MAKALAH
Disusun Oleh:
Kelompok 9
Kelas PB-3C
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. dengan rahmat dan
hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini untuk
memenuhi tugas dari mata kuliah Studi Al-Hadit yang dibina oleh Bapak Agus
Khunaifi M.Ag dengan judul “HADIST SECARA TEKSTUAL DAN
KONTEKSTUAL”.
Atas bimbingan dari Bapak Dosen dan saran teman-teman, akhirnya
penyusunan makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu. Semoga dengan
disusunnya makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang dan menjadi bahan
pendamping belajar. Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, kami telah berusaha dengan segenap
kemampuan. Oleh karena itu, kami mengharap kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi penyusunan makalah selanjutnya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memahami suatu hadis tidak cukup hanya melihat teks hadisnya saja,
khususnya ketika hadis tersebut mempunyai asbâb al-wurûd, melainkan harus
melihat konteksnya. Dengan kata lain, ketika ingin menggali pesan moral dari
suatu hadis, perlu memperhatikan konteks historisnya, kepada siapa hadis itu
disampaikan, dalam kondisi sosio-kultural yang bagaimana ketika
disampaikan. Tanpa memperhatikan konteks historisnya atau asbâb al-wurûd,
seseorang akan mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami
makna suatu hadis, bahkan ia dapat terperosok ke dalam pemahaman yang
keliru (Said, 2001).
Segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi saw. dan suasana yang
melatar-belakangi atau menyebabkan terjadinya suatu hadis mempunyai
kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadis. Mungkin saja suatu hadis
tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tekstual), sedang hadis tertentu
lainnya lebih tepat dipahami secara yang tersirat (kontekstual). Pemahaman
dan penerapan hadis secara tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan,
setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya
latar belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang
tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan. Dalam pada itu, pemahaman dan
penerapan hadis secara kontekstual dilakukan bila “di balik” teks suatu hadis,
ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis dipahami dan diterapkan
tidak sebagaimana maknanya yang tersurat (tekstual) (Syuhudi 2009).
Penelitian hadis dalam konteks yang lebih luas perlu dilakukan untuk
mendapatkan pemahaman yang proporsional dalam konteks kekinian. Dalam
konteks tersebut dapat pula diakses melalui kitab hadis yang ditulis ulama
hadis mutaqaddimîn maupun muta`akhkhirîn (Alfatih, 2009). Oleh karena itu,
selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-Hadist, kami membuat
makalah ini untuk memberikan pemahaman mengenai hadist secara tekstual
dan kontekstual.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa makna dari hadist secara tekstual dan konstekstual?
2. Apa saja model-model pemahaman hadist?
3. Apa saja batas-batas tekstual dan kontekstual hadist?
4. Bagaimana metode pemahaman tekstual dan rasional/kontekstual?
5. Bagaimana urgensi pemahaman hadist secara tekstual dan kontestual?
6. Apa contoh dari hadist secara tekstual dan kontekstual?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui makna dari hadist secara tekstual dan konstekstual.
2. Untuk mengetahui model-model pemahaman hadist.
3. Untuk mengetahui batas-batas tekstual dan kontekstual hadist.
4. Untuk mengetahui metode pemahaman tekstual dan rasional/kontekstual.
5. Untuk mengetahui urgensi pemahaman hadist secara tekstual dan
kontestual.
6. Untuk mengetahui contoh dari hadist secara tekstual dan kontekstual.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Waryono Abdul Gafur, “Epistemologi Ilmu Hadis”, dalam Bunga Rampai Wacana Studi Hadis
Kontemporer, ed. Hamim Ilyas dan Suryadi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 11.
2
Danial W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Kontemporer (Bandung: Mizan, 2000),
11.
3
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 178-182.
3
sekelilingnya.4 Dalam bahasa Arab digunakan istilah „alâqah, qarînah, dan
siyâq al-kalâm.5 Kontekstual dalam hal itu adalah suatu penjelasan terhadap
hadis-hadis baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan atau
segala yang disandarkan pada Nabi berdasarkan situasi dan kondisi ketika
hadis itu ditampilkan.6
Berbeda dengan pendekatan kontekstual, pendekatan tekstual adalah
cara memahami hadis yang cenderung memfokuskan pada data riwayat
dengan menekankan kupasan dari sudut gramatika bahasa dengan pola pikir
episteme bayânî. Eksesnya, pemikiran-pemikiran ulama terdahulu dipahami
sebagai sesuatu yang final dan dogmatis.7 Kelemahan mendasar dari
pemahaman secara tekstual adalah makna dan ruh yang terkandung dalam
hadis akan teralienasi dengan konteks atau situasi dan kondisi yang terus
berkembang pesat. Menurut Syahrur secara riil, hadis Nabi banyak yang
mengambil setting dan latar situasi serta kondisi Arab ketika itu, sehingga
hukum berlaku sesuai dengan konteks masanya.
Memahami hadis secara tepat dan proporsional perlu diketahui posisi
dan fungsi Rasulullah saat hadis diutarakan. Apakah posisi Muhammad
sebagai seorang Nabi, Rasul, kepala pemerintah, hakim, panglima perang,
suami, atau manusia biasa?, karena posisi atau peran yang dimainkan,
menjadi acuan untuk memahami hadis agar tetap shâlih li kulli zamân wa
makân.8
Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut di atas, secara garis besar,
ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadis: pertama, pemahaman atas
hadis Nabi tanpa mempedulikan proses sejarah yang melahirkannya
“ahistoris”, tipologi ini disebut tekstualis; kedua, pemahaman kritis dengan
mempertimbangkan asal-usul (asbâb al-wurûd) hadis, dan konteks yang
4
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1988), 458.
5
Imam Basyari Anwar, Kamus Lengkap Indonesia-Arab (Kediri: Lembaga Pondok Pesantren Al-
Basyari, 1987), 216.
6
Ilyas, “Pemahaman Hadis Secara Kontekstual (Telaah terhadap Asbab al-Wurud)”, Jurnal Kutub
Khazanah, no. 2 (Maret, 1999), 87.
7
Suryadi, “Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis”, dalam Bunga..., 141.
8
Ibid., 140.
4
mengitarinya, pemahaman hadis dengan cara yang demikian, disebut
kontekstual.
Kata “kontekstual”, secara kebahasaan,9 berasal dari kata “konteks”
yang secara rinci mengandung dua arti: 1) bagian sesuatu uraian atau kalimat
yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada
hubungan dengan suatu kejadian. Kedua arti itu dapat digunakan untuk
memahami hadis.
Pemahaman kontekstual atas hadis menurut Edi Safri adalah memahami
hadis-hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya
dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya, atau dengan
kata lain, memperhatikan dan mengkaji konteksnya.10 Dengan demikian,
asbâb al-wurûd dalam kajian kontekstual merupakan bagian yang paling
penting. Hal kajian yang lebih luas tentang pemahaman kontekstual tidak
hanya terbatas pada asbâb al-wurûd dalam arti khusus seperti yang biasa
dipahami, tetapi lebih luas dari itu meliputi konteks historis-sosiologis di
mana asbâb al-wurûd merupakan bagian darinya.
Dengan demikian, pemahaman kontekstual atas hadis Nabi berarti
memahami hadis berdasarkan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis
diucapkan, dan kepada siapa hadis itu ditujukan. Artinya, hadis Nabi saw.
dipahami melalui redaksi lahiriah dan aspek-aspek kontekstualnya. Meskipun
di sini kelihatannya konteks historis merupakan aspek yang paling penting
dalam sebuah pendekatan kontekstual, namun konteks redaksional juga tak
dapat diabaikan. Aspek terakhir itu tak kalah pentingnya dalam rangka
membatasi dan menangkap makna yang lebih luas (makna filosofis) sehingga
hadis tetap menjadi komunikatif.
Pendekatan kontekstual, menurut Kamaruddin Hidayat, seorang
penafsir memposisikan sebuah teks ke dalam sebuah jaringan wacana, hal itu
diibaratkan sebuah gunung es, teks adalah fenomena kecil dari puncak
gunung yang tampak di permukaan. Oleh karena itu tanpa mengetahui latar
9
15Lihat, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 458.
10
Edi Safri, Al-Imam al-Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Tesis (Fakultas
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1990), 160.
5
belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul,
maka sulit menangkap makna pesan dari sebuah teks.11
Pendekatan kontekstual yang dilakukan oleh sebagian sahabat masih
dalam tahapan yang sangat sederhana. Demikian pula yang dilakukan oleh
Imam Syafi‟i adalah dalam kaitannya dengan hadis-hadis mukhtalif yang
ditulisnya dalam kitab al-Umm dan al-Risâlah dengan hadis-hadis yang
bertolak belakang. Usaha-usaha yang demikian itu telah menjadi inspirasi
bagi generasi selanjutnya untuk meneruskan dan mengembangkan metode ini,
sebagaimana Yusuf al-Qardhawi, Muhammad al-Ghazâlî, banyak menulis
tentang metode pemahaman ini
Karena itu upaya atau pengkajian terhadap konteks-konteks hadis
merupakan aspek yang sangat penting dalam menangkap makna hadis yang
akan diamalkan. Sayangnya, menurut Afif Muhammad pendekatan
kontekstual atas hadis Nabi saw., belum mendapat perhatian serius.12
Langkah-langkah Kontekstual Hadis
Bertolak dari dasar-dasar dan batasan-batasan kontekstual tersebut di atas
maka langkah-langkah pemahaman kontekstual dapat dilakukan sebagai
berikut:
Memahami teks-teks hadis atau sunnah untuk menemukan dan
mengidentifikasi legal spesifik dan moral ideal dengan cara melihat
konteks lingkungan awalnya yaitu: Mekah, Madinah, dan sekitarnya.13
Memahami lingkungan baru di mana teks-teks akan diaplikasikan,
sekaligus membandingkan dengan lingkungan awal untuk menemukan
perbedaan dan persamaannya.
Jika ternyata perbedaannya lebih esensial dari persamaannya maka
dilakukan penyesuaian pada legal spesifik teks-teks tersebut dengan
konteks lingkungan baru, dengan tetap berpegang pada moral idealnya.
11
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:
Paramadina, 1996), 214.
12
Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi saw.”, Jurnal
al-Hikmah, no. 5 (Maret-Juni 1992), 25.
13
Ilyas, “Pemahaman Hadis Secara Kontekstual (Telaah terhadap Asbabal-Wurud)”, Jurnal Kutub
Khazanah, no. 2 (Maret, 1999), 23-7.
6
Namun jika ternyata sebaliknya, maka nas-nas tersebut diaplikasikan
dengan tanpa adanya penyesuaian.14
Langkah-langkah itu perlu ditaati sebagai rambu-rambu, agar tidak
sampai terjadi penafsiran liar, yang pada akhirnya hadis bisa dibawa kemana
angin bertiup, artinya mengikuti kepentingan manusia yang bersumber dari
hawa nafsu.
14
Ibrahim, Orisinalitas..., 168
7
hadis tetap hidup dan memiliki makna serta peran penting dalam
mengatasi persoalan manusia moderen.
15
Ibid., 170.
16
Suryadi, “Dari..., 6.
8
penulis di sinilah peran Muhammad sebagai Rasulullah, beliau punya otoritas
penuh tanpa campur tangan ra‟yu manusia, dan itulah yang dimaksud firman
Allah: ‛‛Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”
Sedangkan di luar ibadah murni (ghayr mahdlah) diperlukan
pemahaman secara kontekstual dengan tetap berpegang pada moral ideal atau
nas mengingat Muhammad saw. itu sebagai Rasulullah di akhir zaman
sehingga syari‟atnya berlaku untuk kapan dan di mana saja. Di samping itu
perlu dipahami pula, bagaimana posisi hadis disampaikan. Apakah
Muhammad saw. dalam posisi sebagai qadlî (hakim), pemimpin negara atau
manusia biasa. Hal itu dapat dilihat pula, apa yang dilakukan oleh sebagian
sahabat terhadap hadis “jangan kamu shalat ashar, kecuali di perkampungan
Banî Quraydhah,” sebagaimana penjelasan yang lalu.
17
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam pernah lahir tiga macam model pemikiran yang
utama, yaitu Bayani, Burhani, dan 'Irfani. Lihat: a]-Jabiri,Muhammad' Abid, Bunyah al~-Aql a] ~-
Arabi; Dir5sah Taklikyah Naqdryah h Nuzum al-Ma'rimfi alTsaqifah al- Arabi~vah (Beiriii.. Markaz
Dirasat al-Wahdat al-'Arabiyat, i992), cet. i, i992, h. i3
9
melatarbelakangi munculnya teks tersebut. Dangan kata lain, kelompok ini
beranggapan bahwa pemahaman yang benar atas suatu teks hadis adalah
pemahaman yang mengambil substansi kandungan ajaran dari teks tersebut,
yang sesuai dangan alur logika atau alasan rasional yang melatarbelakangi
penetapan ajaran di dalam teks tersebut. Dalam tradisi sejarah perkembangan
pemikiran Islam, paham ini dikemukakan oleh Abu Hanifah seorang pendiri
aliran hukum mazhab Hanafi. Aliran lain dalam teologi Islam yang sering
menggunakan pemahaman rasional adalah Mu'tazilah. Bangunan pemikiran
yang dikonstruksi dangan kerangka argumentasi logika ini disebut pole
Burhani. Di kalangan ini, bentuk hukum dari suatu masalah sering dinamis
dan fleksibel dari segi waktu dan tempat. Hal ini dapat terjadi karena yang
diinginkan bukanlah hukum itu an sich melainkan mencapai maksud dan
tujuan substansial dari hukum itu sendiri. Mereka lebih mementingkan
hakikat (esensi) atau tujuan dari pada bentuk (atau form) dan cara. Dalam
paradigma pemikiran asional ini, hal yang dicari adalah tujuan substansial
karena bersifat abadi, bukan ajaran yang bersifat prosedural dan teknis karena
selalu dapat berubah. Oleh karena itu, aturan hukum dapat berubah sejalan
dangan perubahan keadaan, waktu dan tempat.
Dalam perkembangannya, kelompok rasional ini muncul dengan nama
pemahaman kontekstual. Di sini, teks-teks keagamaan dipahami menurut
konteks terjadinya atau muncuinya teks dimaksud maupun berbagai faktor
yang meletarbelakanginya. Artinya, penerapan tuntutan teks dimaksud selalu
dapat berubah sesuai dangan konteks dan situasi yang terjadi.
Pemahaman hadis secara kontekstual ialah memahami makna dan
maksud suatu hadis dangan menyelami lebih dahutu berbagai konteks yang
melatarbelakangi kemunculan hadis tersebut, baik kondisi sosial
kemasyarakatan, latar belakang budaya, politik, serta posisi Nabi SAW
maupun suasana kejiwaan sahabat yang menjadi audience-nya.
10
E. Urgensi Pemahaman Hadist Secara Tekstual dan Kontestual
Secara umum dalam memahami hadis terdapat dua langkah yang bisa
ditempuh, yaitu memahami hadis secara tekstual dan kontektual. Kedua
pemahaman ini telah berlangsung lama sejak zaman Rasulullah SAW.
Pemahaman tekstual menekankan pada dalil-dalil baik al- Qur’an maupun
hadis dipahami secara apa adanya. Sedangkan kontekstual menekankan pada
situasi dan kondisi bagaimana hadis diterapkan.
Menurut Ali Mustafa Yakub, apabila suatu hadis tidak dapat dipahami
secara tekstual, maka harus dipahami secara kontekstual yaitu dengan melihat
aspek- aspek di luar lafaz teks itu sendiri, dengan memperhatikan beberapa
kaidah- kaidah dan tentunya pemahaman kontekstual memiliki
batasanbatasan tersendiri.18 Hal ini dikarenakan teks selalu membawa konteks
yang ada, hampir semua teks atau bahkan seluruh teks memiliki konteks
tersediri memenadang tidak mungkin suatu teks muncul tanpa ada konteks
atau sebab yang menjadikan turunya sebuah teks tersebut, tidak mungkin
Allah menciptakan sesuatu tanpa adanya alasan bahkan untuk suatu hal yang
sia- sia.
Syuhudi Ismail menjelaskan bahwasannya apa yang terekam dari
aktualisasi Nabi Muhammad yang kemudian lebih dikenal sebagai hadis-
hadis Nabi merupakan teks- teks yang kemudian dapat dipahami dari makna
yang tersurat, akan tetapi juga dapat dipahami secara konteks apa teks
tersebut muncul. Itulah yang menjadi sebab ada beberapa hadis yang bisa
dipahami secara tekstual, namun juga terdapat beberapa hadis yang menuntut
untuk dipahami secara kontekstual.19
Sebuah hadits dipahami secara tekstual karena pada dasarnya secara
jelas dan gamblang teks atau redaksinya sudah menginformasikan pesan dan
informasi yang dimaksud oleh Nabi SAW secara gamblang. Dalam
memahami hadits yang seperti ini tidak membutuhkan usaha keras seperti
18
Miftahul Asror dan Imam Musbikin, Membedah Hadits Nabi SAW, (Jaya Star Nine : Yogyakarta ,
2015), hlm, 241.
19
M. Syuhudi Islmail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hlm.16-
17.
11
penggalian informasi pendukung lain diluar teks hadits tersebut, karena
seluruh makna dan pesannya sudah dicerminkan oleh redaksinya.
Sedangkan ada juga hadits-hadits yang menuntut untuk dipahami secara
kontekstual, hal ini dikarenakan hadits tersebut tidak dapat dipahami dan
diamalkan dengan baik jika hanya dipahami secara tekstual saja. Oleh karena
itu membutuhkan banyak informasi dan pendukung lain diluar redaksi hadis
tersebut untuk memahami dan kemudian dapat diamalkan dengan baik dan
tepat.
Pada dasarnya permasalahan pemahaman hadits baik secara tekstual
atau kontekstual adalah menyangkut masalah ketepatan dalam memahaminya
sehingga hadits tersebut dapat diamalkan sesuai dengan yang diharapkan oleh
Nabi sesuai dengan perintah Allah, dan bukan merupakan keinginan pribadi
maupun emosi saja apakah suatu hadits hendak dipahami secara tekstual atau
kontekstual.
12
Jawami’ al-kalim. Hal ini merupakan salah satu keutamaan yang dimiliki
oleh sabda-sabda Nabi.20 Sebagai contoh:
Minuman Khamar
20
Dr. H.M.Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: PT Bulan Bintang,
1994), hlm 10
21
Ibid, hlm 12- 13
13
“Barangsiapa melaksanakan ibadah haji karena Allah semata, lalu (selama
melaksanakan ibada haji itu) dia tidak melakukan pelanggaran seksual dan
tidak berbuat fisik, niscaya dia kembali (dalam keadaan bersih dari dosa
dan kesalahan) seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya. (HR Al-
Bukhari Muslim dll, dari Abu Hurairah).
Secara Tekstual, hadis tersebut mengibaratkan orang yang berhasil
menunaikan ibadah haji menurut petunjuk syariah sebagai hari yang dia itu
baru saja dilahirkan oleh ibunya. Tegasnya, dia itu seperti bayi yang baru
dilahirkan oleh Ibunya.
Pemahaman secara kontekstual terhadap petunjuk hadis tersebut
ialah bahwa bagi orang yang berhasil menunaikan ibdah haji menurut
petunjuk syariah, maka dia diampuni segala dosanya dan dimaafkan segala
kesalahannya oleh Allah, sehingga dia seperti tatkala baru dilahirkan
ibunya.
Dari pembahasan secara kontekstual terhadap hadis-hadis yang
berbentuk tamsil sebagaimana telah dikutuip diatas dapatlah disimpulkan
bahwa ajaran Islam yang dikemukakanya bersifat universal.22
“Orang yang beriman itu makan dengan satu usus (perut), sedang orang
kafir makan dengan tujuh usus. (HR Al-Bukhari, Al-Turmudzi, dan
Ahmad, dari Ibnu’ Umar.
Secara tekstual, hadist tersebut menjelaskan bahwa ususnya orang
yang beriman berbeda dengan ususnya orang kafir. Padahal dalam
kenyataan yang lazim perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabkan
22
Ibid, hlm 16
14
oleh perbedaan iman. Dengan demikian, pernyataan hadist itu merupakan
ungkapan simbolik. Itu berarti harus dipahami secara kontesktual.23
“(Hadis riwayat) dari Sufyan bin Abd Allah al-Tsaqafi, dia berkata: “ Saya
bertanya: Ya Rasulullah, katakanlah kepada saya sebuah pernyataan
tentang Islam, (sehingga) saya tidak lagi perlu bertanya kepada orang lain
sesudah anda (dalam hadist riwayat Abu Usamah dinyatakan: selain anda).
Beliau menjawab: katakan: ‘saya beriman kepada Allah’, lalu berpegang
teguhlah kamu ( dengan pernyataanmu itu)!”. (HR Muslim dan Ahmad).
Hadist ini mengemukakan “kata kunci” bagi seluruh ajaran Islam.
Kata kunci itu ialah pernyataan beriman kepada Allah dan berusaha keras
untuk berpegang teguh atas pernyataan keimanan itu. Kata kunci tersebut
tidak hanya berlaku bagi Sufyan bin Aabd Allah al-Tsaqafi saja, tetapi
juga berlaku bagi siapa saja yang menyatakan diri sebagai orang yang
beriman sebagaimna yang dinyatakan oleh AlQur’an. Itu berarti, secara
tekstual ajaran yang dikandung oleh hadist tersebut bukan bersifat
temporal ataupun lokal, melainkan bersifat universal.24
23
Ibid, hlm 21
24
Ibid, hlm 27
15
sahabat bertanya: “Apakah menyalurkan hasrat seksual kami (kepada istri-
istri kami) mendapat pahala?” Nabi menjawab:
25
Ibid, hlm 31
16
Unity of Science (UOS)
Pemahaman terhadap Hadis di atas sejalan dengan pernyataan ayat al-Qur’an surat
al-Nisa’/4: 34, yang menegaskan peran laki-laki sebagai qawwâm atas perempuan.
Untuk memahami matan Hadis di atas agar tidak terjadi bias pemahaman
atau kekeliruan dalam memahaminya sehingga lahir tuduhan pelecehan terhadap
kaum wanita, maka teori kontekstual dalam ilmu semantik dapat digunakan.
Sejalan dengan kerangka berpikir yang telah dirumuskan sebelumnya,
bahwa lahirnya sebuah Hadis mempunyai hubungan dengan, dan bahkan besar
kemungkinan dipengaruhi oleh, konteks sosial, budaya, politik, ekonomi dan
sistem nilai yang ada pada masa lahirnya Hadis tersebut. Teori kontekstual dalam
analisis makna bahkan menegaskan bahwa makna sebuah kata terikat pada
lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tersebut.26
26
Parera, Teori Semantik, h. 47.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendekatan tekstual dan kontekstual sangat berarti dalam pemahaman
keilmuan hadits. Dengan pendekatan tekstual dan kontekstual kita ketahui
bahwa suatu hadits muncul tidak serta merta begitu saja, melainkan karena
ada sebabmusababnya. Pendekatan tekstual lebih cenderung berlaku pada
ibadah mahdah (murni) antara hubungan manusia dengan Tuhan
(Hablumminallah) seperti Shalat misalnya. Pendekatan tekstual adalah cara
memahami hadis yang cenderung memfokuskan pada data riwayat dengan
menekankan kupasan dari sudut gramatika bahasa dengan pola pikir episteme
bayânî. Eksesnya, pemikiran-pemikiran ulama terdahulu dipahami sebagai
sesuatu yang final dan dogmatis.
Sedangkan pendekatan kontekstual lebih melihat pada konteks historis,
sosiologis dalam kultural dan temporal suatu hadits sehingga dalam
memahami hadits tidaklah begitu baku tapi lebih bijaksana dengan mengkaji
keadaan kontemporer masyarakat sekarang tanpa menghilangkan ruh dari
nash hadits tersebut. Kontekstual dalam hal itu adalah suatu penjelasan
terhadap hadis-hadis baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun
ketetapan atau segala yang disandarkan pada Nabi berdasarkan situasi dan
kondisi ketika hadis itu ditampilkan
B. Saran
Demikian makalah yang telah kami susun dengan sebaik-baiknya.
Semoga dapat memberikan manfaat kepada kita semua, khususnya pembaca.
Tidak lupa, kami mengharapkan kritik dan saran yang mendukung untuk
memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Apabila ada kesalahan
penulisan dan penyusunan, kami mohon maaf karena masih dalam tahap
belajar. Kebenaran hanya milik Allah SWT. dan datang dari pada-Nya.
18
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Syaikh Muhammad. 1996. Studi Kritis Atas Hadis Nabi Antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan.
Abû Muslim al-Hajjaj. 1988. Shahîh Muslim, Jilid 2. Beirut: Dâr al-Fikr.
Depdikbud RI. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Pecetakan Ikrar
Mandiri Abadi.
Hamim Ilyas, “Pemahaman Hadis Secara Kontekstual (Telaah terhadap Asbâb Al-
Wurûd)”, Kutub Khazanah, no. 2 (Maret, 1999).
Hamim Ilyas dan Suryadi (ed.). 2002. Bunga Rampai Wacana Studi Hadis
Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Hasbi ash-Shiddieqy. 1974. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan
Bintang.
19
M. Sa‟ad Ibrahim.“Orisinalitas dan Perubahan Dalam Ajaran Islam”, At-Tahrir,
vol. 4, no. 2 (Juli, 2004).
Muhammad ibn Idrîs al-Syâfi‟î, Ikhtilâf al-hadîts (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‛Ilmiyyah, 1986).
Munawwar, Said Agil Husin, 2001, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Ramli, Abdul Wahid. 2005. Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media.
Suryadi, “Dari Living Sunnah ke Living Hadis”, dalam Seminar Living Al-
Qur‟an dan Hadis” Jurusan Tafsir-Hadis, Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, tanggal 8-9 Agustus 2005.
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994).
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1989. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Yunahar Ilyas. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur‟an Klasik dan
Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
20