Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan teknologi sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam
kehidupan, karena kemajuan teknologi terus berkembang seiring kemajuan
ilmu pengetahuan. Setiap manusia berlomba-lomba untuk berkuasa dengan
kemajuan teknologi. Harta seolah-seolah sebagai tujuan utama dalam hidup.
Pada era globalisasi saat ini, penguasa teknologi menjadi prestisie dan
indikator kemajuan suatu negara. Negara-negara yang berjaya ini menjadi
adikuasa, kaya raya, dan berprestisie karena bermodalkan teknologi. Kemajuan
IPTEK dengan diiringi masuknya Milenium III, memberi manfaat serta
kemudahan manusia dalam kehidupan. Disisi lain, manusia banyak yang tidak
menyikapi dengan kemajuan zaman. Tekonologi mendatangkan malapetaka
dan kesengsaraan bagi manusia. Adanya keterlenaan, yang semula mudah
untuk manusia ketika urusan itu semakin mudah maka muncul kesepian dan
keterasingan baru. Kesepian dan keterasingan muncul dengan lunturnya rasa
solidaritas, kebersamaan dan silaturahim.1
Keadaan manusia menjadi budak teknologi, layar android dan laptop
menjadi teman setia. Kurang bijaknya menggunakan teknologi memberikan
banyak masalah. Seperti seorang suami/istri lebih baik memperhatikan layar
android sebagai pembisnisannya, teman sosialnya dibandingkan
memperhatikan anak-anaknya ataupun memperhatikan satu sama lain. Hampir
setiap bangun tidur yang pertama dilihat adalah layar android. Seorang suami
melihat layar androi, begitu juga seorang istri yang dilihat layar androi dan
anaknya asyik dengan dunia game. Sampai pulang kerumah aktivitas asyik
sendiri dengan layar terjadi kembali. Akibatnya hubungan antar anggota
keluarga renggang, anak dalam kecanduan game dan dengan tetangga-pun
lupa. Angkuh dengan tetangga, tidak kenal sama sekali bahkan tetangga

1
Muhammad Ngafifi, ‘Kemajuan Teknologi Dan Pola Hidup Manusia Dalam Perspektif
Sosial Budaya’, Jurnal Pembangun Pendidikan: Fondasi Dan Aplikasi, 2.3 (2014), 33–47.
2

meninggal-pun tidak mengetahui karena asyik dengan layar untuk bekerja dan
berteman di media maya.2
Berdasarkan masalah itu, kemajuan IPTEK tidak salah tetapi manusia
yang salah belum bisa menyikapinya dengan bijak. Seolah-olah dunia modern
harus terpisah dengan agama, manusia acuh dengan agama lebih
mementingkan keduniaan. Oleh sebab itu, agar keterseimbangan ada pada
manusia maka manusia tidak boleh memutuskan agama. Agama tetap nomor
satu apapun keadaan kemajuan dunia modern. Adanya tasawuf dapat sebagai
pengisi ruh agama yang telah hilang ataupun sebagai penjaga keterlenaan
dalam dunia modern.3
Tasawuf melekat untuk membimbing manusia menuju keharmonisan
dan keseimbangan secara total, mengajarkan toleransi, modernisasi, hidup
berdampingan secara damai dan nilai-nilai kemanusiaan.4 Menurut Abu Hasan
al-Syadzili, tasawuf berfungsi untuk melatih jiwa agar tekun beribadah dan
mengembalikannya kepada hukum-hukum ketuhanan. Karena tasawuf sebagai
ilmu yang dengannya diketahui cara untuk mencapai Allah, membersihkan
batin dari semua akhlak tercela, dan menghiasinya dengan beragam akhlak
terpuji. Sebagai tiang penyangga untuk penjernihan hati dari kotoran materi,
dan pondasinya adalah hubungan manusia dengan sang penciptaan yang
agung.5
Nilai-nilai tasawuf dapat memberikan penyeimbang di masyarakat
modern. Telah rusaknya moral pada masyarakat modern, rusaknya adab dan
akhlak, adanya seks bebas dan lain-lain. Begitu juga, nilai-nilai tasawuf
sebagai obat bagi manusia yang terjerumus dengan keterlenaan modern.
Seperti, bangkrutnya sang pembisnis, terlilit oleh hutang, keluarga yang

2
Inda Lestari, Agus Wahyudi Riana, and Budi M. Taftazani, ‘Pengaruh Gadget Pada
Interaksi Sosial Dalam Keluarga’, Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2.2
(2015), 204–9 <https://doi.org/10.24198/jppm.v2i2.13280>.
3
Andi Eka Putra, ‘Tasawuf Sebagai Terapi Atas Problem Spiritual Masyarakat Modern’,
Al-Adyan, VIII.1 (2013), 45–57.
4
M Akmansyah, ‘Membangun Toleransi Dalam Perspektif Pendidikan Spiritual Sufistik’,
KALAM, 10.2 (2016), 517–36.
5
M Amin Syukur, ‘SUFI HEALING : Terapi Dalam Literatur Tasawuf’, Walis, 20.2
(2012), 391–412.
3

berantakan dan lain-lain. Adanya nilai tersebut dapat memberikan ketenangan,


kebangkitan hidup yang lebih terarah kembali.
Urgensi implementasi nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan masyarakat
modern, maka makalah ini akan membahas apa saja nilai-nilai tasawuf, apa itu
tasawuf, fungsi tasawuf dan bagaimana kehidupan masyarakat modern untuk
bersikap atas kemajuan zaman. Untuk itu, penulis akan membahas makalah
yang berjudul “Nilai-nilai Tasawuf dalam Kehidupan Masyarakat Modern”.
B. Rumusan Masalah
Adanya rumusan masalah sebagai fokus pembahasan makalah ini yang
didapat dari latar belakang masalah. Maka penulis merumuskan makalah ini
yaitu:
1. Apa saja nilai-nilai tasawuf?
2. Bagaimana hubungan kehidupan masyarakat modern dengan nilai-nilai
tasawuf?
C. Tujuan
Adanya rumusan masalah yang telah terbentuk, maka tujuan makalah
ini yaitu:
1. Untuk mengetahui berbagai nilai-nilai tasawuf?
2. Untuk mengetahui hubungan kehidupan masyarakat modern dengan nilai-
nilai tasawuf?
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nilai-Nilai Tasawuf
1. Pengertian Nilai-Nilai Tasawuf
Menurut Kuperman mengungkapkan nilai adalah patokan normatif
yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-
cara tindakan alternatif. Kluckhohn mendefinisikan nilai sebagai konsepsi
(tersirat atau tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri
kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap
cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan.
Secara etimologi (bahasa), kata tasawuf berasal dari bahasa Arab
yaitu tashawwafa, yatashawwafu, tashawwufan. Ulama berbeda pendapat
dari mana asal-usulnya. Ada yang mengatakan dari kata shuf (bulu domba),
shaff (barisan), shafa’ (jernih) dan shuffah (serambi masjid Nabawi yang
ditempati oleh sebagian sahabat Rasulullah).6
Berikut penjabaran arti tasawuf secara bahasa, yaitu:7
a. Tasawuf berasal dari shuf yang berarti domba karena orang-orang ahli
ibadah dan sehat pada masa dahulu menggunakan pakaian secara berurut
dari bulu domba dalam sejarah tasawuf banyak kita dapati cerita bahwa
ketika seseorang yang masukin yang berkenan kepada Allah mereka
meninggalkan pakaian mewah yang bisa dipakai nya dan diganti dengan
kain wol kasar di tanah sederhana. Tradisi pakaian sederhana dan cobaan
samping ini dengan tujuan agar para ahli ibadah tidak timbul rasa ria’,
ujub atau sombong.
b. Tasawuf berasal dari kata shaff yaitu menggambarkan orang yang selalu
berada di barisan depan dan beribadah kepada Allah dan dalam
melaksanakan kebajika. Sementara pendapat yang mengatakan bahwa

6
Audah Mannan and I Pendahuluan, ‘Esensi Tasawuf Akhlaki Di Era Modernisasi’, Jurnal
Aqidah-Ta, 1.1 (2018), 36–56.
7
Muhammad Hafiun, ‘Teori Asal Usul Tasawuf’, Dakwah, XIII.2 (2012), 241–53.
5

tasawuf bukan besar-besaran mereka bahasa Yunani yaitu sophia yang


artinya hikmah atau filsafat.
c. Tasawuf berasal dari kata Shafa yang berarti orang suci atau orang-orang
yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniaan. Mereka
memiliki ciri khusus adalah aktivitas dan ibadah mereka terhadap
kesucian hati dan untuk membersihkan jiwa dari rekan-rekan diri kepada
Allah mereka adalah orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat
dosa dan maksiat.
d. Tahu berasal dari kata shuffah yang artinya sebuah komunitas memiliki
ciri yang menyebabkan diri dengan kegiatan ibadah. Mereka
meninggalkan kehidupan dunia dan memiliki pola hidup zuhud. Mereka
tinggal di masjid nabi dan tidur diatas bangku batuk dengan memakai
pelana sofa mereka miskin tetapi Berhati Mulia para sahabat nabi hasil
produksi ini dan tanya Abu Darda, Abu Dzar al-ghifari, dan Abu
Hurairah.
Tasawuf secara terminologi didefinisikan oleh para ahli,
diantaranya:8
a. Syaikh Islam Zakaria al-Anshari, tasawuf adalah ilmu yang menerangkan
cara-cara mencuci bersih jiwa, memperbaiki akhlak, membina akhlak dan
membina kesejahteraan lahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan yang
abadi.
b. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi at-Taftazani, tasawuf adalah pandang filosofis
terhadap kehidupan yang bertujuan untuk mengembangkan moralitas
jiwa manusia dan dapat direalisasikan melalui latihan-latihan praktis
tertentu, sehingga perasaan menjadi larut dalam hakikat transcendental.
c. Ibnu Khaldun, tasawuf adalah ilmu syariat yang timbul kemudian
didalam agama. Asalnya adalah tekun ibadah, memutuskan pertalian
terhadap selain Allah, menolak perhiasan dunia. Selain itu membenci
perkara yang selalu memperdaya orang banyak, sekaligus menjauhi

8
Fahrudin, ‘Tasawuf Sebagai Upaya Bembersihkan Hati Guna Mencapai Kedekatan
Dengan Allah’, Jurnal Pendidikan Agama Islam Ta’lim, 1.1 (2016), 65–83.
6

kelezatan harta, dan kemegahannya. Tasawuf juga berarti menyendiri


menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah.
Berdasarkan pengertian di atas, tasawuf pada umumnya
cenderung dimaknai dengan usaha untuk mendekatkan diir kepada Tuhan
yang sedekat mungkin melalui metode pensucian rohani maupun
memperbanyak amalan ibadah, metode pensucian diri dengan dzikir dan
amalan itulah yang diistilahkan dengan thoriqoh atau tarikat
dilaksanakan oleh para murid tasawuf dengan mengikuti bimbingan dari
sang mursyid.
Tasawuf lebih menekankan spiritualitas dalam berbagai aspek
oleh karena itu para ahli tasawuf disebut sufi. Sufi merupakan
mempercayai keutamaan spirit ketimbang jasad, mempercayai dunia
spiritual ketimbang dunia material.9 Dengan demikian, tasawuf justru
mengaitkan kehidupan individu dengan masyarakat, sehingga bermakna
positif bukan negatif.10
Jadi, nilai-nilai tasawuf adalah sesuatu yang ideal dan
menyangkut persoalan keyakinan terhadap yang dikehendaki serta
memberikan corak pada pola pikiran, perasaan dan perilaku seseorang
dalam mencari jalan menuju Allah dengan membebaskan diri dari
pengaruh kehidupan duniawi.
2. Bentuk Nilai-Nilai Tasawuf
Tasawuf merupakan upaya untuk membersihkan pandangan,
meluruskan niat, memurnikan orientasi dan cara bertindak untuk tidak
terlalu mementingkan selain Allah. Dalam tasawuf ada nilai-nilai yang
menjadi hal penting untuk tasawuf itu sendiri. Berikur beberapa nilai-nilai
tasawuf yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan, yaitu:
a. Sabar
Secara harfiah sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Num al-
Mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan
9
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006), h.2-4.
10
At-Taftazani, Dalam Syamsun Ni’am, The Wisdom Of KH Achmad Siddiq:
Membumikan Tasawu, h, 7.
7

dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan


menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran
bidang ekonomi. Ibn Atha mengatakan sabar adalah tetap tabah dalam
menghadapi cobaan dengan sikap yang baik.
Jadi sabar adalah sikap dimana sesorang menerima sesuatu
secara lapang dada setelah dia berikhtiar. Sikap sabar tidak ada tolak
ukurnya dan tidak ada batasnya. Dari sifat sabar manusia, maka Allah
dapat menaikkan derajat ketaqwaannya. Misal ketika seseorang tertimpa
musibah, pada saat itu Allah sedang mengujinya. Allah melihat seberapa
besar sabarnya, bagaimana tindakan manusia tersebut ketika diberi
cobaa, ketika manusia tersebut lolos dari ujiaannya maka Allah akan
menaikkan dengan memberikan suatu hal yang lebih baik. Karena segala
hal yang didunia, hanya Allah sebagai penolong terbaik. Maka manusia
diperintahkan untuk sabar dan salat sebagai penolong terbaik, Firman
Allah dalam surah al-Baqarah ayat 45 yang berbunyi:
 
  
  
 
Artinya: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan
Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu', (QS. Al-Baqarah (2): 45).

b. Tawakkal
Tawakal adalah perasaan dari sesorang mu’min dalam
memandang alam, bahwa apa yang terdapat didalamnya tidak akan
luput dari tangan Allah, dimana didalam hatinya digelar oleh Allah
ketenangan dan disinilah seorang muslim merasa tenang dengan
Allah, setelah ia melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
diperintahkan oleh Allah Swt.
Jadi tawakal bukan sekedar berserah diri kepada Allah (pasrah
terhadap takdir), mengenai apa-apa yang akan terjadi dalam
8

kehidupan kita. Namun sikap tawakal kita muncul ketika kita telah
berusaha maksimal mungkin untuk mencapai tujuan yang kita
inginkan. Dengan sikap tawakal ini mampu meredam rasa
kekecewaan kita jika apa yang kita inginkan itu tidak terpenuhi,
karena dengan itu kita menyadarinya bahwa usaha yang kita lakukan
masih ada campur tangan dari Allah.
c. Zuhud
Zuhud secara terminologis, maka tidak bisa dilepaskan dari
dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tidak bisa terpisahkan
dari tasawuf, yaitu. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam.
Zuhud sabagai ajaran tasawuf adalah adanya kesadaran dan
komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai
perwujudan ihsan dan merupakan suatu tahapan (maqam) menuju
ma’rifat kepada Allah SWT. Kemudian, zuhud sebagai akhlak Islam
yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim
dalam memahami dan mesikapi urusan dunia. Kedua pengertian ini
pada hakekatnya adalah sama, bahwa zuhud adalah merupakan syarat
yang harus dimiliki seorang muslim untuk meraih ridho Allah.11
Orang yang zuhud tidak merasa senang dengan berlimpah
ruahnya harta dan tidak merasa susah dengan kehilangannya.
Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Hadid ayat 23 yaitu:
   
   
     
  
Artinya: (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan
supaya kamu jangan terlalu gembira[1459] terhadap apa
yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai
Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Q.S.
al-Hadid: 23)

11
Muhammad Hafiun, ‘Zuhud Dalam Ajaran Tasawuf’, Hisbah: Jurnal Bimbingan
Konseling Dan Dakwah Islam, 14.1 (2017), 77–93 <https://doi.org/10.14421/hisbah.2017.141-
07>.
9

Sebagaimana hadis Nabi terkait nilai zuhud yaitu:

‫سلَّ َم َر هج ٌل فَقَا َل َيا‬ َ ‫صلَّى للاه‬


َ ‫ع َلي ِه َو‬ َ ‫ى‬ َّ ‫ِى قَا َل أَت َى النَّ ِب‬ِ ‫سا ِعد‬ َّ ‫س ْع ٍد ا‬
َ ‫س ْه ِل ب ِْن‬ َ ‫ع ْن‬ َ
‫صلى للاه‬ َّ َ ِ‫سو هل للا‬ ‫اس فَقَا َل َر ه‬ ‫ى النَّ ه‬ َ ْ
َ ِ‫ع ِملتههه أ َجبَّن‬ َ
َ ‫ع َم ٍل إِذَا أنَا‬ َ ‫على‬ َ َّ
َ ‫سو هل للاِ دهلنِ ْي‬ ‫َر ه‬
َ‫اس ي ِهحبُّك‬ِ َّ‫از َه ْذ فِي َما فِى أ َ ْي ِدى الن‬ ْ ‫ أ َ ْز َه ْذ فِى الدُّ ْنيَا ي ِهحبُّكَ للاَ َو‬،‫سلَّ َم‬
َ ‫علَي ِه َو‬ َ
(‫(رواه بن مجه‬
Artinya: dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang
yang mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lantas
berkata, “Wahai Rasulullah tunjukkanlah padaku suatu
amalan yang apabila aku melakukannya maka Allah akan
mencintaiku dan begitu pula manusia”. Rasulullah
Shalallahu Wassalam bersabda, zuhudlah pada dunia maka
akan mencintaimu sudah pada apa yang ada di sisimu
manusia pernah mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)

d. Wara’
Secara literal wara’ berarti menjauhkan diri dari dosa dan
menahan dari hal-hal yang syubhat dan maksiat. Dalam perspektif
tasawuf, wara’ bermakna menahan diri dari hal-hal yang tidak pantas,
sia-sia dan menjauhkan diri dari hal-hal haram (terlarang), meragukan
(syubhat). Abu Ali Daqaq menjelaskan wara’ adalah meninggalkan
segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti.12
e. Ikhlas
Lafal ikhlas menunjukkan pengertian jernih, bersih, serta suci
dari campuran dan pencemaran. Orang yang ikhlas selalu
menyembunyikan kebaikannya, sebagaimana dia menyembunyikan
keburukannya, dan orang menyaksikan dalam keikhlasannya ada
ketulusan karena memang keikhlasan itu memerlukan ketulusan.
Seorang yang ikhlas tidak peduli meskipun semua penghargaan yang
ada dalam benak orang lain lenyap. Dengan adanya keikhlasan itu

12
Sodiman, ‘Menghadirkan Nilai-Nilai Spritual Tasawuf Dalam Proses Mendidik’, Al-
T’dib, 6.1 (2014), 330–44.
10

seseorang akan mendapatkan anugrah dari amal kebaikan yang telah


dilakukannya.
Sebagaimana hadis Nabi terkait ikhlas yaitu
‫ إِ َّن للاَ ََل يَ ْن ه‬:‫سلَّ َم‬
‫ظ هر‬ َ ‫صلَّى للاه‬
َ ‫علَي ِه َو‬ َ ‫ قَا َل‬:َ‫عنهه قَال‬ َ ‫ضي للاه‬ِ ‫يرة َ َر‬ َ ‫ع ْن أَبِي هه َر‬
َ
)‫ظ هر ِإلَى قهله ْو ِب هك ْمز (رواه مسلم‬ ‫ص َو ِر هك ْم َول ِك ْن َي ْن ه‬
‫ام هك ْم َو ََل ِإلَي ه‬ َ
َ ْ‫اِلَى أج‬
ِ ‫س‬
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai) bentuk tubuh
pula menilai ebagusan wajahmu tetapi Allah melihat
keikhlasan hatimu. (HR. Muslim)

f. Qana’ah dan bertaubat


Qana’ah menurut bahasa adalah merasa cukup atau rela,
sedangkan menurut istilah ialah sikap rela menerima dan merasa
cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari
rasa tidak puas dan perasaan kurang. Qona‟ah adalah gudang yang
tidak akan habis. Sebab, qona‟ah adalah kekayaan jiwa. Dan kekayaan
jiwa lebih tinggi dan lebih mulia dari kekayaan harta. Kekayaan jiwa
melahirkan sikap menjaga kehormatan diri dan menjaga kemuliaan
diri, sedangkan kekayaan harta dan tamak pada harta melahirkan
kehinaan diri. Sebagaimana hadis Nabi terkait nilai qona’ah yaitu:
ِ َّ‫اس َو هك ْن قَنِعًا ت َ هك ْن أ َ ْش َك َر الن‬
ُّ‫اس َما ت ه ِحب‬ ِ َّ‫عا ت َ هك ْن أ َ ْعبَدَ الن‬ ً ‫يَا أَبَا هه َري َْرة َ هك ْن َو ِر‬
‫ار َم ْن َج َاو َركَ ت َ هك ْن هم ْس ِل ًما َوأ َ ِق َّل الض َِّحكَ فَإ ِ َّن‬ َ ‫ِلنَ ْفسِكَ ت َ هك ْن همؤْ ِمنًا َوأ َ َحس ِْن ِج َو‬
‫ب‬َ ‫َكثْ َرتَ الض َِّح ِك ت ه ِميته القَ ْل‬
Artinya: wahai Abu Hurairah Jadilah orang yang marah maka
engkau menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah Jadilah orang
yang qanaah selalu merasa cukup dengan pemberian Allah
maka engkau akan menjadi orang lain dan bersyukur
sukailah sesuatu pada manusia senang kau suka jika ia ada
pada dirimu sendiri maka engkau akan menjadi orang
mukmin yang baik berbuat baiklah kepada tetanggamu maka
engkau akan menjadi muslim sejati kurangi banyak tertawa
karena banyak tertawa mematikan hati. (HR. Ibnu Majah)
11

3. Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf


Pokok-poko ajaran tasawuf yang berhubungan dengan kehidupan
modern terdapat dua bagian yaitu:13
a. Tasawuf Akhlaki
Tasawuf akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas
kesempurnaan dan kesucian jiwa melalui proses pengaturan sikap mental
dan pendisiplinan tingkah laku secara katat. Guna mencapai kebahagiaan
yang optimal, seseorang harus mengidentifikasi eksistensi dirinya dengan
ciri-ciri ketuhanan (takhalluq bi akhlaqillah) melalui penyucian jiwa raga
yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna, dan
berakhlaqul karimah melalui penyifatan sifat-sifat Allah. Dalam ilmu
tasawuf dikenal tiga fase pendidikan jiwa dan seni menata hati, yakni
takhalli, tahalli, dan tajali. Tasawuf
b. Tasawuf Amali
Tasawuf amali adalah tasawuf yang membahas tentang
bagaimana mendekatkan diri kepada Allah, yang konotasinya adalah
thariqah. Dalam pola thariqah ini, tingkat kesufian seseorang akan
dibedakan dengan yang lainnya. Ada yang dianggap telah mampu dengan
sendirinya mendekatkan diri kepada Allah namun ada juga yang masih
membutuhkan bantuan orang lain (murid atau salik) yang dianggap
mempunyai otoritas untuk itu (seorang mursyid atau syekh). Dari sinilah
kemudian disusun hierarki dengan istilah teknis seperti mursyid, murid,
dan sebagainya.
B. Kehidupan Masyarakat Modern
a. Pengertian Masyarakat Modern
Secara etimologis term modern berasal dari kata bahasa Latin
moderna yang berarti sekarang, baru atau saat ini. Dalam Bahasa Indonesia

13
Sholikhin, Muhammad. Tradisi Sufi dari Nabi Tasawuf Aplikatif Ajaran
Rasulullah SAW. (Yogyakarta: Cakrawala, 2009), h. 29-31.
12

istilah modern sendiri adalah adjektive (kata siafat), dimana dalam


gramatikal Indonesia sebuah adjektive apabila ditambahi dengan “isasi”
berarti mempunyai makna proses, jadi modernisasi merupakan sebuah
proses modern. Kata sifat ini akan mempunyai arti lain lagi, bila dibubuhi
dengan isme. Karena menunjukkan paham, kredo, atau aliran maka
modernisme mempunyai makna paham tentang modernitas. Arti
modernisme adalah cenderung idieologis, idiologi modern ini yang nantinya
menjadikan kekinian sebagai basis kesadarannya, dengan pola-pola
pembaharuan dalam kehidupannya. Karen modernisasi secara implikatif,
cenderung merupakan proses yang didalamnya komitmen pola-pola lama
dikikis, kemudian menyuguhkan pola-pola baru dan pola-pola baru inilah
yang diberi status modern.14
Masyarakat modern terdiri dari dua kata yaitu masyarakat dan
modern. Masyarakat adalah kumpulan orang-orang yang berinteraksi satu
sama lain di dalam suatu wilayah tertentu dan menghayati kebudayaan yang
sama. Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya
mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah kepada kehidupan dalam
peradaban masa kini.15
Masyarakat modern selanjutnya sering disebut sebagai lama dari
masyarakat tradisional misalnya menyebutkan ciri-ciri masyarakat modern
sebagai berikut:16
a. Bersifat rasional yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran
daripada pendapat emosi.
b. Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh tidak hanya memikirkan
masalah yang bersifat sesaat tetapi selalu dilihat dampak sosialnya secara
lebih jauh.

14
Zulkarnaini Zulkarnaini, ‘Dakwah Islam Di Era Modern’, Risalah, 26.3 (2015), 151–
58.
15
Zulkarnaini Zulkarnaini, ‘Dakwah Islam Di Era Modern ....,
16
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf Dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali, 2015), Cet Ke-
14, h. 241.
13

c. Menghargai waktu yaitu Selalu melihatkan bahwa waktu adalah sesuatu


yang sangat berharga dan perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
d. Kemudian bersikap terbuka yakni mau menerima saran, masukan baik
berupa kritik, gagasan dan perbaikan dari manapun datangnya. Dan yang
terakhir berpikir objektif yakni melihat segala sesuatu dari sudut fungsi
dan kegunaan bagi masyarakat.
Berikut ciri-ciri masyarakat tradisional menurut Talcott Parson
yaitu:17
a. Aktivitas yaitu hubungan antara anggota masyarakat didasarkan pada
kasih sayang.s
b. Orientasi kolektif yaitu lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau
kebersamaan.
c. Partikularisme yaitu segala sesuatu yang ada hubungannya dengan apa
yang khusus berlaku untuk suatu daerah tertentu saja, ada hubungannya
dengan perasaan subjektif dan rasa kebersamaan.
d. Askripsi yaitu segala sesuatu yang dimiliki diperoleh dari warisan
generasi sebelumnya.
e. Difference atau kekaburan yaitu dalam mengungkapkan sesuatu dengan
tidak terus terang.
b. Problematika Kehidupan Masyarakat Modern
Abu Al- Wafa al-Taftazani dalam The Role Of Sufism
mengklasifikasikan sebab-sebab kegelisahan masyarakat modern, yaitu:
1) Kegelisahan karena takut kehilangan apa yang dimiliki, seperti uang dan
jabatan.
2) Kegelisahan karena timbul rasa takut terhadap masa depan yang tidak di
sukai ( trauma dan imajinasi masa depan).
3) Kegelisahan yang disebabkan oleh rasa kecewa terhadap hasil kerja yang
tidak mampu harapan dan kepuasan spiritual.

17
Efendi, Pendidikan Islam Transformatif Ala KH. Abdurrahman Wahid (Jakarta:
Guepedia, 2016), h. 101.
14

4) Kegelisahan yang disebabkan karena dirinya banyak melakukan


pelanggaran dan dosa.
Diantara permasalahan yang muncul pada era modern sekarang ini,
krisis spiritual ditandai dengan semakin banyaknya orang yang mengalami
kecemasan, kegelisahan, dan kehampaan eksistensial. Akibat selanjutnya
adalah, merebaknya penyakit-penyakit spiritual yang berujung pada stres,
frustasi, hingga penurunan martabat manusia serta mengancam eksistennsi
manusia itu sendiiri. Beberapa pakar spiritualitas berusaha menawarkan
nilai-nilai yang berhubungan dengan dimensi spiritual. Diantara nilai-nilai
itu, dalam Islam dikenal dimensi tasawuf. Karena nilai-nilai Tasawuf bagian
dari solusi.18
Bila nilai-nilai keagamaan telah ditinggalkan, maka manusia akan
kehilangan kendali dan salah arah, yang pada akhirnya akan terjerumus ke
dalam berbagai tindakan yang tidak terpuji, seperti korupsi, kolusi,
nepotisme, pelecehan seksual, deskriminasi terhadap kaum wanita,
pornografi, penyalahgunaan narkoba, penodongan, perampokan,
pemerkosaan, bahkan sampai pada menghilangkan nyawa seseorang, yang
pada umumnya merupakan perampasan hak asasi manusia yang beritanya
terlampau banyak kita dengar, lihat dan saksikan dari berbagai media
massa.19
Modernitas diakui telah membawa banyak sekali perubahan baik
dalam bidang sains dan teknologi, lapangan hidup, dan perilaku masyarakat.
Indikator yang paling menonjol dalam modernisasi adalah kecenderungan
materialistik, individualistik dan hedonistik. Oleh karena itu, tidak
mengeherankan jika ukuran kemajuan lebih dititik beratkan pada persoalan
material dari pada nilai-nilai spiritual. Teknologi disisi lain dapat
memudahkan dan membantu kehidupan manusia jika digunakan secara

18
Moh. Saefulloh, ‘Tasawuf Sebagai Solusi Alternatif Dalam Problematika
Modernitas’, ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman, 2.2 (2014), 207
<https://doi.org/10.15642/islamica.2008.2.2.207-216>.
19
Agus Susanti, ‘Penanaman Nilai-Nilai Tasawuf Dalam Pembina Akhlak’, Al-
Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 7.November (2016), 277–97.
15

bijaksana. Akan tetapi ketika teknologi digunakan secara tidak bijaksana,


akan menimbulkan dampak negatif. Misalnya saja teknologi internet
digunakan oleh sebagian orang untuk pornografi dan melakukan kejahatan
di dunia maya. 20
Westernisasi adalah suatu asimilasi kebudayaan barat atau proses
sosial yang memperkenalkan kebiasaan dan praktik-praktik peradaban
Barat. Hal ini terjadi karena mereka menggangap semua yang dari Barat
modern. Mereka bertingkah seperti orang Barat agar dianggap modern.
Buktinya yaitu gaya hidup mereka yang ala barat, mulai dari cara
berpakaian hingga pola makan. Bila diamati, budaya barat berpotensi
mengubah cara berfikir, cara bekerja, dan cara hidup. Ketiga aspek ini tak
semuanya negatif atau positif.
Munculnya problema spiritual yang dialami manusia modern saat
ini, bermula dari hilangnya visi ke Ilahian yang disebabkan oleh manusia
modern itu sendiri, yang senantiasa bergerak makin menjauh dari pusat
eksistensinya. Karena itu, tidak ada alternatif yang lebih baik dalam
menjawab krisis spiritualitas yang telah menimbulkan berbagai penyakit
spiritual saat ini, kecuali manusia modern harus kembali ke pusat
eksistensinya. Asumsi dasar tentang manusia yang terdiri dari dari aspek
jasmani dan ruhaniah, material dan spiritual, adalah dimensi yang lengkap
yang dapat menjadi alternatif bagi manusia modern mengatasi penyakit
spiritual. Keduanya berjalan seiring, saling melengkapi. Melalui dimensi
spiritual manusia dituntut untuk kembali ke pusat eksistensinya melalui cita
rasa hati, musyahadah (menyaksikan) dan ma’rifah ( mengenal segala yang
tidak tampak). Dari sisi ekstenal, tasawuf merupakan sesuatu yang harus
dilakukan dengan usaha-usaha yang sungguh-sungguh terhadap aspek
spiritual.21
Kebudayaan modern yang menganut paham politik liberalisme dan
rasionalisme itu, secara konsisten terus melakukan penggerusan dan proses
20
Amsal Bakhtiar (ed), Tasawuf dan Gerakan Tarekat, ( Bandung: Angkasa 2003), h. 96.
21
Andi Eka Putra, ‘Tasawuf Sebagai Terapi Atas Problem Spiritual Masyarakat Modern’,
Al-Adyan, VIII.1 (2013), 45–57.
16

pendangkalan kehidupan spiritual sampai pada tarap paling jauh.


Liberalisasi politik juga membawa akses pada proses desakralisasi dan
despiritualisasi tata nilai kehidupan. Dalam proses semacam itu, agama yang
syarat dengan nilai-nilai sakral dan spiritual, perlahan tapi pasti, terus
tergusur dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kadang-kadang agama
dipandang tidak relevan dan tidak signifikan lagi dalam kehidupan.
Akibatnya, sebagaimana terlihat pada gejala umum masyarakat modern,
kehidupan rohani semakin kering dan dangkal.22
c. Relevansi Ajaran Tasawuf dengan Kehidupan Modern
Berikut relevansi ajaran tasawuf dengan kehidupan modern yaitu:23
1) Korelasi Ibadah, Etos Kerja, dan Profesionalisme dengan Tasawuf
Korelasi Ibadah dengan Tasawuf Ibadah.
Ibadah dalam ajaran Islam merupakan hal yang sangat
fundamental. Setiap Muslim harus melaksanakannya. Bahkan al-Qur’an
sendiri menyatakan dengan tegas, bahwa tidaklah diciptakan jin dan
manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana tersebut
dalam Surah al-Dzâriyât ayat 56, yang berbunyi:
  
   
Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku. (al-Dzâriyât (51): 56)
Pada dasarnya, iman seseorang dikatakan tidak sempurna kalau
tidak disertai dengan pelaksanaan ibadah, amal saleh, dan akhlak mulia.
Pemahaman seperti ini merupakan pendekatan sufistik. Sebab, ilmu
kalam atau teologi Islam hanya membicarakan iman, dan fiqih Islam
hanya membicarakan aspek hukum dalam hubungan manusia dengan
Tuhan dan manusia. Sedangkan tasawuf pada intinya mengajarkan
kepada kita untuk melakukan hubungan yang baik dengan Tuhan dan

22
Azyumardi Azra, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, ( Jakarta: Logos
Wacana Ilmu,1998), h. 96.
23
Muzakkir Muzakkir, ‘Relevansi Ajaran Tasawuf Pada Masa Modern’, MIQOT: Jurnal
Ilmu-Ilmu Keislaman, 35.1 (2011), 37–58 <https://doi.org/10.30821/miqot.v35i1.130>.
17

hubungan dengan sesama manusia khususunya, dan alam pada


umumnya. Hubungan vertikal dengan Tuhan dijalankan dengan
melaksanakan ibadah dan hubungan dengan manusia dan alam pada
umumnya dengan melakukan amal saleh dan akhlak yang mulia.
2) Korelasi Etos Kerja dengan Tasawuf Karakteristik
Di sini harus ditekankan bahwa etos kerja terpancar dari sikap hidup
mendasar
manusia terhadap kerja. Konsekuensinya pandangan hidup yang bernilai
transenden (seperti nilai-nilai tasawuf yang bersumber al-Qur’an dan
Sunnah) juga dapat menjadi sumber motivasi yang berpengaruh serta ikut
berperan dalam proses terbentuknya sikap itu. Nilai-nilai transenden akan
menjadi landasan bagi berkembangnya spiritualitas sebagai salah satu
faktor yang efektif membentuk kepribadian. Etos kerja tidak terbentuk
oleh kualitas pendidikan dan kemampuan semata. Faktor-faktor yang
behubungan dengan inner life, suasana batin dan semangat hidup yang
terpancar dari keyakinan dan keimanan ikut menentukan pula.14
Karena itu, kehidupan sufi (yakni pengamalan tasawuf) jelas
dapat menjadi sumber nilai dan sumber motivasi yang mendasari
aktivitas hidup, termasuk etos kerjanya. Al-Qur’an dengan jelas
memotivasi seseorang agar berusaha mengubah kondisinya ke arah yang
lebih baik, tanpa ada usaha untuk mengubah sikap dan perilaku diri
sendiri Allah tidak akan mengubahnya. Firman Allah dalam surah. al-
Ra‘d ayat 11, yang berbunyi:
  
  
  
     
   
 
  
  
     
18

    



Artinya: bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya
atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah
Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka
tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia.(QS. Al-Ra’d: 11)

3) Korelasi Profesionalisme dengan Tasawuf Profesional


Profesional adalah mengerti akan tugas (sesuai dengan keahlian/
bidangnya) dan bertanggung jawab (amânah), kemudian bersunggguh-
sungguh mengerjakannya dengan kualitas yang terbaik (ahsan). Dengan
kerja profesional, maka akan didapatkan hasil yang maksimal.
Bila kerja atau perbuatan yang dalam Islam dikenal dengan amal,
dikaitkan dengan iman, maka justru merupakan manifestasi dan bagian
dari pengamalan Islam itu sendiri. Karena karakteristik iman ada dua,
yaitu (1) keyakinan hati, dan (2) pengamalan atau kerja sebagai bukti
bahwa keyakinan itu berfungsi. Iman dalam hati baru menjadi eksis bila
telah dilahirkan dalam bentuk amal atau kerja. Tentu saja kerja atau amal
yang dilahirkannya tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam yang
diimaninya. Keistimewaan iman demikian terletak pada perpaduan antara
nilai-nilai moral dan motif-motif ta‘abbudi dengan kerja atau pengamalan
dalam satu bingkai. Dengan ungkapan lain, iman adalah landasan,
sedangkan perbuatan atau kerja merupakan konsekuensi dan cara
menyatakannya.
Kerja, dalam hal ini termasuklah di dalamnya kerja otak dan hati,
seperti berpikir, memahami, berzikir, meneguhkan iman dan berusaha
mencintai ilmu yang bermanfaat. Selain itu, tentu saja kerja produktif
dalam rangka memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga dan masyarakat,
mengembangkan serta membangun daerah atau negeri, menanggulangi
kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, memerintahkan berbuat
19

ma‘ruf, mencegah kemungkaran dan sebagainya. Tantangan-tantangan


serupa bila memenuhi syarat husn al-fi‘liyah (pekerjaan yang baik) dan
husn al-fa‘iliyyah (yang mengerjakan baik) itu jelas termasuk lahan
ibadah, dapat dijadikan objek amal-amal atau kerja Islami yang sebagian
besar daripadanya dapat dikategorikan penegakan tugas khilafah manusia
di muka bumi. Mengerjakan sesuatu dengan niat mencari rida Allah
mengundang konsekuensi
Kerja itu tidak dilakukan dengan sikap seenaknya. Karena hal itu
akan menunjukkan ketidakseriusan niat, bahkan dapat berarti tidak
menghargai Tuhan. Bekerja demi ridha Allah, sebagaimana ajaran yang
dikembangkan oleh kaum sufi, amat erat kaitannya dengan ihsân,
sedangkan makna ihsân amat luas, antara lain sehubungan dengan kerja,
artinya bekerja secara optimal atau sebaik mungkin (sesuai dengan
profesinya, atau secara profesionalisme).
20

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dunia saat ini pada masa era modern yang diiringi dengan kemajuan
IPTEK. Adanya IPTEK memberikan manfaat yang luar biasa, namun manfaat
tersebut mampu menterlenakan umat. Agama dan ilmu pengetahuan mulai
dipisahkan di era modern, agama hanya sebagai syarat bukan kebutuhan.
Dampak dari nilai-nilai keagamaan yang telah ditinggalkan, maka manusia
akan kehilangan kendali dan salah arah, yang pada akhirnya akan terjerumus
ke dalam berbagai tindakan yang tidak terpuji, seperti korupsi, kolusi,
nepotisme, pelecehan seksual, deskriminasi terhadap kaum wanita,
pornografi, penyalahgunaan narkoba, penodongan, perampokan,
pemerkosaan, bahkan sampai pada menghilangkan nyawa seseorang, yang
pada umumnya merupakan perampasan hak asasi manusia yang beritanya
terlampau banyak kita dengar, lihat dan saksikan dari berbagai media massa.
Nilai-nilai tasawuf dapat dijadikan sebagai benteng masyarakat modern
ataupun penyembuh. Kemajuan era modern tidaklah salah, yang salah adalah
manusia kurang bijak dalam memanfaat kehadiran era modern.
B. Saran
Penulisan ini sebagai wawasan di era saat ini, agar manusia menyadari
dampak negatif dari era modern sehingga dapat kembali dengan pedoman
agama Islam yang benar. Untuk itu, bagi pembaca mohon saran bila ada
masukannya yang lebih baik dan apabila ada kesalahan penulisan makalah
ini.
21

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf Dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali, 2015),
Cet Ke-14.

Agus Susanti, ‘Penanaman Nilai-Nilai Tasawuf Dalam Pembina Akhlak’, Al-


Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 7.November (2016), 277–97

Akmansyah, M, ‘Membangun Toleransi Dalam Perspektif Pendidikan Spiritual


Sufistik’, KALAM, 10.2 (2016), 517–36

At-Taftazani, Dalam Syamsun Ni’am, The Wisdom Of KH Achmad Siddiq:


Membumikan Tasawu

Azyumardi Azra, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (


Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1998)

Efendi, Pendidikan Islam Transformatif Ala KH. Abdurrahman Wahid (Jakarta:


Guepedia, 2016)

Fahrudin, ‘Tasawuf Sebagai Upaya Bembersihkan Hati Guna Mencapai


Kedekatan Dengan Allah’, Jurnal Pendidikan Agama Islam Ta’lim, 1.1
(2016), 65–83

Hafiun, Muhammad, ‘Teori Asal Usul Tasawuf’, Dakwah, XIII.2 (2012), 241–53
———, ‘Zuhud Dalam Ajaran Tasawuf’, Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling
Dan Dakwah Islam, 14.1 (2017), 77–93 .

Lestari, Inda, Agus Wahyudi Riana, and Budi M. Taftazani, ‘Pengaruh Gadget
Pada Interaksi Sosial Dalam Keluarga’, Prosiding Penelitian Dan
Pengabdian Kepada Masyarakat, 2.2 (2015), 204–9
<https://doi.org/10.24198/jppm.v2i2.13280>

Mannan, Audah, and I Pendahuluan, ‘Esensi Tasawuf Akhlaki Di Era


Modernisasi’, Jurnal Aqidah-Ta, 1.1 (2018), 36–56

Muhammad Ngafifi, ‘Kemajuan Teknologi Dan Pola Hidup Manusia Dalam


Perspektif Sosial Budaya’, Jurnal Pembangun Pendidikan: Fondasi Dan
22

Aplikasi, 2.3 (2014), 33–47

Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006),


Muzakkir, Muzakkir, ‘Relevansi Ajaran Tasawuf Pada Masa Modern’, MIQOT:
Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 35.1 (2011), 37–58
<https://doi.org/10.30821/miqot.v35i1.130>

Putra, Andi Eka, ‘Tasawuf Sebagai Terapi Atas Problem Spiritual Masyarakat
Modern’, Al-Adyan, VIII.1 (2013), 45–57

———, ‘Tasawuf Sebagai Terapi Atas Problem Spiritual Masyarakat Modern’,


Al-Adyan, VIII.1 (2013), 45–57

Saefulloh, Moh., ‘Tasawuf Sebagai Solusi Alternatif Dalam Problematika


Modernitas’, ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman, 2.2 (2014), 207
<https://doi.org/10.15642/islamica.2008.2.2.207-216>

Sodiman, ‘Menghadirkan Nilai-Nilai Spritual Tasawuf Dalam Proses Mendidik’,


Al-T’dib, 6.1 (2014), 330–44

Syukur, M Amin, ‘Sufi Healing : Terapi Dalam Literatur Tasawuf’, Walis, 20.2
(2012), 391–412
Zulkarnaini, Zulkarnaini, ‘Dakwah Islam Di Era Modern’, Risalah, 26.3 (2015),
151–58

Anda mungkin juga menyukai