BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan teknologi sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam
kehidupan, karena kemajuan teknologi terus berkembang seiring kemajuan
ilmu pengetahuan. Setiap manusia berlomba-lomba untuk berkuasa dengan
kemajuan teknologi. Harta seolah-seolah sebagai tujuan utama dalam hidup.
Pada era globalisasi saat ini, penguasa teknologi menjadi prestisie dan
indikator kemajuan suatu negara. Negara-negara yang berjaya ini menjadi
adikuasa, kaya raya, dan berprestisie karena bermodalkan teknologi. Kemajuan
IPTEK dengan diiringi masuknya Milenium III, memberi manfaat serta
kemudahan manusia dalam kehidupan. Disisi lain, manusia banyak yang tidak
menyikapi dengan kemajuan zaman. Tekonologi mendatangkan malapetaka
dan kesengsaraan bagi manusia. Adanya keterlenaan, yang semula mudah
untuk manusia ketika urusan itu semakin mudah maka muncul kesepian dan
keterasingan baru. Kesepian dan keterasingan muncul dengan lunturnya rasa
solidaritas, kebersamaan dan silaturahim.1
Keadaan manusia menjadi budak teknologi, layar android dan laptop
menjadi teman setia. Kurang bijaknya menggunakan teknologi memberikan
banyak masalah. Seperti seorang suami/istri lebih baik memperhatikan layar
android sebagai pembisnisannya, teman sosialnya dibandingkan
memperhatikan anak-anaknya ataupun memperhatikan satu sama lain. Hampir
setiap bangun tidur yang pertama dilihat adalah layar android. Seorang suami
melihat layar androi, begitu juga seorang istri yang dilihat layar androi dan
anaknya asyik dengan dunia game. Sampai pulang kerumah aktivitas asyik
sendiri dengan layar terjadi kembali. Akibatnya hubungan antar anggota
keluarga renggang, anak dalam kecanduan game dan dengan tetangga-pun
lupa. Angkuh dengan tetangga, tidak kenal sama sekali bahkan tetangga
1
Muhammad Ngafifi, ‘Kemajuan Teknologi Dan Pola Hidup Manusia Dalam Perspektif
Sosial Budaya’, Jurnal Pembangun Pendidikan: Fondasi Dan Aplikasi, 2.3 (2014), 33–47.
2
meninggal-pun tidak mengetahui karena asyik dengan layar untuk bekerja dan
berteman di media maya.2
Berdasarkan masalah itu, kemajuan IPTEK tidak salah tetapi manusia
yang salah belum bisa menyikapinya dengan bijak. Seolah-olah dunia modern
harus terpisah dengan agama, manusia acuh dengan agama lebih
mementingkan keduniaan. Oleh sebab itu, agar keterseimbangan ada pada
manusia maka manusia tidak boleh memutuskan agama. Agama tetap nomor
satu apapun keadaan kemajuan dunia modern. Adanya tasawuf dapat sebagai
pengisi ruh agama yang telah hilang ataupun sebagai penjaga keterlenaan
dalam dunia modern.3
Tasawuf melekat untuk membimbing manusia menuju keharmonisan
dan keseimbangan secara total, mengajarkan toleransi, modernisasi, hidup
berdampingan secara damai dan nilai-nilai kemanusiaan.4 Menurut Abu Hasan
al-Syadzili, tasawuf berfungsi untuk melatih jiwa agar tekun beribadah dan
mengembalikannya kepada hukum-hukum ketuhanan. Karena tasawuf sebagai
ilmu yang dengannya diketahui cara untuk mencapai Allah, membersihkan
batin dari semua akhlak tercela, dan menghiasinya dengan beragam akhlak
terpuji. Sebagai tiang penyangga untuk penjernihan hati dari kotoran materi,
dan pondasinya adalah hubungan manusia dengan sang penciptaan yang
agung.5
Nilai-nilai tasawuf dapat memberikan penyeimbang di masyarakat
modern. Telah rusaknya moral pada masyarakat modern, rusaknya adab dan
akhlak, adanya seks bebas dan lain-lain. Begitu juga, nilai-nilai tasawuf
sebagai obat bagi manusia yang terjerumus dengan keterlenaan modern.
Seperti, bangkrutnya sang pembisnis, terlilit oleh hutang, keluarga yang
2
Inda Lestari, Agus Wahyudi Riana, and Budi M. Taftazani, ‘Pengaruh Gadget Pada
Interaksi Sosial Dalam Keluarga’, Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2.2
(2015), 204–9 <https://doi.org/10.24198/jppm.v2i2.13280>.
3
Andi Eka Putra, ‘Tasawuf Sebagai Terapi Atas Problem Spiritual Masyarakat Modern’,
Al-Adyan, VIII.1 (2013), 45–57.
4
M Akmansyah, ‘Membangun Toleransi Dalam Perspektif Pendidikan Spiritual Sufistik’,
KALAM, 10.2 (2016), 517–36.
5
M Amin Syukur, ‘SUFI HEALING : Terapi Dalam Literatur Tasawuf’, Walis, 20.2
(2012), 391–412.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nilai-Nilai Tasawuf
1. Pengertian Nilai-Nilai Tasawuf
Menurut Kuperman mengungkapkan nilai adalah patokan normatif
yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-
cara tindakan alternatif. Kluckhohn mendefinisikan nilai sebagai konsepsi
(tersirat atau tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri
kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap
cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan.
Secara etimologi (bahasa), kata tasawuf berasal dari bahasa Arab
yaitu tashawwafa, yatashawwafu, tashawwufan. Ulama berbeda pendapat
dari mana asal-usulnya. Ada yang mengatakan dari kata shuf (bulu domba),
shaff (barisan), shafa’ (jernih) dan shuffah (serambi masjid Nabawi yang
ditempati oleh sebagian sahabat Rasulullah).6
Berikut penjabaran arti tasawuf secara bahasa, yaitu:7
a. Tasawuf berasal dari shuf yang berarti domba karena orang-orang ahli
ibadah dan sehat pada masa dahulu menggunakan pakaian secara berurut
dari bulu domba dalam sejarah tasawuf banyak kita dapati cerita bahwa
ketika seseorang yang masukin yang berkenan kepada Allah mereka
meninggalkan pakaian mewah yang bisa dipakai nya dan diganti dengan
kain wol kasar di tanah sederhana. Tradisi pakaian sederhana dan cobaan
samping ini dengan tujuan agar para ahli ibadah tidak timbul rasa ria’,
ujub atau sombong.
b. Tasawuf berasal dari kata shaff yaitu menggambarkan orang yang selalu
berada di barisan depan dan beribadah kepada Allah dan dalam
melaksanakan kebajika. Sementara pendapat yang mengatakan bahwa
6
Audah Mannan and I Pendahuluan, ‘Esensi Tasawuf Akhlaki Di Era Modernisasi’, Jurnal
Aqidah-Ta, 1.1 (2018), 36–56.
7
Muhammad Hafiun, ‘Teori Asal Usul Tasawuf’, Dakwah, XIII.2 (2012), 241–53.
5
8
Fahrudin, ‘Tasawuf Sebagai Upaya Bembersihkan Hati Guna Mencapai Kedekatan
Dengan Allah’, Jurnal Pendidikan Agama Islam Ta’lim, 1.1 (2016), 65–83.
6
b. Tawakkal
Tawakal adalah perasaan dari sesorang mu’min dalam
memandang alam, bahwa apa yang terdapat didalamnya tidak akan
luput dari tangan Allah, dimana didalam hatinya digelar oleh Allah
ketenangan dan disinilah seorang muslim merasa tenang dengan
Allah, setelah ia melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
diperintahkan oleh Allah Swt.
Jadi tawakal bukan sekedar berserah diri kepada Allah (pasrah
terhadap takdir), mengenai apa-apa yang akan terjadi dalam
8
kehidupan kita. Namun sikap tawakal kita muncul ketika kita telah
berusaha maksimal mungkin untuk mencapai tujuan yang kita
inginkan. Dengan sikap tawakal ini mampu meredam rasa
kekecewaan kita jika apa yang kita inginkan itu tidak terpenuhi,
karena dengan itu kita menyadarinya bahwa usaha yang kita lakukan
masih ada campur tangan dari Allah.
c. Zuhud
Zuhud secara terminologis, maka tidak bisa dilepaskan dari
dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tidak bisa terpisahkan
dari tasawuf, yaitu. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam.
Zuhud sabagai ajaran tasawuf adalah adanya kesadaran dan
komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai
perwujudan ihsan dan merupakan suatu tahapan (maqam) menuju
ma’rifat kepada Allah SWT. Kemudian, zuhud sebagai akhlak Islam
yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim
dalam memahami dan mesikapi urusan dunia. Kedua pengertian ini
pada hakekatnya adalah sama, bahwa zuhud adalah merupakan syarat
yang harus dimiliki seorang muslim untuk meraih ridho Allah.11
Orang yang zuhud tidak merasa senang dengan berlimpah
ruahnya harta dan tidak merasa susah dengan kehilangannya.
Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Hadid ayat 23 yaitu:
Artinya: (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan
supaya kamu jangan terlalu gembira[1459] terhadap apa
yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai
Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Q.S.
al-Hadid: 23)
11
Muhammad Hafiun, ‘Zuhud Dalam Ajaran Tasawuf’, Hisbah: Jurnal Bimbingan
Konseling Dan Dakwah Islam, 14.1 (2017), 77–93 <https://doi.org/10.14421/hisbah.2017.141-
07>.
9
d. Wara’
Secara literal wara’ berarti menjauhkan diri dari dosa dan
menahan dari hal-hal yang syubhat dan maksiat. Dalam perspektif
tasawuf, wara’ bermakna menahan diri dari hal-hal yang tidak pantas,
sia-sia dan menjauhkan diri dari hal-hal haram (terlarang), meragukan
(syubhat). Abu Ali Daqaq menjelaskan wara’ adalah meninggalkan
segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti.12
e. Ikhlas
Lafal ikhlas menunjukkan pengertian jernih, bersih, serta suci
dari campuran dan pencemaran. Orang yang ikhlas selalu
menyembunyikan kebaikannya, sebagaimana dia menyembunyikan
keburukannya, dan orang menyaksikan dalam keikhlasannya ada
ketulusan karena memang keikhlasan itu memerlukan ketulusan.
Seorang yang ikhlas tidak peduli meskipun semua penghargaan yang
ada dalam benak orang lain lenyap. Dengan adanya keikhlasan itu
12
Sodiman, ‘Menghadirkan Nilai-Nilai Spritual Tasawuf Dalam Proses Mendidik’, Al-
T’dib, 6.1 (2014), 330–44.
10
13
Sholikhin, Muhammad. Tradisi Sufi dari Nabi Tasawuf Aplikatif Ajaran
Rasulullah SAW. (Yogyakarta: Cakrawala, 2009), h. 29-31.
12
14
Zulkarnaini Zulkarnaini, ‘Dakwah Islam Di Era Modern’, Risalah, 26.3 (2015), 151–
58.
15
Zulkarnaini Zulkarnaini, ‘Dakwah Islam Di Era Modern ....,
16
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf Dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali, 2015), Cet Ke-
14, h. 241.
13
17
Efendi, Pendidikan Islam Transformatif Ala KH. Abdurrahman Wahid (Jakarta:
Guepedia, 2016), h. 101.
14
18
Moh. Saefulloh, ‘Tasawuf Sebagai Solusi Alternatif Dalam Problematika
Modernitas’, ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman, 2.2 (2014), 207
<https://doi.org/10.15642/islamica.2008.2.2.207-216>.
19
Agus Susanti, ‘Penanaman Nilai-Nilai Tasawuf Dalam Pembina Akhlak’, Al-
Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 7.November (2016), 277–97.
15
22
Azyumardi Azra, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, ( Jakarta: Logos
Wacana Ilmu,1998), h. 96.
23
Muzakkir Muzakkir, ‘Relevansi Ajaran Tasawuf Pada Masa Modern’, MIQOT: Jurnal
Ilmu-Ilmu Keislaman, 35.1 (2011), 37–58 <https://doi.org/10.30821/miqot.v35i1.130>.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dunia saat ini pada masa era modern yang diiringi dengan kemajuan
IPTEK. Adanya IPTEK memberikan manfaat yang luar biasa, namun manfaat
tersebut mampu menterlenakan umat. Agama dan ilmu pengetahuan mulai
dipisahkan di era modern, agama hanya sebagai syarat bukan kebutuhan.
Dampak dari nilai-nilai keagamaan yang telah ditinggalkan, maka manusia
akan kehilangan kendali dan salah arah, yang pada akhirnya akan terjerumus
ke dalam berbagai tindakan yang tidak terpuji, seperti korupsi, kolusi,
nepotisme, pelecehan seksual, deskriminasi terhadap kaum wanita,
pornografi, penyalahgunaan narkoba, penodongan, perampokan,
pemerkosaan, bahkan sampai pada menghilangkan nyawa seseorang, yang
pada umumnya merupakan perampasan hak asasi manusia yang beritanya
terlampau banyak kita dengar, lihat dan saksikan dari berbagai media massa.
Nilai-nilai tasawuf dapat dijadikan sebagai benteng masyarakat modern
ataupun penyembuh. Kemajuan era modern tidaklah salah, yang salah adalah
manusia kurang bijak dalam memanfaat kehadiran era modern.
B. Saran
Penulisan ini sebagai wawasan di era saat ini, agar manusia menyadari
dampak negatif dari era modern sehingga dapat kembali dengan pedoman
agama Islam yang benar. Untuk itu, bagi pembaca mohon saran bila ada
masukannya yang lebih baik dan apabila ada kesalahan penulisan makalah
ini.
21
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf Dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali, 2015),
Cet Ke-14.
Hafiun, Muhammad, ‘Teori Asal Usul Tasawuf’, Dakwah, XIII.2 (2012), 241–53
———, ‘Zuhud Dalam Ajaran Tasawuf’, Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling
Dan Dakwah Islam, 14.1 (2017), 77–93 .
Lestari, Inda, Agus Wahyudi Riana, and Budi M. Taftazani, ‘Pengaruh Gadget
Pada Interaksi Sosial Dalam Keluarga’, Prosiding Penelitian Dan
Pengabdian Kepada Masyarakat, 2.2 (2015), 204–9
<https://doi.org/10.24198/jppm.v2i2.13280>
Putra, Andi Eka, ‘Tasawuf Sebagai Terapi Atas Problem Spiritual Masyarakat
Modern’, Al-Adyan, VIII.1 (2013), 45–57
Syukur, M Amin, ‘Sufi Healing : Terapi Dalam Literatur Tasawuf’, Walis, 20.2
(2012), 391–412
Zulkarnaini, Zulkarnaini, ‘Dakwah Islam Di Era Modern’, Risalah, 26.3 (2015),
151–58