Anda di halaman 1dari 48

KAJIAN HADIS

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Pendekatan Dalam Pengkajian Islam

Oleh :

HAMIDI ASGORI LUBIS


NIM: 3002193028

Pembimbing:
Dr. Muhammad Iqbal Irham, M.Ag

PRODI HUKUM ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
TAHUN 2019

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa Pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menynelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam yang kita nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Subahanu wa Ta’ala atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
menyelesaikan pembuatan makalah ini sebagai tugas awal dari mata kuliah Pendekatan dalam
Pengkajian Islam (PDPI) dengan judul “Kajian Hadis”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Medan, 28 September 2019

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1

BAB II KAJIAN TEORI......................................................................................... 2

A. Istilah-Istilah Kunci Kajian Hadis .......................................................... 2

1. Hadis ................................................................................................... 2

2. Sunnah................................................................................................. 5

3. Atsar ................................................................................................... 8

4. Sanad .................................................................................................. 9

5. Matan ................................................................................................. 10

6. Rawi ................................................................................................... 11

7. Mutawatir ........................................................................................... 12

8. Shahih ................................................................................................ 13

9. Hasan .................................................................................................. 14

10. Dha’if ................................................................................................. 16

11. Takhrij ................................................................................................ 17

B. Sejarah dan Perkembangan Kajian Hadis ................................................ 19

1. Pertumbuhan dan Perkembangan Hadis Pada Masa Rasulullah ......... 19

2. Perkembangan Hadis Pada Masa Sahabat .............................................. 22

3. Perkembangan Hadis Pada Masa Tabi’in ............................................... 23

4. Fase Kodifikasi Hadis .................................................................................. 26

5. Fase Seleksi dan Penyempurnaan Sistem Penyusunan Kitab Hadis ............. 26

3
C. Metodologi Kajian Hadis, Tokoh dan Karyanya ........................................... 28

1. Takhrijul Hadis .................................................................................. 29

2. Penelitian Sanad ................................................................................ 29

3. Penelitian Matan ................................................................................ 30

D. Kajian Hadis di Kalangan Orientalis dan Kritik Terhadapnya ...................... 31

1. Pengertian Orientalis ........................................................................ 31

2. Sejarah kajian Hadis di Kalangan Orientalis .................................... 32

3. Sikap Para Orientalis Terhadap Kajian Hadis ................................... 33

4. Pandangan Orientalis Tentang Hadis Sebagai Sumber Hukum ........ 33

5. Bantahan dan Kritik Ulama Muslim .................................................. 34

BAB III KESIMPULAN ......................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 42

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Selain sebagai sumber,
hadis juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir al-Qur’an. Berdasarkan hal tersebut, maka
kajian tentang hadis memiliki kedudukan yang penting di dalam studi ilmu-ilmu sumber
dalam Islam. Sepeninggalnya Rasulullah saw, perhatian terhadap hadis terus berkembang,
dimulai dari periwayatan secara lisan, ditulis serta dibukukan, meng-isnad dan sampai pada
klasifikasi dan susunan dari kitab-kitab hadis. Seiring dengan perkembangan hal di atas,
muncul pula hadis-hadis palsu yang melatarbelakangi kegiatan pemeliharaan hadis, sehingga
sangat perlu dilakukan kajian hadis.

Dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan tentang kajian hadis yang
dirangkum dalam rumusan masalah berikut ini.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat disusun beberapa rumusan masalah yang akan dibahas
di dalam makalah ini, yaitu:

1. Istilah-istilah Kunci dalam Kajian Hadis


2. Sejarah dan Perkembangan Awal Kajian Hadis
3. Metodologi Kajian Hadis, Tokoh dan Karyanya
4. Kajian Hadis di Kalangan Orientalis dan Kritik Terhadapnya

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Istilah-istilah Kunci dalam Kajian Hadis

Dalam pembahasan mengenai kajian hadis ada beberapa istilah atau pengertian yang
terlebih dahulu harus diketahui maksudnya, antara lain adalah:

1. Hadis

Menurut etimologi kata hadis atau al-hadis digunakan untuk menunjukkan beberapa arti,
di antaranya sebagai berikut:

a. Dengan arti “al-jadid” yang berarti sesuatu yang baru atau modern dan bentuk
jamaknya adalah ahadis yang lawan katanya “al-qadim” yang berarti sesuatu
yang lama. Seperti yang dijumpai dalam kalimat, “al-fikr al-islami fi al-‘ashr
al-hadits.” Kalimat ini berarti “pemikiran Islam di zaman modern.” Perlu juga
diperhatikan bahwa dalam konteks ilmu hadis, kata hadis yang datang adalam
ati al-jadid dimaksudkan segala sesuatu yang datang dari Rasul. Sementara al-
qadim adalah yang datang dari Allah, yaitu al-Qur’an.
b. Dengan arti “al-qarib” yaitu sesuatu yang dekat atau yang belum lama terjadi,
seperti yang terdapat dalam kalimat “hadis al-‘ahdi bi al-Islam” yang biasa
digunakan bagi orang yang baru memeluk agama Islam.
c. Dengan arti al-khabar yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai
berita (warta) atau perkataan dari seseorang yang disampaikan kepada orang
lain. Seperti dalam kalimat, “ma yutahaddasu bihi wa yunqolu” yang berarti
sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Pemakaian kata hadis dengan arti al-khabar ini sudah dikenal di kalangan
masyarakat jahiliyyah. Setelah Islam datang, pemakaian kata hadis dengan arti
ini masih tetap berlanjut.1

1
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, (Medan: LP2-IK, 2003) h. 2-3.

6
Di dalam al-Qur’an kata “hadisun” dalam bentuk rafa’ dan “hadisan” dalam bentuk
nashab yang menunjukkan arti hadis secara bahasa terdapat sebanyak dua puluh tiga kali
pengulangan yaitu pada surat: Thoha ayat 9, an-Nazi’at ayat 15, adz-Dzariyat ayat 24, al-
Buruj ayat 17, al-Ghasiyah ayat 1, an-Nisa’ ayat 139, al-An’am ayat 168, al-A’raf ayat 184,
al-Mursalat ayat 50, al-Jatsiyah ayat 5, ath-Thur ayat 34, al-Ahzab ayat 53, an-Nisa’ ayat 41,
An-Nisa’ ayat 77, an-Nisa’ ayat 86, Yusuf ayat 111, at-Tahrim ayat 3, al-Kahfi ayat 6,
Luqman ayat 6, az-Zumar ayat 23, an-Najam ayat 59, al-Waqi’ah ayat 81 dan al-Qalam ayat
44. Dan dalam bentuk pluralnya yaitu ‘ahadisu atau al-ahadisu terdapat lima kali di dalam al-
Qur’an yaitu pada surat: al-Mu’minun ayat 44, Saba’ ayat 19, Yusuf ayat 6, 21 dan 101.

Salah satu ayat di dalam al-Qur’an yang mengandung kata hadis adalah firman Allah pada
surat ath-Thur ayat 34 yaitu:

‫فليأتوا بحديث مثله ان كانوا صادقين‬

Artinya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar yang sepertinya jika
mereka orang yang benar.” (QS. ath-Thur: 34)2

Pada ayat ini kata “hadis” bermakna khabar yaitu berita atau warta.

Sedangkan menurut istilah para Muhadditsin (ulama-ulama hadis) berbeda-beda pendapat


dalam mendefenisikan hadis. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena terpengaruh
oleh suatu batasan dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan sifat
peninjauan mereka itu melahirkan dua macam defenisi hadis, yaitu: defenisi hadis yang
terbatas dan defenisi hadis yang luas.

Sedangkan hadis menurut tinjauan Abdul Baqa’ merupakan “al-ismu” (kata benda) dari
kata “tahdis” yang berarti pembicaraan yang kemudian didefenisikan sebagai ucapan,
perbuatan atau penetapan yang dinisbatkan kepada Nabi saw.3

2
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Depok: Sabiq, 2009), h. 525.

3
Faisar Ananda Arfa, Syafruddin Syam, Muhammad Syukri Albani nasution, Metodologi Studi Islam:
Jalan Tengah Memahami Islam,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), h. 82.

7
Adapun hadis secara terminologi, ahli hadis dan ahli ushul mengalami perbedaan dalam
memaparkan pengertian tentang hadis. Jumhur al-Muhadditsin (ulama ahli hadis)
mendefenisikan hadis dengan,

4
‫ما أضيف الى النبي صلى هللا عليه و سلم قوال أو فعال أو تقريرا أو صفة‬

Artinya: “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan atau sifat.”

Defenisi ini mengandung empat macam unsur, yaitu perkataan, perbuatan, pernyataan dan
sifat atau keadaan Nabi Muhammad saw.

Sedangkan pengertian hadis menurut ahli ushul fiqh hadis adalah:

‫أقواله صلى هللا عليه و سلم و أفعاله وتقريره مما يتعلق به حكم‬

Artinya: “Segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi saw yang berhubungan
dengan hukum.”

Dari defenisi tersebut ulama ushul fiqh membatasi pengertian hadis ke dalam ruang
lingkup perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi selama menyangkut hukum.5 Sedangkan
segala sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum tidaklah termasuk hadis, seperti
masalah kebiasaan sehari-hari atau adat istiadat.

Dengan demikian ada perbedaan pengertian hadis di kalangan umat Islam sendiri, yakni
hadis dalam persfektif ahli hadis dan menurut ahli ushul fiqh. Ini jugalah yang melatar
belakangi adanya perbedaan di kalangan umat Islam dalam meneladani Rasulullah saw.
Dimana perbedaan tersebut sangat banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat muslim
yang pluralis. Sebagai contoh, ada sebagian umat Islam yang memandang memakai sorban
merupakan Sunnah Rasul, sementara sebagian muslim beranggapan bahwa memakai sorban
itu hanya sebatas budaya atau tradisi bangsa Arab.

4
Hasan al-Mas’udi, Minhatul Mughits fi Ilmi Musthalahil Hadits, (Medan: Sumber Ilmu Jaya, 2010), h.
5.

5
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 6.

8
2. Sunnah

Dalam perspektif bahasa, sunnah (‫ )السنة‬mengandung arti antara lain, ath-tahariqah yang

berarti jalan yang ditempuh, baik itu sifatnya terpuji maupun jelek. Sunnah juga berarti
sesuatu yang sudah biasa dilakukan atau yang telah menjadi tradisi atau tabi’at.6 Sedangkan

bentuk jamak (plural) dari kata sunnah adalah as-sunan (‫)السنن‬.

Di dalam al-Qur’an dijumpai lima belas kali pengulangan kata sunnah yang menunjukkan
pengertian secara bahasa, baik dalam bentuk mufrad ataupun pluralnya yaitu pada surat: al-
Anfal ayat 39, al-Hijr ayat 13, al-Kahfi ayat 56, dua kali di dalam surat al-Ahzab ayat 62, tiga
kali di dalam surat Fathir ayat 43, dua kali di dalam surat al-Fath ayat 23, al-Isra’ ayat 77, al-
Ahzab ayat 38, al-Mu’min ayat 85, Ali ‘Imran ayat 137, an-Nisa’ ayat 25 dan al-Isra’ ayat 77.

Salah satu ayat yang mengandung kata sunnah adalah firman Allah di dalam surat al-Isra’
ayat 77 yang berbunyi:

‫سنة من قد ارسلنا قبلك من رسلنا وال تجد لسنتنا تحويال‬

Artinya: “Kami menetapkan yang demikian sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul
kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan
kami itu.”(QS. Al-Isra’:77)

Pemakaian kata sunnah dalam arti bahasa juga dijumpai dalam sebuah hadis Rasulullah
saw yang berbunyi:

‫لتتبعن سنن من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا حجر الضب لدخلتموه‬

Artinya: “Kamu sungguh akan mengikuti jalan-jalan (tradisi) orang-orang sebelum kamu
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga akhinya sekiranya mereke
memasuki lubang biawak niscaya kamu pun akan turut memasukinya).”

Kata sunnah pada hadis di atas harus diartikan secara bahasa, yaitu jalan-jalan atau tradisi
kehidupan sehari-hari yang dipraktikkan oleh orang-orang sebelum munculnya umat Islam.

6
Mahmud Yunus, Kamus: Arab-Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus wa Dzurriyah: 2009), h. 180.

9
Bila kata sunnah disebutkan dalam masalah yang berhubungan dengan hukum syara’,
maka yang dimaksudkan tidak lain kecuali segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang atau
dianjurkan oleh Rasulullah saw, baik berupa perkataan atau perbuatannya. Dengan demikian,
apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-kitab dan as-sunnah, berarti yang
dimaksudkan adalah al-Qur’an dan hadis.7

Adapun dalam pengertian terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam


mendefenisikan sunnah. Hal itu sesuai dengan disiplin ilmu yang digeluti dan di dalaminya
masing-masing. Secara garis besar mereka terkelompok menjadi tiga golongan, yaitu Ahli
Hadis, Ahli Ushul dan Ahli Fiqh.

Menurut Ahli Hadis (muhaddisin), sunnah adalah:

‫كل ما أثر عن النبي صلى هللا عليه و سلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية أو‬
8
‫خلقية أو سيرة سواء كان ذلك قبل البعثة ام بعدها‬

Artinya: “Segala yang bersumber dari Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan,
pengakuan, keadaan akhlak, keadaan fisik atau perjalanan hidup, baik sebelum diangkat
menjadi rasul maupun sesudahnya.”

Dengan demikian jelaslah bahwa bagi ahli hadis, sunnah mengandung pengertian yang
sama dengan hadis seperti dijelaskan sebelumnya. Lebih jauh lagi ada yang mengatakan
bahwa sunnah itu tidak hanya terbatas kepada yang disandrakan kepada Nabi saja, tetapi
termasuk juga sunnah segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.9

Berbeda dengan ahli hadis, ahli Ushul mengatakan bahwa sunnah adalah segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi saw yang berhubungan dengan hokum syara’, baik berupa
perkataan, perbuatan maupun pengakuan beliau.Berdasarkan pemahaman seperti ini, ulama
Ushul fiqh (ushuliyyin) mendefenisikan sunnah sebagai berikut:

7
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla at-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1971) h. 6.
8
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis: Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr,
1981) h. 19.
9
Nur ad-Din ‘Itr, Manhaj an-Naqdi fi ‘Ulum al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979) h. 29.

10
‫كل ما صدر عن النبي صلى هللا عليه و سلم غير القران الكريم من قول أو فعل أو تقرير‬
10
‫مما يصلح أن يكون دليال لحكم شرعي‬

Artinya: “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw selain al-Qur’an al-Karim, baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi
hukum syara’.”

Defenisi ahli Ushul ini membatasi pengertian sunnah hanya pada segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, maupun pengakuannya yang berkaitan
dengan hukum syara’. Dengan demikian sifat, perilaku, sejarah hidup dan segala yang
bersumber dari Nabi saw yang tidak berkaitan dengan hukum syara’ tidak disebut dengan
sunnah. Demikian juga segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw sebelum beliau diutus
menjadi Rasul.

Lain halnya dengan ahli fiqh, mereka memberikan pengertian sunnah berbeda secara
signifikan dengan ulama hadis dan ulama ushul. Sunnah menurut mereka adalah:

11
‫كل ما ثبت عن النبي صلى هللا عليه و سلم ولم يكن من باب الفرض وال واجب‬

Artinya: “Segala sesuatu yang benar dari rasul yang bukan termasuk dalam bab fardu
atau wajib.”

Defenisi menjelaskan bahwa, sunnah menurut mereka adalah salah satu bentuk hukum
taklifi. Ulama ahli fiqh mendefenisikan sunnah seperti ini karena mereka memusatkan
pembahasan tentang pribadi dan perilaku Rasul saw pada perbuatan-perbuatan yang melandasi
hukum syara’, untuk diterapakn pada perbuatan manusia pada umumnya, baik yang wajib,
haram, makruh, mubah maupun sunnat. Oleh karena itulah, apabila ahli fiqh berkata, “perkara
ini sunnat”, maksudnya adalah mereka memandang bahwa pekerjaan itu mempunyai nilai

10
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla at-Tadwin, h.16.
11
Ibid, h. 18.

11
syari’at yang dibebankan oleh Allah swt kepada setiap orang yang baligh, berakal dengan
tuntutan yang tidak mesti.12

3. Atsar

Atsar menurut bahasa adalah ‘alamatun baqiyyah yang berarti bekas, jejak ataupun tilas.
Atsar juga bermakna waqa’a yang berarti kesan atau pengaruh.13Jejak langkah yang
ditinggalkan seseorang juga dapat disebut dengan atsar.

Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menyinggung pengertian atsar secara
bahasa, di antaranya terdapat pada surat: Thoha ayat 72, al-Fath ayat 29, ar-Rum ayat 50, al-
Mu’min ayat 21 dan 82.

Salah satu ayat yang mengandung kata atsar adalah firman Allah di dalam surat ar-Rum
ayat 50 yang berbunyi:

‫فانظر الى اثر رحمة هللا كيف يحيى االرض بعد موتها‬

Artinya: “Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah


menghidupkan bumi setelah mati (kering).”(QS. Ar-Rum:50)14

Lafaz atsar disini berbentuk plural dan bermakna bekas.

Sementara menurut istilah, ditemukan pendapat berbeda. Segolongan mengatakan bahwa


atsar mengandung makna yang sama, yaitu riwayat marfu’, mauquf dan maqthu’. Akan tetapi
pendapat yang masyhur di kalangan ulama salaf adalah bahwa atsar merupakan riwayat yang
berasal dari ulama salaf, sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’in. Dan menurut ulama Khurasan,
atsar dibatasi hanya pada riwayat mauquf saja.

4. Sanad

12
Munzier Suparta dan Utang Ranu Wijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajagrafindo, 1993), h. 11.

13
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Jakarta: Pondok Krapyak,
1999), h. 22.

14
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 409

12
Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad yaitu, yang diperpegangi atau yang bisa
dijadikan pegangan. Surat hutang yang berfungsi sebagai pegangan untuk menagihnya
kembali disebut dengan sanad. Atau dapat juga diartikan dengan sesuatu yang terangkat dari
tanah. Sanad juga bisa diartikan dengan bersandar, berlindung, menopang dan wewenang.15

Kata sanad dijumpai satu kali di dalam al-Qur’an, tepatnya di surat al-Munafiqun ayat 4
dengan menggunakan lafaz ”musannadah”, yaitu:

‫كأنهم خشب مسندة‬

Artinya: “Seakan-akan mereka kayu yang tersandar.”(QS. Al-Munafiqun: 4)16

Secara istilahi dalam ilmu hadis, sanad berarti jajaran orang-orang yang menyampaikan
seseorang kepada matan hadis atau silsilah (urutan) orang-orang yang membawa hadis dari
Rasul, sahabat, tabi’in, tabi’ at-tabi’in dan seterusnya sampai kepada orang yang
membukukan hadis tersebut. Dinamakan dengan sanad karena merupakan pegangan bagi para
penghafal hadis dan peneliti untuk menilai kebenaran suatu hadis. Seperti terminologi yang
diungkapkan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib yaitu:

17
‫هو طريق المتن أي سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن عن مصدره االول‬

Artinya: “Sanad adalah jalan matan hadis, yaitu silsilah para perawi yang menukilkan
matan hadis dari sumbernya yang pertama.”

al-Tahanawi juga mengemukakan defenisi sanad yang hampir senada yaitu:

18
‫السند هو الطريق الموصلة الى المتن أي أسماء رواته مرتبة‬

15
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, h. 1092-1093.

16
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 554.

17
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: Ulumuh wa Musthalahuh, h. 32.

18
Zafar Ahmad bin Lathif al-Utsmani al-Tahanawi, Qawaid fi Ulum al-Hadits, (Beirut: Maktabah al-
Nah’ah, 1984), h. 26.

13
Artinya: “Sanad adalah jalan matan hadis, yaitu silsilah para perawi yang menukilkan
matan hadis dari sumbernya yang pertama.”

Dari defenisi ini ditemukan substansi sanad, yaitu rangkaian yang menyampaikan
seseorang kepada matan hadis. Rangkaian itu adalah orang-orang yang saling menghubungkan
dan menyandarkan informasi yang dibawanya atau disampaikannya (matan) kepada yang
lainnya, sehingga hal itu membentuk mata rantai. Disebabkan ia berkedudukan sebagai mata
rantai, maka sanad tidak diterima jika terputus.19

5. Matan

Matan menurut etimologi adalah bagian yang keras atau yang tertinggi dari sesuatu.
Matnu al-thariq (pertengahan jalan) disebut juga dengan matan. Matan juga dapat diartikan
dengan punggung, yang tertulis, yang kuat dan sumpah.

Di dalam al-Qur’an tidak ada dijumpai lafaz matan secara langsung, tetapi dijumpai tiga
kali pengulangan dengan menggunakan lafaz “matin” yang berarti teguh atau kuat. Yaitu
terdapat pada surat: al-A’raf ayat 183 dan adz-Dzariyat ayat 58 dan al-Qalam ayat 45.

Menurut istilah matan berarti materi berita hadis (nafs al-hadis) yang terletak sesudah
sanad, seperti yang disebutkan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib:

20
‫الفاظ الحديث التي تتقوم بها معانيه‬

Artinya: “Lafal-lafal hadis yang di dalamnya ditemukan makna-makna tertentu.”

Yang dimaksud dengan lafal-lafal hadis adalah materi ungkapan yang di dalamnya
mengandung makna-makna tertentu. Ia terletak di akhir sanad atau setelah susunan sanad-
sanad tersebut. Matan hadis tidak harus selalu berupa perkatan Rasul, tapi adakalanya berupa
perkataan sahabat yang menerangkan suatu peristiwa yang menyangkut Rasul atau peristiwa
lain yang tidak diingkari oleh Rasul.21

19
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 26.

20
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: Ulumuh wa Musthalahuh, h. 32.

14
Mahmud al-Thahhan juga memberikan defenisi matan dengan kalimat sebagai berikut:

22
‫ما ينتهي اليه السند من الكالم‬

Artinya: “Sesuatu yang berakhir padanya (terletak sesudah) sanad, yaitu berupa
perkataan.”

Dapat disimpulkan dari defenisi-defenisi di atas bahwa yang dimaksud dengan matan
adalah materi atau teks berita hadis (nafs al-hadis) yang terletak sesudah sanad.

6. Rawi

Kata rawi atau ar-rawi merupakan bentuk isim fa’il (yang melakukan sesuatu perbuatan)
yang berasal dari kata kerja “rawa”. Maknanya menurut bahasa adalah “saqa” yang berarti
memberi minum atau “syarraba” yang berarti mengairi. Kata rawa juga bisa diartikan dengan
memintal. Pada contoh rawa al-habla maka maksudnya adalah memintal tali.23Dan bentuk
jamak (pluralnya) adalah ruwah.

Di dalam al-Qur’an tidak ada dijumpai kata rawi dalam bentuk isim fa’il, maupun kata
rawa dalam bentuk fi’il (kata kerjanya).

Sedangkan menurut istilah, rawi ialah orang yang menerima hadis dari gurunya dan
kemudian menyampaikannya kepada orang lain atau menuliskannya dalam suatu kitab apa-
apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang yang kemudian dapat dibaca oleh
orang lain. Sebenarnya, setiap nama dalam rangkaian sanad adalah rawi. Sebab ia menerima
hadis dari Rasul dan meriwayatkannya kepada tabi’in. Tabi’in yang menerima hadis dari
sahabat juga disebut rawi karena ia kemudian meriwayatkan kepada generasi sesudahnya.
Akan tetapi, yang lazim disebut rawi adalah orang yang meriwayatkan terakhir sekali dengan
pengertian bahwa ialah yang menuliskan hadis tersebut di dalam bukunya. Rawi terakhir ini
juga disebut dengan mukharrij, karena mengeluarkan hadis tersebut dari hafalan dan
memasukkannya ke dalam cacatan atau buku koleksi hadisnya.

21
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 27.

22
Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, (Beirut: Dar al-Qur,an al-Karim, 1979), h. 163.

23
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, h. 996.

15
7. Mutawatir

Menurut etimologi, mutawatir berarti mutatabi’ (yang berturut-turut) tanpa jarak. Di


dalam al-Qur’an tidak ada dijumpai istilah mutawatir. Secara terminologi mutawatir di
defenisikan oleh Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dengan pengertian:

‫ما رواه جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب عن مثلهم من اول السند الى منتهاه على‬
24
‫أن يختل هذا الجمع في أي طبقات السند‬

Artinya: “Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak, mustahil menurut adat mereka
bersepakat untuk melakukan kedustaan. Hal serupa itu terjadi sejak awal sanadnya hingga
akhirnya dan tidak cedera kuantitas orang tersebut dalam setiap tabaqah.”

Nur ad-Din juga memberikan pengertian mutawatir dengan pengertian yang lebih tegas,
yaitu:

‫الذي رواه جمع كثير ال يمكن تواطؤهم على الكذب عن مثلهم الى انتهاء السند وكان‬
25
‫مستندهم الحس‬

Artinya: “Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak, yang tidak mungkin mereka
melakukan kesepakatan berdusta. Hal serupa itu hingga akhir sanad. Hal itu didasarkan pada
pengamatan panca indra.”

Kata al-hiss di dalam defenisi tersebut maksudnya adalah sesuatu yang dapat dijangkau
oleh para perawinya melalui panca indra, seperti pendengaran dan penglihatan. Dalam hal ini,
tidaklah disebut mutawatir apabila suatu informasi yang diriwayatkan itu diperolah bukan
melalui panca indra, seperti melalui proses berpikir atau penggunaan daya nalarnya.

Ath-Thahhan juga memberikan defenisi tentang mutawatir dengan pengertian:

26
‫ما رواه عدد كثير تحيل العادة تواطؤهم على الكذب‬

24
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: Ulumuh wa Musthalahuh, h. 301.

25
Nur ad-Din ‘Itr, Manhaj an-Naqdi fi ‘Ulum al-Hadis, h. 70.

16
Artinya: “Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak, mustahil menurut adat mereka
bersepakat untuk melakukan kedustaan.

Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir adalah hadis yang
memiliki sanad yang pada setiap tingkatannya terdiri atas perawi yang banyak dengan jumlah
yang menurut hukum adat atau akal tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan
terhadap hadis yang mereka riwayatkan tersebut.

Selanjutnya ulama hadis menetapkan bahwa suatu hadis dapat dinyatakan mutawatir
apabila telah memenuhi kriteria tertentu. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
diiriwayatkan oleh banyak perawi, ditemukan adanya keseimbangan jumlah sanad pada tiap-
tiap generasinya, diyakini bahwa para periwayat tersebut tidak mungkin sepakat untuk
berdusta dalam periwayatannya, dan berita yang disampaikan oleh para perawi harus
berdasarkan pengamatan panca indranya.27

8. Shahih

Secara literal, shahih berarti selamat, benar, sah, dan sempurna. Antonim dari kata ini
adalah saqim yang berarti sakit. Dengan demikian, hadis shahih berarti hadis yang selamat,
sehat, sah dan sempurna.28

Sedangkan menurut terminologi, hadis shahih didefenisikan sebagai berikut:

29
‫ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ وال علة‬

Artinya: “Hadis yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil,
sempurna ingatan, diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) dengannya sampai ke
akhir sanad, tidak syadz dan tidak berillat.”

Ibnu al-Shalah mendefenisikan hadis shahih sebagai berikut:

26
Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, h. 18.

27
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h.152.
28
Ibid, h. 177.

29
Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, h. 33.

17
‫فهو الحديث المسند الذى يتصل اسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه‬
30
‫وال يكون شاذا وال معلال‬

Artinya: “Hadis musnad yang bersambung sanadnya dengan periwayatan oleh perawi
yang adil, sempurna ingatan, diterimanya dari perawi yang perawi yang adil, sempurna
ingatan sampai ke akhir sanadnya, serta hadis tersebut tidak syadz dan tidak berillat.”

Dari kedua defenisi di atas dapat disimpulkan, bahwa suatu hadis dapat dinyatakan shahih
apabila telah memenuhi kriteria tertentu. Kriteria yang telah dirumuskan oleh para ulama
tentang hadis shahih adalah sebagai berikut, sanad hadis tersebut harus bersambung,
perawinya harus adil dan dhabith, hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syadz dan selamat
dari ‘illat.31

9. Hasan

Hasan secara etimologi merupakan sifat al-musyabbahah, yang berarti al-jamal, yaitu
indah atau bagus. Dengan demikian hadis hasan adalah hadis yang baik atau yang bagus. Di
dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menggunakan lafaz hasan, di antaranya adalah
firman Allah di dalam surat: al-Baqarah ayat 245, al-hadid ayat 11, Ali ‘Imran ayat 37, al-
Maidah ayat 13, al-Anfal ayat 17, hud ayat 3 dan 87, an-Nahal ayat 67 dan 75, al-Kahfi ayat 2,
Thaha ayat 86, al-Hajj ayat 58, al-Qashash ayat 61, Fathir ayat 8, al-Fath ayat 16, al-Hadid
ayat 18, al-Muzammil ayat 20 dan ath-Thaghabun ayat 17.

Salah satu firman Allah yang menggunakan lafaz hasan adalah firman Allah yang
terdapat di dalam surat al-Baqarah ayat 245:

‫من ذاالذي يقرض هللا قرضا حسنا فيضعفه له أضعافا كثيرة‬

30
Ibn ash-Shalah, ‘Ulum al-Hadits, (Madinah: Maktabah al-‘Ilmiyah, 1972), h. 10.

31
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 221.

18
Artinya: “Barang siapa meminjami Allah pinjaman yang baik, maka Allah
melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak.” (QS. Al-Baqarah:245)32

Secara terminologis, Ibnu Hajar mendefenisikan hadis hasan dengan:

33
‫ما نقله عدل قليل الضبط متصل السند غير معلل و ال شاذ‬

Artinya: “Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, kurang kuat hafalannya,
sanadnya bersambung, tidak ber’illat dan tidak syadz.”

Ath-Thahhan mendefenisikan hadis hasan berdasarkan kutipannya dari pendapat Ibnu


Hajar, yaitu:

‫هو ما اتصل سنده بنقل العدل الذي خف ضبطه عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ وال علة‬
34
.‫قادحة‬

Artinya: “Yaitu hadis yang bersambung tsanadnya, yang diriwayatkan oleh orang adil
yang ringan (kurang) ke-dhabith-annya dari perawi yang sama (kualitasnya) dengannya
sampai penghujung sanad yang terhindar dari kejanggalan dan cacat yang memburukkan.”

Berdasarkan defenisi yang dikemukan di atas, para ulama hadis merumuskan bahwa
kriteria hadis hasan adalah sama dengan hadis shahih kecuali bahwa pada hadis hasan terdapat
perawi yang tingkat ke-dhabith-annya kurang atau lebih rendah dari yang dimiliki oleh perawi
hadis shahih. Oleh karena itu, menegaskan bahwa hadis hasan adalah hadis shahih yang
perawinya memiliki sifat dhabith lebih rendah dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih.

Dengan demikian, kriteria hadis hasan ada lima, yaitu, sanad hadis harus bersambung,
perawinya harus adil, perawinya mempunyai sifat dhabith, namun kualitasnya lebih rendah

32
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 77.

33
Ibnu Hajar al-‘Asqallani, Syarh Nukhbah al-Fik r fi Mushthalah Ahli al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1934), h. 52.

34
Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, h. 45.

19
(kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih, hadis yang diriwayatkan tidak syadz,
hadis yang diriwayatkan selamat dari ‘illat yang merusak.35

10. Dha’if

Secara bahasa adh-dha’if berarti lemah, lawan dari kata al-qawiy yang berarti kuat.
Bentuk pluralnya adalah dhi’afun atau adh’afun. Dengan demikian, hadis dha’if adalah hadis
yang lemah ditinjau dari sisi kehujjahannya.

Di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang berbicara tentang istilah dha’if baik dalam
bentuk mufradnya maupun dalam bentuk pluralnya, antara lain adalah: al-Baqarah ayat 266
dan 282, an-Nisa’ ayat 8, 28 dan 75, Hud ayat 9 dan seterusnya.

Salah satu ayat yang membahas tentang kata dha’if adalah firman Allah yang terdapat di
dalam surat an-Nisa’ ayat 28, yaitu:

‫و خلق االنسان ضعيفا‬

Artinya: “Dan manusia itu diciptakan (bersifat) lemah.”(QS. An-Nisa’:28)36

. Secara terminologis hadis dha’if adalah seperti yang didefenisikan oleh Ibn al-Shalah:

‫هو كل حديث لم تجتمع فيه صفات الحديث الصحيح وال صفات‬


37
‫الحديث الحسن‬

Artinya: “Yaitu setiap hadis yang tidak terhimpun padanya sifat-sifat hadis shahih dan
tidak pula sifat-sifat hadis hasan.”

Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib juga menjelaskan defenisi hadis dha’if dengan pengertian:

38
‫هو ما لم يجمع صفة الصحيح والحسن‬

35
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 230.

36
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 84.

37
Ibn ash-Shalah, ‘Ulum al-Hadits, h. 37.

20
Artinya: “Yaitu hadis yang tidak menghimpun sifat shahih dan hasan.”

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa hadis dha’if adalah hadis
yang tidak memiliki kriteria hadis shahih dan hadis hasan. Jika dihimpunkan, maka kriteria itu
mencakup lima hal, yaitu: terputusnya sanad hadis, diriwayatkan oleh perawi yang tidak adil
dan tidak dhabit, memiliki ‘illat (cacat), dan syadz (kejanggalan), baik pada matan maupun
pada sanad. Ketidak sahihan hadis tersebut tidak harus berkumpul kelima kriteria tersebut,
namun cukup jika ada salah satu di antaranya, maka hadis tersebut menjadi dha’if.

11. Takhrij

Adapaun pengertian Takhrij secara bahasa berarti:

‫فهو اجتماع أمرين متضادين في شيئ واحد‬

Artinya: “Berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam satu masalah.”

Selain itu, takhrij juga mengandung pengertian yang bermacam-macam di antaranya


adalah: al-istinbath (mengeluarkan), al-tadrib (melatih atau membiasakan), at-tawjih
(memperhadapkan).

Secara terminologi takhrij berarti:

‫عزو االحاديث التي تذكر في المصنفات معلقة غير مسندة وال معزوة الى كتاب أو كتب‬
‫ واما‬, ‫ اما مع الكالم عليها تصحيحا و تضعيفا و ردا و قبوال و بيان ما فيها من العلل‬, ‫مسندة‬
.‫باالقتصاد على العزو الى االصول‬

Artinya: “Mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya) hadis-hadis yang terdapat di


dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad, baik disertai
dengan pembicaraan tentang status hadis tersebut dari segi shahih atau dha’if, ditolak atau
diterima, penjelasan tentang kemungkinan ‘illat yang ada padanya, atau hanya sekedar
mengembalikannya kepada kitab-kitab asal (sumber) nya.”

38
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: Ulumuh wa Musthalahuh, h. 337.

21
At-Thahhan memberikan defenisi tentang takhrij setelah membaca beberapa pengertian
tentang takhrij di kalangan ulama hadis, menyimpulkannya sebagai berikut:

‫ ثم بيان مراتبه‬, ‫هو الداللة على موضع الحديث في مصادره االصلية التي أخرجته بسنده‬
‫عند الحاجة‬

Artinya: “Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumber-sumbernya yang
asli yang di dalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing-
masing, kemudian manakala diperlukan, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan.”

Yang dimaksud dengan menunjukkan letak hadis dalam definsi di atas adalah,
menyebutkan berbagai kitab yang di dalamnya terdapat hadis tersebut. Seperti hadis tersebut
diriwayatkan oleh Bukhari di dalam kitab shahihnya atau oleh ath-Thabrani di dalam
mu’jamnya atau oleh ath-Thabrani di dalam tafsirnya atau kitab-kitab sejenis yang membuat
hadis tersebut.

Sedangkan yang dimaksud dengan “sumber sumber hadis yang asli” adalah, kitab-kitab
hadis yang menghimpun hadis-hadis Nabi saw yang diperoleh oleh penulis kitab tersebut dari
para gurunya lengkap dengan sanadnya sampai kepada Nabi saw. Kitab-kitab tersebut dan
seperti, al-Kutub al-Sittah, Muwaththa’ Malik, Musnad Ahmad, Mustadrak al-Hakim.

Dan yang dimaksud dengan “menjelaskan status dan kualitas hadis tersebut ketika di
butuhkan” adalah, menjelaskan kualitas hadis tersebut apakah sahih, dha’if atau lainnya ,
apabila hal tersebut di perlukan. Oleh karena itu, menjelaskan status dan tingkatan hadis
bukanlah sesuatu yang asasi di dalam takhrij, namun hanyalah sebagai penyempurna yang
akan dijelaskan manakala diperlukan .

Dari denifisi tersebut terlihat bahwa hakikat dari takhrij al-hadis adalah, penelusuran
atau pencarian hadis pada berbagai kitab hadis sebagai sumbernya yang asli yang di dalamnya
di kemukakan matan dan sanadnya.39

B. Sejarah dan Perkembangan Kajian Hadis

39
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 395.

22
Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis bertujuan untuk mrngangkat
fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah saw, kemudian secara priodik pada
masa-masa sahabat dan tabi’in serta masa-masa berikutnya.

Di antara para ulama terdapat perbedaan dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan
pengembangan hadis ini. Ada yang membaginya dalam tiga priode saja, yaitu masa Rasulullah
saw, sahabat dan tabi’in, masa pen-tadwin-an dan masa setelah tadwin. Namun ada yang
membaginya dalam periodesasi lain yang lebih terperinci, yaitu lima hingga tujuh periode
dengan spesifikasi yang cukup jelas.

Dalam makalah ini akan dijelaskan dengan singkat periodesasi perkembangan studi hadis
dengan enam periode awal sebagai berikut:

1. Pertumbuhan dan Perkembangan Hadis Pada Masa Rasululah

Apabila membicarakan hadis pada masa Rasulullah saw, berarti membicarakan hadis
pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan berkaitan langsung dengan pribadi
Rasulullah saw sebagai sumber hadis. Rasulullah saw telah membina umatnya selama 23
tahun.40

Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakan dengan masa lainnya, yaitu
umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah saw sebagai sumber
hadis. Pada masa ini tidak ada jarak atau hijab yang dapat memperhambat atau mempersulit
pertemuan mereka.

Tempat-tempat pertemuan kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam berbagai


kesempatan, misalnya masjid, rumah beliau sendiri, pasar, ketika beliau dalam perjalanan
ketika beliau muqim (berada di rumah).41 Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa Ibnu
Mas’ud pernah bercerita bahwa rasulullah saw menyampaikan hadis dengan berbagai cara,
sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya, dan tidak mengalami kejenuhan.

40
Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 88.
41
Mustafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuh fi at-Tasyri’ al-Islami, (Kairo: Dar al-qaumiyah, 1949),
h. 61.

23
Ada beberapa cara yang digunakan Rasulullah dalam menyampaikan hadis kepada para
sahabat yaitu: Pertama, melalui para jamaah yang berada di pusat pembinaan atau majelis al-
ilmi. Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah saw juga menyampaikan hadisnya melalui
para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikan kepada orang lain. Ketiga, cara lain
yang dilakukan Rasulullah saw adalah melauli ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti
ketika haji wada’ dan fathu makkah.42

Para sahabat tidak memiliki kadar perolehan yang sama dalam menguasai hadis antara
satu dengan yang lainnya. Hal ini bergantung pada beberapa keadaan berikut ini:
Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah saw. Kedua,
perbedaan dalam soal kesanggupan untuk selalu bersama Rasulullah saw. Ketiga, perbedaan
mereka dalam soal kekuatan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain. Keempat,
perbedaan mereka dalam waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal mereka dari majelis
Rasulullah saw.

Ada beberapa orang sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasulullah saw, mereka
antara lain adalah: Pertama, para sahabat yang tergolong kelompok as-sabiq al-awwalun
(yang mula-mula masuk Islam. Kedua, ummahat al-mukminin (istri-istri Rasulullah saw).
Ketiga, para sahabat yang selalu dekat dengan Rasulullah saw dan juga menuliskan hadis-
hadis yang diterimanya.43

Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan hadis sebagai
dua sumber ajaran Islam, Rasulullah saw menggunakan jalan yang berbeda terhadap al-
Qur’an. Beliau menginstruksikan kepada para sahabatnya supaya menulis dan menghafal al-
Qur’an. Sedangkan terhadap hadis, beliau menyuruh mereka menghafalnya dan melarang
menulisnya dengan resmi. Dalam hal ini beliau bersabda:

42
Ibid, h, 89.

43
Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h. 61.

24
‫ ال‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬,‫عن ابي سعيد الخدري رضي هللا عنه قال‬
‫ ومن كذب‬,‫ حدثوا عني فال حرج‬,‫ ومن كتب عني غير القران فليمحه‬,‫تكتبوا عني غير القران‬
)‫مسلم‬ ‫علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (رواه‬

Artinya: “Apa saja yang kalian tulis dariku selain al-Qur’an, maka hendaklah dia
menghapusnya. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, itu tidak mengapa. Barang siapa
yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya
di neraka.”(HR. Muslim).

Maka para sahabat berusaha menghafalkan hadis yang mereka terima dari Rasulullah saw
dengan sungguh-sungguh karena takut dengan ancaman Rasulullah saw. Sehingga berusaha
agar tidak melakukan kekeliruan terhadap apa yang diterimanya .

Ada dorongan kuat yang memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan
menghafal hadis ini, yaitu: Pertama, kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang
telah diwarisi sejak masa pra Islam dam mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua, Rasulullah
saw banyak memberikan spirit melalui doa-doanya. Ketiga, Seringkali beliau menjanjikan
kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang
lain.44

Sekalipun larangan Rasulullah untuk menulis hadis seperti yang disebutkan dalam hadis
Abu Sa’id al-Khudri di atas, ternyata ada sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan
hadis. Di antara mereka adalah: Pertama, Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash. Ia memiliki catatan
hadis yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasulullah saw, sehingga diberinya nama
ash-shahifah ash-shadiqah. Kedua, Jabir bin ‘Abdillah bin Amr al-Anshari. Dia memiliki
catatan hadis dari Rasululullah saw tentang manasik haji. Hadis-hadisnya kemudian
diriwayatkan oleh Muslim. Dan catatan ini dikenal dengan Sahifah Jabir. Ketiga, Abu
hurairah ad-Dausi. Dia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan ash-shahifah ash-
shahihah. Keempat, Abu Syah (Umar bin Sa’ad al-Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia
meminta pidato Rasulullah saw pada peristiwa fathu Makkah sehubungan dengan terjadinya

44
Ibid, h. 62.

25
pembunuhan yang di lakukan oleh Bani Khuza’ah terhadap salah seorang penduduk Bani
Lais.

2. Perkembangan Hadis Pada Masa Sahabat

Priode kedua sejarah perkembangan hadis adalah pada masa sahabat, khususnya khulafa
ar- rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib), yaitu
sekitar tahun 11 Hijriyah sampai dengan tahun 40 Hijriyah. Masa ini juga disebut dengan
masa sahabat besar terfokus pada pemeliharaan al-Qur’an, sedangkan periwayatan hadis
belum begitu berkembang dan masih dibatasi. Oleh karena itu, para ulama menganggap masa
ini sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan (at-Tasabbut wa al-Iqlal
ar-Riwayah).

Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasulullah saw berpesan kepada para sahabat
agar berpegang teguh kepada al-Qur’an dan hadis serta mengajarkannya kepada orang lain,
sebagaimana sabdanya:

‫تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب هللا و سنتي‬

Artinya: “Telah ku tinggalkan untuk kalian dua pusaka, jika berpegang teguh kepada
keduanya niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan kitab rasulnya
(hadis).”(HR. Hakim)

Perhatian para sahabat pada masa ini terfokus kepada usaha memelihara dan
menyebarkan al-Qur’an. Ini terbukti dengan dilakukannya pembukuan al-Qur’an pada masa
Abu Bakar atas saran Umar bin Khattab. Usaha pembukuan ini dilakukan pula pada masa
Usman bin ‘Affan, sehungga melahirkan mushaf utsmani.45

Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama yang menunjukkan perhatiannya dalam
memelihara hadis. Sikap kehati-hatian juga ditunjukkan oleh Umar bin Khattab, seperti halnya
Abu Bakar, ia juga selalu meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis.
Sikap kedua sahabat di atas juga diikuti oleh Usman dan Ali. Selain dengan cara-cara di atas
Ali juga terkadang mengujinya dengan sumpah.

45
Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah qabla at-Tadwin, h. 62-63.

26
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis, yang ditunjuk oleh para sahabat
dengan sikap kehati-hatiannya tidak berarti bahwa mereka tidak meriwayatkan hadis-hadis
Rasul itu sama sekali. Dalam batas-batas tertentu, hadis-hadis itu diriwayatkan, khususnya
yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari, atau dalam soal ibadah dan
muamalah.46

Ada dua jalan yang ditempuh para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah
saw. Pertama, dengan periwayatan lafzhi (redaksinya persis yang di-wurud-kan Rasulullah
saw. Kedua, dengan jalan periwayatan maknawi (makna saja).

Periwayatkan lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksi atau matannya persis seperti
yang di-wurud-kan oleh Rasulullah saw. Di antara para sahabat yang paling menuntun
periwayatan hadis dengan lafzhi adalah Ibnu Umar. Para sahabat lainnya berpendapat bahwa
dalam keadaan darurat disebabkan tidak hafal persis seperti yang di-wurud-kan Rasulullah
saw, dibolehkan meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwatan maknawi artinya adalah
periwatan hadis yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah saw,
tetapi isinya atau maknanya tetap terjaga secara utuh dengan yang dimaksudkan oleh
Rasulullah saw.47

3. Perkembangan Hadis Pada Masa Tabi’in

Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda
dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak
berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Qur’an sudah dikumpulkan
dalam satu mushaf.

Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasaan Islam sampai
meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika selatan, Spanyol disamping Madinah, Makkah, Bashrah,
Syam dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran
para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan
masa menyebarnya periwayatan hadis (intisyar ar-riwayah ila al-amsar).

46
Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h. 69.
47
Ibid, h. 70.

27
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat
tujuan para tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut ialah: Madinah, Makkah, Kufah,
Bashrah, Syam, Mesir, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah sahabat Pembina hadis pada
kota-kota itu, terdapat beberapa orang yang tercatat meriwayatkan hadis cukup banyak, antara
lain adalah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah bin Abbas,
Jabir bin Abdillah dan Abi Sa’id al-Khudri.48

Pusat pembinaan pertama adalah Madinah, karena disinilah Rasullah menetap setelah
hijrah. Para sahabat yang menetap di sini diantaranya adalah, Khulafa’ ar-Rasyidin, Abu
Hurairah, Aisyah, Abdullah bin Umar, Abu Said al-Khudri, dengan menghasilkan pembesar
Tabi’in, seperti Said bin al-Musyayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, Ibn Syihab az-Zuhri,
Ubaidullah bin ‘Utbah bin Mas’ud, dan Salim bin Abdillah bin Umar.

Di antara sahabat yang membina hadis di Makkah adalah, Mu’adz bin Jabal, ‘Atab bin
Asid, Haris bin Hisyam, Usman bin Thalhah, dan Uqbah bin al-Haris. Di antara para tabi’in
yang muncul dari sini tercatat nama-nama, seperti Mujahid bin Jabar, Ata’ bin Abi Rabah,
Tawus bin Kaisan, dan Ikrimah ibn Maula bin Abbas.49

Di antara para sahabat yang membina hadis di Kufah ialah, Ali bin Abi Thalib, Saad bin
Abi Waqas, dan Abdullah bin Mas’ud. Di antara para tabi’in yang muncul disini ialah, ar-
Rabi’ bin Qasim, Kamal bin Zaid an-Nakha’i, Said bin Zubair al-Asadi, Amir bin Sarahil as-
Sya’ibi, Ibrahim an-Nakha’i, dan Abu Ishak as-Sa’bi.

Di antara para sahabat yang membina hadis di Basrah ialah, Anas bin Malik, Abdullah
bin ‘Abbas, Imran bin Husain, Ma’qal bin Yasar, Abdurrahman bin Samrah, dan Abu Said al-
Ansari. Di antara para tabi’in yang muncul disini, ialah Hasan al-Basri, Muhammad bin Sirrin,
Ayub as-Sakhyatani, Yunus bin Ubaid, Abdullah bin ‘Aun, Khatadah bin Du’amah as-Sudusi,
dan Hisyam bin Hasan.

Di antara sahabat yang membina Syam, ialah Abu Ubaidah al-Jarrah, Bilal bin Rabah,
Ubadah bin Samit, Mu’adz bin Jabal, Sa’ad bin Ubadah, Abu Darda Surahbil bin Hasanah,

48
Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, h. 163.

49
Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla at-Tadwin, h. 166.

28
Khalid bin Walid, dan ‘Iyad bin Ganam. Para tabi’in yang muncul disini, diantaranya ialah
Salim bin Abdillah al-Muharibi, Abu Idris al-Khaulani, Abu Sulaiman ad-Darani, dan Umar
bin Hana’i.

Para sahabat yang membina di Mesir di antaranya ialah, ‘Amr bin ‘Ash, Uqbah bin Amr,
Kharijah bin Huzafah, dan Abdullah bin al-Haris. Sedang para tabi’in yang muncul di
antaranya ialah, Amr bin al-Haris, Khair bin Nu’aimi al-hadrami, Yazid bin Abi Habib,
Abdullah bin Abi Jafar, dan Abdullah bin Sulaiman at-Tawil.

Di Magrib dan Andalus, para sahabat yang terjun, diantaranya Mas’ud bin al-Aswad al-
Balwi, Bilah bin Haris bin ‘Asim al-Muzani, Salamah bin al-Akwa, dan Walid bin Uqbah bin
Abi Muid. Kemudian para tabiin yang muncul, ialah Ziyad bin an-Am al-mu’afil,
Abdurrahman bin Ziyad, Yazid bin Abi Mansur, al-Mugirah bin Abi Burdah, Rifa’af bin
Rafi’, dan Muslim bin Yasar.50

Para sahabat yang terjun di Yaman, ialah Mu’adz bin Jabal, dan Abu Musa al-Asy’ari.
Kedua orang sahabat ini telah dikirm ke daerah ini sejak masa Rasulullah masih hidup. Para
tabi’in yang muncul disini di antaranya ialah, Hamam bin Munabah dan Wahab bin Munabah,
Tawus bin Ma’mar bin Rasid. Kemudian di Khurasan para sahabat yang terjun antara lain
adalah, Buraidah bin Husain al-Aslami, al-Hakam bin Amir al-Gifari, Abdullah bin Qasim al-
Aslami, dan Qasm bin al-Abas. Sedang diantara para tabi’innya, ialah Muhammad bin Ziyad,
Muhammad bin Sabit al-Ansari, Ali bin Sabit al-Ansari, dan Yahya bin Sabih al-Mugri.51

Pada priode ketiga ini muncul usaha pemalsuan hadis oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib dan umat islam
terpecah-pecah menjadi beberapa golongan yaitu: Pertama, golongan Ali bin Abi thalib yang
kemudian dikenal dengan Syi’ah. Kedua, golongan Khawarij yang menentang Ali. Ketiga,
golongan Jumhur (golongan pemerintah saat itu).

50
Ibid, h. 171-172.
51
Mudasir, Ilmu Hadis, h. 103.

29
4. Fase Kodifikasi Hadis

Yang dimaksud dengan kodifikasi hadis atau tadwin hadis pada priode ini adalah
kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara. Usaha ini dimulai pada masa
pemerintahan Islam ketika dipimpin oleh Khalifah Umar bin ‘Abdul Aziz, melalui
instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari
para penghafalnya.

Khalifah mengisntruksikan kepada Abu Bakar bin Hazm (gubernur Madinah) agar
mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Ansari (murid
kepercayaan ‘Aisyah) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr. Instruksi yang sama ia
tujukan kepada Muhammad bin Syihab az-Zuhri yang dinilainya sebagai orang yang lebih
banyak mengetahui hadis daripada yang lainnya.52

Dengan melihat berbagai persoalan yang muncul, sebagai akibat terjadinya pergolakan
politik yang sudah cukup lama, dan mendesaknya kebutuhan untuk segera mengambil
tindakan guna penyelamatan hadis dari kemusnahan dan pemalsuan, maka Umar bin Abdul
Aziz sebagai seorang khalifah yang berakhlak mulia terdorong untuk mengambil tindakan ini.
Bahkan menurut bebarapa riwayat dia turut terlibat mendiskusikan hadis-hadis yang sedang
dihimpunnya.53

5. Fase Seleksi dan Penyempurnaan Sistem Penyusunan Kitab Hadis

Masa seleksi atau penyaringan hadis terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti
Bani Abbas sekitar tahun 201-300 Hijriyah.

Munculnya periode seleksi ini karena pada periode sebelumnya, yakni periode tadwin,
belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan maqthu’ dari hadis marfu’. Begitu
pula belum bisa memisahkan beberapa hadis yang dha’if dari yang shahih. Bahkan masih
adanya hadis yang maudhu’ tercampur pada yang shahih.

52
Mustafa as-Siba’i, as-Sunnah wa makanatuh fi at-Tasyri’ al-Islami, h. 102.

53
Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah qabla at-Tadwin, h. 330.

30
Pada masa ini para ulama bersunggung-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang
diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, para ulama pada masa ini berhasil
memisahkan hadi-hadis yang dha’if dari yang shahih dan hadis-hadis yang mauquf dan yang
maqthu’ dari yang ma’ruf, meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih ditemukakan
terselipnya hadis yang dha’if pada kitab-kitab shahih karya mereka.

Berkat keuletan dan keseriusan para ulama pada masa ini. Maka bermunculanlah kitab-
kitab hadis yang hanya memuat hadis-hadis yang shahih. Kitab-kitab tersebut pada
perkembangannya kemudian, dikenal dengan kutub as-sittah (kitab induk yang enam).

Ulama yang pertama berhasil menyusun kitab tersebut, ialah Abu Abdillah Muhammad
bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari yang terkenal dengan
“Imam Bukhari” dengan kitabnya al-Jami’ as-Shahih. Kemudian abu Husain Muslim bin al-
Hajjaj al-Qusairi an-Naisaburi yang dikenal dengan Imam Muslim dengan kitabnya juga
disebut al-Jami’ as-Shahih.

Usaha yang sama dilakukan oleh Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak al-Sijistani,
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah at-Tirmizi, Abu Abdul Rahman bin Sua’id bin Bahr an-
Nasa’i dan Abu Abdillah bin Yazid bin Majah. Hasil karya keempat ulama ini dikenal dengan
kitab as-Sunan, yang menurut para ulama kualitasnya di bawah kitab karya Bukhari dan
Muslim.

Urutan-urutan ini menurut sebagian ulama menunjukkan urutan kualitasnya, meskipun


ada yang mempersoalkan apakah yang pertama itu karya Bukhari atau karya Muslim. Begitu
juga halnya dengan urutan-urutan lainnya. Kemudian pula untuk urutan keenam pun terdapat
perbedaan pendapat. Ada yang menempatkan Malik bin Anas dan ada yang menempatkan ad-
Darimi.

Setelah munculnya kutub as-sittah dan al-muwatta’ Malik serta al-musnad Ahmad bin
Hanbal, para ulama mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab jamawi’, kitab
syarah mukhtasar, men-takhrij, menyusun kitab Atraf, dan Jawa’id serta penyusunan kitab
hadis untuk topik-topik tertentu. Di antara ulama yang masih melakukan penyusunan kitab
hadis yang memuat hadis-hadis shahih diantaranya ialah Ibn Hibbban al-Bisti, Ibn Huzaimah
dan al-Hakim an-Naisaburi.

31
Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha memgembangkan
dengan beberapa variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Di antara usaha
itu ialah, mengumpulkan isi kitab Shahih Bukhari Muslim, seperti yang dilakukan Muhammad
bin Abdillah al-Jauzaqi dan Ibn al-Furat. Mereka juga mengumpulkan isi kitab yang enam,
seperti yang dilakukan oleh Abdul Haq bin Abdur Rahman al-Asybili, al-Fairu az-Zabadi, dan
Ibn al-Asir al-Jazari. Ada yang mengumpulkan kitab-kitab hadis mengenai hukum, seperti
yang dilakukan oleh ad-Daruqutni, al-Baihaqi, Ibn Daqiq al’Id, Ibn Hajar al-Asqallani, dan
Ibn Qudamah al-Maqdisi.

Masa perkembengan hadis yang disebut terakhir ini terbentang cukup panjang dari mulai
abad berikutnya sampai abad kontemporer. Dengan demikian masa perkembangan ini
melewati dua fase sejarah perkembangan Islam, yakni fase pertengahan dan fase modern.54

C. Metodologi Kajian Hadis, Tokoh dan Karyanya

Metode merupakan pendekatan atau cara yang dipakai untuk meneliti suatu ilmu
Sedangkan metodologi merupakan ilmu tentang metode. Dalam pembahasan ini hanya
dikhusukan tentang metodologi kajian hadis.55

Metode kajian hadis merupakan cara dalam mengkaji dan meneliti suatu hadis tentang
keshahihannya. Dalam mengadakan pengkajian hadis diperlukan adanya metode agar lebih
mudah melakukan pengkajian. Dalam studi hadis ada beberapa pendekatan dan metodologi
tang ditempuh yakni pendekatan dari segi sanad dan matan. Apabila sebuah berita dikatakan
seseorang sebagai hadis, jika tidak memiliki sanad, maka ulama hadis tidak dapat
menerimanya. Penelitian matan pada dasarnya dapat dilakukan dengan pendekatan dari segi
kandungan hadis dengan menggunakan rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Pendekatan sanad dilakukan karena keadaan dan kualitas sanad merupakan hal yang pertama
diperhatikan dan dikaji oleh para ulama hadis dalam melakukan penelitian.56

54
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 79.

55
Faisar Ananda Arfa, Syafruddin Syam, Muhammad Syukri Albani nasution, Metodologi Studi Islam:
Jalan Tengah Memahami Islam, h. 54.

56
Ibid, h. 87-88.

32
Adapun langkah-langkah dalam mengkaji hadis adalah sebagai berikut:

1. Takhrijul Hadis

Takhrij seperti yang sudah dijelaskan di atas menurut etimologi adalah al-istinbath
(mengeluarkan), al-tadrib (melatih) dan at-taujih (mmperhadapkan). Secara terminologi
takhrij adalah menyebutkan suatu hadis dengan sanadnya sendiri.

Dari defenisi tersebut, secara umum takhrij hadis mempunyai tujuan untuk menunjukkan
sumber hadis-hadis sekaligus menerangkan hadis tersebut diterima atau ditolak
(keshahihannya).

Dalam kegiatan takhrij hadis, maksudnya adalah untuk melakukan pencarian dan
penelusuran hadis pada berbagai kitab utama hadis, untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis,
mengetahui semua riwayat hadis dan untuk mengetahui adanya syahid atau muttabi’ dalam
sanad.

Adapun metode yang digunakan untuk men-takhrij hadis ada lima macam: Pertama,
menelusuri hadis berdasarkan pada awal lafaz matan (matla’ al-hadits). Kitab yang dapat
dijadikan acuan dalam metode ini adalah al-Jami’ ash-Shagir karya Imam Jalaluddin as-
Suyuthi. Kedua, menelusuri hadis berdasarkan lafaz dari semua lafaz yang ada dalam matan
hadis (lafaz al-hadits). Kitab yang membantu dalam metode ini adalah Mu’jam al-Mufahras li
Alfazhi al-Hadits al-Nabawi karya seorang orientalis yang bernama Arentjan Wensinck.
Ketiga, menelusuri hadis berdasarkan pada rawi pertama (rawi al-a’la). Kitab yang membantu
dalam metode ini di antaranya adalah kitab al-Athraf karangan al-Mizi. Keempat, menelusuri
hadis berdasarkan pada topik tertentu (maudhu’ al-hadits). Kitab yang membantu dalam
metode ini adalah Miftah Kunuz al-Sunnah karya A.J. Wensinck. Kelima, menelusuri hadis
berdasarkan pada sifat-sifat yang tampak atau kualifikasi jenis hadis (sifah al-dhahirah). Kitab
yang membantu kegiatan ini adalah al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akbar al-Mutawatirah
karya Imam Jalaluddin as-Suyuti.

2. Penelitian Sanad

33
Langkah-langkah dalam penelitian sanad yaitu: Pertama, al-i’tibar (penyertaan)
keseluruhan sanad-sanad hadis untuk suatu hadis tertentu serta metode periwayatan yang
digunakan oleh masing-masing perawi hadis agar dapat memperoleh gambaran tentang
adanya syahid dan muttabi’ dalam sanad hadis. Setelah itu, membuat bagan atau skema sanad
dari masing-masing mukharrij. Kedua, meneliti pribadi seorang periwayat metode yang
digunakan dalam meriwayatkan hadis. Pada penelitian ini harus menggunakan acuan
kesahihan sanad hadis tentang sanad yang bersambung, keadilan, ke-dhabit-han, para perawi
dan terhindar dari syadz dan ‘illat.

Dalam memudahkan untuk meneliti seorang rawi, para ulama memberikan teori-teori al-
jarh wa at-ta’dil sebagai instrumen untuk membantu penelitian agar mencapai konklusi
penelitian pada perawi hadis. Di antaranya yaitu:

a. al-Ta’dil Muqaddam ‘ala al-Jarh, yaitu penelitian ini menta’dilkan rawi


dahulu baru mencelakan, dengan alasan sifat perawi adalah terpuji.
b. al-Jarh Muqaddam ala at-Ta’dil, yaitu terlebih dahulu mencela, kemudian
menta’dilkan kecacatan perawi.
c. Idza Ta’aradl al-Jarh wa al-Mu’addil fa al-Hukm li al-Mua’ddil illa, Idza
Tatsabbut al-Jarh al-Mufassar, yaitu jika terjadi pertentangan antara
penta’dilan dengan pen-jarh-an, maka yang didahulukan adalah pen-ta’dil-an.
d. Idza Kana al-Jarh Dha’ifan fala Yuqbal Jarhuhu li al-Tsiqah,
yaitu apabila orang yang mengemukakan ketercelaan itu tergolong orang yang
dha’if, maka kritikannya terhadap orang yang tsiqah tidak diterima.
e. La Yuqbal al-Jarh Illa Ba’da al-Tassabbut Khasyyah al-Asybah,
yaitu pen-jarh-an tidak diterima kecuali setelah ditetapkan kesamaran-
kesamaran orang yang dicela.
f. al-Jarh al-Nasyi’ ‘an Adawah Dunyawiyah La Yu ‘ tadu bihi, yaitu al-jarh
yang dikemukakan oleh orang yang bermusuhan tentang masalah dunia, tidak
perlu di perhatikan .

Sedangkan untuk meneliti merode yang digunakan perawi untuk meriwayatkan hadis ada 8
metode yaitu : al-sama’, al-qiraah aw al-‘aradl, al-ijazah, al-munawalah, mukatabah, al-
i’lam, al-washiyyah, al-wiyadah

34
3. Penelitian matan

Langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan penelitian matan hadis adalah sebagai
berikut :

a. Melihat Kualitas Sanad Hadis

Sanad dan matan memiliki kedudukan yang sama penting dalam kaitannya dengan hujjah.
Sanad tanpa adanya matan itu tidak dapat disebut dengan hadis, begitu juga sebaliknya matan
hadis tidak dapat dikatakan sebagai hadis apabila tidak ada sanadnya. Kemudian apabila
sanadnya lemah, maka matannya pun dapat dikatakan lemah pula. Untuk itu, mengetahui
kualitas sanad hadis menjadi langkah awal penelitian matan hadis.

b. Melihat Susunan Matan Hadis yang Semakna

Matan suatu hadis memiliki ragam yang banyak, hal ini dikarenakan kesalahpahaman
dalam periwayatan atau pun perbedaan pemahaman. Akibatnya timbul berbagai macam lafaz
matan hadis yang semakna, maka perlu dilakukan langkah muqaranah (perbandingan)
terhadap matan-matan hadis yang memiliki makna kandungan yang sama dan juga
membandingkan sanad-sanadnya.

c. Meneliti Kandungan Matan Hadis

Untuk melakukan penelitian terhadap kandungan matan hadis ini perlu dilakukan
perbandingan kandungan matan hadis yang sejalan. Oleh karena itu, mempertautkan dengan
dalil-dalil lain yang mempunyai topic masalah yang sama sangat membantu dalam kandungan
ini.

D. Kajian Hadis di Kalangan Orientalis dan Kritik Terhadapnya


1. Pengertian Orientalis

Orientalis berasal dari kata orient dalam bahasa Prancis yang secara harfiah bermakna
timur, secara geografis bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis bermakna bangsa-
bangsa timur. Sedangkan isme dalam bahasa Belanda ataupun ism dalam bahasa Inggris
menunjukkan pengertian tentang sesuatu paham. Jadi orientalisme adalah suatu paham atau

35
aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa Timur
beserta lingkungannya.57

Orientalis yang dimaksud disini adalah para Sarjana Barat yang notabene non-Muslim
(Yahudi, Kristen atau bahkan Ateis) namun sibuk mengkaji Islam beserta seluk beluknya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa orientalis adalah segolongan sarjana Barat non-Muslim
yang melakukan kajian terhadap hadis Nabi yang diyakini oleh umat Islam sebagai dasar
penetapan hukum.

2. Sejarah Kajian Hadis di Kalangan Orientalis

Dari sekian banyak bidang kajian yang menjadi garapan para orientalis, salah satunya
adalah hadis Nabi.

Dalam hal ini Goldziher telah berhasil menanamkan keraguan terhadap autentisitas hadis
yang dilengkapi dengan studi-studi ilmiah yang dilakukannya, sehingga karyanya dianggap
sebagai ‘kitab suci’ oleh para orientalis sendiri. Di samping itu, kehadiran Joseph Schacht
melalui bukunya: The Origin of Muhammadan Jurisprudence, terbit pertama kali pada tahun
1950, yang kemudian dianggap sebagai ‘kitab suci kedua’ oleh para orientalis berikutnya.

Namun ada pula orientalis yang memiliki pandangan yang lebih jernih dan bertentangan
dengan kedua ilmuan di atas seperti Freedland Abbott, dalam bukunya: Islam dan Pakistan
membagi substansi hadis menjadi tiga kelompok besar: Pertama, hadis yang menggambarkan
kehidupan Nabi secara umum. Kedua, hadis yang dipermasalahkan karena karena hadis-hadis
itu tidak konsisten dengan ucapan Nabi. Ketiga, hadis yang menceritakan wahyu yang
diterima oleh Nabi.

Dari ketiga klasifikasi di atas menunjukkan bahwa ia mengakui bahwa hadis benar-benar
bersumber dari Nabi, meskipun klasifikasinya berbeda dengan para Muhadditsin. Pengakuan
lain yang disampaikan oleh Nabila Abbott dalam bukunya: Studies in Liberary Papiry:
Qur’anic Commentary and Tradition, menegaskan bahwa hadits-hadits Nabi dapat ditelusuri
keberadaannya hingga masa Nabi dan bukan buatan umat Islam setelah abad pertama hijriyah.

57
Joesoep Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990) h. 1.

36
Jadi, dapat dikatakan bahwa di kalangan orientalis terjadi pergeseran pendapat tentang
hadis. Sebagian mereka sependapat dengan Goldziher dan Schacht, namun ada pula yang
berpendapat lain.

3. Sikap Para Orientalis Terhadap Kajian Hadis

Dalam bidang hadis, sikap para orientalis tersebut tidak terlepas dari sikap dan pencitraan
mereka terhadap Nabi Muhammad. Sebab, bagaimanapun pembicaraan tentang hadis akan
selalu berhubungan dengan Nabi Muhammad yang perkataan, perbuatan, dan persetujuannya
melahirkan hadis. Dalam konteks ini menurut para orientalis sosok Nabi Muhammad dapat
dipandang dari dua sisi, yaitu: Pertama, Nabi Muhammad dipandang sebagai Nabi dan Rasul
yang telah membebaskan manusia dari kezaliman. Pandangan ini dikemukakan antara lain
oleh De Boulaviliers dan Savary. Kedua, Muhammad dianggap sebagai penganut Kristen dan
Yahudi, intelektual pintar yang memiliki imajinasi yang kuat dan pembohong, serta seorang
tukang sihir yang berpenyakit ayan. Pandangan ini dikemukakan antara lain oleh, D’Herbelot,
Dante Alighieri, Goldziher dan Schacht.

Sikap kedua di atas telah membentuk citra yang sama terhadap hadis. Dalam pengertian
bahwa mereka yang berpandangan negatif terhadap Nabi Muhammad akan berpandangan
negatif pula terhadap hadis, demikian pula sebaliknya. Dan jika diklasifikasikan secara
keseluruhan ternyata kelompok orientalis lebih banyak yang mencela dibanding kelompok
yang mengakui eksistensi hadis dan menganggap bahwa hadis merupakan hasil karya ulama
dan ahli fiqih saja.

4. Pandangan Orientalis tentang Hadis sebagai Sumber Hukum

Pandangan orientalis terhadap hadis sebagai sumber hukum dapat ditelusuri dari
pandangan mereka tentang peranan Nabi Muhammad dalam pembentukan hukum.
Sebagaimana pandangan Joseph Schacht yang berpendapat bahwa tujuan Muhammad selaku
Nabi bukanlah untuk membentuk sistem hukum yang baru, tetapi sekedar mengajarkan
manusia bagaimana harus bertindak agar selamat mengahadapi perhitungan pada hari
pembalasan dan agar masuk surga. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Anderson bahwa

37
Muhammad tidak berusaha menyelesaikan sistem hukum yang komprehensif, tetapi hanya
melakukan sedikit amandemen terhadap hukum adat yang sudah ada.

Dua pandangan di atas menunjukkan bahwa di mata para orientalis, Nabi Muhammad
tidak memiliki kapasitas dan otoritas dalam menetapkan hukum. Mereka menolak adanya
penetapan hukum yang sistematis dari Nabi, yang mengarah kepada penolakan sunnah sebagai
sumber hukum Islam. Kalaupun ada sunnah yang menjadi sumber Hukum Islam, maka itu
berasal dari tradisi yang berkembang di masyarakat pada masa Jahiliyah yang kemudian di
revisi maupun pada masa awal generasi Islam dan bukan berasal dari Nabi.58

5. Kritik Orientalis tentang Sanad dan Matan Hadis

Para orientalis beranggapan bahwa hadis yang telah dikodifikasikan dalam kitab-kitab
hadis tidak asli dari Rasulullah, karena sanadnya tidak benar dan para perawi dianggap palsu.

Joseph Schacht dalam bukunya The Origin of Muhammadan Jurisprudence, berpendapat


bahwa bagian terbesar dari sanad hadis adalah palsu. Dia menyatakan bahwa sanad
merupakan hasil rekayasa para ulama abad kedua hijriah dalam menyandarkan sebuah hadis
kepada tokoh-tokoh terdahulu hingga akhirnya sampai kepada Nabi Muhammad untuk
mencari legitimasi yang kuat terhadap hadis tersebut.

Para orientalis juga telah melontarkan kritik mereka terhadap matan hadis. A.J. Wensink
menyatakan bahwa perkembangan dan aktifitas pemikiran umat Islam pasca wafatnya Nabi
membuka peluang bagi para ulama untuk menjelaskan ruh Agama Islam itu melalui hadis.
Ucapan-ucapan para ulama inilah yang kemudian dikenal sebagai matan. Pandangan ini
sejajar dengan pendapat para orientalis yang bermuara pada pandangan bahwa matan itu
bukanlah ucapan Nabi. Melainkan ucapan para ulama yang kemudian disandarkan kepada
Nabi.

Keterangan di atas juga menunjukkan bahwa pandangan para orientalis terhadap sanad
sebenarnya berangkat dari pemahaman mereka tentang sunnah itu sendiri yang mereka yakin
sebagai sesuatu yang bukan berasal dari Nabi. Mereka beranggapan bahwa sanad dan matan

.
58
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 308.

38
yang berada di dalam kitab-kitab hadis adalah buatan ulama dan umat Islam pada abad kedua
dan ketiga hijriah. Untuk mendukung keyakinan ini mereka kemudian mencari-cari
argumentasi sehingga sanad dan matan otomatis dipahami sebagai hasil rekayasa oleh para
ulama.

6. Bantahan dan Kritik Balik Ulama Muslim Terhadap Kritik Orientalis

Kritik dan tuduhan yang dilontarkan oleh orientalis tentang keabsahan dan autentisitas
hadis banyak mendapat jawaban dari ulama hadis sebagai uapaya meluruskan kritik dan
tuduhann tersebut. Diantara ulama yang melakukan kritik dan koreksi terhadap pendapat para
orientalis tersebut adalah Musthafa al-Siba’i, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Shubhi as-Shalih
dan Muhammad Musthafa Azami. Terkait dengan tuduhan mereka tentang adanya larangan
penulisan hadis oleh nabi dan tidak adanya peninggalan tertulis, Subhi al-Shalih mengatakan
bahwa, larangan penulisan tersebut disampaikan secara umum pada masa awal turunnya
wahyu Al-Qur’an karena Nabi khawatir hadis tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah
sebagian besar Al-Qur’an diturunkan, maka Nabi memberikan izin penulisan hadis secara
umum kepada para sahabat. Kenyataan ini diperkuat dengan dikemukakannya catatan-catatan
hadis pada masa Nabi seperti catatan Sa’id bin ‘Ubadah, Samrah bin Jundub, Jabir bin
‘Abdullah, ‘Abdullah bin ‘Umar bin ‘Ash dan Abdullah bin ‘Abbas.

Tuduhan orientalis bahwa sanad dan matan hadis merupakan rekayasa umat Islam abad
pertama, kedua dan ketiga hijriah, oleh Musthafa ‘Azami dibantah sebagai berikut:

a. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah


sejak masa Nabi, seperti anjurannya kepada para sahabat yang menghadiri
majlis Nabi untuk menyampaikan hadis kepada yang tidak hadir.
b. Mayoritas pemalsuan hadis terjadi pada tahun ke 40 Hijriah yang dipacu
oleh persoalan politik, karena diantara umat Islam saat itu ada yang lemah
keimanannya sehingga membuat hadis untuk kepentingan politik atau
golongan mereka.
c. Objek penelitian para orientalis di bidang sanad tidak dapat diterima karena
yang mereka teliti bukan kitab-kitab hadis melainkan kitab-kitab fiqih dan
sirah.

39
d. Teori Projecting Back (al-qadhf al-khalfi) yang dijadikan dasar
argumentasi beserta contoh-contoh hadis yang dijadikan sampel, karenanya
menjadi gugur dengan banyaknya jalan periwayatan suatu hadis.
e. Tidak pernah terjadi perkembangan dan perbaikan terhadap sanad seperti
membuat marfu’ hadis yang mauquf atau menjadikan muttashil hadis yang
mursal. Demikian pula, tuduhan bahwa sanad hanya diapakai untuk
menguatkan suatu pendapat atau suatu mazhab merupakan tuduhan yang
tidak mempunyai bukti dan melawam realitas sejarah.
f. Penelitian dan kritik ulama hadis atas sanad dan matan hadis dengan segala
kemampuan mereka, dilakukan atas dasar keikhlasan dan tanpa tendensi
duniawi.

Menurut Musthafa ‘Azami, teori Schacht tentang Projecting Back itu dijawab dengan
penjelasan, bahwa fiqih sudah berkembang sejak masa Nabi. Fiqih adalah ijtihadi. Oleh sebab
itu, sulit menerima pendapat Schacht bahwa fiqih baru berkembang saat pengangkatan qadhi
pada masa Dinasti Umayyah.

40
BAB III

KESIMPULAN

Dalam pembahasan mengenai kajian hadis ada beberapa istilah atau pengertian yang
terlebih dahulu harus diketahui maksudnya, antara lain adalah: Hadis, Sunnah, Atsar, Sanad,
Matan, Rawi, Mutawatir, Shahih, Hasan, Dha’if dan Takhrij

Menurut etimologi kata hadis atau al-hadis digunakan untuk menunjukkan beberapa arti,
di antaranya sebagai berikut: “al-jadid” (sesuatu yang baru atau modern), al-khabar (berita).
Adapun hadis secara terminologi, Jumhur al-Muhadditsin (ulama ahli hadis) mendefenisikan
hadis dengan,“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan atau sifat.”

Dalam perspektif bahasa, sunnah mengandung arti antara lain, ath-tahariqah yang berarti
jalan yang ditempuh, baik itu sifatnya terpuji maupun jelek. Menurut Ahli Hadis (muhaddisin)
terminology sunnah adalah: Segala yang bersumber dari Nabi saw baik berupa perkataan,
perbuatan, pengakuan, keadaan akhlak, keadaan fisik atau perjalanan hidup, baik sebelum
diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya.

Atsar menurut bahasa adalah ‘alamatun baqiyyah yang berarti bekas, jejak ataupun tilas.
Sementara menurut istilah, ditemukan pendapat berbeda. Segolongan mengatakan bahwa
atsar mengandung makna yang sama, yaitu riwayat marfu’, mauquf dan maqthu’. Akan tetapi
pendapat yang masyhur di kalangan ulama salaf adalah bahwa atsar merupakan riwayat yang

41
berasal dari ulama salaf, sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’in. Dan menurut ulama Khurasan,
atsar dibatasi hanya pada riwayat mauquf saja.

Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad yaitu, yang diperpegangi atau yang bisa
dijadikan pegangan. Secara istilahi dalam ilmu hadis, sanad berarti jajaran orang-orang yang
menyampaikan seseorang kepada matan hadis atau silsilah (urutan) orang-orang yang
membawa hadis dari Rasul, sahabat, tabi’in, tabi’ at-tabi’in dan seterusnya sampai kepada
orang yang membukukan hadis tersebut.

Matan menurut etimologi adalah bagian yang keras atau yang tertinggi dari sesuatu.
Sedangkan menurut istilah matan, berarti materi berita hadis (nafs al-hadis) yang terletak
sesudah sanad.

Kata rawi atau ar-rawi maknanya menurut bahasa adalah “saqa” yang berarti memberi
minum atau “syarraba” yang berarti mengairi. Sedangkan menurut istilah, rawi ialah orang
yang menerima hadis dari gurunya dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain atau
menuliskannya dalam suatu kitab.

Menurut etimologi, mutawatir berarti mutatabi’ (yang berturut-turut) tanpa jarak. Secara
terminology, mutawatir didefenisikan dengan pengertian: Hadis yang diriwayatkan oleh orang
banyak, mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk melakukan kedustaan. Hal serupa itu
terjadi sejak awal sanadnya hingga akhirnya dan tidak cedera kuantitas orang tersebut dalam
setiap tabaqah.

Secara literal, shahih berarti selamat, benar, sah, dan sempurna. Sedangkan menurut
terminologi, hadis shahih didefenisikan dengan: Hadis yang bersambung sanadnya yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatan, diterimanya dari perawi yang sama
(kualitasnya) dengannya sampai ke akhir sanad, tidak syadz dan tidak berillat.

Hasan secara etimologi merupakan sifat al-musyabbahah, yang berarti al-jamal, yaitu
indah atau bagus. Secara terminologis, defenisi hadis hasan adalah: hadis yang diriwayatkan
oleh rawi yang adil, kurang kuat hafalannya, sanadnya bersambung, tidak ber’illat dan tidak
syadz.

42
Secara bahasa adh-dha’if berarti lemah. Secara terminologi hadis dha’if adalah: setiap
hadis yang tidak terhimpun padanya keseluruhan sifat qabul.

Adapun takhrij secara bahasa berarti: Berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam
satu masalah. Secara terminologi takhrij berarti: Mengembalikan (menelusuri kembali ke
asalnya) hadis-hadis yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada
kitab-kitab musnad, baik disertai dengan pembicaraan tentang status hadis tersebut dari segi
shahih atau dha’if, ditolak atau diterima, penjelasan tentang kemungkinan ‘illat yang ada
padanya, atau hanya sekedar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal (sumber) nya.

Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis bertujuan untuk


mengangkat fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah saw, kemudian secara
priodik pada masa-masa sahabat dan tabi’in serta masa-masa berikutnya. Ada yang
membaginya dalam tiga priode saja, yaitu masa Rasulullah saw, sahabat dan tabi’in, masa
pen-tadwi-nan dan masa setelah tadwin.

Ada beberapa cara yang digunakan Rasulullah dalam menyampaikan hadis kepada para
sahabat yaitu: Pertama, melalui para jamaah yang berada di pusat pembinaan atau majelis al-
ilmi. Kedua, dalam banyak kesempatan rasulullah saw juga menyampaikan hadisnya melalui
para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikan kepada orang lain. Ketiga, cara lain
yang dilakukan Rasulullah saw adalah melauli ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti
ketika haji wada’ dan fathu makkah.

Priode kedua sejarah perkembangan hadis adalah pada masa sahabat, khususnya khulafa
ar- rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib), yaitu
sekitar tahun 11 Hijriyah sampai dengan tahun 40 Hijriyah. Masa ini juga disebut dengan
masa sahabat besar terfokus pada pemeliharaan al-Qur’an, sedangkan periwayatan hadis
belum begitu berkembang dan masih dibatasi. Oleh karena itu, para ulama menganggap masa
ini sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan (at-Tasabbut wa al-Iqlal
ar-Riwayah).

Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda
dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak
berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Qur’an sudah dikumpulkan

43
dalam satu mushaf. Di pihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat pada masa
khulafa’ ar-rasyidin, para sahabat ahli hadis menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam.
Kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadis.

Yang dimaksud dengan kodifikasi hadis atau tadwin hadis pada priode ini adalah
kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara. Usaha ini dimulai pada masa
pemerintahan Islam ketika dipimpin oleh Khalifah Umar bin ‘Abdul Aziz, melalui
instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari
para penghafalnya.

Masa seleksi atau penyaringan hadis terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti
Bani Abbas. Munculnya priode seleksi ini karena pada priode sebelumnya, yakni periode
tadwin, belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan maqthu’ dari hadis marfu’.
Begitu pula belum bisa memisahkan beberapa hadis yang dha’if dari yang shahih. Bahkan
masih adanya hadis yang maudhu’ tercampur pada yang shahih.

Metode kajian hadis merupakan cara dalam mengkaji dan meneliti suatu hadis tentang
keshahihannya. Dalam mengadakan pengkajian hadis diperlukan adanya metode agar lebih
mudah melakukan pengkajian. Dalam studi hadis ada beberapa pendekatan dan metodologi
tang ditempuh yakni pendekatan dari segi sanad dan matan.

Orientalis berasal dari kata orient dalam bahasa Prancis yang secara harfiah bermakna
timur. Dari sekian banyak bidang kajian yang menjadi garapan para orientalis, salah satunya
adalah hadis Nabi.

Dalam hal ini Goldziher telah berhasil menanamkan keraguan terhadap autentisitas hadis
yang dilengkapi dengan studi-studi ilmiah yang dilakukannya. Namun ada pula orientalis yang
memiliki pandangan yang lebih jernih dan bertentangan dengan kedua ilmuan di atas seperti
Freedland Abbott.

Dalam bidang hadis, sikap para orientalis tersebut tidak terlepas dari sikap dan pencitraan
mereka terhadap Nabi Muhammad. Sebab, bagaimanapun pembicaraan tentang hadis akan
selalu berhubungan dengan Nabi Muhammad yang perkataan, perbuatan, dan persetujuannya
melahirkan hadis.

44
Para orientalis beranggapan bahwa hadis yang telah dikodifikasikan dalam kitab-kitab
hadis tidak asli dari Rasulullah, karena sanadnya tidak benar dan para perawi dianggap palsu.
Para orientalis juga telah melontarkan kritik mereka terhadap matan hadis. A.J. Wensink
menyatakan bahwa perkembangan dan aktifitas pemikiran umat Islam pasca wafatnya Nabi
membuka peluang bagi para ulama untuk menjelaskan ruh Agama Islam itu melalui hadis.

Kritik dan tuduhan yang dilontarkan oleh orientalis tentang keabsahan dan autentisitas
hadis banyak mendapat jawaban dari ulama hadis sebagai uapaya meluruskan kritik dan
tuduhann tersebut. Tuduhan orientalis bahwa sanad dan matan hadis merupakan rekayasa
umat Islam abad pertama, kedua dan ketiga hijriah, oleh Musthafa ‘Azami dibantah sebagai
berikut: Kenyataan sejarah membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak
masa Nabi, seperti anjurannya kepada para sahabat yang menghadiri majlis Nabi untuk
menyampaikan hadis kepada yang tidak hadir. Mayoritas pemalsuan hadis terjadi pada tahun
ke 40 Hijriah yang dipacu oleh persoalan politik, karena diantara umat Islam saat itu ada yang
lemah keimanannya sehingga membuat hadis untuk kepentingan politik atau golongan
mereka. Objek penelitian para orientalis di bidang sanad tidak dapat diterima karena yang
mereka teliti bukan kitab-kitab hadis melainkan kitab-kitab fiqih dan sirah. Teori Projecting
Back (al-qadhf al-khalfi) yang dijadikan dasar argumentasi beserta contoh-contoh hadis yang
dijadikan sampel, karenanya menjadi gugur dengan banyaknya jalan periwayatan suatu hadis.
Tidak pernah terjadi perkembangan dan perbaikan terhadap sanad seperti membuat marfu’
hadis yang mauquf atau menjadikan muttashil hadis yang mursal. Penelitian dan kritik ulama
hadis atas sanad dan matan hadis dengan segala kemampuan mereka, dilakukan atas dasar
keikhlasan dan tanpa tendensi duniawi.

45
DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Asqallani, Ibnu Hajar, Syarh Nukhbah al-Fik r fi Mushthalah Ahli al-Atsar, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1934.

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, as-Sunnah Qabla at-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 1971

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadis: Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-
Fikr, 1981.

Al-Mas’udi, Hasan, Minhatul Mughits fi Ilmi Musthalahil Hadits, Medan: Sumber Ilmu Jaya,
2010

Al-Tahanawi, Zafar Ahmad bin Lathif al-Utsmani, Qawaid fi Ulum al-Hadits, Beirut:
Maktabah al-Nah’ah, 1984.

Al-Thahan, Mahmud, Taisir Mushthalah al-Hadits, Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979.

As-Siba’i, Mustafa, as-Sunnah wa Makanatuh fi at-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar al-qaumiyah,


1949.

46
Ash-Shalah, Ibn, ‘Ulum al-Hadits, Madinah: Maktabah al-‘Ilmiyah, 1972.

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Depok: Sabiq, 2009.

‘Itr, Nur ad-Din, Manhaj an-Naqdi fi ‘Ulum al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr, 1979

Sou’yb, Joesoep, Orientalisme dan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Wahid, Ramli Abdul, Studi Ilmu Hadis, Medan: LP2-IK, 2003.

Wijaya, Munzier Suparta dan Utang Ranu, Ilmu Hadis, Jakarta: Rajagrafindo, 1993.
Yunus, Mahmud, Kamus: Arab-Indonesia, Jakarta: Mahmud Yunus wa Dzurriyah: 2009

Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001

47
48

Anda mungkin juga menyukai