Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

Tasawuf , Zuhud, Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf, Tasawuf Akhlaki


dan Tasawuf Hasan Al-Bashri, Ibrahim ibn Adham, dan Sufyan Ats-
Tsaury

Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Studi Islam

Dosen Pengampu : Dra. Rd. Siti Sa’adah, M.Ag.

DISUSUN OLEH :

Prakash Aditya Damar Putra (11200210000010)

Shalna Puteri Riannisha (11200210000019)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

BAHASA DAN SASTRA ARAB

JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas izin dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa kurang suatu apa pun.
Tak lupa pula kami haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad
SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.

Penyusunan makalah berjudul ‘Tasawuf , Zuhud, Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf,
Tasawuf Akhlaki dan Tasawuf Hasan Al-Bashri, Ibrahim ibn Adham, dan Sufyan Ats-
Tsaury’ bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Islam. Pada makalah diuraikan
pengertian Tasawuf, ruang lingkup dan sumber sumber ajarannya. Selain itu pada makalah ini
juga diuraikan pengertian dari Zuhud, tokoh-tokoh dan alirannya. Maqamat dan Ahwal dalam
Tasawuf, Tasawuf Akhlaki: Takhalli, Tahalli, Tajalli, serta pembahasan tentang Tasawuf
Hasan Al-Bashri, Ibrahim ibn Adham, dan Sufyan Ats-Tsaury.

Akhirul kalam, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar
harapan kami agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan saran.
Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.

Sukabumi , 30 September 2020

penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…..........................................................................i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………

A. Latar Belakang………………………………………………………………..
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………
C. Tujuan …………………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………...

A. Tasawuf , ruang lingkup dan sumber ajarannya…………………..


B. Zuhud , tokoh-tokoh dan alirannya…………………………………
C. Maqamat dan Ahwal………………………………………………….
D. Tasawuf Akhlaki: Takhalli, Tahalli, Tajalli………………………………
E. Tasawuf Hasan Al-Bashri, Ibrahim ibn Adham, dan Sufyan Ats-Tsaury…….

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………

A. Kesimpulan…………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..iii
ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu tujuan hidup umat manusia menurut Islam adalah mengabdikan diri kepada
Allah Swt. Secara umum yang dikatakan pengabdian mencakup berbagai aktivitas manusia
yang sifatnya baik (positif). Namun secara lebih khusus, sebagian orang melakukan praktek-
praktek ibadah yang lebih maksimal, dan menurut mereka keadaan seperti itu adalah sebaik-
baik upaya mendekatkan diri kepada Allah. Setiap orang tentunya memiliki tingkatan yang
berbeda dalam pengabdian diri kepada Tuhannya, maka dari itu dalam ilmu tasawuf juga
dapat dibedakan dalam berbagai tingkatan.

Pengertian tasawuf kurang lebih meliputi mendekatkan diri pada Tuhan, mensucikan diri,
atau menjauhkan diri dari kemewahan. Tasawuf dapat mempertebal iman seseorang, memperkuat
ketauhidan, memperluas ladang amal, membersihkan jiwa, serta memperkuat ihsan. Jika sudah
demikian, maka seseorang akan lebih mengenal Allah dan ingin mencari keridloan-Nya semata
sehingga secara otomatis akan meningkatkan akhlak seseorang itu sendiri. Dalam tasawuf,
sebelum menjadi seorang sufi, para calon sufi harus melalui beberapa tingkatan (maqam).
Dalam tingkatan-tingkatan tersebut, zuhud menjadi salah satunya yang harus dilalui oleh
calon-calon sufi tersebut.

Zuhud menjadi bagian penting para sufi dalam bertasawuf. Zuhud


berarti mengosongkan hati dari sesuatu yang bersifat duniawi atau meninggalkan hidup
kematerian. Zuhud menjadi salah satu jalan dalam bertasawuf. Hal ini terbukti di kalangan
sufi yang meyakini bahwa tasawuf lahir dan muncul karena pribadi, perilaku, peristiwa,
ibadah, dan kehidupan Rasulullah. Adapun dalam bertasawuf, Rasulullah juga berzuhud.
Beliau tidak terpesona oleh kemewahan dunia, menyedikitkan urusan dunia, dan menjalani
segala kecukupan yang ada.

Membicarakan Tasawuf berarti memperbincangkan maqamat dan ahwal. Keduanya


dapat dikatakan sebagai rukun atau fondasi tasawuf. Tak mungkin ada tasawuf, baik ia
sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai amalan, tanpa kehadiran maqamat dan ahwal.
Tasawuf merupakan suatu ajaran untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Allah
bahkan kalau bisa menyatu dengan Allah melalui jalan dan cara, yaitu Maqamat dan Ahwal.

Maqam adalah kedudukan seseorang yang menunjukkan kedekatannya kepada Allah Swt.
Posisi tersebut tidak diperoleh begitu saja, tetapi harus melalui proses yang sungguh-
sungguh. Dengan kata lain, dapat juga dipahami bahwa proses yang dilalui oleh para sufi
untuk mencapai derajat tertinggi harus melalui maqammaqam yang banyak, dari maqam
paling rendah sampai tertinggi.

Sedangkan Ahwal adalah kondisi seseorang yang menunjukkan kedekatannya kepada


Tuhan mereka tanpa dilalui latihan-latihan spiritual. Dengan kata lain Ahwal adalah kondisi
atau status seorang hamba terhadap Tuhannya yang merupakan anugerah dari Tuhan, tanpa
melalui usaha berupa latihan maupun pembelajaran.

Dengan demikian antara maqamat dan ahwal merupakan dua prinsip dalam kajian
tasawuf yang tidak bisa dipisahkan. Maqamat dengan usaha dan kerja keras yang maksimal;
kemudian hasilnya merupakan anugerah dari Allah SWT berupa perasaan dan keadaan-
keadaan (ahwal) yang dialami oleh seorang menjalani disiplin spiritual dalam menempuh
jalan sufisme Islam untuk membersihkan dan memurnikan jiwanya menuju Tuhannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu tasawuf ,ruang lingkupnya dan sumber ajarannya?
2. Apa itu zuhud, tokoh-tokohnya dan alirannya?
3. Apa pengertian dari maqamat dan ahwal?
4. Apa pengertian dari tasawuf akhlaki dan pendekatan apa yang digunakan?
5. Siapa saja tokoh yang berperan dalam tasawuf?
C. Tujuan
1. Dapat memahami ilmu tasawuf baik dari sisi pengertian hingga ruang lingkup dan
sumber ajaran dari ilmu tasawuf.
2. Agar dapat menjabarkan dan memahami tentang zuhud serta tokoh dan alirannya.
3. Untuk mengetahui hubungan antara maqamat dan ahwal dengan ilmu tasawuf.
4. Untuk mengetahui pengertian tasawuf akhlaki beserta pendekatan yang digunakan
dalam tasawuf akhlaki.
5. Untuk mengetahui perjalanan tasawuf dari tokoh tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tasawuf, Ruang lingkup dan Sumber ajarannya


a. Pengertian Tasawuf

ْ ‫ تصو‬- ‫” تصوّف – يتصوّق‬


Istilah tasawuf berasal dari bahasa Arab dari kata ” ‫ّف‬
mengandung makna (menjadi) berbulu yang banyak, yakni menjadi seorang sufi atau
menyerupainya dengan ciri khas pakaiannya terbuat dari bulu domba/wol (suf), walaupun
pada prakteknya tidak semua ahli sufi pakaiannya menggunakan wol. Menurut sebagian
pendapat menyatakan bahwa para sufi diberi nama sufi karena kesucian (shafa) hati mereka
dan kebersihan tindakan mereka. Di sisi yang lain menyebutkan bahwa seseorang disebut sufi
karena mereka berada dibaris terdepan (shaff) di hadapan Allah, melalui pengangkatan
keinginan mereka kepada-Nya. Bahkan ada juga yang mengambil dari istilah ash-hab
alShuffah, yaitu para shahabat Nabi SAW yang tinggal di kamar/serambiserambi masjid
(mereka meninggalkan dunia dan rumah mereka untuk berkonsentrasi beribadah dan dekat
dengan Rasulullah SAW).

Ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang
memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian, saling
mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah Swt dan mengikuti
syari’at Rasulullah Saw. Dalam mendekatkan diri dan mencapai riḍa-Nya. Tasawuf sendiri
adalah upaya untuk membebaskan diri dari sifat-sifat kemanusiaan demi meraih sifat-sifat
malaikat dan akhlak ilahi, serta menjalani hidup pada poros ma’rifatullah dan maḥabbatullah
sembari menikmati kenikmatan spiritual. Sedang sebuah ungkapan yang disematkan kepada
para ahli tasawuf disebut sufi. Sufisme atau orang-orang yang tertarik pada pengetahuan
sebelah dalam, orang-orang yang berupaya mencari jalan atau praktik amalan yang dapat
mengantarkannya pada kesadaran dan pencerahan hati adalah orangorang yang mengikuti
jalan penjernihan diri, penyucian hati dan meningkatkan kualitas karakter dan perilaku
mereka agar mencapai tahapan (maqaam) orang-orang yang menyembah Allah seolah-olah
mereka melihat-Nya dan jikalau tidak Dia selalu melihat mereka. Tujuan para sufi adalah
ma’rifatullah yang dalam perjalanannya melalui beberapa tahap seperti syariat, ṭarῑqah,
hakekat dan ma’rifat. Ma’rifat adalah tujuan akhir dari tasawwuf, yang mana didikannya pun
berpindah dari hakekat ke ma’rifat yaitu mengenal Tuhan sebaik-baiknya.
Tasawuf dalam Islam sendiri memiliki beberapa bagian yaitu, tasawuf klasik dan
tasawuf modern. Tasawuf klasik adalah tasawuf yang dilakukan oleh para sufi dengan cara
meninggalkan kenikmatan dunia dalam hidupnya dengan pola hidup yang sangat sederhana
serta menjauhkan diri dari keramaian duniawi untuk beruzlah dengan tujuan mendekatkan
diri kepada Allah hingga merasakan kedekatan yang sesungguhnya pada Tuhan Nya.

Pada beberapa waktu akhir-akhir ini muncul disiplin keilmuan bary yang disebut
dengan tasawuf modern, yaitu ilmu tasawuf yang dilakukan oleh para sufi tanpa
meninggalkan kesenangan atau kenikmatan duniawi, bahkan dalam tasawuf modern
menekankan seorang sufi diwajibkan untuk membangun dunia ini sbagaimana tugas kita
sebagai manusia di bumi ini adalah sebagai khalifah di bumi, yang mempunyai tanggung
jawab untuk memakmurkan bumi seisinya serta membebaskannya dari tangan-tangan atau
perilaku orang yang tidak bertanggung jawab untuk merusak bumi ini serta menolong para
manusia yang yang berbudi pekerti buruk untuk memperbaiki budi pekerti tersebut sesuai
aturan hukum agama.

Dengan demikian tasawuf atau sufisme adalah suatu istilah yang lazim dipergunakan
untuk mistisisme dalam Islam dengan tujuan pokok memperoleh hubungan langsung dengan
Tuhan. Dalam hal ini pokok-pokok ajarannya tersirat dari Nabi Muhammad SAW yang
didiskusikan dengan para sahabatnya tentang apa-apa yang diperolehnya dari Malaikat Jibril
berkenaan dengan pokok-pokok ajaran Islam yakni: iman, islam, dan ihsan. Ketiga sendi ini
diimplementasikan dalam pelaksanaan tasawuf.

b. Ruang lingkup tasawuf

Ilmu tasawuf yang pada dasarnya bila dipelajari secara esensial mengandung empat
unsur, yaitu :

1. Metafisika, yaitu hal-hal yang di luar alam dunia atau bisa juga dikatakan sebagai
ilmu ghoib. Di dalam Ilmu Tasawuf banyak dibicarakan tentang masalah-masalah keimanan
tentang unsur-unsur akhirat, dan cinta seorang sufi terhadap Tuhannya.

2. Etika, yaitu ilmu yang menyelidiki tentang baik dan buruk dengan melihat pada
amaliah manusia. Dalam Ilmu Tasawuf banyak sekali unsur-unsur etika, dan ajaran-ajaran
akhlak (hablumminallah dan hablumminannas).

3. Psikologi, yaitu masalah yang berhubungan dengan jiwa. Psikologi dalam


pandangan tasawuf sangat berbeda dengan psikologi modern. Psikologi modern ditujukan
untuk menyelidiki manusia bagi orang lain, yakni jiwa orang lain yang diselidikinya.
Sedangkan psikologi dalam tasawuf memfokuskan penyelidikan terhadap diri sendiri,yakni
diarahkan terhadap penyadaran diri sendiri dan menyadari kelemahan dan kekurangan dirinya
untuk kemudian memperbaiki menuju kesempurnaan nilai pribadi yang mulia.

4. Estetika, yaitu ilmu keindahan yang menimbulkan seni. Untuk meresapkan seni
dalam diri, haruslah ada keindahan dalam diri sendiri. Sedangkan puncak keindahan itu
adalah cinta. Jalan yang ditempuh untuk mencapai keindahan menurut ajaran tasawuf adalah
tafakur, merenung hikmah-hikmah ciptaan Allah. Dengan begitu akan tersentuh kebesaran
Allah dengan banyak memuji dan berdzikir kehadirat-Nya. Oleh karena itu, dengan
senantiasa bertafakur dan merenungkan segala ciptaan Allah, maka akan membuahkan
pengenalan terhadap Allah (ma’rifat billah) yang merupakan keni’matan bagi ahli sufi. Hal
ini bersumber pada mahabbah, rindu, ridlo melalui tafakkur, dan amal-amal shalih.

Menurut analisa Prof. Dr. H.M. Athoullah Ahmad, MA. bahwa obyek pembicaraan
Ilmu Tasawuf itu meliputi tentang akal dan ma’rifat kemudian membahas mengenai hati dan
riyadhah (latihan dalam spiritual). Adapun status Ilmu Tasawuf yaitu menuntun sesuai
dengan petunjuk, dan membuang apa yang tidak sesuai dengan tuntunan yang berlaku.
Kemudian sekuat tenaga menuju ke jalan Ilahi.

Menurut Abu Jihaduddin Rifqi al Hanif dalam bukunya Ilmu dan Ma’rifat bahwa
yang dimaksud dengan ma’rifat adalah bahwa manusia harus mengenal empat perkara yaitu:

1. Mengenal dirinya. Yang dimaksud mengenal dirinya adalah bahwa manusia


merasa sebagai hamba Allah, yang rendah dan butuh kepadaNya.

2. Mengenal Tuhannya. Arti mengenal Tuhannya yaitu bahwa ia tahu benar dan yakin
bahwa Allah Ta’ala yang berhak dipertuhan Yang Maha Agung dan Maha Kuasa.

3. Mengenal Dunia. Yang dimaksud mengenal dunia adalah bahwa dia mengetahui
hakekat dunia, mengenal dunia yang terpuji dan dunia yang tercela, sehingga dapat
menempatkan diri hidup di dunia ini. Mana yang halal dan mana yang haram.

4. Mengenal akhirat. Sedangkan yang dimaksud mengenal akhirat adalah mengetahui


keadaan akhirat, mengenal nikmat-nikmatNya dan mengenal siksa-siksaNya sehingga dengan
mengenal akhirat ini manusia akan merasa bahwa pada waktunya nanti dia akan hidup di
sana.
Dalam mencapai ma’rifat para sufi menunjukkan dengan berbagai aliran yang
dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (ṭarῑqah) menuju Allah SWT. Jalan ini
dimulai dengan latihan-latihan (riyāḍah) lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang
dikenal dengan maqam (tingkatan) dan ḥāl (keadaan), dan berakhir dengan mengenal
(ma’rifah) Allah SWT.

c. Sumber Ajaran

Sumber pokok tasawuf dalam Islam adalah bermula dari pangkal ajaran agama Islam
itu sendiri. Walaupun sebagian ahli ada yang mengatakan bahwa tasawuf Islam itu timbul
sebab adanya pengaruh dari luar Islam. Dan kata sufi sendiri tidak disebutkan atau
diterangkan dalam Al-Qur`an maupun Al-Hadits. Namun, apabila kita mencari dan
menyelidiki secara seksama pada ayat-ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka banyak sekali
didapati dari ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits itu yang berfungsi sebagai sumber tasawuf.

Al-Qur`an dan Al-Hadits merupakan kerangka acuan pokok yang selalu dipegang
umat Islam. Kita sering mendengar pertanyaan dalam kerangka landasan dalil naqli ini, “apa
dasar Al-Qur`an dan Al-Hadits nya?” pertanyaan ini sering terlontar dalam benak pikiran
kaum muslimin ketika hendak menerima atau menemukan persoalan-persoalan baru atau
persoalan-persoalan unik yang mereka temui, termasuk dalam pembahasan tasawuf. Berikut
ini merupakan sumber-sumber tasawuf :

1.      Al-Qur`an
Al-Qur`an adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat), diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW., penutup para Nabi dan Rasul dengan perantaraan Malaikat Jibril,
dimulai dengan surat Al-Fatiha dan di akhiri dengan surat An-Naas, dan ditulis dalam
mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), serta
mempelajarinya merupakan suatu ibadah. Dalam Islam Al-Qur`an adalah hukum tertinggi
yang harus ditaati, mengingat bahwa Al-Qur`an merupakan firman Allah yang langsung
ditransferkan untuk umat manusia yang sudah melengkapi kitab-kitab samawi sebelumnya.
2.      Al-Hadits

Hadits yang jamaknya ahadits memiliki padanan kata yang cukup beragam. Dari sisi
bahasa, hadits dapat diartikan baru sebagai lawan dari kata qadim (yang berarti lama, abadi
dan kekal). Pengistilahan hadits sebagai ucapan, perbuatan, taqrier dan hal ihwal tentang
Nabi Muhammad dimaksudkan untuk membedakan hadits dengan Al-Qur`an yang diyakini
oleh ahlus sunnah wal jama`ah sebagai firman Allah yang qadim.
Sebagaimana yang diketahui bahwa Al-Hadits merupakan sumber hukum Islam yang
kedua. Sehingga dalam kajian ilmu keagamaan pun Al-Hadits tetap menjadi rujukan setelah
Al-Qur`an.

3.      Ijtihad Para Sufi

Ijtihad para sufi dimaksudkan untuk menguraikan pemikiran-pemikiran para sufi


mengenai tasawuf. Dan ini dapat digunakan sebagai sumber hukum ketiga dalam tasawuf.
Berikut tokoh-tokoh sufi beserta pemikiran dan pandangannya dalam kajian tasawuf,
diantaranya:

a.       Dzun Nun Al-Mishri

b.      Abu Yazid Al-Busthami

c.       Al-Junaid Al-Baghdadi

d.      Al-Ghazali

e.       Ibnu `Arabi

B. Zuhud, Tokoh-tokoh dan Aliran


a. Konsep zuhud

Secara etimologis, zuhud berarti ragaban ‘ ansya’in watarakahu, artinya tidak


tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.

Berarti tentang zuhud secara terminologis, maka tidak bisa di lepaskan dari dua
hal: yang pertama zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua
zuhud sebagai moral (akhlak) islam dan gerakan protes.

Apabila tasawuf diartikan adanya komunikasi langsung antara manusia dengan


Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu stasiun (maqam)
menuju tercapainya ”perjumpaan” atau ma’rifat kepadaNya.

Klasifikasi arti zuhud ke dalam dua pengertian tersebut sejalan dengan makna
ihsan. Yang pertama berarti ibadah kepada Allah seakan-akan melihatnya dan zuhud
sebagai salah satu maqam menuju kesana, dan yang kedua arti dasar ihsan adalah
berbuat baik.

Menurut abdulah bin Al-Mubarak, zuhud artinya percaya kepada Allah dengan
disertai kecintaan kepada kemiskinan. Pendapat yang sama juga dinyatakan syaqiq
dan Yusuf bin Asbath. Yang pasti para ulama sudah bersepakat bahwa zuhud itu
merupakan perjalanan hati dari kampung dunia dan menempatkannya di akhirat.

Menurut istilah, zuhud berarti berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang
bersifat material atau kemewahan duniawi dengan mengharap dan menginginkan sesuatu
wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akherat. Dari beberapa uraian
tersebut, dapat disimpulkan. Bahwasannya, zuhud adalah suatu upaya untuk mendapat ridho
Allah dengan cara tidak tergiur akan kehidupan dunia.

Dalam berzuhud, seseorang diharapkan dapat tidak mengutamakan kehidupan dunianya.


Namun, zuhud bukanlah berarti harus meninggalkan kehidupan dunia dan hanya memikirkan
akan kehidupan akhirat saja. Jika hal ini diamalkan, maka akan sangatlah bertentangan
dengan syari’at Nabi Muhammad Saw. Seperti yang kita ketahui, Nabi Muhammad adalah
seseorang yang zahid, tetapi selalu memikirkan keluarga dalam urusan duniawi. Beliau rajin
bekerja untuk memenuhi kebutuhan duniawinya dan menganggapnya sebagai ibadah. Tidak
hanya nabi yang pernah berzuhud dan menjadi seorang yang zahid. Sahabat nabi pun juga
demikian. Umar bin Al-Khatab, misalnya.

Zuhud ini ada enam macam yaitu Harta, rupa ,kekuasaan, manusia, nafsu, dan hal-hal
selain Allah. Dan seseorang itu tidak layak mendapat sebuah zuhud kecuali menghindari
enam macam tersebut. Yang paling baik dari pengertian zuhud dan yang paling menyeluruh
adalah seperti yang dikatakan Al-hasan,”zuhud di dunia bukan berarti mengharamkan yang
halal dan menyia-nyiakan harta, tetapi jika engkau lebih meyakini apa yang ada di tangan
Allah dari pada apa yang ada di tanganmu, dan jika ada musibah yang menimpamu, maka
pahala atas musibah itu lebih engkau sukai daripada engkau tidak di timpa musibah sama
sekali.

Orang-orang saling berbeda pendapat, apakah zuhud ini masih memungkinkan pada
zaman sekarang ini ataukah tidak? Dan menurut Abu hafsh, zuhud tidak berlaku kecuali
dalam hal-hal yang halal. Sementara di dunia saat ini sudah tidak ada yang halal, yang berarti
tidak ada lagi zuhud.
Macam-macam zuhud dan Tingkatannya

 Zuhud sendiri sebenarnya memiliki beberapa tingkatan. Setiap tingkatan zuhud memiliki
kategori para zahid yang berbeda-beda dalam melakukan zuhud. Pertama, zuhudnya orang
awam yaitu zuhud dengan cara meninggalkan sesuatu yang haram di dunia ini. Kedua,
zuhudnya orang khawas yaitu dengan cara meninggalkan hal-hal keduniaan yang bersifat
haram serta mubah. Terakhir, zuhudnya orang arifin yaitu dengan berzuhud kepada semua hal
yang dimurkai Allah karena tak ingin ditinggalkan oleh Allah.

Adapun tingkatan yang lain yaitu:

1. Orang yang merasa berat untuk bersikap zuhud terhadap dunia. Ia berjuang
untuk meninggalkannya, pada hal ia sangat mengiginkannya. Orang seperti ini
disebut mutazahhid (orang yang masih belajar untuk berzuhud), dan ini adalah
langkah awal untuk menuju zuhud. Semoga saja ia menjadi orang zuhud di
kemudian hari.
2. Orang yang meninggalkan dunia (berzuhud) dengan suka rela karena ia
menggangapnya hina, namun ia masih punya hasrat terhadap dunia, Ia seperti
orang yang meninggalkan satu dirham demi mendapatkan dua dirham. Hal seperti ini
tidaklah berat baginya, namun ia tetap tidakterbebas dari sikap memperhatikan
sesuatu yang ditinggalkannya dan masih memperhatikan kondisi dirinya. Sikap ini
masuk kategori zuhud, namun masih belum sempurna.[6]
3. Orang yang menganggap dunia tidak ada arti baginya. Ia menjadi seperti seorang
yang meninggalkan setumpuk kotoran untuk mengambil mutiara,

Namun tidak menganggap hal demikian sebagai bentuk ganti rugi. Ia berpandangan
bahwa penjauhan diri terhadap dunia yang di hubungkan dengan kenikmatan akhirat atau
Allah adalah lebih hina dari pada meninggalkan setumpuk kotoran yang dihubungkan dengan
mutiara. Jadi disini tidak ada hubungan antara satu sama lain yang didasarkan untuk
memperoleh ganti rugi (atau akhirat) karena meninggalkan dunia. Namun di atas itu masih
ada satu tingkat lagi, yaitu orang yang meninggalkan daripada hatinya yang lain dari pada
Allah, baik duia maupun akhirat.

Seseorang yang berzuhud sudah pasti karena ingin berada dekat dengan Allah Swt. Oleh
karena itu, dia akan berusaha untuk mencapai tujuan tersebut. Dia akan mencintai Allah
melebihi dirinya sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan. Bahwa, zuhud bukan sama sekali
meninggalkan atau tidak boleh memiliki sesuatu, tetapi lebih berarti dapat memiliki. Namun,
janganlah sampai mencintainya. Mencintai dunia berarti mencintai hal yang fana, yang
mudah rusak dan akhirnya musnah.

b. Tokoh-tokoh

Pada dasarnya zuhud mempunyai persamaan makna yaitu, tidak rakus kepada dunia, tidak
serakah, tidak tamak, tidak panjang angan-angan terhadap dunia. Hatinya telah dimatikan
kepada dunia kecuali sekedar kebutuhan yang dapat menyampaikan orang menuju kepada
ketenangan dan kesempurnaan ibadah. Oleh sebab itu,  orang zuhud tidak berlebih-lebihan
dalam makanan, dalam kesenangan, meskipun hal itu bisa dia lakukan. Sebagaimana Sabda
Rasulullah : “Tiada hak bagi anak Adam kecuali beberapa perkara ini: Rumah yang
ditempatinya, pakaian yang menutupi auratnya dan roti kering serta air.” (HR. Tirmidzi).
Pengamalan zuhud para tokoh-tokoh tasawuf atau sufi yang terkenal pada masa, diantaranya :

1.  Hasan Al-Bashri

Hasan al Bashri Nama lengkapnya adalah al-Hasan bin Abi al-Hasan Abu Said. Dia
dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H.

Hasan al-Basri adalah seorang zahid yang termasyhur dikalangan tabi’in. prinsip
ajarannya yang berkaitan dengan hidup kerohanian senantiasa diukurnya dengan sunnah
Nabi. Dasar pendirian Hasan al-Basri adalah hidup zuhud terhadap dunia, menolak segala
kemegahannya, meninggalkan kenikmatan dunia hanya semata menuju kepada Allah,
memperkuat tawakal, khauf terhadap siksaannya, dan raja’ terhadap karunia-Nya.

2.  Sufyan al-Tsaury

Nama lengkapnya ialah Sofyan bin Sa’id Atstsauri lahirdi Kuffah 97 H,meninggal di
Bashrah 161 H. Ia adalah seorang zahid pada masa tabi’in. hidup keruhaniaannya, menjurus
kepada hidup yang bersahaja, penuh kesederhanaan, tidak terpukau dengan kemegahan dan
kemewahan dunia. 

Sufyan al-Tsauri termasuk zahid yang sangat berani, tidak takut dibunuh alam
mengemukakan kritik terhadap penguasa, beliau sangat mencela kehidupan para penguasa
yang bergelimang kemewahan, hidup berfoya-foya dengan kekayaan negara yang diperoleh
dari hasil ekspansi dan kemajuan Islam, sementara masih banyak rakyat yang hidup dalam
kemelaratan. Beliau dengan lantang memberi nasihat kepada umat Islam agar jangan
mengkuti peri kehidupan mereka yang telah rusak moralnya itu, yang jauh dari ajaran Nabi
dan para sahabat.

3.  Junaid Al-Baghdadi

 Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-
nihwandi.  Al-Junaid dikenal dalam sejarah tasawuf sebagai seorang sufi, ia menganggap
bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-
habisnya.

4.  Ibrahim bin Adham

Namanya adalah Abi Ishaq Ibrahim bin Adham, lahir di Balkh dari keluarga bangsawan
Arab. Dalam legenda sufi, ia dikatakan sebagai pangeran yang meningalkan kerajaannya, lalu
mengembara kearah barat untuk menjalani hidup sebagai seorang pertapa sambil mencari
nafkah yang halal hingga meninggal di negeri Persia kira-kira pada tahun 160.

5.   Ma’ruf Al-karkhi

Ma’ruf al-Karkhi adalah tokoh yang mengembangkan konsep ajaran cinta dalam
tasawuf. Di antara makna tasawuf yang dikembangkan Ma’ruf al-Karkhi ialah; tasawuf
adalah memperoleh hakikat (ma’rifat) dan tidak mengharap sama sekali apa yang berada di
tangan makhluk.

Berkenaan dengan cinta kepada Allah, Ma’ruf al-Karkhi mengatakan: cinta kepada-Nya


bukanlah diperoleh melalui pengajaran, ia merupakan pemberian atau karunia Tuhan. Cinta
kepada Allah menurutnya bukan termasuk posisi yang didapat melalui usaha melainkan
keadaan jiwa yang dikaruniakan oleh Allah. Bagi Ma'ruf, tasawuf merupakan sarana untuk
memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT.

c. Aliran Zuhud

Aliran zuhud atau Aksetisisme timbul pada akhir Abad I dan permulaan Abad II Hijriyah.
Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari Khalifah dan keluarga serta
pembesar-pembesar Negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam
meluas ke Syria, Mesir, Mesopotania dan Persia. Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran
Tasawuf bermula dari gerakan hidup Zuhud. Dengan istilah lain bahwa cikal bakal Aliran
Tasawuf adalah gerakan hidup Zuhud. Jadi sebelum orang Sufi lahir telah ada orang Zahid
yang secara tekun mengamalkan Ajaran-ajaran Islam, yang kemudian dikenal dengan Ajaran
Tasawuf.

1.  Aliran Madinah

Sejak masa yang dini di Madinah telah muncul para Zahid. Mereka kuat berpegang teguh
kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dan mereka menetapkan Rasuluallah sebagai panutan
kezuhudan. Diantara mereka dari kalangan sahabat adaah abu Ubaidah Al-Jarrah, Abu Zard
Al-Ghifari, Salman Al-Farisi, Abduallah Ibn Mas’ud, Hufaizah Ibnu Yaman. Sementara itu
dari kalangan Tabi’in diantaranya adalah Sa’id Ibnu Al-Masayyad dan Salim Ibnu Abduallah.
Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum Muslimin
(salaf), dan berpegang teguh pada Zuhud serta kerendahan hati Nabi. Aliran ini tetap
bercorak murni Islam dan konsisten pada Ajarn-ajaran Islam.

Selanjutnya, di Madinah muncul beberapa orang Zahid ternama, antara lain, seperti
Sa’id bin Musayyab (w. 91 H). menurut Ibn Khalikan, dia adlah tokoh Tabi’in kelas pertama.
Salim bin Abduallah bin Umar bin Al-Khattab pun tekenal sebagai salah seorang Tabi’in
Madinah yang cenderung pada kehidupan Zuhud. Kemudian, gerakan Zuhud juga muncul di
Mesir. Diantara tokoh-tokohnya pada Abad yang pertama Hijriyah adalah Salim bin Atar Al-
Tajibi.[34] Tokoh lainya adalah Abdurrahman bin Hujairah, yang menjabat sebagai hakim
agung Mesir tahun 69 Hijriyah, dan meninggal tahun 83 Hijriyah. Dia terkenal sebagai
seorang Zahid yang tekun beribadah. Sedangkan Zahid yang menonjol pada abad yang kedua
Hijriyah adalah Al-Lais bin Sa’ad. Sikap Zuhud dan kehidupannya yan sederhana begitu
terkenal. Dia lahir di Qalqasyandah, Mesir, salah satu kampung dipesisir laut merah, dan
meninggal tahun 175 Hijriyah di Mesir. Menurut Ibn Khalikan, dia seorang Zahid yang kaya
juga dermawan. Selain itu, dia pun seorang ahli hukum yang terkenal. 

2. Aliran Bashrah

Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya, bahwa pada Abad pertama dan
kedua Hijriyah terdapat dua Aliran Zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang
Lainnya di Kufah. Menurut Massignon orang-orang tinggal di Bashrah berasal dari Bani
Tami, mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal-hal
yang riil. Mereka adalah penganut Aliran Ahlussunnah tapi cenderung pada Alira-aliran
Mu’tazilah dan Qadariah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan Al-Basri, Malik Ibnu
Dinar, padahal Al-Raqqasyi, Rabbah Ibnu ‘Amru Al-Qissyi, Saleh Al-Murni atau Abdul
Zahid Ibnu Zaid. Corak yang menonjol dari dari para Zahid Bashrah ialah Zuhud dan rasa
takut yang berlebih-lebihan. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berkata: para Sufi muncul yang 
pertama dari Bashrah.

3. Aliran Kufah
Aliran kufah menurut Louis Massignon, berasal dari Yaman. Aliran ini bercorak
idealistis, menyukai hal-hal aneh dalam Nahwu, hal-hal imeg dalam puisi dan harfiah dalam
hal Hadist. Dalam Aqidah mereka cenderung pada Aliran Si’ah dan Raja Iyyah dan ini tidak
aneh, sebab Aliran Si’ah pertama kali muncul di kufah.

4. Aliran Mesir

Pada Abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat Aliran Zuhud yang lain, yang
dilupakan para orientalis dan Aliran ini tampaknya bercorak Salafi, seperti halnya Aliran
Madinah. Aliran tersebut adalah Aliran Mesir, sebagaimana diketahui, sejak penaklukan
Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu, misalnya Amru
Ibn Al-Ash, Abduallah Ibn Amru Ibn Al-Ash yang terkenal kezuhudannya, Zubair bin
Awwam dan Miqdad Ibnal-Aswad.

C. Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf


a. Maqamat
Maqamat adalah jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan
Allah. Dalam pandangan Ath-Thusi sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar dan M. Alfatih
bahwa maqamat adalah kedudukan hamba (salik) dalam perjalanannya menuju Allah SWT
melalui ibadah, kesungguhan melawan rintangan (al-mujahadat), dan latihanlatihan rohani
(ar-Riyadhah). Di antara tingkatan maqamat adalah: taubat, zuhud, wara’, faqir, sabar,
tawakkal, dan ridho. Secara umum pemahamannya sebagai berikut:
1. Taubat, yaitu memohon ampun disertai janji tidak akan mengulangi lagi.
2. Zuhud, yaitu meninggalkan kehidupan dunia (dalam hal kema’siyatan) dan
mengutamakan kebahagiaan di akhirat.
3. Wara’, yaitu meninggalkan segala yang syubhat (tidak jelas halal haramnya).
4. Faqir, yaitu tidak meminta lebih dari apa yang sudah diterima.
5. Sabar, yaitu tabah dalam menjalankan perintah Allah SWT dan tenang menghadapi
cobaan.
6. Tawakkal, yaitu berserah diri pada qada dan keputusan Allah.
7. Ridho, yaitu tidak berusaha menentang qada Allah.
Dalam konsep tasawuf, usaha mendekati Tuhan itu dilakukan melalui beberapa maqamat
(fase). Yang dimaksud di sini adalah kedudukan hamba di hadapan Tuhan Yang Maha Esa
dalam amaliah ibadah, mujahadah, riyadhah, dan terputus dari selain Allah. Maqamat itu
menurut sebagian pendapat antara lain : taubat, wara’i, zuhud, ridha, sabar dan tawakkal .
Para ahli tasawuf berbeda pendapat mengenai susunan tingkatantingkatan maqamat
(station-station). Dalam kaitan ini, Abu Nashr asSarraj ath-Thusi dalam kitab Al-Luma’ fi al-
Tashawwuf, menyebutkan tujuh maqam secara berurut, yaitu: taubat, wara’, zuhud, faqr,
sabar, tawakal, dan ridla.
Dari sekian perbedaan jumlah dan susunan maqamat itu, menunjukkan adanya
kesepakatan dalam penempatan awal maqam dengan menempatkan maqam taubat pada
urutan pertama. Ini membuktikan bahwa untuk memasuki perjalanan ruhani menuju Tuhan,
station pertama yang harus dimasuki adalah pintu taubat yang di dalamnya berlangsung
proses penyucian jiwa dari segala kotoran.

b. Ahwal

Teori lain yang hampir sama dengan maqamat yaitu hal (Pluralnya ahwal). Yang
dinamakan hal adalah apa yang didapatkan orang tanpa dicari (hibah dari Allah SWT).
Sedangkan dalam maqamat didapatkan dengan dicari (diusahakan). Dengan kata lain hal itu
bukan usaha manusia, tetapi anugerah Allah setelah seorang berjuang dan berusaha melewati
maqam tasawuf. Yang termasuk ahwal antara lain : perasaan dekat, cinta, takut, harap, rindu,
yakin, dan puas terhadap Tuhan, serta tentram dan musyahadah (perasaan menyaksikan
kehadiran Tuhan).

Hal dimaknai sebagai sebagai tingkat derajat spiritual yang semata-mata anugerah
Allah SWT. Itulah sebabnya, ahwal lebih memiliki makna dan fungsi tentang keadaan-
kondisi kerohanian yang bersifat temporer, tanpa ikhtiar diri, dan lebih merupakan anugerah
khusus dari Allah SWT; meskupun ia tidak bisa dilepaskan dari upaya yang sungguhsungguh
untuk menjalani kehidupan kerohanian. Keadaan inilah yang merupakan bonus dari Sang
Maha Kuasa untuk kebaikan hamba-Nya yang sholih.
Dalam pandangan Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, hal
merupakan keadaan mental, seperti perasaan sedih/menangis, takut, senang, dan sebagainya.
Oleh karena itu ada istilahistilah lain yang termasuk kategori hal, yaitu al-muraqabat wa al-
qurb, alkhouf wa al-roja (takut dan penuh harap), at-tuma’ninah (perasaan tenang dan
tentram), al-musyahadat (menyaksikan dalam pandangan batin), alyaqin (penuh dengan
keyakinan yang mantap), al-uns (rasa berteman), attawadlu’ (rendah hati dan rendah diri), at-
taqwa (patuh), al-wajd (gembira hati), asy-syukr (berterima kasih), dan ikhlas .

Dengan demikian antara maqamat dan ahwal merupakan dua prinsip dalam kajian
tasawuf yang tidak bisa dipisahkan. Maqamat dengan usaha dan kerja keras yang maksimal;
kemudian hasilnya merupakan anugerah dari Allah SWT berupa perasaan dan keadaan-
keadaan (ahwal) yang dialami oleh seorang salik menuju Tuhannya.

c. Perbedaan Maqamat dan Ahwal

Secara mendasar, perbedaan maqamat dan ahwal ini baik dari cara mendapatkannya
maupun pelangsungannya yaitu Maqamat berupa tahap-tahap perjalanan spiritual yang
dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada
hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang untuk melawan hawa nafsu, ego
manusia, yang dipandang perilaku yang buruk yang paling besar yang dimiliki manusia dan
hal itu menjadi kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat
dilihat dari kenyataan bahwa seseorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan taun hanya
untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun yang lainnya.

Sedangkan “ahwal”yang sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan.
Di antara “ahwal” yang sering disebut adalah takut, sukur, rendah hati, tawakkal, gembira.
Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun kebanyakan mereka
mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh
tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan
sebagai hadiah berupa kalitan-kalitan ilahi (Divine Flashes), yang biasa disebut lama’at.

D. Tasawuf Akhlaki: Takhalli, Tahalli, Tajalli


a. Tasawuf Akhlaki

  Tasawuf Akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan
kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sifat mental dan pendisiplinan tingkah
laku secara ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal. Manusia harus
mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa dan
raga.

Tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan


tingkah laku. Jika konteksnya adalah manusia, tingkah laku manusia yang menjadi
sasarannya. Tasawuf akhlaki ini bisa pandang sebagai sebuah tatanan dasar untuk menjaga
akhlak manusia atau dalam bahasa sosialnya moralitas masyarakat.

Sebelumnya, dilakukan terlebih dahulu pembentukan pribadi yang berakhlak mulia.


Tahapan tahapan itu dalam ilmu tasawuf dikenal dengan takhalli (pengosongan diri dari sifat
sifat tercela), tahalli  (menghiasi diri dengan sifat sifat terpuji), tajalli (terungkapnya nur
ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).

b. Takhalli, Tahalli, Tajalli


1. Takhalli

Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat
bathin. Maksiat lahir, melahirkan kejahatan kejahatan yang merusak seseorang dan
mengacaukan masyarakat. Adapun maksiat bathin lebih berbahaya lagi, karena tidak
kelihatan dan biasanya kurang disadari dan sukar dihilangkan. Maksiat bathin itu adalah
pembangkit maksiat lahir dan selalu menimbulkan kejahatan kejahatan baru yang diperbuat
oleh anggota badan manusia. Dan kedua maksiat itulah yang mengotori jiwa manusia setiap
waktu dan kesempatan yang diperbuat oleh diri sendiri tanpa disadari. Semua itu merupakan
hijab atau dinding yang membatasi diri dengan Tuhan.   

Sifat sifat yang mengotori jiwa manusia itu adalah seperti dzalim, bakhil, berbuat dosa
besar, berlaku sia sia, berlebih lebihan dalam segala hal, bermegah megah, khianat, dendam,
dengki,

Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari akhlak tercela. Salah satu akhlak tercela
yang paling banyak menyebabkan timbulnya akhlak tercela lainnya adalah ketergantungan
pada kenikmatan duniawi.
Membersihkan diri sifat sifat tercela oleh kaum sufi dipandang penting karena sifat sifat ini
merupakan najis maknawi (najasah ma’nawwiyah). Adanya najis najis ini pada diri
seseorang, menyebabkannya tidak dapat dekat dengan Tuhan. Hal ini sebagaimana
mempunyai najis dzat(najasah dzatiayyah), yang menyebabkan seseorang tidak dapat
beribadah kepada Tuhan.
Dasar dari ajaran tasawuf tentang takhalli ini adalah firman Allah Qs Asy-syams 9-10
yang berbunyi:

َ ‫ َوقَ ْد َخ‬،‫قَ ْد أَ ْفلَ َح َمن َز َّكاهَا‬


‫اب َمن َدسَّاهَا‬
"Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang
mengotori jiwanya". (Asy-Syams:9,10).
2. Takhalli
Tahalli adalah upaya menghiasi diri dengan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan
kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak akhlak tercela. Tahalli juga berarti
menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam
setiap gerak perilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat
luar maupun yang bersifat dalam. Kewajiban yang bersifat luar adalah kewajiban yang
bersifat formal, seperti sholat, puasa, dan haji. Adapun kewajiban yang bersifat dalam,
contohnya yaitu iman, ketaatan, dan kecintaan kepada Tuhan.
Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli.
Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sikap mental yang buruk dapat
dilalui (takhalli), usaha itu harus berlanjut terus ketahap berikutnya yang disebut tahalli.
Sebab apabila satu kebiasaan telah dilepaskan tetapi tidak ada penggantinya, maka
kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Oleh karena itu, ketika kebiasaan lama
ditinggalkan harus segala di isi kebiasaan baru yang baik.
 Dasar dari tahalli ialah firman Allah Q.S An Nahl: 90 yang berbunyi:

ِ ‫إِ َّن ٱهَّلل َ يَأْ ُم ُر بِ ْٱل َع ْد ِل َوٱإْل ِ حْ ٰ َس ِن َوإِيت‬


‫َٓائ ِذى ْٱلقُرْ بَ ٰى َويَ ْنهَ ٰى ع َِن ْٱلفَحْ َشٓا ِء َو ْٱل ُمن َك ِر َو ْٱلبَ ْغ ِى ۚ يَ ِعظُ ُك ْم‬
َ‫لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُون‬
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

3. Tajalli
Tajalli ialah hilangnya hijab dari sifat sifat kebasyariyyahan (kemanusiaan), jelasnya nur
yang sebelumnya ghaib, dan fananya segala sesuatu ketika tampaknya wajah Allah. Kata
tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa ketika
melakukan takhalli dan tahalli tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih
lanjut. Kebiasaan yang dilkakukan dengan kesadaran dan rasa cinta dengan sendirinya akan
menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
™ِ‫ت™ َو™ ا™أْل َ™ ْ™ر™ ض‬
ِ ™‫هَّللا ُ™ نُ™و™ ُر™ ا™ل™س™َّ َم™ ا™ َ™و™ ا‬
Artinya:  Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.

E. Tasawuf Hasan Al-Bashri, Ibrahim ibn Adham, dan Sufyan Ats-


Tsaury
a. Hasan Al-Bashri
Hasan al Bashri Nama lengkapnya adalah al-Hasan bin Abi al-Hasan Abu Said. Dia
dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H.

Hasan Al-Basri adalah seorang ulama Suffi Tabi’in, seorang yang sangat takwa, juhud,
dan wara. Beliau mendapatkan ajaran tasawuf dari berbagai ulama salah satunya Huzifah bin
Al-Yaman sehingga ajaran itu melekat pada diri Hasan Al-Basri. Ajaran itu sangat
mempengaruhi kehidupan sehari-harinya dalam sikap dan prilaku. Memang banyak
pengakuan yang menyebutkan kelebihan dan keutamaan Hasan Al-Bashri  dalam
melaksanakan ajaran-ajaran agama, seperti yang dikatakan oleh Abu Qatadah, “ bergurulah
kepada syekh ini! Saya sudah menyaksikan sendiri, tidaklah ada orang tabi’in yang
menyerupai sahabat Nabi Muhammad SAW kecuali beliau.

Dasar pendirian Hasan Al-Bashri adalah zuhud terhadap dunia, menolak segala
kemegahannya, hanya menuju kepada Allah SWT, tawakal, khauf, dan raja’. Janganlah
semata-mata takut takut kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan dengan pengharapan. Takut
akan murkanya, tetapi mengharap rahmatnya. Kemudian kita harus meninggalkan
kenikmatan dunia kareana hal itu merupakan hijab (pengalang) dari keridhoan Allah.
(Rosihon Anwar.2010: 172).

Kebanyakan dari kalangan ahli ibadah datang kepada Hasan al- Basyri untuk
mendengarkan perkataan-perkataannya dan belajar ilmu fikih, tasawuf. Beliau mempunyai
halaqah di masjid untuk mengkaji ilnu hadits, fikih, ilmu qur’an serta bayannya, bahasa,
tasawuf ilmu lainnya. Bahkan beliau mempunyai majlis khusus dirumahnya yang nyaris
didalamnya tidak berbicara kecuali makna zuhud, ibadah dan ilmu batin. Bahkan jika ada
yang menanyakan selain itu, beliau mencela seraya berkata “kita hanyalah menyepi bersama
saudara-saudara kami untuk bermudzakaroh”.

b. Ibrahim bin Adham


Namanya adalah Abi Ishaq Ibrahim bin Adham, lahir di Balkh dari keluarga bangsawan
Arab. Ibrahim bin adham beriman setelah mendengar bisikan Tuhan ketika sedang berburu di
hutan. Semenjak itu, ia hidup dalam kemiskinan dan aksetisme (zuhud) hidup dari hasil
kedua tangannya. Dia adalah seorang guru sufi yang ajarnnya terutama berkisar tentang
asketisme, mistisisme, dan dia lebih menyuntukan diri terutama dengan kontrol diri
(muraqabah) dan gnosis (ma’rifat). Ajaran Ibrahim bin Adham dapat dilihat dari ujaran-
ujarannya.

Yang di maksud dengan aksetisme adalah khusus, aksetisme bukanlah kependetaan atau
terputusnya kehidupan duniawi. Akan tetapi ia adalah hikmah pemahaman yang membuat
para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, dimana
mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai
kecenderungan kalbu mereka , serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. Karena
itu dalam islam aksetisme tidak bersyaratkan kemiskinan.

c. Sufyan Ats-Tsaury

Nama lengkapnya ialah Sofyan bin Sa’id Atstsauri lahirdi Kuffah 97 H,meninggal di
Bashrah 161 H. Ia adalah seorang zahid pada masa tabi’in. hidup keruhaniaannya, menjurus
kepada hidup yang bersahaja, penuh kesederhanaan, tidak terpukau dengan kemegahan dan
kemewahan dunia. 

Sufyan Ats-Tsauri adalah seorang ulama yang banyak mempunyai ilmu dan
mengamalkannya serta lantang dalam membela kebenaran.

Al-Hafidz Abu Bakar al-Khatib berkata, “Sufyan Ats-Tsauri adalah pimpinan ulama-
ulama Islam dan gurunya. Sufyan adalah seorang yang mempunyai kemuliaan, sehingga dia
tidak butuh dengan pujian. Selain itu Ats-Tsauri juga seorang yang bisa dipercaya,
mempunyai hafalan yang kuat, berimu luas, wira’i dan zuhud.” (Tahdzib A-Kamal,11/168-
167).

”Sufyan adalah seorang diantara para imam kaum muslim dan salah seorang diantara
pemimpin agama. Kepemimpinannya disepakati oleh para ulama, sehingga tidak perlu lagi
pengukuhan terhadap ketelitian, hafalan, kearifan dan kezuhudannya”.

Syu’bah bin al-Hajjaj, Sufyan bin Uyainah dan Yahya bin Ma’in menjulukinya Amirul-
Mu’minin fi al-Hadits, gelar yang sama dengan yang disandang oleh Imam Malik bin Anas.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat di tarik sebuah kesimpulan bahwa Tasawuf bukanlah sesuatu
yang baru dalam Islam. Prinsip-prinsip ajaran Tasawuf telah ada dalam Islam semenjak Nabi
Muhammad diutus menjadi Rasul, bahkan kehidupan rohani Rasul dan para sahabat menjadi
salah satu panutan di dalam melakukan amalan-malannya. Ini merupakan sangkalan terhadap
pendapat yang mengatakan bahwa Tasawuf merupakan produk asing yang dianut oleh umat
Islam. Inti dari ajaran tasawuf ialah mendekatkan diri kepada Allah dengan melalui tahapan-
tahapan (ajaran)Nya yaitu maqamat dan ahwal.

Maqam mengandung pengertian kedudukan, posisi, tingkatan, atau kedudukan


tahapan hamba dalam mendekatakan diri kepada Allah. Sedangkan, ahwal ialah keadaan atau
keadaan kondisi psikologisyang dirasakan ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu.

Begitu pula dengan Zuhud, Zuhud dan tasawuf merupakan dua hal yang saling
berkaitan. Apabila seseorang ingin bertasawuf, maka dia diharuskan pula untuk melakukan
zuhud. Bertasawuf tanpa zuhud adalah hal yang mustahil, karena dalam bertasawuf istilah
zuhud menjadi salah satu syarat utama untuk mencapai tujuan dari tasawuf itu sendiri, yaitu
keinginan kuat untuk merasa dekat dengan Allah SWT sehingga Allah dirasakan hadir di
dalam dirinya.

Ajaran-ajaran tasawuf ini bersumber dari al-Qur’an, Hadits dan perbuatan-perbuatan


sahabat. Banyak kita temui ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan ajaran-ajaran
tasawuf. Mulai dari ajaran dasar tasawuf, maupun tingkatan tingkatan yang harus ditempuh
oleh seorang sufi yang kita kenal dengan nama maqamat dan ahwal. Tujuan tertinggi dari
seorang sufi adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah atau kalau bisa menunggal dengan
Allah.

Konsep dari Tasawuf Akhlaki yaitu dalam uapaya mendekatkan diri kepada Allah
SWT. manusia harus melalui beberapa tahap yaitu: tahap pertama Takhalli (tahap
pembersihan dan pengosongan jiwa dar sifat-sifat tercela) tahap kedua Tahalli (tahap
penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji) dan tahap ketiga yaitu Tajalli (terbukanya dinding
penghalang atau tabir yang membatasi manusia dengan Allah SWT.
Dari penjelasan tentang tokoh tasawuf diatas bahwasanya dapat disimpulkan:

1. Hasan Al-Bashari

Dasar pendiriann Hasan Al-Bashri adalah Zuhud terhadap dunia, menolak segala
kemegahannya hanya menuju kepada Allah SWT, tawakal, khouf, dan Raja’.

2. Ibrahim ibn Adham

Beliau menyimpulkan bahwa tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu
tidak menguasai kecenderungan kalbu, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.
Karena itu dalam islam aksetisme tidak bersyaratkan kemiskinan.

3. Sufyan Ats-Tsaury

Pimpinan ulama-ulama Islam dan gurunya. Sufyan adalah seorang yang mempunyai
kemuliaan, sehingga dia tidak butuh dengan pujian. Selain itu Ats-Tsauri juga seorang yang
bisa dipercaya, mempunyai hafalan yang kuat, berimu luas, wira’i dan zuhud.
DAFTAR PUSTAKA
1. A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet.
XIV, h. 804
2. Badrudin, H. 2015. Pengantar Ilmu Tasawuf. Serang: A-Empat.
3. Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 147
4. Muhammad Fethullah Gülen, Kalbin Zümrüt Tepeleri, Terj. Fuad Syaifudin Nur,
TasawufUntuk Kita Semua, (Jakarta: Anngota IKAPI DKI Jakarta, 2014), h. 2, 17
5. Moh. Saifullah al-Aziz S., Risalah Memahami Ilmu Tashawwuf, (Surabaya: Terbit
Terang, tt.), h. 29.
6. Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi. Risalah Qusyairiyah
Sumber Kajian Ilmu Tasawuf. Terjemahan oleh Umar Faruq. 2007. Cetakan II.
Jakarta: Pustaka Amani.
7. Ahmad imam bin hambal, Az-Zuhd,( dar Ar-Rayyan Lit-Turats Cairo) h.28
8. Al-jauziyah Ibnu Qayyim, Madarijus salikin, (Jakarta:pustaka Al-Kautsar,1998)
,h.147
9. Ahmad Mu’adz Haqqi, Syarah 40 Hadist Tentang Akhlak, Penerbit Buku Islam
Rahmatan.
10. IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu tasawuf (Sumatera Utar:Depertemen
Agama1982) h. 63
11. Solihin, M., Anwar, Rosihon. 2014. Ilmu Tasawuf.  Bandung : Pustaka Setia .
12. Harun Nasution. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
13. Anwar, Rosiihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
14. Anwar, Rosihon, M,Ag dan Muhktar Solihin, M.Ag, 2004, Ilmu
Tasawuf, Bandung;Pustaka Setia
15. Al aziz, Moh. Saifulloh. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Terbit
Terang.
16.  Biografi Sufyan Ats-Tsauri dalam Thabaqat Ibn Sa’ad 6/257; Tahdzib at-
Tahdzib 4/111-115; Al-Wafayat 1/210.
iii

Anda mungkin juga menyukai