Anda di halaman 1dari 20

1

MANAJEMEN EVALUASI PADA PENDIDIKAN ISLAM


(KAJIAN ONTOLOGI, EPSITIMOLOGI, dan AKSIOLOGI)

Dedi Andrianto1

A. PENDAHULUAN

Evaluasi berasal dari kata evaluation, kata ini kemudian menjadi kata serapan dalam
bahasa Indonesia. Secara etimologi, term kata evaluation berasal dari bahasa Inggris
“evaluation”. Menurut Edwind Wand dan Gerald W. Brown, evaluation is act or process to
determime the value of something or can be defined as Act or process to determine the value
of something related to education”2. Dalam pengertian tersebut, evaluasi berasal dari kata to
evaluate yang berarti menilai. Nilai dalam bahasa Arab disebut al-qiimah. Istilah nilai ini
mulanya dipopulerkan oleh seorang filsuf yang bernama Plato. Ia mengemukakan
pembahasan nilai ini secara khsusus dalam kajian filsafat yang terutama pada aspek
aksiologinya. Pentingnya kedudukan nilai dalam bidang ilmu filsafat ini diletakkan sebagai
muara dalam kajian ontology dan epistimologi filsafat. Selanjtnya, kala nilai menurut filsuf
adalah idea of worth, yang sejak itulah kata nilai menjadi kajian yang populer.
Evaluasi yang berarti seperangkat tindakan atau proses untuk menetukan nilai sesuatu
yang berkaitan dengan dunia pendidikan, act or process to determine the value of something
related to education. Evaluasi pendidikan dalam manajemen pendidikan Islam dapat diberi
batasan sebagai suatu kegiatan manajemen untuk menentukan kemajuan suatu pekerjaan
dalam proses pendidikan Islam. Dalam ruang lingkup terbatas, evaluasi dilakukan dalam
rangka mengetahui tingkat kebehasilan pendidik dalam menyampaikan materi penddidikan
Islam pada peserta didik. Sedangkan dalam ruang lingkup luas, evaluasi dilakukan untuk
mengetahui tingkat keberhasilan dan tingkat kelemahan suatu proses pendidikan Islam
(dengan seluruh komponen yang terlibat didalamnya) dalam mencapai tujuan pendidikan
yang dicita-citakan.

1
Mahasiswa program Doktoral UIN Raden Intan Lampung
2
Muhammad Alim, 2011. Islamic Education: The Effort on the Moslem’s Character Building. Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya

1
2

Pendidikan berbasis Islam maupun pendidikan umum pada dasarnya ingin mencapai
tujuan pendidikan yang dicita-citakan itu sendiri. Tujuan pedidikan nasional tercantum dalam
Undang-Undang sebagai berikut:
Tujuan Pendidikan Nasional mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga Negara yang demokratis
serta bertanggung jawab3

Tujuan pendidikan nasional di atas berbanding lurus dengan tujuan pendidikan Islam.
Adapun, tujuan pendidikan Islam secara esensial dikemukakan Al-Abrasyi di kutip oleh
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir bahwa tujuan pendidikan Islam secara umum adalah untuk
mengadakan pembentukan akhlak yang mulia4. Dalam rangkaian mencapai tujuan pendidikan
diperlukan serangkaian proses-proses yang berkaitan dengan pendidikan, mulai dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, kontrol, evaluasi, dan hal lain yang berkaitan
dengan manajemen. Menurut Suharsimi Arikunto, evaluasi adalah kegiatan untuk
mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut
digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan.5 Penilaian
dalam pendidikan Islam dimaksudkan untuk menetapkan berbagai keputusan kependidikan,
baik yang menyangkut perencanaan pengelolaan, proses, dan tindak lanjut, maupun yang
menyangkut perorangan, kelompok, ataupun kelembagaan.6
Kegiatan evaluasi memerlukan informasi yang diperoleh dari hasil asesmen. Asesmen
merupakan kegiatan menanfsirkan data hasil pengukuran (measurement) yaitu berupa data
yang bersifat kuantitatif. Measurement berasal dari kata to measure yang berarti mengukur.
Selanjutnya, Ngalim Purwanto mengartikan pengukuran sebagai pemberian angka kepada
suatu atribut atau karakterirtik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau obyek tertentu
menurut aturan atau formulasi yang jelas.7 Pengukuran dalam pendidikan adalah usaha untuk
memahami kondisi-kondisi objektif tentang sesuatu yang dinilai. Pakar pendidikan Islam
memiliki pandangan tersendiri, tentang pendidikan Islam, seperti pandangan Ibrahimi
sebagaimana dikutip Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir menyatkan bahwa pendidikan Islam
dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu system pendidikan yang memungkinkan
3
UU Sitem Pendidikan Nasional Tahun 2003 pasal 3
4
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Hlm. 79
5
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Hlm. 3
6
Bukhari Umar, 1999. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta. Hlm. 193
7
Ngalim Purwanto, 1996. Psikologi pendidikan. Bnadung: Remaja Rosdakarya. Hlm. 57

2
3

seseorang dapat mengarahkan kehidupanya sesuai dengan ideologi Islam. Sehingga, dalam
pendidikan Islam, evaluasi akan objektif apabila didasarkan dengan tolok ukur Al-Qur’an
atau As-Sunah.
Tolok ukur evaluasi dalam pendidikan Islam banyak ditemui dalam konsep Al-Qur’an
dan As-Sunah, misalnya tolok ukur sholat yang baik dan sempurna yang dapat mencegah
orang dari perbuatan keji dan mungkar, tolok ukur watak seseorang yang beriman adalah bila
melaksanakan sholat secara khusyuk, membayar zakat, menjaga kemaluan terhadap wanita
yang bukan istri (Q.S. An-Nisa’: 162). Tolok ukur perilaku seseorang yang beriman adalah
mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri (Q.S. Al-Baqoroh: 148). Tolok ukur
seseorang yang munafik disebutkan dalam hadits Nabi dalam tiga indikasi, yaitu dusta dalam
berbicara, ingkar dalam berjanji dan khianat apabila diberi kepercayaan (H.R. Bukhori-
Muslim).
Berkaitan dengan evaluasi dalam pendidikan Islam, Shaleh memaparkan bahwa
pembinaan pendidikan yang dilakukan oleh Kementerian Agama selama ini masih perlu
langkah-langkah penyesuaian yang strategis, dalam proses peningkatan kualitas sumber daya
manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dan harus merupakan suatu proses
yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas pembinaan madrasah secara
keseluruhan. Salah satu peran penting pendidikan adalah menyiapkan sumber daya manusia
yang berkualitas sesuai dengan perubahan zaman agar tidak terjadi kesenjangan antara
realitas dan idealitas.8 Namun disadari bersama, pada proses dan pelaksanaan pendidikan
dibeberapa lembaga pendidikan Islam masih jauh dari yang diharapkan dari delapan setandar
pendidikan nasional permasalahan dalam dunia pendidikan begitu kompleks termasuuk di
dalamnya permasalahan evaluasi.
Evaluasi pendidikan memiliki kedudukan yang amat strategis, karena hasil dari
kegiatan evaluasi dapat digunakan sebagai input untuk melakukan perbaikan kegiatan
pendidikan. Ajaran Islam juga menaruh perhatian yang besar terhadap evaluasi tersebut.
Allah SWT, dalam berbagai firman-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an dan Rasulullah SAW
dalam beberapa hadistNya memberitahukan kepada manusia, bahwa pekerjaan evaluasi
terhadap manusia didik adalah merupakan suatu tugas penting dalam rangkaian proses
pendidikan yang telah dilaksanakan oleh pendidik. Dengan kata lain, evaluasi merupakan
subsistem yang sangat penting untuk di manajemen dalam setiap sistem pendidikan Islam.

8
Abdul Rahman Shaleh, 2008. Penyelenggraan Madrasah. Jakarta: Dharma Bakti. Hlm. 9

3
4

Secara umum manajemen evaluasi pendidikan Islam merupakan suatu pengelolaan


yang sistematik berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunah untuk mengetahui tingkat
keberhasilan pelaksanaan program-program kependidikan. Selain berpijak dari kepentingan
tersebut, istilah evaluasi dalam wacana pendidikan Islam tidak ditemukan padanan yang
pasti, akan tetapi terdapat istilah-istilah tertentu yang mengarah pada makna evaluasi.
Terdapat beberapa padanan kata evaluasi, yaitu; 1) Al-hisab, memiliki makna mengira,
menafsirkan dan menghitung; 2) Al-bala, memiliki makna cobaan/ujian; 3) Al-hukm,
memiliki makna putusan atau vonis; 4) Al-qodha, memiliki makna putusan; dan 5) Al-nazhr,
memiliki makna melihat.9 Namun, dalam pendidikan Islam, tujuan evaluasi lebih ditentukan
pada penguasaan sikap (afektif dan psikomotor) ketimbang aspek kognitif. Penekanan ini
bertujuan untuk mengetahui kemampuan peserta didik yang secara garis besar meliputi 4 hal,
yaitu: 1) sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya; 2) sikap
dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat; 3) sikap dan pengalaman
terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya; dan 4) sikap dan pengalaman
terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah, anggota masyarakat serta khalifah Allah.10
Seyogyanya, evaluasi dapat dijadikan langkah solutif untuk menjawab dan
menyelesaikan permasalahan dalam pendidikan dengan mengaplikasikan dan
mengimplementasikan evaluasi pendidikan berbasis Al-Qur’an dan As-Sunah secara
komperhensif dan universal pada dunia pendidikan. Dengan demikian, poin dari
permasalahan yang telah diuraikan adalah menuju tercapainya tujuan pendidikan dan
terciptanya pendidikan yang diharapkan. Oleh karena itu, kajian ini berusaha memberikan
interpretasi tentang manajemen evaluasi pendidikan Islam. Kajian ini sebagai pembahasan
keislaman dengan menelusuri literature yang berhubungan dengan evaluasi dengan segala
derivasinya dalam subkajian ontologi, epistimologi, dan aksiologi, kemudian dikembangkan
melalui pendekatan tematik menggunakan landasan Al-Qur’an dan As-Sunah.

B. PEMBAHASAN (Kajian Ontologi, Epsitmimologi, dan Axiologi dari Evaluasi)


1. Ontologi dari Evaluasi

9
Bukhari Umar, 1999. Ilmu Pendidikan Islam,…. Hlm. 194
10
Ibid.

4
5

Ontologi adalah membahas hakikat ilmu. Kajian hakikat yang dalam hal ini berbicara
hakiki berarti berbicara tentang keberadaan dan hasil berpikir tentang segala sesuatu yang
ada. Nama lain untuk teori hakiki ialah teori tentang keadaan, demikian pandangan langevel
sebagaimana dikutip Ahmad Tafsir.11 Hakiki adalah realitas yang artinya kenyataan yang
sebenarnya, keadaan sebenarnya akan sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang
menipu, bukan keadaan berubah.12 Suatu pengandaian, bahwa pada hakikinya evaluasi
pendidikan dilaksanakan secara objektif. Mungkin sebagai pendidik pernah memberikan
nilainya secara subjektif, diskriminasi nilai, dan memberikan nilai yang tidak berlandasakan
evaluasi. Sehingga, tindakan-tindakan tersebut pendidik tidak melaksanakan prinsip
objektivitas dalam evaluasi pendidikan. Itu hanyalah keadaan sementara, bukan hakiki.
Bahasa lain dari teori hakiki adalah ontologi. Kata ini berasal dari bahasa Inggris
ontology dengan akar katanya berasal dari bahasa Yunani dari kata “on” yang berarti ada dan
“ontos” yang berarti keberadaan, serta kata “logos” yang berarti pemikiran.13 Jadi, ontologi
adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadannya. Sedangkan pengertian menurut A.R.
Lacey sebagaimana dikutip Suparlan bahwa ontologi diartikan sebagai a central part of
metaphisics.14 Dalam pengertian tersebut, ontology sebagai bagian pusat dari metafisika.
Sedangkan metafisika sendiri diartikan sebagai that which comes after physics, yaitu hal yang
hadir setelah fisika. Dalam metafisika, pada dasarnya dipersoalkan mengenai substansi atau
hakiki yang ada.
Selanjutnya, Bagus memberikan penjabaran karakteristik ontologi sebagai berikut: 1)
ontology adalah studi tentang arti “ada” dan berada, ciri-ciri esensial dari yang ada dalam
dirinya sendiri, serta menurut bentuknya yang paling abstrak; 2) ontology sebagai cabang
filsafat yang mempelajari tata dan struktur ralitas dalam arti seluas mungkin dengan
menggunakan kategori-kategori seperti: ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata
atau penampakan, esensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, serta perubahan-
perubahan dari keadaan; 3) ontology adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakiki
terakhir yang ada, yaitu Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi, Sempurna, dan keberadaan
segala sesuatu yang mutlak bergantung kepada-Nya; dan 4) ontology merupakan cabang

11
Ahmad Tafsir, 1990. Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai James. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Hlm. 31
12
Ibid., Hlm. 32
13
Suparlan Suhartono, 2008. Filsafat Ilmu pengetahuan persoalan Eksistensi dan Hakiki Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hlm. 111
14
Ibid.

5
6

filsafat yang mempelajari tentang realitas apakah nyata atau semu, apakah pikiran itu nyata,
dan sebagainya.15
Uraian di atas, menjelaskan bahwa yang ada itu ada yang bersifat fisik da nada pula
yang bersifat metafisika. Metafisika itulah yang menjadi objek kajian filsafat. Walaupun,
diketahui bahwa objek ilmu pengetahuan itu ada yang berupa materi dan bentuk (forma).
Objek materi adalah sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran, atau penelitian
keilmuan, bisa berupa benda-benda material maupun yang non-material, bisa pula berupa hal-
hal, masalah-masalah, ide-ide dan konsep-konsep. Objek materi tidak terbatas pada apakah
ada dalam realitas konkrit atau dalam realitas abstrak. Objek materi yang berupa material
maupun non-material sebenarya merupakan suatu substansi yang tidak begitu saja dengan
mudah diketahui bahkan lebih-lebih yang non material, sedang yang material pun sebagai
suatu subtansi mempunyai segi yang sulit dihitung dan ditentukan jumlahnya.16 Sedangkan,
objek forma atau cara pandang ini berkonsentrasi pada satu segi saja, sehingga menurut segi
yang satu ini kemudian tergambarlah lingkup suatu pengeahuan mengenai sesuatu hal
menurut segi tertentu.
Segala sesuatu yang ada dalam metafisika berada dalam tiga dimensi, yaitu: dimensi
abstrak (abstact being), kemungkinan (potentiality being) dan perwujudan (appearance
being).17 Setiap hal yang ada niscaya berada di dalam dimensi abstrak, pribadi, dan konkrit.
Di samping itu, menurut cara-cara keberadaannya, segala yang ada bisa berada di dalam
angan-angan (imagination), di dalam kemungkinan (possibility), dan bisa juga di dalam
kenyataan konkrit (concrete fact). Dari terminologi hakiki ini, evaluasi merupakan sesuatu
yang ada, sehingga keberadaannya merupakan perwujudan dari objek material dan non-
material. Hakikat evaluasi sendiri menaruh perhatian besar terhadap segala permasalahan
yang terjadi di lapangan, sehingga permasalahan-permasalahan tersebut dapat dikembalikan
ke dalam hakikinya evaluasi itu sendiri.
Setelah menguraiakan teori hakiki atau kajian ontology di atas, kemudian
dihubungkan dengan evaluasi dalam filsafat pendidikan Islam, maka tergambarlah di dalam
pikiran bahwa salah satu ciri pendekatan filsafat adalah bersifat radikal, yaitu pemikiran yang
mendalam, menukik sampai kepada inti atau akar permasalahan dan menyeluruh tentang
evaluasi pendidikan. Evaluasi pendidikan membedakan empat komponen yang saling terkait

15
Ibid., Hlm. 112
16
Soetriono dan Rita Hanafie, 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset.
Hlm. 13
17
Suparlan Suhartono, 2008. Op.cit., Hlm. 39

6
7

dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam hal ini, kegiatan evaluasi
pendidikan harus melibatkan kegiatan lainnya, yakni; pengukuran, penilaian, dan tes/non-tes.
Menurut Suharsimi Arikunto, evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan
informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk
menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan.18 Supardi berpandangan
bahwa penilaian merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan proses dan hasil
pembelajaran. Kegiatan penilaian memerhatikan banyak aspek, mulai dari pemilihan
instrumen penilaian, penyusunan instrumen penilaian, analisis kualitatif dan kuantitatif butir
instrumen, pelaksanaan penilaian afektif, kogitif maupun psikotor. Dan diakhiri dengan
penulisan laporan hasil belajar, penyusunan rangking penyusunan profil peserta didik. Tak
kalah pentingnya adalah pembuatan instrumen penilaian pada Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) dan penetapan kriteria ketuntasan minimum.19 Kemudian Supardi juga
menambahkan bahwa penilaian terhadap proses pembelajaran harus dilakukan dengan cara
yang baik dan benar karena akan mempengaruhi kualitas hasil belajar serta kelulusan peserta
didik suatu lembaga pendidikan.
Selain pendapat di atas, secara istilah, ada beberapa pendapat yang menguatkan.
Pendapat yang berbeda dalam redaksinya namun pada dasarnya sama, yakni pendapat Abudin
Nata yang menyatakan bahwa evaluasi sebagai proses membandingkan situasi yang ada
dengan kriteria tertentu dalam rangka mendapatkan informasi dan menggunakannya untuk
menyusun penilaian dalam rangka membuat keputusan.20 Dalam hal lainnya, M. Ngalim
Purwanto sebagaimana dikutif Supardi dalam arti yang luas evaluasi adalah proses
merencanakan, memperoleh dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk
membuat altternatif-alternatif keputusan.21
Secara harfiah, evaluasi pendidikan dapat diartikan sebagai penilaian dalam bidang
pendidikan atau hal-hal yang berkenaan dengan kegiatan pendidikan. 22 Sementara itu,
Nanang Fatah evaluasi adalah perbuatan pertimbangan menurut suatu perangkat kriteria yang
disepakati dan dapat dipertanggung jawabkan.23 Adapun, M. Chabib Thoha, mengutarakan
bahwa evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan objek dengan

18
Suharsimi Arikunto, dasar-dasar evaluasi pendidikan, hlm. 3
19
Supardi, 2016. Penilaian Autentik: Pembelajaran Afektif, Kognitif dan Psikomotor. Depok: PT. Raja
Grapindo Persada, Cet. Ke-2. Hlm. V
20
Abudin Nata, 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. Cet. Ke-1. Hlm. 183
21
Op.cit. Hlm. 12
22
Anas Sudijono, 2001. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 1
23
Nanang Fatah, 2001. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hlm. 107

7
8

menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh
kesimpulan.24 Dagi segi istilah, para ahli memiliki sudut pandang yang berbeda sesuai
dengan bidang keahlian masing-masing. Namun, muara pada semua definisi menuju ke suatu
titik, yaitu proses penetapan keputusan tentang sesuatu objek yang dievaluasi. Dalam bidang
pendidikan akan benyak tema yang berkaitan dengan permasalahan pendidikan seperti:
kinerja, prestasi, manajemen kelas, kompetensi guru, iklim akademis dan seterusnya.
Dalam konteks pendidikan, khususnya berkaitan dengan hasil kerja siswa, Nitko dan
brookhart sebagaimana dikutip Mansyur mendefinisikan evaluasi sebagai suatu proses
penetapan nilai yang berkaiatan dengan kinerja dan hasil karya siswa. Fokus evaluasi dalam
konteks ini adalah individu, yaitu prestasi belajar yang dicapai kelompok siswa atau kelas. 25
Sudut pandang ini melihat bahwa evaluasi merupakan suatu proses penentuan sejauhmana
tujuan pendidikan telah tercapai. Konseuensi logis dari pandangan ini, mengharuskan
evaluator untuk mengetahui betul tetang tujuan yang ingin dievaluasi yakni prestasi belajar,
sikap, perilaku, motivasi, minat, dan tanggungjawab. Begitu juga pengertian pendidikan telah
banyak dikemukakan oleh para ahli pendidika. Menurut Ahmad D. Marimba sebagaimana
dikutip Masnur Muslich pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.26 Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia pendidikan
adalah upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan
jasmani anak didik.27 Sementara Gunawan segaimana dikutip Masnur Muslich Pendidikan
pada dasarnya adalah suatu proses untuk menciptakan kedewasaan pada manusia. 28 Proses
yang dilalui untuk mencapai kedewasaan tersebut membutuhkan waktu yang lama, karena
aspek yang ingin dikembangkan bukan hanya kognitif semata–mata melainkan mencakup
semua aspek kehidupan, termasuk di dalamnya nilai–nilai ketuhanan.
Berdasarkan beberapa pengertian pendidikan dari para ahli pendidikan, perbedaan
mendefinisikan secara redaksional namun secara esensialnya terdapat satu kesatuan unsur dan
faktor yang terdapat di dalamnya yaitu pengertian pendidikan tersebut menunjukkan suatu
proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang di dalamnya mengandung unsur-unsur
seperti: pendidik, peserta didik, tujuan, dan sebagainya. Dalam hal manajemen, unsur yang
24
M. Cabib Thoha, 1990. Teknik-Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
25
Harun Rasyid Mansyur dan suratno, 2009. Asesmen Pembelajaran di Sekolah. Yogyakarta: Multi
Pessindo. Hlm. 7
26
Mansur Muslich, 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidemensional. Jakarta:
Bumi Aksara. Hlm. 21
27
Ibid. hlm.. 22
28
Ibid. Hlm. 23

8
9

terkait adalah pelaku pendidikan, yakni pendidik, peserta didik, dan pimpinan lembaga dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan kontrol dalam evaluasi pendidikan.
Konsep pendidikan Islam diutarakan oleh Abdul Majid, Zakiyah Daradjat, dan Tayar
Yusuf, yaitu pertama, menyangkut pendidikan secara sadar dan terencana (perencanaan).
Kedua, proses transfer pengetahuan (pelaksanaan). Ketiga, sumber pendidikan yang berasal
dari al-Qur’an dan al-Hadits (Materi). Keempat bertujuan menghasilkan murid yang beriman,
bertakwa, berakhlak mulia, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam, serta kemampuan
untuk hidup berdampingan dengan penganut agama lain dalam konteks kehidupan berbangsa
dan bernegara yang berlandaskan syariat Islam (tujuan). 29 Selain itu, pakar pendidikan Islam
memiliki pandangan tersendiri, tentang pendidikan Islam, seperti pandangan Ibrahimi
sebagaimana dikutip Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir menyatkan bahwa pendidikan Islam
dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu system pendidikan yang memungkinkan
seseorang dapat mengarahkan kehidupanya sesuai dengan ideologi Islam, sehingga dengan
mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam.30
Berkaitan dengan tujuan pendidikan Nasional, tujuan pendidikan Islam berkontribusi
dalam tujuan pendidikan umum secara Nasional. Secara esensial sebenarnya tujuan
pendidikan Islam yang dikemukakan Al-Abrasyi di kutip oleh Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakir bahwa tujuan pendidikan Islam secara umum adalah untuk mengadakan
pembentukan akhlak yang mulia.31 Dalam mencapai tujuan pendidikan diperlukan
serangkaian proses-proses yang berkaitan dengan pendidikan. Mulai dari perencanan,
organisasi, pelaksanan, evaluasi dan yang lainya.
Dengan kata lain, Evaluasi merupakan subsistem yang sangat penting dan sangat
dibutuhkan dalam setiap sistem pendidikan, karena evaluasi dapat mencerminkan seberapa
jauh perkembangan atau kemajuan hasil pendidikan. Dengan evaluasi, maju dan mundurnya
kualitas pendidikan dapat diketahui, dan dengan evaluasi pula, dapat diketahui titik
kelemahan sehingga dapat mencari jalan keluar untuk berubah menjadi lebih baik di masa
yang akan datang. Tanpa evaluasi, sulit sekali mengetahui seberapa jauh keberhasilan
pelaksanaaan persfektif Islam adalah suatu proses sistematik berlandaskan Al-Qur’an dan Al-
Hadist untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan program-program kependidikan.

29
Abdul Majid, 2012. Belajar dan Pembelajaran pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Rosda karya.
Hlm. 11-12
30
Abdul Majid dan Jusuf Mudzakir, 2010 Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana. Hlm. 25
31
Ibid., Hlm. 79

9
10

Dengan demikian setelah memahami dari beberapa devinisi tersebut di atas, maka
dapat dipahami bahwa Evaluasi pendidikan adalah suatu proses kegiatan untuk mendapatkan
informasi data mengenai pencapaian lembaga pendidikan terhadap program-program
kependidikan yang sudah terlaksana. Hasil evaluasi pendidikan sangat diperlukan untuk
menyusun berbagai kebijakan yang akan diambil oleh lembaga pendidikan. Dengan
demikian, evaluasi pendidikan merupakan suatu keniscayaan dalam lembaga pendidikan,
baik sekolah maupun madrasah.

2. Epistimologi dari Evaluasi


Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan
hakikat dan linkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. 32 Dalam hal ini,
akan dijelaskan teori tentang evaluasi pendidikan. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 ayat 21 dijelaskan bahwa evaluasi
pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan
terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.33
Adapun beberapa pengetahuan yang mendasari dalam menejemen evaluasi pendidikan
Islam diantaranya; kedudukan evaluasi, tujuan dan fungsi evaluasi, prinsip-prinsip evaluasi,
sistem evaluasi, dan prosedur dalam evaluasi.
1) Kedudukan Evaluasi Pendidikan Islam
Evaluasi pendidikan memiliki kedudukan yang amat strategis, karena hasil dari
kegiatan evaluasi dapat digunakan sebagai input untuk melakukan perbaikan kegiatan
pendidikan. Ajaran Islam juga menaruh perhatian yang besar terhadap evaluasi tersebut,
Allah SWT dalam berbagai firman-Nya dalam kitab suci al-Qur’an memberitahukan kepada
kita, bahwa pekerjaan evaluasi terhadap manusia didik adalah merupakan suatu tugas penting
dalam rangkaian proses pendidikan yang telah dilaksanakan oleh pendidik. Misalnya dalam
surah al-Baqarah: 31-32.34
2) Tujuan dan Fungsi Evaluasi Pendidikan Islam

32
Lihat di http://historia-rockgill.blogspot.com/2011/12/definisi-aksiologiontologi-dan.html, di akses
pada tanggal 6 Oktober 2018, Pukul. 13.19.
33
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal I ayat 21
34
Abudin Nata, 1997, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Hlm. 134

10
11

Pendidikan Islam secara rasional–filosofis adalah bertujuan untuk membentuk al-


insan  al-kamil atau manusia paripurna. Beranjak dari konsep ini, pendidikan Islam
hendaknya diarahkan pada dua dimensi, yaitu: Pertama, dimensi dialektikal
horizontal. Kedua, dimensi kedudukan vertikal. 35 Secara umum tujuan dan fungsi evaluasi
pendidikan Islam diarahkan pada dua dimensi di atas. Secara khusus, tujuan pelaksanaan
evaluasi dalam pendidikan Islam adalah untuk mengetahui kadar pemilikan dan pemahaman
peserta didik terhadap materi pelajaran, baik dalam aspek kognitif, psikomotorik maupun
afektif. Sebagai tindak lanjut dari tujuan ini adalah untuk mengetahui siapa di antara peserta
didik yang cerdas dan yang lemah. Implikasi dari konsep ini adalah adanya pemilahan
perhatian terhadap peserta didik, antara yang lemah diberi perhatian khusus agar ia dapat
mengejar dan memenuhi kekurangannya, sedangkan kepada yang cerdas diberikan pengayaan
agar ia terus meningkatkan kemampuannya kearah yang lebih baik lagi. Dalam pendidikan
Islam, tujuan evaluasi lebih ditekankan pada penguasaan sikap (afektif dan psikomotor)
ketimbang aspek kognitif.36
3) Sistem Evaluasi dalam Pendidikan Islam
Sistem evaluasi dalam pendidikan Islam adalah mengacu pada sistem evaluasi yang
digariskan Allah SWT dalam al-Qur’an sebagaimana telah di kembangkan oleh Rosul-Nya
Muhammad SAW. Dari apa yang telah dilakukan Rosulullah dalam proses pembinaan risalah
Islamiyah, maka secara umum sistem evaluasi pendidikan Islam adalah: 1) untuk menguji
daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema kehidupan yang
dihadapi; 2) untuk mengetahui sejauh mana atau sampai di mana hasil pendidikan wahyu
yang telah diaplikasikan Rosulullah SAW kepada umatnya; 3) untuk menentukan klasifikasi
atau tingkat hidup keislaman atau keimanan seseorang, seperti pengevaluasian Allah terhadap
Nabi Ibrahim AS yang menyembelih Ismail putra yang dicintainya; 4) untuk mengukur daya
kognisi, hafalan manusia dan pelajaran yang telah diberikan kepadanya, seperti
pengevaluasian terhadap Nabi Adam AS tentang asma-asma yang diajarkan Allah SWT
kepadanya di hadapan para Malaikat; 5) memberikan semacam tabsyir (berita gembira) bagi
yang beraktivitas baik, dan memberikan semacam ‘iqob (siksa) bagi mereka yang beraktivitas
buruk; 6) Allah SWT dalam mengevaluasi hamba-Nya tanpa memandang formalitas
(penampilan), tetapi memandang substansi di balik tindakan hamba-hamba tersebut; 7) Allah

35
Nizar, 2002, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers, Hlm. 78
36
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996. hal. 80

11
12

SWT memerintahkan agar berlaku adil dalam mengevaluasi sesuatu, jangan karena kebencian
menjadikan ketidak objektifan evaluasi yang dilakukan.37

4) Prinsip Evaluasi
Pertama, evaluasi mengacu kepada tujuan. Setiap aktifitas manusia sudah barang tentu
mempunyai tujuan tertentu, karena aktifitas yang tidak mempunyai tujuan berarti merupakan
aktifitas atau pekerjaan sia-sia. Nabi Muhammad SAW menganjurkan kepada umatnya agar
meninggalkan aktivitas yang sia-sia tersebut. Agar evaluasi sesuai dan dapat mencapai
sasaran yang diharapkan, maka evaluasi juga perlu mengacu pada tujuan. Tujuan sebagai
acuan ini dirumuskan lebih dahulu, sehingga dengan jelas menggambarkan apa yang hendak
dicapai.
Kedua, evaluasi dilaksanakan secara obyektif, dalam arti bahwa evaluasi itu
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, berdasarkan fakta dan data yang ada tanpa dipengaruhi
oleh unsur-unsur subyektifitas dari evaluator (penilai). Allah SWT memerintahkan agar
berlaku adil dalam mengevaluasi sesuatu, jangan karena kebencian menjadikan
ketidakobjektifan evaluasi yang dilakukan (Q.S. Al-Maidah: 8). Obyektifitas dalam evaluasi
itu antara lain ditjuakan dalam sikap-sikap evaluator yang menerapakan sifat-sifat Rasulullah
SAW sebagai berikut : 1) Sikap Ash-Shidiq, yakni berlaku benar dan jujur dalam mengadakan
evaluasi. Sebaliknya tidak bersikap dusta dan curang, 2) Sikap Amanah yakni suatu sikap
pribadi yang setia, tulus hati dan jujur dalam menjalankan sesuatu yang dipercayakan
kepadanya, 3) tabligh yakni menyampaikan, dan 4) Fatonah yaitu pintar. Sikap Rasulullah
SAW ini harus dimiliki oleh evaluator.
Ketiga, evaluasi itu harus dilakkan secara Komprehensif. Hal ini berarti bahwa
evaluasi itu harus dilakukan secara menyeluruh, meliputi berbagai aspek kehidupan peserta
didik, baik yang menyangkut iman, ilmu maupun amalnya. Ini dilakukan karena umat Islam
memang diperintahkan untuk mempelajari, memahami serta mengamalkan Islam secara
menyeluruh. Dengan demikian evaluasi pendidikan agama Islam pun harus dilakukan secara
menyeluruh pula, yang mencakup berbagai aspek dunia pendidikan.
Keempat, evaluasi itu harus dilakukan secara kontinue (terusmenerus). Bila aktifitas
pendidikan agama Islam dipandang sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu, maka evaluasi pendidikannya pun harus dilakukan secara kontinue (terus-menerus),
dengan tetap memperhatikan prinsip (obyektifitas) dan prinsip (harus dilakukan secara

37
Nizar Hamsul Haji, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat Pres,2002,hal.81-82

12
13

komprehensif).38 Prinsip keempat ini selaras dengan ajaran istiqomah dalam Islam, yakni
bahwa setiap umat Islam hendaknya tetap tegak beriman kepada Allah, yang diwujudkan
dengan senantiasa mempelajari Islam, mengenalkannya serta tetap membela tegaknya agama
Islam. Sungguh pun terdapat berbagai tantangan dan rintangan yang senantiasa dihadapinya.
Mengingat ajaran Islam harus dilakukan secara istiqomah (kontinue), maka evaluasi
pendidikan agama Islam pun harus dilakukan secara kontinu pula, sehingga tujuan
pendidikan agama Islam dapat dicapai secara optimal. Melaksanakan evaluasi pendidikan
harus dalandaskan berdasarkan prinsip-pernsip evaluasi pendidikan dalam hal ini yaitu
prinsip-prinsip evaluasi pendidikan perspektif Islam dengan sebuah harapan mampu
menghasilkan hasil sebuah evaluasi yang lebih baik.

5) Prosedur Evaluasi
Prosedur dalam mengadakan evaluasi dapat dibagi kepada beberapa langkah.
Langkah-langkah tersebut di antaranya: Perencanaan, Pengumpulan data, Verivikasi data,
Analisis data, dan Penafsiran data.39 Evaluasi pendidikan Islam bukan hanya ditujukan pada
evaluasi dalam arti prestasi akademik anak didik. Evaluasi pendidikan islam ditujukan pula
kepada evaluasi kehidupan anak didik dalam hubungannya dengan Allah SWT dan dengan
sesame manusia. Jadi hablunminallah dan hablunminanas pun diuji, karena nilai yang
diharapkan dari pendidikan islam adalah kekuatan anak didik dalam menghadapi ujian dari
Allah SWT.40

3. Aksiologi dari Evaluasi


Dalam aksiologi diuraikan dua hal, yang pertama tentang kegunaan pengetahuan
filsafat dan yang kedua tentang cara filsafat menyelesaikan masalah. Sedangkan, dalam
Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan Value dan
Valution.41 Adapun, pengertian Value dan Valution yang dimaksud adalah nilai sebagai
bentuk abstrak, konkret, dan ekspresi menilai. Dari pengertian tersebut, dapat dipahami
bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.42

38
M. Habib Toh.a, Teknik Evaluasi Pendidikan, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1996). Hlm. 20
39
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, Hlm. 148
40
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : CV Pustaka Setia. 2009. hal. 145
41
Dr. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, Hlm. 162
42
Dr. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, Hlm. 165

13
14

Berdasarkan konsep aksiologi di atas, nilai dan norma yang harus berada pada etika
dalam evaluasi adalah nilai dan norma moral. Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia
berada pada/atau menjadi milik seseorang baik peserta didik (yang dinilai) dan pendidik
(penilai). Selain itu, tanggung jawab seseorang di bidang etika, bukan hanya memberikan
informasi namun juga harus memberi contoh. Dia harus objektif, terbuka, menerima kritik,
menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan kalau berani
mengakui kesalahan. Semua sifat ini merupakan implikasietis dari prinsip-prisnsip evaluasi.
Beberapa nilai daya guna dari evaluasi dalam pendidikan Islam mengacu pada sistem
evaluasi yang digariskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan dijabarkan dalam Sunnah,
yang dilakukan Rasulullah SAW dalam proses pembinaan risalah Islamiyah. Secara umum
tujuan dan fungsi evaluasi pendidikan Islam sebagai berikut:
Pertama, untuk menguji. Hal ini digambarkan dalam ayat Al- Qur’an tentang menguji
daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema kehidupan yang
dihadapi. Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buahbuahan.
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yangsabar” (Q.S. Al-Baqarah: 155).
Kedua, untuk mengetahui, Hal ini digambarkan dalam ayat Al-Qur’an tentang
sejauhmana atau sampai dimana hasil pendidikan wahyu yang telah diaplikasikan Rasulullah
SAW. kepada umatnya. Allah SWT berfirman yang artinya “Berkatalah seorang yang
mempunyai ilmu dari Al Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum
matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya,
iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau
mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka
sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia" (Q.S. Al-Naml: 40).
Ketiga, untuk menentukan klasifikasi atau tingkat, hal ini digambarkan dalam ayat Al-
Qur’an tentang klasifikasi atau tingkat hidup keislaman atau keimanan seseorang, seperti
pengevaluasian Allah SWT. terhadap Nabi Ibrahim as. yang menyembelih Ismail as. putra
yang dicintainya. Allah SWT berfirman yang artinya: Tatkala keduanya telah berserah diri
dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan
Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu",
sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

14
15

Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar. (Q.S. Al-Shaffat: 103-107).
Keempat, untuk mengukur daya kognisi, hafalan manusia dan pelajaran yang telah
diberikan kepadanya, seperti pengevaluasian terhadap nabi Adam as. tentang asma` yang
diajarkan Allah SWT kepadanya di hadapan para malaikat. Allah SWT berfirman yang
artinya “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-
Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" (Q.S. Al-Baqarah:
31).
Kelima, memberikan semacam tabsyir (berita gembira)/reward bagi yang beraktivitas
baik, dan memberikan semacam ‘iqab (siksa)/punishment bagi mereka yang beraktivitas
buruk. Allah SWT berfirman yang artinya “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan
seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang
mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.
(Q.S. Al-Zalzalah: 7-8).

4. Diskusi: Manajemen Evaluasi Pendidikan Islam


Robert L. Ebel menyatakan bahwa dalam pengembangan evaluasi pendidikan seorang
evaluator harus membuat spesifikasi tes yang berdasarkan pertanyaan yang harus dirancang
ketika seorang membuat tes/ujian. Spesifikasi ini berfungsi sebagai petunjuk kepada
perancang tes dan menyediakan definisi operasional kuantitas yang akan diukur. Bagi
kebanyakan tes prestasi pendidikan, definisi operasional ini berguna untuk mendapat
informasi tentang maksud diukurnya suatu tes.43 Selanjutnya Ebel memberikan daftar
beberapa pertanyaan berupa rangkaian spesifikasi yang lengkap yang harus dijawab44, yaitu:
1. Apa tujuan dari tes
Pertanyaan ini diperinci dengan sub pertanyaan; 1) siapa yang akan diuji?; 2) untuk
apa mereka diuji?; 3) menggunakan tes skor apa?; 4) bagaimana individu mendapatkan
kemampuan dari apa yang diteskan kepada mereka?; 5) apa judul tes yang mengekspresikan
tujuan tes itu?.
Untuk siapa tes itu dilakukan itu berkaitan dengan sasaran tes, yaitu peserta tes (anak
didik). Dalam hal ini perancang tes harus mengetahui pada level mana anak didik yang akan
43
Robert L Ebel, Practical Problems in Educational Mesurement (Lexiton, Massaschusett, Toronto:
D.C. Helt and Company,1980), hlm.101
44
Ibid.,Hlm. 102-105

15
16

dites. Sedangkan untuk apa tes itu dilakukan berkaitan dengan fungsi atas yaitu selektif,
penempatan, diagnostik, dan pengukur keberhasilan. 45 Selanjutnya, kemampuan apa yang
diharapkan dari tes yang dilakukan berkaitan dengan tujuan pembelajaran bidang studi yang
bersangkutan, dan ini harus mengacu pada silabus yang di dalamnya telah terumuskan
kemampuan (kompetensi) apa yang diinginkan. Judul tes juga sebaiknya yang menjadi arah
bagi pelaksaan tes. Sebagai contoh sebuah tes prestasi belajar pada bab ‘Thahârah’ untuk
mata pelajaran Fiqh. Dengan demikian tes harus diarahkan untuk mengetahui seberapa jauh
kemampuan testee tentang persoalan-persoalan thahârah pada mata pelajaran Fiqh.
2. Apa yang akan menjadi isi tes

Pertanyaan di atas dapat dipecah menjadi sub pertanyaan sebagai berikut: 1) Wilayah
bidang studi apa dan subwilayah bidang studi apa dari isi (content) yang dapat tercover oleh
tes?; 2) Berapa banyak item yang akan ditulis pada tiap-tiap wilayah bidang studi tadi?; 3)
Aspek kemampuan apa yang dikehendaki dari masing-masing item melalui tes?; 4) Berapa
banyak item yang akan ditulis untuk masing-masing aspek?; 5)Apa yang akan menjadi
sumber pemikiran atas masing-masing item?; dan 6) Kriteria untuk menjadikan sumber-
sumber tertentu dalam penulisan item-item tersebut?.
Spesifikasi bagi sebuah tes prestasi kependidikan harus terdiri dari outline rinci
bidang kajian ilmu pengetahuan atau kemampuan yang diteskan. Spesifikasi juga harus
memberikan indikasi berapa banyak item yang diinginkan bagi masing-masing bidang kajian
dan rasio penyebaran item-item itu. Tes tipe ini juga harus terdiri dari item-item yang
menggambarkan aspek keberhasilan, pemahaman akan istilah-istilah, pengetahuan tentang
fakta-fakta dan generalisasi, kemampuan untuk menjelaskan, memprediksi, memecahkan
berbagai persoalan dan lain-lain. Selanjutnya spesifikasi harus mengidentifikasi sumber-
sumber untuk menemukan ide-ide baru dalam penulisan item pertanyaan. Untuk itu
diperlukan kriteria tertentu dalam memberikan petunjuk dalam menulis item, yang secara
umum adalah ide-ide yang diseleksi harus yang paling produktif dan merupakan informasi
yang paling berguna bagi anak didik untuk memahami elemen pengetahuan dan kemampuan
terpenting dalam bidang studi yang akan diujikan.

45
Fungsi tes sebagai sebuah alat/ instrumen evaluasi juga disebutkan sebagai fungsi psikologis baik yang
memberikan arti penting bagi guru dan murid. Dengan fungsi ini, guru dapat mengevaluasi diri untuk mengukur
kelebihan dan kekurangannya dalam mengajar, demikian murid dapat mengevaluasi diri kelebihan dan
kelemahannya dalam belajar. Dengan mengetahui batas kemampuan yang dimiliki, maka seorang murid dapat
mempunyai kesadaran diri (self consciousness), dan metacognitive, yaitu pengetahuan yang benar.

16
17

3. Berbentuk apakah tes itu?46


Pertanyaan di atas dapat dirinci dengan sub pertanyaan dibawah ini: 1) Bentuk apakah
tes yang akan digunakan dan mengapa menggunakan bentuk tes ini?; 2) Seberapa lama waktu
tes yang dibutuhkan ? dan mengapa?; 3) Berapa banyak item-item tes yang akan masuk? dan
mengapa?. Masing-masing bentuk dari tes mempunyai kelebihan, di samping kekurangan
dalam keadaan tertentu, seorang perancang tes harus menentukan bentuk tes dan mengapa
menggunakan bentuk tes tersebut. Jika jam pelajaran atau waktu ujian tidak menentukan
lamanya tes, ini dapat ditentukan oleh tingkat akurasi yang diinginkan dalam memberikan
skor, atau kemungkinan durasi yang dibutuhkan oleh yang diuji dalam berusaha menjawab.
Kebanyakan tes objektif membutuhkan kurang-lebih dua jam. Makin lama waktu tes,
maka akan semakin teliti skor tes. Jumlah item pertanyaan yang masuk dalam durasi tertentu
akan tergantung kepada bentuk dari item yang dipilih, kompleksitas proses berpikir yang
terlibat dalam seleksi sebuah jawaban, dan tingkat kecepatan yang diuji dalam menjawab tes
dapat menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan skor.

4. Bagimana item-item tes ditulis


Seorang yang merancang tes harus mempunyai kualifikasi dalam bidang studi yang
diteskan. Dalam pengembangan tes, penting adanya review dalam penulisan item-item dari
orang lain yang juga ahli dalam bidang itu. Jika mungkin item-item itu seharusnya
diujicobakan dengan semisal orang yang akan diujikan secara sederhana. Seorang penulis
item yang baik, memahami seluruh bahan mata pelajaran (sub pembahasan) bidang studi
yang akan diteskan. Ia mengenal dan menguasi problem- problem yang dihadapi murid dan
kesalahpahaman yang mereka dapati sewaktu mempelajari mata pelajaran itu. Ia juga mampu
dalam mengungkapkan konsepkonsep dan ide-ide secara jelas dan akurat, dan ia menguji
dengan tes yang baik dengan menggunakan berbagai model item. Kemampuan semacam ini
harus dimiliki seorang yang akan melaksanakan dengan penulisan dan review item-item.

46
Bentuk-bentuk tes dapat disebutkan disini yaitu 1) tes subyektif yang juga disebut sebagai essay
examination; yang mempunyai kelemahan-kelemahan sebagai berikut: tes ini relatif sukar, tes ini kurang
komprehensif, kurang terjamin reliabilitas, validitas, dan obyektifitasnya. Namun tes ini juga memiliki
kelebihan-kelebihan seperti: memberikan kebebasan yang luas kepada anak didik untuk merespon/ menjawab
pertanyaan, dapat mengetahui proses anak didik dalam menjawab pertanyaan. Dengan tes ini dapt diketahui
keperibadian anak didik dan dapat mengembagkan kreativitas anak didik. 2) Tes obyektif yang terdiri dari : tes
benar salah atau tes Ya-Tidak, tes pilihan ganda (multiple choice), tes mencocokkan, dan tes isian pendek, dan
tes melengkapi. Lihat Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.
306-326

17
18

Seorang yang ditugaskan untuk mereview item-item tersebut dapat merekomendasikan


bahwa item-item itu diterima, ditolak atau direvisi.
Rekomendasi untuk menolak item-item itu harus disertai identifikasi terhadap
kesalahan yang serius sehingga item-item itu tidak dapat diteruskan. Sedangkan item-item
yang direvisi harus disertai perbaikan/perubahan yang dinginkan. Hanya item-item yang
mempunyai kesalahan paling serius yang diberi catatan dan dikoreksi. Proses review dapat
efektif dan efisien jika hal itu dilakukan dengan komunikasi tertulis dan dengan ditambah
dengan diskusi (penjelasan lisan). Kerja sama yang baik antara pereview dan perancang tes
akan menghasilkan instrumen tes yang diinginkan. Tujuan dari tes uji coba adalah
menemukan kelemahan tes yang dibuat oleh perancang tes maupun pereview. Ketidaktelitian
dan ambiguitas mungkin dapat menyebabkan item pertanyaan terlalu sulit, atau clue yang
tidak disengaja menyebabkan tes terlalu mudah. Ide yang diteskan mungkin terlalu dikenal
atau terlalu tidak dikenal. Dengan keadaan tersebut maka tidak dapat dibedakan antara
prestasi yang sangat tinggi dengan prestasi yang sangat rendah.
5. Bagaimana tes itu diberi skor dan dilaporkan
Dalam tes obyektif dapat digunakan mesin/alat penyekoran hasil tes yang cepat akurat
dan terpercaya. Sedangkan dalam tes essay harus disusun jawaban tes itu yang memilki
susunan tertentu yang dapat menjamin ketelitian dan keadilan Dalam sebuah tes yang cepat
(yaitu tes yang banyak murid tidak dapat menyelesaikan dalam waktu yang disediakan),
maka direkomendasikan “koreksi terhadap jawaban tebakan”. Dengan cara ini tidak
memberikan kesempatan kepada murid untuk menebak dalam menjawab secara
sembarangan. Tebakan yang sembarangan akan mengurangi terhadap skor tes secara
keseluruhan. Namun dalam kebanyakan tes prestasi dan perilaku dihindari tes yang waktunya
sangat cepat. Dalam tes yang tidak cepat (cukup lama dalam menyelesaikan tes) koreksi
terhadap jebakan tidak diperlukan.
C. KESIMPULAN

Evaluasi merupakan subsistem yang sangat penting untuk di manajemen dalam setiap
sistem pendidikan Islam. Secara umum manajemen evaluasi pendidikan Islam merupakan
suatu pengelolaan yang sistematik berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunah untuk mengetahui
tingkat keberhasilan pelaksanaan program-program kependidikan. Kajian ontology.
Epsitimologi, dan aksiologi dalam evaluasi pembelajaran difungsikan sebagai pengembangan
paradigm keilmuan tentang evaluasi dalam ranah filsafat berusaha menawarkan solusi dalam

18
19

pengembagan evaluasi pembelajaran yang efektif dan efisien dalam mencapai tujuan
pendidikan Nasional. Kajian ontology (hakikat) evaluasi berfungsi sebagai kerangka dasar
dalam permasalahan/penyimpangan/kontradiksi dalam evaluasi. Kajian epistmologi dari
evaluasi berfungsi sebagai ranah filsafat untuk mengembangakan evaluasi pendidikan islam
sesuai dengan paradigma keilmuan. Sedangkan, aksiologi berfungsi sebagai pengontrol
dalam semua proses manajemen dalam evaluasi pendidikan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Alim, Muhammad. 2011. Islamic Education: The Effort on the Moslem’s Character Building.
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Bakhtiar, Amsal . 2006. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Basri, Hasan . 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : CV Pustaka Setia.

19
20

Ebel, Robert L . 1980. Practical Problems in Educational Mesurement (Lexiton,


Massaschusett, Toronto: D.C. Helt and Company.
Fatah, Nanang . 2001. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Majid, Abdul. 2012. Belajar dan Pembelajaran pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Rosda
karya.

Mansyur, Rasyid, Harun dan suratno. 2009. Asesmen Pembelajaran di Sekolah. Yogyakarta:
Multi Pessindo.

Mujib, Abdul dan Mudzakir, Jusuf. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

Muslich, Mansur . 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis


Multidemensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Nata, Abudin . 1997, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Nata, Abudin . 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. Cet. Ke-1.

Nizar. 2002. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers.


Purwanto, Ngalim. 1996. Psikologi pendidikan. Bnadung: Remaja Rosdakarya.
Shaleh, Rahman, Abdul .2008. Penyelenggraan Madrasah. Jakarta: Dharma Bakti.
Soetriono dan Hanafie, Rita. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta:
Andi Offset.

Sudijono, Anas . 2001. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suhartono, Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu pengetahuan persoalan Eksistensi dan Hakiki Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Supardi, 2016. Penilaian Autentik: Pembelajaran Afektif, Kognitif dan Psikomotor. Depok:
PT. Raja Grapindo Persada, Cet. Ke-2.

Tafsir, Ahmad .1990. Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai James. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Thoha, M. Cabib. 1990. Teknik-Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Umar, Bukhari .1999. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal I
ayat 21

UU Sitem Pendidikan Nasional Tahun 2003 pasal 3

20

Anda mungkin juga menyukai