Anda di halaman 1dari 30

JENIS-JENIS PENALARAN DI DUNIA ISLAM

(BAYANI, IRFANI, BURHANI)

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Filsafat Ilmu: Topik-Topik Epistemologi
Dosen Pengampu Bapak Dr. Usman, S.S., M. Ag.

Disusun oleh Siti Mahdzuroh, S. Pd. I ( 1520410001 )

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB


PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
Oktober, 2015

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan
dengan ridlo-Nya pula penulis dapat menyelesaikan makalah ini,
dengan harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, selain itu penulisan makalah ini dimaksudkan untuk
memenuhi tuntutan kebutuhan melengkapi bahan-bahan studi
ilmiah filsafat ilmu: topik-topik epitemologi tentang jenis-jenis
penalaran di dunia islam: bayani, irfani, burhani.
Penulis menyadari bahwa materi yang disampaikan
dalam makalah ini masih belum sempurna dan mempunyai
banyak kekurangan. Tak ada yang sempurna di dunia ini dan
kesempurnaan hanyalah milik Allah, begitu juga dengan
kekurangan yang ada dalam makalah ini,makalah ini belum bisa
sempurna tanpa adanya kritik dari para pembaca dan saran yang
membangun serta bisa membantu untuk menyempurnakanya.
Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada pihakpihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini baik
berupa moril maupun materil, diantaranya:
1.

Terima kasih kepada dosen mata kuliah filsafat ilmu: topiktopik epitemologi yang telah membimbing kami sehingga

2.

bisa terselesaikan makalah ini dengan baik


Terima kasih penulis tujukan kepada orang tua yang turut
membantu

3.

secara

motivasinya
Terima
kasih
meminjamkan

tidak

langsung

kepada
buku

untuk

menyelesaikan makalah

melalui

teman-teman
dijadikan

doa

dan

yang

telah

referensi

dalam

Selama proses penulisan makalah ini penulis banyak


menerima masukan, motivasi,
dan bantuan pikiran dari berbagai

Yogyakarta, 25 oktober

pihak, semoga Allah SWT


membalas semua kebaikan.

2015
Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..................................................... i
DAFTAR ISI............................................................... ii
BAB I, PENDAHULUAN
1.1...........................................................................................Lata
r Belakang ......................................................................... 1
1.2...........................................................................................Rum
usan Masalah..................................................................... 1
1.3...........................................................................................Tuju
an ...................................................................................... 2
BAB II, PEMBAHASAN
2.1 Epistemologi Bayani ......................................................... 3
2.1.1 Perkembangan Epistemologi Bayani ............................. 3
2.1.2 Sumber Pengetahuan Epistemologi Bayani ................... 6
2.1.3 Objek Kajian Epistemologi Bayani (Lafadz Makna & Ushul
Furu)....................................................................................... 7
2.1.4 Cara Mendapatkan Pengetahuan Epistemologi Bayani .. 8

2.1.5 Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi Bayani.......... 10


2.2 Epistemologi Irfani ............................................................10
2.2.1 Perkembangan Epistemologi Irfani.................................10
2.2.2 Metode Epistemologi Irfani ............................................12
2.2.3 Objek Kajian Epistemologi Irfani (Zahir Batin & Nubuwah
Walayah) .......................................................................14
2.2.4 Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi Irfani ...........16
2.3 Epistemologi Burhani ........................................................17
2.3.1 Perkembangan Epistemologi Burhani ............................17
2.3.2 Objek Kajian Epistemologi Burhani (Bahasa & logika) ...17
2.3.3 Silogisme Epistemologi Burhani...................................... 18
2.3.4 Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi Burhani ........19
BAB III, PENUTUP
3.1............................................................................................Kesi
mpulan ................................................................................20
3.2............................................................................................Sara
n ..........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA .....................................................22

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Ilmu pengetahuan dan teknologi hingga saat ini menjadi kunci


yang paling mendasar untuk kemajuan umat manusia, dan
pastinya ilmu trsebut tidak datang begitu saja tapi membutuhkan
sebuah proses, proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
itulah yang disebut dengan epistemologis.
Epistemologi membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan
bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan yang benar.
Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu
pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai dan
sangat berpengaruh pada jenis ilmu pengetahuan yang
dihasilkan.
Sejarah telah mencatat bahwa peradaban Islam pernah
menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 sampai
abad ke-15. Setelah itu, kemudian terjadi kemunduran hingga
abad ke-21 ini. Hal itu terjadi, karena Islam dalam kajian

pemikirannya paling tidak menggunakan beberapa aliran besar


dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi).
Setidaknya ada tiga model sistem berpikir dalam Islam, yakni
bayani, irfani dan burhani yang masing-masing mempunyai
pandangan yang berbeda tentang pengetahuan. Selain sebagai
instrumen untuk mencari kebenaran, ketiga epistemologi
tersebut juga bisa digunakan sebagai sarana identifikasi cara
berfikir seseorang.
1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah


dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana model penalaran islam

(bayani, irfani, dan

burhani) dalam menemukan sebuah pengetahuan?


2. Apa saja yang menjadi sumber informasi dalam penalaran
islam (bayani, irfani, dan burhani)?
3. Bagaimana keunggulan dan kelemahan dalam penalaran
islam (bayani, irfani, dan burhani)?
1.3 Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui model penalaran islam (bayani, irfani, dan
burhani) dalam menemukan sebuah pengetahuan
2. Menunjukkan sumber informasi dalam penalaran islam
(bayani, irfani, dan burhani)
3. Mengetahui keunggulan dan kelemahan dalam penalaran
islam (bayani, irfani, dan burhani)?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Epistimologi Bayani


2.1.1 Perkembangan Epistemologi Bayani
Bayani dalam bahasa arab berarti penjelasan. Arti asal
katanya adalah menyingkap dan menjelaskan sesuatu, yaitu
menjelaskan maksud suatu pembicaraan dengan
menggunakan lafadz yang paling baik (komunikatif). Para ahli
ushul fiqh memberikan pengertian bahwa bayan adalah upaya
menyingkap makna dari suatu pembicaraan (kalam) serta
menjelaskan secara terinci hal-hal yang tersembunyi dari
pembicaraan tersebut kepada para mukallaf. Artinya bisa

disebut sebagai upaya mengeluarkan suatu ungkapan dari


keraguan menjadi jelas.1
Al Jabiri memaknai al-bayan secara etimologi, makna albayan yaitu sebagai al-fasl wa al-infishal (metode) dan aldzuhur wa al-idzhar (visi).2
Secara terminologis kajian bayan terbagi menjadi dua,
yaitu aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin al-tafsir alkhithabi) dan syarat-syarat memproduksi wacana (syurut intaj
al khithabi). Penetapan makna bayan secara ilmiah ini
menandai tahapan baru, tidak saja dipahami sebagai sekedar
penjelasan (al-wudhuh/al-idzhar), tetapi sebagai suatu
epistimologi keilmuan yang definitif walaupun sebenarnya
aktifitas bayani ini telah ada sejak awal islam, namun baru
merupakan upaya penyebaran bayani secara tradisional.
Karena memang belum merupakan upaya ilmiah, dalam arti
identifikasi keilmuan dan peletakan aturan penafsiran teksteksnya.
Perkembangn makna bayani dari makna tradisional kepada
makna yang baru sebagai epistimologi keilmuan adalah
seiring dengan perkembangan tradisi Arab-Islam. Dalam hal
ini dari budaya lisan dan riwayat menuju budaya tulis dan
nalar atau, menurut Jabiri dari proses ketidaksadaran atau
tidak direncanakan (al-Lai) menuju pada kondisi disadari (al-

1 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 164
2 Mohammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi. (Beirut: al-Markaz alTsaqafi al- Arabi, 1993), hlm. 20

Wai) atau dengan kata lain dari budaya yang bersifat awam
menuju budaya ilmiah (akademis).
Proses peletakan aturan-aturan penafsiran wacana dalam
bentuknya yang baku dan tidak dalam aspek linguistiknya
saja, dilakukan untuk pertama kalinya oleh al-Syafii (204 H)
yang kemudian dianggap sebagai peletak dasar aturan-aturan
penafsiran wacana bayani.
Dari al-Syfii kemudian kita mengenal hirarki bayan,
khususnya berkaitan dengan bayan terhadap al-quran ada
lima tingkatan:
1. Bayan yang tidak memerlukan penjelasan
2. Bayan yang beberapa bagianya membutuhkan
penjelasan al-sunnah
3. Bayan yang keseluruhanya

bersifat

umum

dan

membutuhkan penjelasan al-sunnah


4. Bayan yang tidak terdapat dalam al-quran namun
terdapat dalam al-sunnah
5. Bayan yang tidak terdapat baik dalam al-quran
maupun

al

sunnah,

yang

dari

sini

kemudian

mewujudkan qiyas sebagai metode ijtihad.


Dari lima derajat bayan tersebut al-Syafii kemudian
merumuskan empat dasar pokok agama, yaitu kitab, sunnah,
ijma dan qiyas.3
Al Jahizh (868 M) yang datang berikutnya mengkritik konsep
bayan Syafii, menurutnya apa yang dilakukan Syafii baru pada
tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana
memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman
yang diperoleh. Sedangkan menurut al Jahizh bahwa syarat3 Ibid., hlm.22-23

syarat untuk memproduksi wacana (syarat intaj al khithab) dan


bukan sekedar aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin tafsir
al khithab), Jahizh menetapkan syarat bagi bayani adalah:
1. Syarat kefasihan ucapan
2. Seleksi huruf dan lafad sehingga apa yang disampaikan
bisa menjadi tepat guna
3. Adanya keterbukaan makna, bahwa makna harus bisa
diungkap dengan salah satu dari lima bentuk penjelas,
yaitu: lafadz, isyarat, tulisan, keyakian, nisbah
4. Adanya kesesuaian antara kata dan makna
5. Adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan mengakui
kebenaran yang disampaikan dan mengakui kelemahan
serta kesalahan konsepnya sendiri.4
Namun yang ditetapkan al Jahizh masih dianggap kurang tepat
menurut ibn Wahhab, bayani bukan diarahkan untuk mendidik
pendengar tapi sebuah metode untuk membangun konsep diatas
dasar ashul furu, caranya dengan menggunakan paduan pola
yang dipakai ulama fiqih dan kalam (teologi)
Menurut ibn Wahhab, apa yang perlu penjelasan (bayan) tidak
hanya teks suci tapi mencakup empat hal:
1. Wujud materi yang mengandung aksiden dan substansi
2. Rahasia hati yang memberi keputusan bahwa sesuatu itu
benar, salah dan subhat, saat terjadi proses perenungan
3. Teks suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi
4. Teks-teks yang merupakan representasi pemikiran dan
konsep..
Dari empat macam objek ini, ibn Wahhab menawarkan empat
macam bayani:
4 Al Jabiri, Bunyah al aql al arabi. (Beirut: al Markaz al Tsaqafi al Arabi, 1991),
hlm. 25

1. Bayan al itibar untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan


dengan materi
2. Bayan al itiqad untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan
dengan hati (qalb)
3. Bayan al ibarah untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan
dengan teks dan bahasa
4. Bayan al kitan untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan
dengan konsep-konsep tertulis.5
Pada periode terakhir muncul al Syathibi (1388 M),
menurutnya bayani belum bisa memberikan pengetahuan yang
pasti (qathi) tapi baru derajat dugaan (dzan), sehingga tidak
bisa dipertanggung jawabkan secara rasional. Dua teori utama
dalam bayani: istimbath dan qiyas, yang dikembangkan bayani
hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan.
Padahal, penetapan hukum tidak bisa didasarkan pada sesuatu
yang bersifat dugaan.
Syihabi kemudian menawarkan teori untuk memperbarui
bayani, yaitu:
1. Al istintaj, sama dengan silogisme. Pengetahuan bayani
harus dilakukan dengan proses silogisme sebab semua
dalil

syara

telah

nadzhariyah/teoritis
penelitian

dan

mengandung
(berbasis

penalaran.

pada

dan

dua

premis,

indera,

rasio,

naqliyah/transmisif

(berbasis pada proses trasnmisif//khbar).


2. Al istiqra, penelitian terhadap teks-teks yang se-tema
kemudian

diambil

tema

dengan tematic induction.


3. Maqashid al syariyah,

pokoknya,

tidak

diturunkanya

berbeda

syariah

ini

mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yang terdiri dari tiga


5 Ibid., hlm. 32

macam: dlaruriyah (primer), hajiyah (sekunder), dan


tahsiniyah (tersier).
2.1.2 Sumber Pengetahuan Epistemologi Bayani
Meski menggunakan metode rasional filsafat, epistemologi
bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushul fiqh yang
dimaksud dengan nash sebagai sumber pengetahuan bayani
adalah al-quran dan hadist.6 Epistemologi bayani menaruh
perhatian besar pada proses transmisi teks dari generasi ke
generasi. Jika transmisi teks bisa dipertanggung jawabkan berarti
teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum, begitu juga
sebaliknya.
Bukhari menggariskan syarat yang tegas bagi diterimanya
sebuah teks hadist:
1. Perawi harus memenuhi tingkat kriteria yang paling
tinggi dalam hal watak pribadi, keilmuan dan standar
akademis.
2. Harus ada informasi positif tentang para perawi yang
menerangkan bahwa mereka saling bertemu muka dan
para murid belajar langsung pada gurunya
Dari upaya tersebut, lahirlah ilmu untuk mendeteksi keaslian
teks, seeperti: al jarh wa tadil, musthalah al hadist, rijal al hadist
dan seterusnya.
Selanjutnya, tentang nash quran sebagai sumber utama,
tetapi tidak selalu memberikan ketentuan pasti. Dari segi
penunjukan hukumnya (dilalah al hukmi), nash quran dibagi dua:

6 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh,(Bandung: Gema Risalah Press, 1996),
hlm. 22

1. Qathi dilalah, nash-nash menunjukkan adanya makna


yang dapat difahami dengan pemahaman tertentu atau
oleh Syafii disebut sebagai bayan yang tidak butuh
penjelasan lanjut.
2. Dzanni dilalah, nash-nash yang menunjukkan atas
makna tapi masih memungkinkan adanya takwil, atau
diubah dari makna asalnya menjadi makna yang lain.7
Kenyataan tersebut juga terjadi pada al sunnah, sehingga
muncul berbagai macam kualitas hadist: mutawatir, ahad,
shahih, hasan, gharib, maruf, maqtu dan seterusnya.
2.1.3 Objek Kajian Epistemologi Bayani (Lafadz dan
Makna, Ushul dan Furu)
Menurut al-Jabiri, persoalan lafadz makna mengandung dua
aspek: teoritis dan praktis.
Dari sisi teori muncul tiga persoalan:
1. Tentang makna suatu kata (tauqif)
2. Tentang analogi bahasa
3. Tentang soal pemaknaan al asma al syariyah, seperti
kata shalat, shiyam, zakat dan lainya.
Adapun tentang hubungan kata lafadz makna dalam tataran
praktis, ia berkaitan dengan pnafsiran atas wacana (khithab)
syara. Ulama fiqih banyak mengembangkan masalah ini, baik
dari aspek kedudukan sebuah kata, penggunaan, tingkat
kejelasan maupun metodenya.
Selanjutnya soal ushul furu, menurut al Jabiri ushul disini
tidak menunjuk pada dasar-dasar hukum fiqh, tapi pada
pengertian umum bahwa ia adalah pangkal (asas) dari proses
7 Ibid., hlm. 62

penggalian pengetahuan. Kemudian al Jabiri melihat tiga macam


posisi dan peran ushul dalam hubunganya dengan furu:
1. Ushul

sebagai

sumber

pengetahuan

yang

cara

mendapatkanya dengan istimbat


2. Ushul sebagai sandaran bagi pengetahuan yang lain,
yang cara mendapatkanya dengan qiyas
3. Ushul sebagai pangkal dari peoses

pembentukan

pengetahuan yang caranya dengan menggunanakan


kaidah-kaidah ushul fiqh
2.1.4 Cara Mendapatkan Pengetahuan Epistemologi
Bayani
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani
menempuh dua jalan:
1. Berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan
kaidah bahasa arab
2. Menggunakan metode qiyas, dan inilah prinsip utama
epistemologi bayani.8
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan
qiyas:
1. Adanya al ashl, yaitu nash suci yang memberikan
hukum dan dipakai sebagai ukuran
2. Al far, sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash
3. Hukum al ashl, ketetapan hukum yangdiberikan oleh
ashl
4. Illah, keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar
penetapan hukum asli.

8 Al Jabiri., Op. Cit hlm. 530

Menurut al Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan


pengetahuan dalam epistemologi bayani tersebut digunakan
dalam tiga aspek:
1. Qiyas dalam kaitanya dengan status dan derajat hukum
yang ada pada ashl maupun furu
Bagian ini mencakup tiga hal:
a) Qiyas jali, dimana far mempunyai persoalan hukum yang
kuat dibanding ashl
b) Qiyas fi mana al nash, dimana ashl dan far mempunyai
derajat hukum yang sama
c) Qiyas al khafi, dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas
dan hanya menurut perkiraan mujtahid.
2. Qiyas yang berkaitan dengan illat yang ada pada ashl
dan far atau yang menunjukkan kearah situ
Bagian ini mencakup dua hal:
a) Qiyas al illat, menetapkan illat yang ada ashl kepada far
b) Qiyas al dilalah, menetapkan petunjuk yang ada pada ashl
kepada far, bukan illatnya.
3. Qiyas berkaitan dengan potensi atau kecenderungan
untuk menyatukan ashl dan far
Bagian ini mencakup empat tingkat:
a) Adanya perubahan hukum baru
b) Keserasian
c) Keserupaan
d) Menjauhkan
2.1.5 Keunggulan dan Kelemahan Epitemologi Bayani
Keunggulan bayani terletak pada kebenaran teks (alQuran dan Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang
bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan,
karena penggunaan teks sangat dominan, maka peran akal

hanya sebatas sebagai alat pembenaran/justifikasi atas teks


yang dipahami. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan
memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, dan qawaidul lughahnya.
Kelemahan pada epistemologi bayani adalah ketika
berhadapan dengan teks-teks yang berbeda milik komunitas,
bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks,
dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara
sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain. Dalam
epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio, akan
tetapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada.
Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini telah
menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena
ketidakmampuannya merespon perkembangan zaman. Hal ini
dikarenakan epistemologi bayani selalu menempatkan akal
menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi
terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak
menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dalam
melengkapi dengan teks.

2.2

Epistimologi Irfani

2.2.1 Perkembangan Epistemologi Irfani


Irfan dari kata bahasa arab arafu yang artinya
makrifat/pengetahuan.9 Secara terminologi adalah
pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat
penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf)

9 Al Jabiri., ibid. Hlm 251

setelah adanya olah ruhani (riyadlah) yang dilakukan atas


dasar cinta.10
Perkembangan irfani secara umum dibagi dalam lima fase:
a) Fase pembibitan
Terjadi pada abad pertama hijriyah, pada masa ini apa
yang disebut irfan baru ada dalam bentuk laku zuhud
(aksestisme), karakter aksestisme periode ini adalah:
-

Berdasarkan ajaran quran dan sunnah


Bersifat praktis, tanpa ada perhatian untuk menyusun

teori atas praktek yang dilakukan


- Motivasi zuhudnya adalah rasa takut
b) Fase kelahiran
Terjadi pada abad dua hijriyah, pada masa ini, beberapa
tokoh sufisme mulai berbicara terbuka tentang irfan, karya-karya
tentang irfan juga mulai ditulis
c) Fase pertumbuhan
Terjadi pada abad 3-4 hijriyah, para tokoh sufisme mulai
menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa
dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral
keagamaan (akhlak). Pembahasan ini mendorong mereka untuk
membahas soal pengetahuan intuitif
d) Fase puncak
Terjadi pada abad kelima hijriyah, pada periode ini irfan
mencapai masa gemilang karena irfan menjadi jalan yang jelas

10 Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), hlm.


10

karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam


tauhid dan kebahagiaan.
e) Fase spesikasi
Terjadi pada abad 6-7 hijriyah, berkat pengaruh al Ghazali,
irfan menjadi semakin dikenal dan berkembang dalam
masyarakat islam. Pada fase ini, secara epistemologis, irfan
terspesifikasi dalam dua aliran:
-

Irfan sunni, yang cenderung pada perilaku praktis (etika)

dalam bentuk tarikat-tarikat


- Irfan teoritis yang didominasi pemikiran filsafat
f) Fase kemunduran
Terjadi pada abad kedelapan hijriyah, sejak abad ini irfan tidak
mengalami perkembangan berarti, bahkan justru mengalami
kemunduran
2.2.2 Metode Epistemologi Irfani

Etika

Irfan

Filsafat

Praktis

Teoritis

Membutuhkan

Membutuhkan

Berdasarkan

Berpijak pada

hubungan

hubungan

visi dan intuisi

postulat-

antara

antara

kemudian

postulat

manusia saja

manusia dan

dikemukakan

hubungan

teori secara

manusia

logis

dengan Tuhan

Tidak ada

Ada tahapan-

Eksistensi

Eksistensi non-

tahapan

tahapan yang

Tuhan meliputi

Tuhan sama

tertentu

harus dilalui

semuanya dan

realnya

seseorang bisa lebih dulu

segala sesuatu dengan

memilih mana

untuk menuju

adalah

eksistensi

yang harus

tujuan akhir

manifestasi

Tuhan sendiri

dilakukan
Unsur spiritual

sifat-Nya
Unsur spiritual - Capaian

sangat

yang sangat

tertinggi

tertinggi

terbatas

luas

manusia

manusia

adalah

adalah

kembali pada

memahami

- Capaian

asal-usulnya
(Tuhan).
- Sarana
yang

semesta
- Sarana
yang
dipakai

dipakai

adalah

adalah kalbu

dan intelek

(hati)

akal

dan

kesucian jiwa
Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani,
juga tidak atas rasio seperti burhani, tetapi pada kasyf
(tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan), sehingga
pengetahuan irfani diperoleh berdasarkan olah ruhani. Secara
metodologis, pengetahuan ruhani diperoleh melalui tiga tahapan:
-

Tahap pertama, persiapan

Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf),


seseorang yang biasanya disebut salik (penempuh jalan spiritual)
harus menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Ada 7
tahapan yang harus dijalani untuk menuju tingkatan puncak

dimana hati telah menjadi netral dan jernih sehingga siap


menerima limpahan pengetahuan:

Taubat
Wara
Faqir
Sabar
Tawakkal
Tahap kedua, penerimaan

Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme,


seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung
dari Tuhan secara illuminatif atau noetic. Dalam kajian filsafat,
Mehdi Yazdi, pada tahap ini seseorang akan mendapatkan
realitas kesadaran diri yang demikian mutlak sehingga dengan
kesadaran ini ia mampu melihat realitas dirinya sendiri sebagai
objek yang diketahui.
-

Tahap ketiga, pengungkapan

Pengungkapan ini merupakan tahap terahir dari proses


pencapaian pengetahuan irfani, dimana pengalaman mistik
diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain lewat
ucapan atau tulisan. Beberapa pengkaji masalah irfan atau mistik
membagi pengetahuan ini dalam beberapa tingkat:

Pengetahuan tak terkatakan


Pengetahuan irfan atau mistisisme
Pengetahuan mistisisme yang terbagi

dalam

dua

bagian: oleh orang ketiga tapi masih dalam satu tradisi


dengan yang bersangkutan, oleh orang ketiga dan dari
tradisi yang berbeda.
2.2.3 Objek Kajian Epistemologi Irfani (Zahir dan Batin &
Nubuwah dan Walayah)
Zahir dan Batin

Isu sentral irfan adalah zahir dan batin, bukan sebagai konsep
yang berlawanan tetapi sebagai pasangan. Teks keagamaan
quran dan hadist tidak hanya mengandung apa yang tersurat
tapi juga yang tersirat.
Menurut Jabiri, makna batin ini pertama diungkapkan dengan
cara itibar atau qiyas irfani. Yaitu analogi makna batin yang
ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks.
Qiyas irfani ini tidak sama dengan qiyas bayani atau
silogisme. Qiyas irfani berusaha menyesuaikan konsep yang
telah ada atau pengetahuan yang diperoleh lewat kasyf dengan
teks
Makna atau dimensi batin yang diperoleh dari kasyf bisa
diungkapkan dengan beberapa cara:
1) Diungkapkan dengan itibar atau qiyas irfani, yaitu analogi
makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna
zahir yang ada dalam teks.
Contoh: qiyas yang dilakukan kaum Syiah yang meyakini
keunggulan keluarga Ali, berdasarka QS. Al-Rahman 19-22
Dia membiarkan dua lautan mengalir dan bertemu,
diantara keduanya ada batas yang tidak terlampaui dan
dari keduanya keluar mutiara dan marjan, dalam hal ini Ali
dan Fatimah dinisbatkan pada dua lautan, Nabi Muhammad
sebagai batas, sedangkan Hasan dan Husain sebagai
mutiara dan marjan.
2) Pengetahuan kasyf diungkapkan lewat apa yang disebut
dengan syathahat (ungkapan lisan tentang perasaan yang
dibarengi dengan pengakuan). Namun berbeda dengan
qiyas irfani yang dijelaskan secara sadar dan dikaitkan

dengan teks, syathahat ini sama sekali tidak mengikuti


aturan-aturan tersebut.
Contoh: seperti ungkapan Abu Yazid Bustami Maha Besar
Aku,

ungkapan

seperti

itu

keluar

saat

seseorang

mengalami pengalaman intuitif yang sangat mendalam


seehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis
maupus epistemologis tertentu. Maka meskipun syathahat
diterima oleh kalangan sufisme, namun ada sufisme sunni
yang

membatasi

diri

dimana

syathahat

tidak

boleh

diungkapkan secara liar dan berseberangan dengan syariat


yang ada.
Sehingga takwil/syathah adalah pemahaman atau pemaknaan
atas realitas yang ditangkap saat kasfy, dan itu pasti berbedabeda diantara masing-masing orang tergantung pada kualitas
jiwa dan pengalaman sosial budaya yang menyertainya.
Nubuwah dan Walayah
Nubuwah adalah padanan dari konsep zahir sedangkan
walayah pasangan dari batin. Keduanya berkaitan dengan
otoritas religius yang diberikan Tuhan atas diri seseorang,
bedanya kenabian ditandai dengan wahyu dan mukjizat serta
diperoleh tanpa usaha, sedangkan kewalian ditandai dengan
karamah serta irfan dan diperoleh lewat usaha (iktisab). Ibn Arabi
menyebut menyebut kedua konsep tersebut adalah konsep
kenabian umum dan kenabian khusus. Kenabian umum adalah
kewalian yang berhubungan dengan ilham, marifat atau irfan,
sedangkan kenabian khusus adalah Nabi yang dibekali syariat
dan ketentuan hukum-hukum formal.
Dalam pemikiran madzhab syiah, walayah dikaitkan dengan
konsep imamah yang punya otoritas religius dan politik. Bagi

kaum syiah, karena risalah yang diberikan kepada para Rasul


telah selesai dengan wafatnya Nabi Muhammad, maka para
imamlah yang bertugas menjaga dan meneruskan misi syariat
dengan menerima ilham yang tidak lain adalah hakekat risalah
kenabian. Karena itu keberadaan imamah adalah sesuatu yang
mutlak karena mereka adalah nubuwah al-bathiniyah, nubuwah
al-haqiqiyah yang menjadi salah satu rukun agama.
2.2.4 Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi Irfani
keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang
bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah
lebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali
dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Bahkan
kalangan sufi menyatakan bahwa indra-indra manusia dan
akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alam dan manifestasimanifestasinya, namun manusia dapat berhubungan secara
langsung (immediate) yang bersifat intuitif dengan hakikat
tunggal alam (Allah) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri
dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci,
lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan
ketergantungan-ketergantungan lahiriah.
Kelemahan irfani adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati
oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf
pensucian diri yang tinggi. Di samping itu, irfani sangat subjektif
menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman individu
manusia. Kritik lainnya adalah sifatnya yang irasional, dan anti
kritik terhadap penalaran. Metode yang digunakan adalah logika
paradoksal, segala-galanya bisa dicipta tanpa melalui sebabsebab yang mendahuluinya. Akibatnya, pemikiran para sufi
kehilangan dimensi kritis dan bersifat magis yang menyebabkan

kemunduran pola pikir umat islam.

Epistemologi Burhani
2.3.1 Perkembangan Epistemologi Burhani
Al Burhani secara sederhana diartikan sebagai suatu
aktifitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi
(qadliyah) melalui pendekatan deduktif (al istintaj) dengan
mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang
telah terbukti kebenaranya (badhihi).11
Prinsip-prinsip Burhani pertama kali dibangun oleh
Aristoteles (384-322 SM) yang dikenal dengan istilah metode
analitik (tahlili) yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan atas
proposisi tertentu dengan mengambil 10 kategori sebagai objek
kajianya: kuantitas, kualitas, tempat, waktu, dan seterusnya.
2.3.2 Objek Kajian Epistemologi Burhani (Bahasa dan
Logika)
Persoalah bahasa dan logika muncul ketika terjadi
perdebatan tentang kata dan makna antara Abu Said al Syirafi
dengan Abu Bisr Matta. Menuruf Syirafi yang ahli bahasa, kata
muncul lebih dahulu daripada makna, dan setiap bahasa lebih
merupakan cerminan dari budaya masyarakat masing-masing.
Sebaliknya menurut Abu Bisr Matta, makna lebih dahulu
dibanding kata, begitu pula logika muncul lebih dahulu daripada
bahasa. Makna dan logika inilah yang menentukan kata dan
bahasa .
11 Al Jabiri., Op. Cit. Hlm.383

Konsep Matta diperkuat oleh al Farabi bahwa konsepsi


intelektual pada dasarnya diambil dari objek-objek eksternal
yang ditangkap oleh indera. Prinsip kerjanya adalah:
1. Adanya objek-objek eksternal; material maupun non
material
2. Terjadinya gambaran atau persepsi dalam pikiran
3. Pengungkapan atas gambaran yang ada dalam pikiran
tersebut lewat bahasa atau kata.
Dengan demikian, makna atau logika lebih dahulu dan lebih
fundamental dibanding bahasa, dan wilayah kerja logika berada
dalam tataran pemikiran bukan pada kata-kata atau bahasa.
Dengan konsep seperti itu menunjukkan bahwa sumber
pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio
inilah yang dengan dalil-dalil logika memberikan penilaian dan
keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera yang
dikenal dengan tasawur dan tashdiq.
2.3.3 Silogisme Epistemologi Burhani
Ciri utama burhani adalah silogisme, tetapi silogisme tidak
mesti menunjukkan burhani. Dalam bahasa arab silogisme
diterjemahkan sebagai qiyas atau al-qiyas atau al-jami yang
artinya mengumpulkan. Secara istilah silogisme adalah suatu
bentuk argumen dimana dua proposisi yang disebut premis
dirujukan bersama sedemikian rupa sehingga sebuah keputusan
(konklusi) pasti menyertai.
Pengetahuan burhani harus melalui tahapan-tahapan
tertentu sebelum dilakukan silogisme:
1. Tahap pengertian (maqulat), proses abstraksi objek
eksternal yang masuk dalam pikiran

2. Tahap pernyataan (ibarat), proses pembentukan kalimat


atas pengertian yang ada
3. Tahap
penalaran
(tahlilat),

proses

pengambilan

kesimpulan berdasarkan hubungan premis-premis yang


ada. Dan disinilah terjadi silogisme
Al Farabi membagi materi premis-premis silogisme dalam 4
bentuk:
1.
2.
3.
4.

Pengetahuan primer
Pengetahuan indera (mahsusat)
Opini-opini yang umum diterima (masyurat)
Opini-opini yan diterima (maqbulat).

Keempat macam premis tidak sama tingkat kepercayaanya, ada


yang mencapai tingkat menyakinkan, mendekati keyakinan dan
percaya begitu saja, sehingga memunculkan hirarki tingkat hasil
silogisme. Sehingga suatu premis bisa dianggap menyakinkan
bila memenuhi 3 syarat:
1. Kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak
dalam kondisi spesifik
2. Kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan
sesuatu yang lain dari selain dirinya
3. Kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin
sebaliknya.
Silogisme burhani menggunakan pengetahuan primer sebagai
premis-premisnya, selain itu bisa juga menggunakan sebagian
dari jenis-jenis pengetahuan indera dengan syarat bahwa objekobjek pengetahuan indera tersebut harus senantia sama saat
diamati dimanapun kapanpun dan tidak ada yang menyimpulkan
sebaliknya.
2.3.4 Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi Burhani

Keunggukan burhani adalah sistem berpikir yang konstruksi


epistemologinya dibangun dengan akal dan logika dengan
beberapa premis. Epistemologi burhani berusaha
memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks
suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi
burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas
rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci
utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Kelemahan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya
teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda-beda.
Masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada konteks,
meskipun yang lebih cenderung kepada konteks-pun juga tidak
sedikit.

BAB III
PENUTUP

3.1

Kesimpulan

bayan adalah upaya menyingkap makna dari suatu


pembicaraan (kalam) serta menjelaskan secara terinci hal-hal
yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut kepada para
mukallaf. Artinya bisa disebut sebagai upaya mengeluarkan
suatu ungkapan dari keraguan menjadi jelas. Bayani
bersumber pada teks keagamaan atau nash, dengan
menggunakan pendekatan linguistik sedangkan objek
kajianya adalah lafadz & makna, Ushul & furu, adapun

metodenya berpegang pada redaksi teks dengan


menggunakan kaidah bahasa arab sebagai alat analisa dan
menggunakan metode qiyas, dengan validitas kebenaran
yang korespondensi.
Irfan adalah pengungkapan atas pengetahuan yang
diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada
hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah ruhani (riyadlah) yang
dilakukan atas dasar cinta adalah pengungkapan atas
pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh
Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah ruhani
(riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta. Dengan sumber
kasyf (penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hamba-Nya.
Dengan metode pengetahuan ruhani. Dan pendekatan psikomoral Sedangkan objek kajianya adalah zahir & batin,
nubuwah & wilayah. Serta validitas kebenaran yang
intersubjektif.
Burhani secara sederhana diartikan sebagai suatu aktifitas
berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qadliyah)
melalui pendekatan deduktif (al istintaj) dengan mengaitkan
proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah
terbukti kebenaranya (badhihi). Bersumber pada rasio.
Dengan menggunakan metode silogisme dan pendekatan
logika, adapun objek kajian aksistensi bahasa logika dengan
validitas kebenaran koherensi konsistensi.
3.2

Saran

Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, maka kita


jangan fanatis dengan berpegang hanya pada satu model
penalaran saja, karena keakuratanya juga masih belum pasti,
sehingga tidak ada salahnya jika mengembangkan semua

model penalaran demi keakuratan sebuah pengetahuan yang


kita miliki, seperti menggunakan model penalaran bayani
yang menghasilkan pengetahuan lewat analogi realitas non
fisik kepada realitas fisik (furu kepada yang asal), maupun
dengan model irfani yang menghasilkan pengetahuan lewat
penyatuan ruhani kepada Tuhan dengan penyatuan Universal,
dan bahkan menggunakan model burhani yang menghasilkan
pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan
sebelumnya yang telah diyakini kebenaranya.
Eksistensi ketiganya justru saling melengkapi satu sama
lain. Oleh karena itu, hal yang bijak bukanlah menafikan
eksistensi peran masing-masing, tetapi bagaimana masingmasing epistemologi tersebut menjalankan perannya yang
tepat dan saling melengkapi satu sama lain.

DAFTAR PUSTAKA

Azami, Mustafa. Metodologi Kritik Hadist. 1996. (Bandung:

Pustaka Hidayah)
Anwar, Rosihon, dll. Pengantar Studi Islam. 2009.(Bandung:

CV.Pustaka Setia)
Jabiri. Bunyah al-Aql al-Arabi. 1991. (Beirut: al-Markaz al-

Tsaqafi al-Arabi)
Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu (kajian Atas Asumsi Dasar,
Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan). 2004.

(yogyakarta: Belukar)
Nami, Ngainum. Pengantar Studi Islam. 2009. (Yogyakarta:

Sukses Offset)
Soleh, Khudori.

Wacana

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar)

Baru

Filsafat

Islam.

2004.

Anda mungkin juga menyukai