imam Malik bin Anas,
madzhab Syafi’i yang dibawa oleh imam Abu Abdullah bin Idris asy-
Syafi’i dan madzhab Hambali yang dibawa oleh Imam Ahmad Ibnu
Hambal yang telah memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid. Hal itu
dikarenakan ilmu, amal dan akhlak yang dimiliki oleh mereka. Maka ahli
fiqih memfatwakan bagi umat Islam wajib mengikuti salah satu dari
keempat madzhab tersebut.

Madzhab Aswaja dalam Ilmu Tasawwuf

Istilah tasawwuf pertama kali dilontarkan oleh Ma’ruf al Karkhi


(w. 200 H). Beliau mendefinisikan tasawwuf dengan pengertian
“berpegang pada hal-hal yang hakiki dengan mengabaikan segala apa yang
ada pada makhluk”. Sedangkan menurut Abu Yazid al-Busthami (w. 261
H), tasawwuf adalah sifat Allah yang melekat pada hamba, yaitu dengan
menguatnya kelemah-lembutan dan terpusatnya kejernihan. Maksudnya
adalah membuang habis hawa nafsu sembari memusatkan pandangan

6
secara total kepada Allah.8 Sementara Imam al-Junaid al-Baghdadi
mendefinisikan tasawuf adalah keadaan dimana Allah memisahkan
(mematikan) kamu dari dirimu dan memberimu kehidupan dalam
kematian tersebut, yaitu eksistensi dirimu dengan tanpa jarak kepada
Allah.

Nilai-nilai yang Terkandung dalam Aswaja

Paham Ahlussunnah Wal Jama’ah harus diterapkan dalam tatanan


kehidupan nyata di masyarakat, serta sebagai upaya mereformulasikan
Aswaja sebagai metode berfikir ( manhaj al fikr) keagamaan yang
mencakup semua aspek kehidupan manusia yang berdasarkan atas dasar
moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan
adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue
print ) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern. Oleh
karenanya, reformulasi Aswaja sebagai manhaj al fikr dapat di
manisfestasikan dengan serangkaiaan sikap yang bertumpu pada karakter
dan prinsip-prinsip tawasuth ( moderat), tasamuh ( toleran ), tawazdun
(keseimbangan ), dan ta’adul ( tegak lurus, adil).

B. Islam Nusantara
1. Sejarah Islam Nusantara

Istilah Islam Nusantara ramai diperbincangkan di tengah


masyarakat ketika Kementerian Agama mengangkat wacana “Islam
Nusantara” sebagai program besar untuk membangun keberagaman
masyarakat Indonesia yang moderat, toleran, dan menghargai
keberagaman. Salah satunya adalah menampilkan pembacaan Al-Qur’an
dengan langgam Jawa. Islam Nusantara memang banyak di perbincangkan
karena wacana ini mengangkat Islam yang toleran, yang menerima unsur
kebudayaan dalam Islam.

Kemunculan Islam nusantara sudah ada sejak masa Walisongo.


Kata Nusantara muncul ketika kerajaan Majapahit masih berkuasa yang
8
Nuril Huda, Ahlussunnah wal Jama’ah, Jakarta pusat : 2007, hlm.50.

7
berasal dari bahasa sansekerta yaitu nusa yang berarti pulau dan antara
yang berarti luar. Nusantara digunakan untuk menyebut pulau di luar
kekuasaan Majapahit. Ketika Walisongo muncul, sebutan Nusantara
diganti dengan sebutan jawi untuk menyebut wilayah Aceh, Malaka
hingga daerah maluku dan perairan Papua. Kemudian kata-kata jawa yang
bisa berarti penduduk pulau Jawa, bisa juga berarti komunitas suku jawa
yang berbahasa jawa. Bisa pula berarti luas yakni penduduk Nusantara.
akan tetapi kemudian kata Nusantara lebih dikenal oleh masyarakat.
Dalam teks yang ditulis oleh putra Hamengku Buwono I terdapat istilah
Din Arab Jawi. Putra mahkota Sultan Yogyakarta tersebut mengambil
istilah tersebut ketika Sunan Giri membaiat raja-raja di Jawa. Naskah itu
mengungkap kisah tentang pembaiatan Sunan Giri kepada seorang raja
dengan gelar Kimudin Arab Jawa artinya dalam bahasa sekarang raja-raja
di Jawa harus punya komitmen menegakkan Islam Nusantara. Bahwa
Islam itu bukan cuma agama Arab tapi juga perlu pengamalan dan
suaranya dari Jawi. Jawi yang disebut dalam naskah tersebut adalah teritori
Nusantara.9

Nusantara sendiri harus mempunyai suara sendiri dalam


menafsirkan Islam. Itulah sebabnya Imam Asy-Syafi’i menandaskan dalam
kitabnya yang terkenal al-umm membahas tentang ilmu di negeri umat
Islam itu harus dijalani dan diikuti penduduknya, dan ilmu itu kemudian
menjadi pegangan para ulama dalam kebanyakan pendapatnya. Oleh sebab
itu, Nusantara harus mempunyai ilmu sendiri yang diikuti oleh
masyarakatnya sendiri. Ilmu tersebut diproduksi oleh ulama-ulama di
Nusantara melalui proses ijma, bahkan diajarkan ke dunia. Islam bukan
hanya subyek yang pasif, yang asal menerima saja apa yang datang dari
Arab, akan tetapi bisa membawa ilmu ke-Nusantaraan ke luar negeri.

Islam Nusantara diibaratkan pertemuan dua bibit pohon unggulan


yang berbeda jenis, namun ketika disatukan dalam proses persilangan, akan
menghasilkan sebuah bibit baru yang lebih unggul. Persilangan Islam dan

9
Ahmad Baso, Islam Nusantara jilid 1, Jakarta : Pustaka Afid, 2015, hlm.4

8
Nusantara diperlukan untuk memperoeh genius baru dengan karakter atau
sifat-sifat unggulan yang diinginkan sehingga diharapkan dengan
persilangan tersebut dapat mengatasi masalah-masalah kemanusiaan pada
umumnya.

2. Pengertian Islam Nusantara

Sifat unggulan Islam Nusantara terletak pada tradisi bermadzhab


Islam Ahlussunnah Wal jamaah (Aswaja), sehingga bisa merangkul
sejumlah umat dari berbagai latar belakang, serta menyerap peradaban dari
bangsa mana saja. Tradisi bermazhab mengakarkan Islam hingga diterima
di manapun, bisa dipeluk bangsa manapun. Islam Nusantara sendiri
memiliki arti yaitu mazhab berpikir yang dilakukan oleh para ulama
Nusantara dalam mengamalkan dan menerjemahkan Islam ke dalam
bahasa-bahasa Nusantara untuk memberikan tafsiran keagamaan normatif
ke dalam ajaran atau dalil-dalil Islam itu sendiri10. Dengan kata lain Islam
Nusantara adalah pendekatan dalam mengajarkan Islam sesuai dengan
wilayah atau teritori. Islam Nusantara juga termasuk ijtihad dari para
ulama Indonesia untuk mendekatkan ajaran Islam kepada masyarakat
Indonesia yang sebelumnya menganut agama lain seperti Hindu dan
Budha.

Sejumlah tokoh mendefinisikan Islam Nusantara diantaranya Guru


Besar Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi
Azra. Menurutnya, Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai Hasil
interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, dan vernakularisasi Islam
universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Definisi
kedua dikemukakan Katib Syuriah PBNU K.H Afifudin Muhajir, yang
mendefinisikan Islam Nusantara sebagai paham dan praktik keislaman di
bumi Nusantara sebagai hasil dialektika teks syariat dengan realita dan
budaya setempat. 11

10
Ahmad Baso,Ibid., hlm. 21
11
Suparman, Yasin, dan H. Yana Sutiana, Kultur Islam Nusantara, Bandung : Pustaka setia, 2019,
hlm. 2.

9
Terlepas dari beberapa pendapat, pendekatan melalui budaya dan
kearifan lokal lebih memudahkan ajaran Islam masuk kedalam hati
masyarakat dan menjadikan Islam sebagai pedomannya. Seperti yang di
contohkan Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama Islam bukan hanya
dengan kata-kata, akan tetapi melalui jalan kebudayaan agar mudah
diterima oleh masyarakat Indonesia.

Kehadiran Islam Nusantara menjadi suatu hal yang tepat untuk


menunjukkan bahwa Islam mempunyai sumbangsih yang besar bagi
pembentukan kebudayaan Indonesia. Seperti menurut KH Aqil Siradj
bahwa Islam Nusantara bukanlah sebuah aliran yang baru, bukan juga
sempalan dari Islam yang sudah ada. Islam Nusantara adalah sebuah istilah
yang disematkan kepada aktifitas keagamaan yang senaniasa menjaga
tradisi asli Indonesia atau kearifan local yang diasimilasikan dengan nilai-
nilai Islam dalam muktamar NU tahun 2015 di Jombang, pembahasan
islam nuantarau dah tercuat dipermukaan. Sampai kemudian pemnahasan
Islam Nusantara selesai pada Munas Alim ulam NU di Pondok Pesantren
Miftahul Huda Al- Ahzar, Citangkolo, kota Banjar, Jawa Barat. Ahmad
Muntaha, sekertaris lembaga Batsul Matsail PWNU Jawa Timur
memberikan definisi Islam Nusantara yang kemudian disepakati oleh
peserta sidang. Islam Nusantara adalah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah
yang diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan sesuai karakteristik
masyarakat dan buadaya di Nusantara oleh para pendakwahnya. 12

3. Manhaji (metodologi) Islam Nusantara


a. Metode pertama : al-Muhafzhah dan al-Akhdu

Kaidah metodologis Islam Nusantara berawal dari ijtihad


para ulama termasuk Walisongo. Mengingat bahwa tidak semua ajaran
Islam murni dari Arab dapat diterapkan dalam teritori Nusantara
seperti misalnya masalah zakat. Dalam tradisi Arab zakat dibayarkan
dengan unta, sedangkan Indonesia tidak mengenal unta. Seorang
pendekar ulama Nusantara Syaikhuna Cholil Bangkalan pernah
12
Berita yang dimuat di Tempo.co

10
menyinggung orang-orang yang belajar fiqih dan mengingatkan
mereka agar tidak tenggelam dalam segenap teks-teks dogmatik,
sehingga melupakan kondisi alam di Indonesia. Tidak semua ajaran
Islam murni dapat dipraktikkan di Indonesia, para ulama di Indonesia
perlu berijtihad sendiri sesuai dengan alam dan kondisi Nusantara. Dari
sini muncul argumen manhaji yang dikenal di kalangan orang-orang
pesantren yaitu “al-muhafazhah ala-l-qadimi-sh-shalih wa-l-akhdu bi-
l-jadidi-l-ashlah” (memelihara yang lama yang baik, dan mengambil
yang baru yang lebih baik)13. Dalam manhaji ini menjelaskan bahwa
Islam Nusantara mempunyai intelektual dan keunggulannya sendiri
melalui ijtihad para ulama Islam Nusantara, seperti istilah halal
bihalal, imsak, yang memakai bahasa Arab tetapi orang Arab sendiri
tidak tahu maksud dari istilah tersebut, karena istilah tersebut
merupakan hasil dari ijtihad para ulama Nusantara sendiri.

b. Metode kedua : Islam Nusantara dan Maqashid Syari’ah

Kekuatan Islam Nusantara bukan terletak pada garis tekstual


keislamannya, yakni seberapa banyak teks-teks yang mendukung
argumen keagamaan dan praktik keagamaan umat Islam Indonesia.
Kekuatan Islam terletak pada maqashid Islam (maksud atau tujuan
utama Islam), yakni unsur-unsur utama pendukung tercapainya tujuan-
tujuan syariat. Islam Nusantara berfokus pada tujuan yang akan dicapai
yaitu kemaslahatan umat di dunia dan akhirat. Proses dari metode
Maqashid ini dimulai dari merinci berbagai detil-detil hukum agama
dan ajaran agama, lalu di ambil titik temu atau unsur-unsur yang
mempertemukan dalam kasus-kasus tersebut. Proses manhaji ini
merupakan cara berpikir dari imam Al-Ghazali.

Salah satu contoh dari manhaji ini adalah ketika sunan kalijaga
membawa proses Islamisasi ke dalam masyarakat Jawa dengan tradisi
wayang dan juga gamelan. Wayang dan gamelan jelas tidak ada dalam
dalil Al-Qur’an maupun Hadits. Akan tetapi, dengan proses Islamisasi
13
Ahmad,Baso, Ibid, hlm. 104.

11
dengan cara tersebut dapat memenuhi dasar Maqashid Syaria’at, yakni
demi tercapainya satu ajaran keagamaan yang bisa dipahami dan
diamalkan oleh orang-orang Jawa. Gamelan awalnya berfungsi untuk
memanjatkan kidung atau nyanyian suci untuk dewa-dewa di masa
Hindu-Budha, akan tetapi di alihkan oleh sunan Kalijaga untuk
melantunkan shalawat untuk Rasulullah SAW.

3. Keterkaitan Aswaja (Ahlussunnah Wal Jama’ah) dan Islam Nusantara

Islam Nusantara berpatokan pada Aswaja dalam dua pilarnya, yang


pertama yaitu ada disiplin ketat mengikuti Sunnah Rasulullah SAW, yang
kedua yaitu ada dukungan mayoritas masyarakat.14 Islam Nusantara tidak
akan hidup tanpa dukungan masyarakat yang mengamalkannya. Islam sebagai
ajaran normatif dari sumber Al-Qur’an dan Sunnah harus diamalkan dalam
bahasa yang dapat dipahami oleh penganutnya diamanapun. Begitu pula
Islam Nusantara yang dibutuhkan untuk mendekatkan Islam kepada
masyarakat Nusantara dan dapat diterima oleh masyarakat dengan tidak ada
paksaan sedikitpun.

Menurut pandangan Islam Nusantara dalam mengamalkan Islam


Aswaja yakni mengajarkan kita untuk tetap istiqomah menjalani Sunnah
Rasulullah, seklaigus membangun kehidupan beragama dan berbangsa yang
selalu guyub, hidup bersama, dan solider dengan sesama. Dengan Islam
Nusantara yang memegang teguh prinsip Aswaja, maka masyarakat Indonesia
merupakan orang Indonesia yang beragama Islam bukan orang Islam yang
tinggal di Indonesia. Dengan adanya Islam Nusantara juga, masyarakat
Indonesia mempunyai rasa cinta tanah air atau nasionalisme yang tinggi
karena dengan prinsip Aswaja ‘Hubbul wathan minal iman’ (cinta tanah air
adalah bagian dari iman) yang dipegangnya.

14
Ahmad Baso,Ibid., hlm. 30

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ahlussunnah Wal Jama’ah adalaha paham yang dalam masalah
aqidah mengikuti Imam Abu Hasan al- Asy’ari dan Abu Mansur
Almaturidi. Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab
empat yaitu madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan
Madzhab Hambali dan dalam tasawuf mengikuti Imam Abu qosim al
Junaidi al-Baghdadi dan Imam Hamid al Ghazali.
Islam Nusantara sebuah istilah yang disematkan kepada aktivitas
keagamaan yang senantiasa menjaga tradisi asli Indonesia (kearifan lokal)
yang diimplementasikan dengan nilai-nilai Islam khususnya Ahlussunnah
wal Jama’ah. Islam nusantara adalah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah
yang diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan sesuai karakteristik
masyarakat dan buadaya di Nusantara oleh para pendakwahnya.
Islam Nusantara bukanlah aliran baru yang dianggap sebagai cara
baru liberalisme Islam di Indonesia, akan tetapi Islam Nusantara adalah
ilmu dalam mengamalkan ajaran Aswaja dengan pendekatan kebudayaan
Indonesia yang sudah ada sejak jaman dulu sebelum Islam masuk ke
Indonesia.

B. Saran
Sebagai umat Nabi SAW, tentunya kita harus mengikuti sunnah-
sunnahnya dan mengamalkannya dengan cara kita masing-masing, yang
terpenting sesuai dengan apa yang beliau sunnahkan. Semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Kami menyadari dalam
pembuatan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Dengan pedoman yang kami tuliskan yang dapat
dipertanggungjawabkan, kedepannya akan kami perbaiki makalah ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Baso. Islam Nusantara Jilid I. (Jakarta : PustakaAfid, 2005).

Ahmad, Baso. NU studies. (Jakarta : Erlangga, 2006).

Suparman, Yasin, dan Yana, Sutiana, Kultur Islam Nusantara, (Bandung:


Pustakasetia, 2009).

Said , Aqil, Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah kritik historis, (Jakarta:
Pustaka Cendekia Muda, 2008).

Ali,Khaidar, Nahdlatul Ulamadan Islam Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam


politik, (Jakarta: Gramedia, 1995).

Nuril, Huda. Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) menjawab. (Jakarta Pusat :


2007).

14

Anda mungkin juga menyukai