Anda di halaman 1dari 15

Aswaja

MAKALAH ASWAJA

Disusun oleh :

AGUS SUTRIAWAN
2109060043

PROGRAM STUDI ILMU GIZI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA NUSA TENGGARA BARAT
2021

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat
karunia_Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Makalah ini membahas tentang “ASWAJA”. Makalah ini Penulis susun dengan
sistematis dan dilengkapi dengan penjelasan yang jelas dan akurat. Sebagai penyusun, kami
sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang sangat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

Makalah ini disusunsebagai bahan atau materi pendidikan agama di lingkungan


UniversitasNahdlatul Ulama NTB ini. Isinya mengacu pada Silabus dan Kurikulum
Pendidikan dengan inovasi-inovasi yang disesuaikan dengan visi pendidikan di UNU NTB.
Hahan-bahan penyusunan makalah ini merujuk pada buku-buku acuan wajib dan penunjang
Pendidikan Agama dan disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dewasa ini.

Terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu tersusunnya
makalah ini, terutama kepada Dosen pengampus dan teman-teman yang telah mendorong
kami untuk menyusun makalah ini.Mohon untuk kritik, koreksi dan masukannya sehingga
materi makalah ini lebih baik. Semoga Allah membalas amal baik kalian semua yang telah
berjasa atas makalah ini, Amin.

Mataram, Desember 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................................iii
BAB I....................................................................................................................................................1
A. Latar belakang...........................................................................................................................1
B. Rumusan masalah......................................................................................................................2
C. Tujuan masalah..........................................................................................................................2
BAB II...................................................................................................................................................3
A. Pengertian aswaja......................................................................................................................3
B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ASWAJA.....................................................................4
C. Karakteristik dan dasar aswaja dalam berbagai bidang (tasawwuf, aqidah, fiqih).....................5
D. Sifat 20 dan asmaul husna.........................................................................................................8
E. Tausiyah syeikh nawawi al-bantani tentang aswaja aqidah........................................................9
BAB III................................................................................................................................................11
A. Kesimpulan..............................................................................................................................11
B. Saran........................................................................................................................................11
BAB IV

Daftar pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama'ah ( Aswaja ) sebagai bagian dari kajian ke-
Islam-an merupakan upaya yang mendudukkan Aswaja secara proporsional, bukannya
semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin
secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang
diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada
masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.

Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita
yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan
pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang
senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika
hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni
kebebasan berfikir (hurriyah al-ra'yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-
irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah).

Berangkat dari pemikiran di atas, maka persoalan yang muncul adalah siapakah
golongan Aswaja itu? Bagaimana perkembanganya? Apakah aliran-aliran Islam yang ada
termasuk golongan Awaja?

Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) adalah salah satu aliran pemahaman teologis


(Aqiedah) Islam. Selain Aswaja ada faham-faham teologi lain seperti Khawarij, Murji’ah,
Qadariyah, Jabariyah dan Syi’ah. Pemahaman teologi Aswaja ini diyakini sebagian besar
umat Islam sebagai pemahaman yang benar yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW
kepada para sahabatnya. Kemudian secara turun-temurun faham Aswaja diajarkan kepada
generasi berikutnya (Tabi’in-Tabi’it Tabi’in) dan selanjutnya diteruskan oleh generasi-
generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Hal ini – tentu – dapat dibuktikan melalui
kajian-kajian literer keagamaan. Berkaitan dengan ini ribuan kitab dan buku telah ditulis oleh
banyak ulama dan pakar/ahli.

1
B. Rumusan masalah
1. Apa itu aswaja
2. Bagaimana sejarah munculnya aswaja
3. Apa dasar-dasar aswaja dalam bidang aqidah, fiqih, dan tasawwuf.
4. Apaitu sifat 20 dan asmaul husna
5. Apa isi tausiyah syeikh nawawi al-bantani

C. Tujuan masalah
1. Mengetahui apa itu aswaja
2. Mengetahui sejarah aswaja
3. Mengetahui dasar aswaja dalam bidang diatas
4. Mengetahui apa itu sifat 20 dan asmaul husna
5. Mengetahui isi tausiyah syeikh nawawi al-bantani

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian aswaja
ASWAJA sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi "Ma Ana 'Alaihi wa Ashabi"
seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rasululloh SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa :"Bani Israil terpecah belah menjadi
72 Golongan dan ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk
nereka kecuali satu golongan". Kemudian para sahabat bertanya ; "Siapakah mereka itu wahai
rasululloh?", lalu Rosululloh menjawab : "Mereka itu adalah Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi"
yakni mereka yang mengikuti apa saja yang aku lakukan dan juga dilakukan oleh para
sahabatku.

Dalam hadist tersebut Rasululloh SAW menjelaskan bahwa golongan yang selamat
adalah golongan yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasululloh dan para sahabatnya.
Pernyataan nabi ini tentu tidak sekedar kita maknai secara tekstual, tetapi karena hal tersebut
berkaitan dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka "Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" atau
Ahli Sunnah Waljama'ah lebih kita artikan sebagai "Manhaj Au Thariqoh fi Fahmin Nushus
Wa Tafsiriha" ( metode atau cara memahami nash dan bagaimana mentafsirkannya).

Dari pengertian diatas maka Ahli Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak
zaman Rasululloh SAW. Jadi bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3
dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan
kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu
Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai golaongan yang
pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thariqoh yang dilakukan
oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan
kekuasaan.

Secara semantik arti Ahlussunnah wal jama'ah adalah sebagai berikut. Ahl
berartipemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut
aliran atau pengikut madzhab (ashab al-madzhab).

3
Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadist. Disambungkan dengan
ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para Shahabat dan tabi'in. Al-Jamaah berarti
sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah wal
Jama'ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Shahabat dan tabi'in.

B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ASWAJA


Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan
sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur'an apakah ia
makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulamaSalafiyyun dengan
golongan Mu'tazilah, dan seterusnya.

Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa' ar-
rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi
Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah ke-empat tersebut, setelah
dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin
terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi'ah yang secara umum
dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golonganKhawarij yakni
pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan tahkim,dan ada pula kelompok
Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.
Selain tiga golongan tersebut masih ada Murjiah dan Qadariah, faham bahwa segala
sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (af'al al-ibad min
al-ibad) -- berlawanan dengan faham Jabariyah.

Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam
Abu Sa'id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan
nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang
bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih.
Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai faksi politik (firqah) yang
berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan
pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu,
mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam
pertikaian politik ketika itu.

4
Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama
setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu'man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas
(w. 179 H), Imam Syafi'i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H),
hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy'ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w.
333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan;
meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad
sebelumnya.

Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah
wal Jama'ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut
madzhab Syafi'i, dan sebagian terbesarnya tergabung -- baik tergabung secara sadar maupun
tidak -- dalam jam'iyyah Nahdlatul 'Ulama, yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai
pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama'ah.

C. Karakteristik dan dasar aswaja dalam berbagai bidang (tasawwuf, aqidah, fiqih)
Ahli Sunnah wal Jama'ah meliputi pemahaman dalam tiga bidang utama, yakni bidang
Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Ketiganya merupakan ajaran Islam yang harus bersumber dari
Nash Qur'an maupun Hadist dan kemudian menjadi satu kesatuan konsep ajaran ASWAJA.
Kaitannya dengan pengamalan tiga sendi utama ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari,
golongan Ahlussunnah Wal-Jama'ah mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh ulama
salaf.
Dalam bidang aqidah atau tauhid tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam
al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi.
Dalam masalah amaliyah badaniyah terwujudkan dengan mengikuti madzhab empat,
yakni Madzhab al-Hanafi, Madzhab al-Maliki, Madzhab al-Syafi`i, dan Madzhab al-Hanbali.
Bidang tashawwuf mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H/910 M) dan Imam
al-Ghazali.
Jika sekarang banyak kelompok yang mengaku sebagai penganut Ahlussunnah Wal-
Jama'ah maka mereka harus membuktikannya dalam praktik keseharian bahwa ia benar-benar
telah mengamalkan Sunnah rasul dan Sahabatnya.
Dilingkunagn ASWAJA sendiri terdapat kesepakatan dan perbedaan. Namun perbedaan
itu sebatas pada penerapan dari prinsip-prinsip yang disepakati karena adanya perbedaan
dalam penafsiran sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ushulul Fiqh dan Tafsirun Nushus.

5
Perbedaan yang terjadi diantara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah tidaklah mengakibatkan
keluar dari golongan ASWAJA sepanjang masih menggunakan metode yang disepakati
sebagai Manhajul Jami' . Hal ini di dasarkan pada Sabda Rosululloh SAW. Yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim : "Apabila seorang hakim berijtihad kemudian
ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, tetapi apabila dia salah maka ia hanya
mendapatkan satu pahala". Oleh sebab itu antara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah
walaupun terjadi perbedaan diantara mereka, tidak boleh saling mengkafirkan, memfasikkan
atau membid'ahkan.
Sebagaimana dinyatakan dimuka, bahwa ASWAJA sebenarnya bukanlah madzhab tetapi
hanyalah Manhajul Fikr (metodologi berfikir) atau faham saja yang didalamnya masih
memuat banyak aliran dan madzhab. Faham tersebut sangat lentur, fleksibel, tawassuth,
I'tidal, tasamuh dan tawazun. Hal ini tercermin dari sikap Ahli Sunnah Wal Jama'ah yang
mendahulukan Nash namun juga memberikan porsi yang longgar terhadap akal, tidak
mengenal tatharruf (ekstrim), tidak kaku, tidak jumud (mandeg), tidak eksklusif, tidak elitis,
tidak gampang mengkafirkan ahlul qiblat, tidak gampang membid'ahkan berbagai tradisi dan
perkara baru yang muncul dalam semua aspek kehidupan, baik aqidah, muamalah, akhlaq,
sosial, politik, budaya dan lain-lain.
Adapun kelompok yang keluar dari garis yang disepakati dalam menggunakan Manhajul
jami' yaitu metode yang diwariskan oleh oleh para sahabat dan tabi'in juga tidak boleh secara
serta merta mengkafirkan mereka sepanjang mereka masih mengakui pokok-pokok ajaran
Islam, tetapi sebagian ulama menempatkan kelompok ini sebagai Ahlil Bid'ah atau Ahlil
Fusuq. Pendapat tersebut dianut oleh antara lain KH. Hasyim Asy'ari sebagaimana
pernyataan beliau yang memasukkan Syi'ah Imamiah dan Zaidiyyah termasuk kedalam
kelompok Ahlul Bid'ah.
Wal hasil salah satu karakter ASWAJA yang sangat dominan adalah "Selalu bisa
beradaptasi dengan situasi dan kondisi". Langkah Al-Asy'ari dalam mengemas ASWAJA
pada masa paska pemerintahan Al-Mutawakkil setelah puluhan tahun mengikuti Mu'tazilah
merupakan pemikiran cemerlang Al-As'ari dalam menyelamatkan umat Islam ketika itu.
Kemudian disusul oleh Al-Maturidi, Al-Baqillani dan Imam Al-Juwaini sebagai murid Al-
Asyari merumuskan kembali ajaran ASWAJA yang lebih condong pada rasional juga
merupakan usaha adaptasi Ahli Sunnah Wal Jama'ah. 
Begitu pula usaha Al-Ghazali yang menolak filsafat dan memusatkan kajiannya dibidang
tasawwuf juga merupakan bukti kedinamisan dan kondusifnya Ajaran ASWAJA. Hatta
Hadratus Syaikh KH. Hasim Asy'ari yang memberikan batasa ASWAJA sebagaimana yang

6
dipegangi oleh NU saat ini sebenarnya juga merupakan pemikiran cemerlang yang sangat
kondusif.
Dari pengertian diatas maka Ahli Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak
zaman Rasululloh SAW. Jadi bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3
dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan
kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu
Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai golongan yang
pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thariqoh yang dilakukan
oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan
kekuasaan.
Dengan kemunculannya, Aswaja tetap mempertahankan manhaj-manhaj yang telah
ditelorkan oleh para salafussholih sebagai manhajul fikri. Upaya dekonstruktif ini selayaknya
dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja
tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya 'merusak'
norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya menjadi
konsep dasar segala pemikiran Aswaja. 
Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth (mederat), tasamuh
(toleran) dan tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa
selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak
pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah
dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan
keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada
paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme.
Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang pengikut Aswaja harus bisa
menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun.
Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada
orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakan
keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan
hidayah dari Tuhan. 
Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang
terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai
aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks
politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam

7
berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak
seharusnya.
Walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang
tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas.

D. Sifat 20 dan asmaul husna


Perbedaan asmaul husna dengan sifat allah

Segala sesuatu tentu memiliki perbedaan dan persamaan. Begitupun asmaul husna dan
sifat Allah. Nama dan sifat Allah dan dipakai untuk minta perlindungan akan tetapi keduanya
memiliki perbedaan.  Adapun perbedaan keduanya adalah sebagai berikut:[5]
1.      Dibolehkan memberikan nama abdul di depan nama Allah, dan berdo’a dengannya. Adapun
‫– )عبد الكريم‬
dengan sifat-sifat-Nya itu tidak boleh. Seperti pemberian Abdul Karim (  
hamba Yang Maha Mulia-, namun pemberian nama dengan Abdul Karam( (‫– )عبد الكرم‬

hamba kemuliaan-,  tidak boleh. Begitu pula berdo’a dengan menyeru nama-nama Allah
seperti yaa kariim (wahai Yang Maha Mulia), akan tetapi tidak boleh berdo’a dengan
menyebut ya karamallah (wahai kemuliaan Allah).
2.      Dari nama-nama Allah diambil sifat-sifatnya. Seperti nama Ar-Rahman, dapat diambil dari
nama tersebut Rahmah (kasih sayang) . adapun dari sifat-sifat Allah tidak bisa diambil nama.
Seperti sifat Al-Istiwa` tidak bisa dijadikan nama al-Mustawi.
3.      Perbuatan Allah tidak bisa diambil darinya nama yang tidak ada dalam nama-nama Allah.
Seperti  perbuatan Allah al-gadlab (marah), tidak bias diambil darinya menjadi al-
gladhib (Maha Pemarah). Adapun sifat-sifat-Nya dapat diambil dari perbuatan-Nya.

Persamaan asmaul husna dengan sifat allah


1. . Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada Dzat, seperti Allah. Begitu pula al-Haq

yang diartikan Dzat Allah yang wajib wujudnya.

2. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada Dzat dan menafikan ketidakpantasan,

seperti al-Quddûs, as-Salâm, dan semisalnya. Sebab al-Quddûs menunjukkan

Dzat Allah sekaligus menafikan sifat-sifat yang tidak pantas bagi-Nya yang

terbersit di hati manusia, sedangkan as-Salâm menunjukan Dzat Allah sekaligus

menafikan aib yang tidak pantas bagi-Nya.

8
3. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada Dzat disertai penyandaran pada hal lain

(idhâfah), seperti al-‘Aliyy , al-‘Adhîm dan semisalnya. Sebab al-‘Aliyy

menunjukkan Dzat Allah yang derajatnya di atas seluruh dzat selainnya,

sedangkan al-‘Adhîm menunjukkan Dzat dari melampaui seluruh batas

pengetahuan (idrâk) manusia.  

4. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada Dzat, disertai menafikan ketidakpantasan

dan penyandaran pada hal lain, seperti al-Mulk dan al-‘Azîz. Sebab al-Mulk

menunjukkan Dzat Allah yang tidak membutuhkan apa pun dan segala sesuatu

selain-Nya pasti membutuhkan-Nya, sedangkan al-‘Aziz menunjukkan makna

Dzat Allah yang tidak ada bandingannya. 

5. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada salah satu sifat ma’ani, seperti al-‘Alîm, al-

Qâdir, dan semisalnya. Sebab al-‘Alîm menunjukkan sifat ‘ilm, sedangkan al-Qâdir

menunjukkan sifat qudrah.

6. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada sifat ‘ilm disertai penyandaran pada hal

lain, seperti al-Khabîr, al-Hakîm dan semisalnya. Sebab al-Khabîr menunjukkan

sifat ‘ilm dengan disandarkan pada hal-hal yang samar, sedangkan al-Hakîm

menunjukan sifat ‘ilm dengan disandarkan pada hal-hal yang mulia.   

7. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada sifat qudrah disertai penyandaran pada

hal lain, seperti al-Qahhâr, al-Qawiyy, dan semisalnya. Sebab al-Qahhâr

menunjukkan sifat qudrah disertai pengaruh penguasaannya pada hal yang

dikuasai, sedangkan al-Qawiyy menunjukkan makna sifat qudrah disertai

kesempurnaannya.

E. Tausiyah syeikh nawawi al-bantani tentang aswaja aqidah


Salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang sangat masyhur di dunia Islam, Asy-
Syaikh al-‘Allamah al-Faqih Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi asy-Syafi’i (w 1314
H) telah menuliskan berbagai karya dalam penjelasan akidah Ahlussunnah. Dalam
banyak karyanya beliau menjelaskan bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, dan
bahwa Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, di antaranya dalam kitab berjudul Ats-
Tsimaral-Yani’ah dalam penjelasan sifat yang mustahil atas Allah; yaitu al-Mumatsalah
Li al-Hawadits, beliau menuliskan sebagai berikut:

9
“Contohnya, mustahil adanya Allah pada suatu arah dari suatu benda, seperti berada di
samping kanan benda tersebut, atau di samping kirinya, atau di atasnya, atau di
bawahnya, atau di depannya, dan atau di belakangnya. Demikian pula mustahil Allah
berada pada arah, seperti arah kanan, arah kiri, arah atas, arah bawah, arah belakang, atau
arah depan. Demikian pula mustahil Allah terliputi oleh tempat, atau menyatu di dalam
tempat tersebut, seperti keyakinan adanya Allah bertempat di atas Arsy”[1].

Dalam kitab karya beliau yang lainnya berjudul Nur azh-Zhalam, Asy-Syaikh Nawawi al-
Jawi menuliskan:
“Segala sesuatu yang terlintas di dalam benakmu dari segala sifat-sifat benda maka
jangan sekali-kali engkau berkeyakinan bahwa Allah bersifat walaupun dalam satu segi
dari sifat-sifat tersebut. Allah sama sekali tidak bertempat, maka Dia bukan berada di
dalam alam dunia ini, juga buka berada di luarnya”[2].

Dalam kitab karya beliau lainnya berjudul Kasyifah as-Saja Syarh Safînah an-Naja, Asy-
Syaikh Nawawi menuliskan sebagai berikut:
“Faedah: Barangsiapa meninggalkan empat kalimat ini (artinya tidak mempertanyakan
kalimat tersebut kepada Allah) maka sempurnalah keimanannya, yaitu; di mana,
bagaimana, kapan, dan berapa. Jika seseorang berkata kepada anda: Di mana Allah?
Maka jawablah: Dia ada tanpa tempat dan tidak terikat oleh waktu. Jika ia berkata:
Bagaimana Allah? Maka jawablah: Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-
Nya. Jika ia berkata: Kapan Allah ada? Maka jawablah: Dia Allah al-Awwal; ada tanpa
permulaan dan Dia al-Akhir; ada tanpa penghabisan. Jika ia berkata: Berapa Allah? Maka
jawablah: Dia Allah Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia Maha Esa bukan dari segi
hitungan yang berarti sedikit. -Tetapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak
ada yang menyerupai-Nya”[3].

Dalam kitab tafsir karyanya berjudul At-Tafsîr al-Munir Li Ma’alim at-Tanzil, Syaikh
Nawawi al-Bantani dalam menafsirkan QS. Al-A’raf: 54 pada firman Allah “Tsumma
Istawa ‘Ala al-‘Arsy” menuliskan sebagai berikut:

ِ ‫ب َعلَ ْينَا أَنْ نَ ْقطَ َع بِ َك ْونِ ِه تَ َعالَى ُمنَ َّزهًا َع ِن ا ْل َم َك‬


"‫ان َوا ْل ِج َه ِة‬ ُ ‫ َوا ْل َوا ِج‬..."

“Wajib bagi kita menetapkan keyakinan bahwa Allah Maha Suci dari tempat dan arah”

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara semantik arti Ahlussunnah wal jama'ah adalah sebagai berikut. Ahl
berartipemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut
aliran atau pengikut madzhab (ashab al-madzhab).Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di
samping memiliki arti al-Hadist. Disambungkan dengan ahl keduanya bermakna pengikut
jalan Nabi, para Shahabat dan tabi'in. Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki
tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah wal Jama'ah berarti segolongan orang
yang mengikuti jalan Nabi, Para Shahabat dan tabi'in.

Ahli Sunnah wal Jama'ah meliputi pemahaman dalam tiga bidang utama, yakni bidang
Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Ketiganya merupakan ajaran Islam yang harus bersumber dari
Nash Qur'an maupun Hadist dan kemudian menjadi satu kesatuan konsep ajaran ASWAJA.
Kaitannya dengan pengamalan tiga sendi utama ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari,
golongan Ahlussunnah Wal-Jama'ah mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh ulama
salaf.

B. Saran
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam
makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan
kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah ini.
Penulis banyak berharap kepada para pembaca memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

11
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

http://riy4nti.wordpress.com/2008/05/21/sujud-sahwi/http://www.mqradio.com/
lang=ina&page=front&action=view&item=details&i=202&title=sunah-minussunah-
dalam-sholat

http://tuntunanibadah.blogspot.com/2010/05/sunnah-dalam-shalat.html
http://www.facebook.com/note.php

note_id=406621769300&comments&ref=mf

Marzuqi, H. Ahmad dkk.2016. ”Pendidikan Ahlussunnah wal Jama’ah dan Ke-NUan”.

Surabaya:Tim LP Maarif NU. Muchtar, Masyhudi.2007.” Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran


Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama”.

Surabaya: Khalista Surabaya. Nurliadin, Rochmat, S., Zubaedah, dan Purnama, S. 2017. “Ke-NU-
an, Ahlussunnah Wal Jama`ah”.

Yogyakarta: Lembaga Pendidikan Ma`arif Nahdlatul Ulama. Ramli, Muhammad Idrus. 2011.
Pengantar Sejarah Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Surabaya: Khalista. hlm 53

12

Anda mungkin juga menyukai