PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu islam yang menekankan dimensi
atau aspek spiritual dari islam. Tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya dari
pada aspek jasmaninya, dalam kaitannya dalam kehidupan, tasawuf lebih
menekankan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia yang fana. Sedangkan
dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ia lebih menekankan aspek
esoterik dari pada eksoterik, lebih menekankan penafsiran batiniah dari pada
penafsiran lahiriah.1
Dari segi linguistik atau segi kebahasaan tasawuf dapat dipahami sikap
mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela
berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang
demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.2
Adapun pengertian tasawuf menurut istilah atau pendapat para ahli amat
bergantung kepada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Selama ini
ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf,
yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk
yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Jika tiga
sudut pandang tersebut dihubungkan, maka tampak bahwa tasawuf pada intinya
adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan
dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan
dekat dengan Allah SWT. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang
berhubungan dengan pembinaan mental dan rohaniah agar selalu dekat dengan
Tuhan.
Islam memiliki sistem keagamaan yang lengkap dan utuh, ketika masih
tersimpan dalam Kitab Suci dan Hadis. Tetapi, ketika islam melalui otak manusia
ditransformasikan ke kitab-kitab fiqh, lantaran roh spiritualitasnya sering
1
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 2.
2
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 179.
1
diabaikan. Suasana zaman telah menggoyahkan nilai-nilai formalitas sebagai
patokan hidup. Banyak konflik yang tak tercerna melalui solusi sosiologis, politis,
dan kultural, sementara agama yang menjelma dalam simbol-simbol lahiriah telah
terseret oleh wabah materialisme dan komersialisme.
Tidak sedikit yang beranggapan bahwa, tasawuf itu adalah ilmu yang jauh
dari kata modern, apalagi untuk kehidupan pada zaman sekarang ini. Namun pada
makalah ini penulis akan mencoba mengupas bagaimana hubungan tasawuf
dengan kehidupan modern zaman sekarng ini. Tasawuf yng bagaimana yang dapat
digunakan untuk kehidupan sekarang ini. Berikut penjelasannya ;
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana masyarakat modern dan problematikanya ?
2. Bagaimana pengembangan akhlak tasawuf pada era modern ini ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui problematika yang terjadi pada masyarakat modern.
2. Untuk mengetahui pengembangan akhlak tasawuf pada era modern ini.
2
BAB II
3
Solihin, M., dan Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), hlm. 254
3
c. Menghargai waktu, yakni selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang
sangat berharga dan perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dan seefisien
mungkin.
d. Berpikir jauh ke depan dan tidak berpikir untuk kepentingan sesaat, sehingga
selalu melihat dampak sosialnya secara lebih jauh.
e. Bersikap terbuka, yakni mau menerima saran dan masukan, baik berupa kritik,
gagasan, dan perbaikan diri darimana pun datangkan.
Harvey Cox berpendapat bahwa proses modernisasi dan arus globalisasi tidak
mematikan agama, sebaliknya justru menggiring manusia ke jalan buntu,
sehingga terpaksa mencari ke ladang illahi. Demikian pula pandangan Abraham
Maslow, menurutnya modernisasi hanya memuaskan kebutuhan lahiriah. Padahal
manusia akan tetap gelisah selama kebutuhan dasarnya yang batiniah dan ilahiyah
tidak terpenuhi.
4
Bukan tidak mungkin bahwa survaifnya surfisme adalah karena
perkembangan kemodernan itu sendiri, atau setidaknya resiko sebuah perubahan
yang dominasi sebuah aspek-aspek materil. Fenomena sufisme di tengah
masyarakat yang terus beradap tasi terhadap nilai-nilai baru seakan merupakan
gerakan melawan arus transformasi. Mereka masih bertahan dengan kepercayaan
tradisional, dan sangat kuat mendambakan kepuasaan batin.
5
falsafi. Ia biasa diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan
tempat dimanapun.4
4
Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali pers, 2013), hlm. 100-101
6
3. Meresapkan rasa agama,pengalaman batin dan jiwa beragama, dan itulah yang
dinamakan Tajalli.
Dewasa ini banyak distorsi pemahaman terhadap hakikat tasawuf serta jati
diri pelakunya(sufi). Kaitannya dengan modrenitas, modrenitas itu muatannya
matrealistik dan ujungnya lagi lebih ke sekuler. Akhirnya terjadi kontradiksi antara
modrenitas dengan sufisme itu. Masalahnya kehidupan itu tidak bisa menghindari
modrenitas. karena perlu ada keterpaduan antar fungsi, sufisme dan modrenitas.
modrenitas sesungguhnya tidak bertentangan dengan suf, sebab manusia terdiri dari
jiwa dan raga. Sufisme harus menjadi pembimbing bagi modrenitas. Sufi akan
mengembalikan jiwa, menguasai materi, bukan sebaliknya, justru jiwa dikuasai
materi. Dan bagaimana memanusiakan nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai
ketuhanan itu menyatu dalam diri manusia. Jika bicara modrenitas, tidak akan lepas
dari rasionalitas, efisiensi, demokrasi, pengakuan pada prulalisme dan hak asasi
manusia. Semua ini tidak bertentang dengan tasawuf, manusia terdiri dari jiwa dan
raga, maka kebutuhan akan hal-hal yang sifatnya material juga harus dipenuhi.
Dalam rangka memenuhi yang material seharusnya sufisme berfungsi. Artinya
kebutuhan materi manusia dapat diatur oleh etika atau moral itu.
Menurut tasawuf, dunia sebagai sarana untuk menuju tujuan. Orang boleh
mengejar kekayaan, namun juga dianggap sebagai tujuan akhir dunia, seharusnya
sebagai sarana memperkaya dan meningkatkan hal-hal yang bersifat ukhrawi. Oleh
karena itu agar sufisme bisa menjadi jalan keluar menghadapi tantangan
modrenitas, para pemeluk sufi jangan lagi berperilaku eklusif atau memisahkan diri
dari modrenitas. Sebab modrenitas sendiri tidak bisa dihindari atau merupakan
sebuah keniscayaan. Jika ada sebagian muslim berupa membuat garis pemisah
antara sufi dan modrenitas, artinya penganut sufi tidak mau peduli dengan
modrenitas, karena hal itu merupakan bentuk penyelewengan. Pendapat itu
merupakan kekeliruan besar, karena modrenitas tidak bisa dihindari dan manusia
tidak dapat membendung kehadirannya.
7
Masyarakat Barat sering sekali memandang Islam secara legal-formal belaka dan
tidak tahu bahwa Islam memiliki dimensi esoteris (batiniah) yang kaya. Karenanya,
sisi esoteris Islam dan dimensi tasawufnya perlu diperkenalkan kepada masyarakat
Barat secara segar dan kontekstual sesuai dengan kondisi zaman. Ironisnya, selama
ini masyarakat Barat menganggap bahwa sufisme merupakan salah satu penyebab
melemahnya daya juang umat Islam sendiri.
Sayyed Hossein Nasr menegaskan bahwa tasawuf, sufisme, dan tharikat atau jalan
ruhani merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan (esoteric) dari Islam itu
sendiri yang menjadi jiwa dari risalah islam, sementara jantungnya berakar pada
Alquran dan Sunnah. Untuk itu, tasawuf, sufisme, dan tharikat mampu
mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang tampaknya berserakan.6
5
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 293-294
6
Solihin, M., dan Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), hlm. 258
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Masyarakat modern ialah masyarakat yang cenderung menjadi sekuler.
Pandangan dunia sekuler, hanya mementingkan kehidupan duniawi, telah
secara signifikan menyingkirkan mereka dari segala aspek spiritualitas.
Akibatnya mereka hidup secara terisolir dari dunia-dunia lain yang
bersifat nonfisik, yang diyakini adanya oleh para sufi. Mereka menolak
segala dunia nonfisik seperti dunia imajinal atau spiritual sehingga
terputus hubungan dengan segala realitas-realitas yang lebih tinggi
daripada entitas-entitas fisik. Bagi mereka, kehidupan dimulai di dunia ini
dan berakhir juga di dunia ini, tanpa tahu dari mana ia berasal dan hendak
kemana setelah ini ia pergi. Akibatnya, mereka hanya berkutat di satu
dunia ini saja, seakan mereka tidak pernah punya asal dan tempat kembali.
2. Tasawuf, sufisme, dan tharikat atau jalan ruhani merupakan dimensi
kedalaman dan kerahasiaan (esoteric) dari Islam itu sendiri yang menjadi
jiwa dari risalah islam, sementara jantungnya berakar pada Alquran dan
Sunnah. Untuk itu, tasawuf, sufisme, dan tharikat mampu
mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang tampaknya berserakan.
9
DAFTAR PUSTAKA
10