Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FILSAFAT AGAMA

AKAR-AKAR KERAGUAN TERHADAP AGAMA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 7

SATINA 30400119055

ARIS KURNIAWAN 30400119056

MUHAMMAD IQBAL 30400119058

SOSIOLOGI AGAMA 2

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr wb

Syukur alhamdulillah, kata yang pantas penyusun ucapkan kepada Allah SWT, karena
bimbingan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu.

Sholawat salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi kita, Muhammad SAW, yang telah
memberikan cahaya terang dari gelapnya peradaban masa Jahiliyah.

Berikut ini penyusun mempersembahkan makalah dengan judul “AKAR-AKAR


TERHADAP KERAGUAN AGAMA”. Mengenai pentingnya pembahasan kali ini,
penyusun berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kami maupun sahabat-sahabati
seperjuangan.

Tak ada gading yang tak retak, besar harapan penyusun akan kritik dan saran untuk perbaikan
dan penyempurnaan. Karena kesalahan adalah milik manusia dan kesempurnaan hanya milik
Allah SWT.

Akhirul kalam, wallahu muwafiq ilaa aqwamit thoriq

Wassalamu’alaikum wr wb

Bulukumba, 17 September 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4

A. LATAR BELAKANG....................................................................................................4

B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................5

C. TUJUAN PENYUSUNAN.............................................................................................5

D. MANFAAT PENYUSUNAN.........................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................6

A. NATURALISME............................................................................................................6

B. HUMANISME................................................................................................................7

C. EKSISTENSIALISME...................................................................................................9

D. PROBLEMATIKA KEJAHATAN...............................................................................11

E. PLURALITAS AGAMA DAN MULTIKULTUALISME MAKHLUK.....................12

BAB III PENUTUP..................................................................................................................14

KESIMPULAN........................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................14

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Di zaman serba modern seperti sekarang ini dimana teknologi berkembang dengan pesatnya,
manusia selalu dituntut untuk selalu berpikir kreatif, mampu memaksimalkan daya nalarnya
serta dapat berpikir kritis. Pengetahuan yang telah diperoleh merupakan hasil dari berbagai
pertanyaan dan pertimbangan yang muncul sebagai aksi balik dari berbagai problem yang
dihadapi.

Agama sebagai ilmu pengetahuan yang sifatnya sakral dan mistik yang bersumber dari Tuhan
juga tidak pernah lepas dari berondongan pertanyaan para pemeluknya. Lebih-lebih karena
agama itu sifatnya abstrak, sehingga studi dan pengkajian tentangnya sering dilakukan demi
mencapai kematangan dalam berkeyakinan. Akibatnya jika tidak bisa menemukan jawaban
dari berondongan pertanyaan tersebut atau meskipun menemukan jawabannya namun tidak
sesuai dan dirasakan adanya pertentangan dengan hatinya, maka akan muncullah apa yang
dinamakan doubt religion atau keraguan beragama.

Hal-hal yang biasanya diragukan atau dikonflikkan yaitu ajaran agama yang diterima,
aplikasi ajaran agama, pemuka agama, dan fungsi serta tugas lembaga keagamaan. Dalam
ajaran agama biasanya terdapat perbedaan pendapat antara golongan satu dengan golongan
lain sehingga hal itu memunculkan adanya aliran-aliran dalam keagamaan seperti madzhab
dalam Islam dan sekte dalam kristen. Aplikasi ajaran kadang membuat seseorang merasa
sangsi dengan keyakinan yang dianutnya. Terkadang antara teori dengan aplikasi tidak
berjalan dengan semestinya. Artinya terdapat adanya kesenjangan antara teori dengan
praktek. Dan untuk para pemuka agama, mereka harus tahu kedudukan mereka. Sebagai
orang yang menjadi teladan, mereka harus bisa memberikan contoh yang baik dan sesuai
dengan ajaran agama. Jika seandainya saja mereka sampai berbudi pekerti yang tidak sesuai
dengan ajaran agama maka tidak mustahil para penganutnya akan sangsi dan berpaling
kepada agama lain. terakhir adalah fungsi serta tugas lembaga keagamaan. Dalam hal ini
lembaga keagamaan harus berfungsi dan bekerja sesuai dengan tujuan semula lembaga itu
dibentuk. Akan sangat tidak sesuai jika lembaga keagamaan melakukan sesuatu kegiatan
yang bertentangan dengan ajaran agama.

4
Tanpa disadari, sinkretisme (tidak hanya dalam Islam) merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan keragu-raguan dalam beragama. Percampuran antara dua hal yang berbeda,
seperti agama dengan mistik, meskipun bisa berjalan beriringan namun kadang lebih sering
menimbulkan konflik pada para penganutnya.

Pendidikan atau dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang
dimilikinya juga akan membawa pengaruh mengenai sikapnya terhadap terhadap agama.
Seseorang yang terpelajar biasanya akan lebih krits terhadap ajaran agamanya, terutama yang
bersifat dogmatis. Dengan nalarnya, mereka memiliki kemampuan menafsirkan ajaran agama
yang dianutnya secara lebih rasional

B. RUMUSAN MASALAH
Dalam penyusunan makalah ini penyusun memberikan batasan-batasan masalah, seperti:

1. Naturalisme (Sayyid Ahmad Khan)


2. Humanisme (Marcell A. Boisard)
3. Eksistensialisme (F. Nietzsche-K.J.P.Sarter. Heidegard)
4. Problematika Kejahatan
5. Pluralitas Agama dan Multikultualisme Makhluk

C. TUJUAN PENYUSUNAN
1. Mengetahui akar keraguan terhadap agama
2. Meneliti dan mempelajari akar keraguan terhadap agama
3. Meneliti dan menyelesaikan dari permasalahan yang ada

D. MANFAAT PENYUSUNAN
1. Sebagai bahan belajar bagi mahasiswa
2. Sebagai literatur untuk lebih memahami akar keraguan terhadap agama
3. Mengetahui problematika kejahatan, pluralitas agama dan multikultualisme
makhluk, naturalisme, humanisme dan eksistensialisme

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. NATURALISME
Paham naturalisme yang dikemukakan oleh Sayyid Ahmad Khan mengemukakan bahwa
Umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Karena ia
percaya pada kekuatan dan kebebasan akal sungguh pun mempunyai batas, ia percaya pada
kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam menentukan kehendak dan melakukan
perbuatan. Sejalan dengan faham kodariyah yang dianutnya ia percaya bahwa bagi tiap
makhluk Tuhan telah menentukan tabi’at atau naturnya. Dan natur yang ditentukan Tuhan ini
dan yang didalam Al-Qur’an disebut sunnah Allah, tidak berobah. Islam adalah agama yang
mempunyai faham hukum alam (hukum alam buatan Tuhan). Antara hukum alam, sebagai
ciptaan Tuhan. Dan AL-Qur’an, sebagai sabda Tuhan, tidak terdapat pertentangan.

Bagi mereka percaya kepada hukum alam mesti membawa kepada faham naturalisme yang
akhirnya membawa pula kepada keyakinan tidak adanya Tuhan. Kepadanya diberi nama
julukan Nechari, kata Urdu yang berasal dari kata Inggris, nature dalam laws of nature.
Sejalan dengan ide-idenya, ia menolak faham taklid bahkan tidak segan-segan menyerang
faham ini. Sumber ajaran Islam menurut pendapatnya hanyalah Al-Qur’an dan hadis.
Pendapat ulama’ di masa lampau tidak mengikat bagi umat Islam dan diantara pendapat
mereka ada yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Pendapat serupa itu dapat
ditinggalkan.

Masyarakat manusia senantiasa perubahan dan oleh karena itu perlu diadakan ijtihad baru
untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan suasana masyarakat yang
berubah itu. Dalam mengadakan ijtihad, ijma’ dan qias Baginya tidak merupakan sumber
ajaran Islam yang bersifat absolut. Hadis juga tidak semuanya dapat diterimanya, karena ada
hadis buat-buatan. Hadis dapat ia terima sebagai sumber hanya setelah diadakan penelitian
yang seksama tentang keasliannya.

Inilah pokok-pokok pemikiran Sayyid Ahmad Khan mengenai pembaharuan ini sama-sama
memberi penghargaan tinggi pada akal manusia sama-sama menganut faham qadariyah,
sama-sama percaya kepada hukum alam ciptaan Tuhan, sama-sama menentang taklid dan
sama-sama membuka pintu ijtihad yang dianggap oleh umat Islam pada umumnya di waktu
itu. Sebagai telah disebut diatas, jalan bagi umat Islam India untuk melepaskan diri dari

6
kemunduran dan selanjutnya mencapai kemajuan, ialah memperoleh ilmu pengetahuan dan
teknologi modern Barat. Dan agar yang tersebut akhir ini dapat dicapai sikap mental umat
yang kurang percaya kepada kekuatan akal, kurang percaya pada kebebasan manusia dan
kurang percaya pada adanya hukum alam, harus dirubah terlebih dahulu.

Sejalan dengan faham kodariyah yang dianutnya ia percaya bahwa bagi tiap makhluk Tuhan
telah menentukan tabi’at atau naturnya. Dan natur yang ditentukan Tuhan ini dan yang
didalam Al-Qur’an disebut sunnah Allah, tidak berobah. Islam adalah agama yang
mempunyai faham hukum alam (hukum alam buatan Tuhan). Antara hukum alam, sebagai
ciptaan Tuhan. Dan AL-Qur’an, sebagai sabda Tuhan, tidak terdapat pertentangan.

Demikian dengan Sayyid Ahmad Khan selanjutnya, berjalan dan beredar sesuai dengan
hukum alam yang telah ditentukan Tuhan itu. Segalanya dalam alam terjadi menurut hukum
sebab akibat. Karena kuatnya kepercayaannya pada hukum alam dan kerasnya ia
mempertahankan konsep hukum alam, ia dianggap kafir oleh golongan Islam yang belum
dapat menerima ide diatas.

B. HUMANISME
Istilah humanisme berasal dari humanitas, yang berarti pendidikan manusia. Humanisme
menegaskan bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu. Kebesaran manusia harus
dihidupkan kembali, yang selama ini terkubu pada abad pertengahan.

Humanisme pada awalnya tidak anti agama. Humanisme ingin mengurangi peranan institusi
gereja dan kerajaan yang begitu besar, sehingga manusia sebagai makhluk Tuhan kehilangan
kebebasannya.

Menurut Prof. Dr. Marcel A. Boisard, ada tiga macam pendekatan jika kita mempelajari
manusia dalam kedua keadaannya, yakni keadaan yang tetap dan keadaan yang berubah.
Pertama, orang dapat menyelidiki manusia dalam hakekatnya yang murni dan esensial.
Pendekatan ini adalah yang dilakukan oleh para filosof. Kedua, orang dapat melakukan
penyelidikan dengan mencurahkan segala perhatiannya kepada prinsip-prinsip ideologis dan
spiritual yang mengatur tindakan manusia dan yang mempengaruhi membentuk
personalitasnya. Ini adalah pendekatan yang dilakukan oleh para ahli moral dan ahli
sosiologi.

Pendekatan ketiga, adalah dengan mengambil konsep tentang manusia dari penyelidikan-
penyelidikan tentang lembaga-lembaga etika dan yuridis yang telah terbentuk dari

7
pengalaman-pengalaman sejarah dan kemasyarakatan, dan yang dihormati oleh karena
lembaga-lembaga tersebut telah dapat melindungi perorangan dan masyarakat dengan
menerangkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban timbal balik antar manusia. Pendekatan yang
ketiga ini adalah pendekatan yang dilakukan oleh ahli-ahli hikum dan juga ahli-ahli sejarah.

Agama adalah yang mengatur norma-norma dasar bagi kelakuan manusia. Tiap-tiap ideologi
menjelaskan secara menyeluruh, baik secara terang-terangan atau secara implisit, tentang
watak dari individu dan tempat yang disediakan bagi manusia dalam kelompok, dalam
hubungannya dengan tujuan sosial yang ingin dicapainya. Bagi suatu agama eskatologi
(yang mempunyai konsep tentang alam akhirat) yaitu agama Islam, Tuhan adalah satu-
satunya referensi yang pokok dan dasar, oleh karena Ia sekaligus adalah asal dan tujuan dari
nasib manusia.

Agama Islam, yang dalam bahasa Arab adalah Al-Islam berarti “tunduk” dan “damai”,
berasal dari ketundukan kita kepada Tuhan. Lebih dari itu, Islam beranggapan bahwa semua
agama yang benar berasal dari ketundukan ini sehingga nama “Islam” tidak hanya agama
yang diwahyukan melalui Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad, tetapi juga seluruh agama
yang autentik. Karenanya, di dalam Al-Qur’an, Nabi Ibrahim disebut juga Muslim, yaitu
seseorang yang selalu dalam kondisi Al-Islam (patuh).

Dalam bahasa Perancis, ada tiga arti etimologis dalam kata “agama Islam”, yaitu: pertama,
suatu pilihan merdeka untuk tunduk kepada hukum, kepada aturan-aturan moral dan ibadat.
Kedua, berarti menerima dan memelihara suatu warisan kemanusiaan. Ketiga, menentukan
situasi si Mukmin terhadap Sang Mutlak dan hubungan solidaritas antara manusia dengan
manusia.

Humanisme pada awalnya tidak anti agama, tetapi hanya ingin peranan institusi gereja dan
kerajaan yang begitu besar hingga manusia sebagai mahkluk Tuhan kehilangan
kebebasannya. Humanisme pada abad 19-20 bertujuan meningkatkan perkembangan yang
harmonis dari sifat-sifat dan kecakapan alamiah manusia, mereka berpendapat tanpa
wahyupun manusia mampu berkarya dengan baik dan sempurna. Kemudian beberapa abad
kemudian baru muncul gerakan humanisme yang melepaskan segala yang berkaitan dengan
Tuhan dan Akhirat dan hanya menerima dunia apa adanya.

8
C. EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme adalah salah satu dari sekian teori-teori konseptual-filosofis yang paling
sulit untuk didefinisikan dalam satu dua kalimat. Kalaupun ada definisi tertentu, definisi itu
pun masih membutuhkan beberapa penjelasan lebih lanjut untuk menjelaskan maksudnya.

Terminologi “eksistensialisme” itu sendiri tercampur-aduk oleh beragam definisi, ambiguitas,


serta ketiadaan penjelasan yang sungguh-sungguh memadai. Penyebabnya adalah karena
eksistensialisme itu sendiri tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah sistem filsafat yang
secara khusus mengetengahkan garis pemikiran yang holistik. Para filsuf yang digolongkan
ke dalam kelompok para eksistensialis pun sangat beragam latar belakang pemikirannya
maupun kehidupannya. Bahkan ada pemikiran beberapa filsuf yang oleh sejarawan pemikiran
filsafat digolongkan ke dalam kelompok pemikiran eksistensialis, sementara sang filsuf
sendiri menolak dirinya untuk disebut seorang eksistensialis.

Salah seorang pengamat eksistensialisme yang sangat berpengaruh dalam dunia filsafat
adalah Frederich Wilhelm Nietzsche. Sesuai dengan pemikiran dasar mengenai filsafat
eksistensialisme, Nietzsche mengembangkan pemikirannya dengan menyatakan bahwa untuk
mencapai kemerdekaan dan dapat bereksistensi, manusia harus memiliki kehendak untuk
berkuasa, segala tindakan yang dilakukan oleh manusia tidak perlu diatur oleh nilai dan
norma yang berlaku di masyarakat, segala hal yang dapat menghambat kemerdekaan haruslah
dimusnahkan. Menurutnya hambatan paling utama bagi kemerdekaan manusia adalah dogma
Gereja, oleh karenanya dogma Gereja haruslah dimusnahkan begitu juga Tuhan yang
dianggap sebagai pusat dogma Gereja haruslah dibunuh untuk mencapai kemerdekaan
manusia seutuhnya.

Kehendak untuk berkuasa adalah hakikat dari segala-galanya. Kehendak untuk berkuasa yang
dimaksudkan Nietzsche bukanlah kehendak untuk menguasai keberagaman, seperti yang
telah dilakukan Hitler terhadap ras Yahudi, melainkan kehendak untuk memahami diri
manusia begitu adanya, dan menguasai kelemahan dirinya, dan juga menghancurkan segala
hal yang dapat menghambat dirinya untuk menjadi manusia yang bebas.

Nietzsche telah menyatakan bahwa dunia adalah kehendak untuk berkuasa, hidup adalah
kehendak untuk berkuasa, dan moralitas adalah ungkapan kehendak untuk berkuasa. Menurut
Nietzsche, nilai dan norma yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat merupakan
kehendak sang pemimpin untuk menguasai masyarakat yang mereka kuasai.

9
Selain berbicara mengenai kehendak berkuasa, Nietzsche melalui buku kumpulan
aforismenya Der Wille zur Macht, mengungkapkan gagasannya tentang nihilisme. Dia
meramalkan terjadinya bahaya dari segala bahaya, yaitu nihilisme. Dengan tema ini ia mau
menunjukkan bahwa apa saja yang dulu dianggap bernilai dan bermakna kini sudah mulai
memudar dan menuju keruntuhan.

Eksistensialisme mengakui bahwa eksistensi mendahului esensi (hakikat). Sebagaimana


Marxisme, eksistensialisme mengutamakan manusia sebagai individu yang bebas dan
menghilangkan peranan Tuhan dalam kehidupannya. Eksistensialisme mengutamakan
kemajuan dan perbaikan. Nietzsche salah seorang tokoh eksistensialisme dengan lantang
mengatakan bahwa Tuhan telah mati dan terkubur.

Jean Paul Sartre yang dikategorikan sebagai filsuf eksistensial yang secara nyata telah
menolak “campur tangan” eksistensi Allah dan seluruh realitas spiritual dalam hidup manusia
(dan karenanya pandangan filsafatnya disebut dengan eksistensialisme ateistik).

Di tempat lain lagi, Albert Camus (1913-1960) secara terang-terangan menolak pemikiran
Sartre seputar eksistensialisme. Camus menyatakan secara publik bahwa kesimpulan-
kesimpulan yang telah diambil oleh pemikiran-pemikiran Sartre tentang eksistensialisme
adalah salah dan tidak dapat diterima (false and unacceptable). Hal ini dikatakan oleh Camus
dalam kesempatan perdebatannya dengan Jean-Paul Sartre. Secara terang-terangan, Albert
Camus menolak kesimpulan yang diambil oleh pemikiran-pemikiran eksistensialisme ateistik
Sartre dan mengatakannya sebagai kesimpulan yang sesat.

Eksistensialisme mulai lahir melalui pemikiran filsuf Denmark Soren Kierkegaard (1813-
1855) mengenai filsafat Kristiani. Kierkegaard (1813-1855) sering membahas masalah-
masalah hakekat iman menurut etika teologi Kristen yang berhubungan dengan emosi
keagamaan seorang individu dalam agama Kristen. Hal ini dikaitkan dengan etika dan teologi
Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihanpilihan
eksistensial. Oleh Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai
Eksistensialisme Kristen dan Psikologi Eksistensial tentang individu. Menurutnya, “eksistensi
hanya dapat diterapkan kepada manusia sebagai individu yang konkrit, karena hanya aku
individu yang konkrit ini yang bereksistensi, yang sungguh-sungguh ada dan hadir dalam
realitas yang sesungguhnya...”

10
Pembahasan tentang eksistensialisme itu sendiri merentang mulai dari Sǿren Kierkegaard
(1813-1855) yang filsafatnya secara mendalam sangat terkait dengan imannya sebagai orang
Kristen (dan karenanya pandangan filsafatnya disebut dengan eksistensialisme teistik), Sǿren
Kierkegaard yang sering disebut sebagai bapak eksistensialisme modern malah tidak pernah
menyebut dirinya sebagai seorang eksistensialis.

D. PROBLEMATIKA KEJAHATAN
Adanya kejahatan dijagad raya merupakan problem yang tidak henti-hentinya diperdebatkan,
terutama oleh agamawan dan ilmuwan. Problem yang mendasar terutama bagi teisme adalah
kenapa kejatan itu ada, padahal Tuhan pencipta, maha kuasa dan sumber kebaikan. Timbul
dalam suatu pertentangan dalam diri Tuhan yaitu Tuhan sebagai sumber kebaikan sekaligus
sumber kejahatan.

Kejahatan pada prinsipnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kejahatan moral dan
kejahatan alam. Kejahatan moral berasal dari manusia, sedangkan kejahatan alam berasal di
luar kemampuan manusia.

Kenyataan tersebut tidak benar-benar logika. Salah satu susunan argumen ateisme menolak
teisme adalah sebagai berikut:

a) Jika Tuhan maha baik, tentu Dia akan membasmi kejahatan.


b) Jika Tuhan maha kuasa, Dia mampu menghancurkan kejahatan
c) Tetapi kejahatan belum terhapus
d) Karena itu, Tuhan tidak ada

Para ahli agama dan filosof berusaha mencari jawaban yang dapat memuaskan dan
menyelesaikan problematika kejhatan, ada beberapa alternatif yang dikemukakan oleh
agamawan dan filsuf tentang kejahatan:

a) Kekuasaan mutlak Tuhan harus bersyarat. Tuhan tidak berkuasa menciptakan


sesuatu yang bertentangan dengan dirinya
b) Kejahatan adalah bagian yang tidak bisa terlepas dari kebaikan yang tinggi
c) Setiap kejahatan adalah kutukan bagi manusia yang berdosa
d) Keyakinan tentang segala sesuatu yang terjadi tidak lepas dari hikmah Tuhan,
karena keterbatasan manusia tidak mampu mengetahui semua hikmah yang ada

11
E. PLURALITAS AGAMA DAN MULTIKULTUALISME MAKHLUK
Pluralitas agama merupakan problem yang cukup rumit. Agama disatu sisi menekankan
kebenaran yang absolut, tetapi disisi lain jumlah agama itu banyak. Setiap agama mengaku
ajarannyalah yang paling benar, karena itu timbul tanda tanya mana agama yang paling benar
dari sekian agama yang ada? Apakah semua agama itu benar, atau semuanya tidak benar.
Kalau ada agama yang paling benar dari sekian agama, maka bagaimana mengetahui agama
yang paling benar tersebut? Pernyataan semacam ini sering diajukan tidak saja dari kaum
tesis tapi kaum intelektual yang percaya kepada Tuhan.

Al-Razi, seorang fiosof yang percaya kepada Tuhan menolak agama-agama yang ada karena
setiap agama mempropagandakan kebenarannya sendiri dan para penganut agama merekalah
yang paling benar. Menurutnya akal mampu mengetahui yang baik dan yang buruk tanpa
prtolongan wahyu dan nabi. Dengan akal seseorang mampu mengetahui Tuhan. Menurutnya
tak ada keistmewaan seseorang untuk mendapat wahyu sebab semua manusia dilahirkan
sama, perbedaan kemudian bukan karena pembawaan, tetapi larena pendidikan dan
kemampuannya. Di samping itu ajaran para nabi bertenangan satu sama lain, jika mereka
membawa ajaran atas nama Tuhan yang satu.

Setelah mengkritik para nabi, al-Razi, melancarkan kepada agama secara keseluruhan. Dia
mengungkapkan tiga hal yang berkaitan dengan kelemahan agama. Pertama agama itu
merupakan imitasi dan tradisi. Kedua, agama sebagai kekuatan tokoh-tokoh agama yamh
mengabdi pada negara. Ketiga, ucapan dan ritus agama adalah suatu rekayasa untuk tujuan-
tujuan yang tidak bersifat keagamaan. Dia juga mengkritik kitab suci agama dengan melihat
kontradiksi yang terdapat didalamnya. Dia mengkritik Injil dengan Al-Qur’an, begitu juga
sebaliknya Taurat dengan Injil. Menurutnya buku ilmiah, matematika, fisika, dan logika lebih
berguna bagi kehidupan manusia ketimbang kitab yang diwahyukan.

Manusia sebagai makhluk yang sangat mulia telah dianugerahi sebagai penghuni bumi dan
dinobatkan sebagai khalifah (pemimpin). Peran manusia sebagai pemimpin telah memberikan
kebebasan kepada manusia untuk melakukan berbagai kreatifitas dan inovasi yang membawa
kemaslahatan kepada manusia lainnya yang hidup bergandengan dengan dirinya sendiri.
Salah satu karya terbaik manusia adalah kebebasan manusia dalam melahirkan berbagai
budaya sesuai dengan kondisi kehidupan mereka masing-masing. Kebebasan ini telah
membawa dampak terhadap banyaknya lahir budaya-budaya yang telah dibangun oleh

12
manusia, sehingga sering terjadi pertemuan dua atau lebih budaya yang saling berbeda.
Perbedaan budaya dalam kehidupan manusia disebut dengan multikultural.

Perkumpulan beberapa orang manusia dalam sebuah daerah akan membentuk kelompok yang
sering dikenal dengan masyarakat. Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang
memiliki tujuan hidup yang sama. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup secara
sendiri-sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Untuk itu, manusia selalu
memiliki kecenderungan untuk menjadikan dirinya sebagai sebuah anggota dalam kelompok
masyarakat.

Multikultural adalah keberagaman budaya yang ada dalam sebuah komunitas masyarakat,
dan diharapkan dengan keberagaman ini akan enjadikan sebuah kekompakan dalam
masyarakat dan menghindari perpecahan dan pertikaian antar individu atau kelompok yang
ada dalam masyarakat tersebut.

Hal ini dipertegas oleh Bikku Parekh yang mengategorikan konsep multikulturalisme
kedalam tiga bagian pokok:

a) Perbedaan subkultur (subculture divesity), yaitu individu atau sekompok


masyarakat yang hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang berbeda dengan
komunitas besar dengan system nilai atau budaya pada umumnya yang berlaku.
b) Perbedaan dalam perspektif (perspectival diversity) yaitu individu atau kelompok
dengan perspektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya mapan yang dianut
oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya.
c) Perbedaan komunalitas (communal diversity), yakni individu atau kelompok yang
hidup dengan gaya hidup yang genuine sesuai dengan identitas komunal mereka
(indigeneous people way of life).

Multikulturalisme merupakan budaya yang lebih dari dua dan berkembang ditengah-tengah
masyarakat. Dalam hal ini Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ada tiga bentuk dari
kebudayaan, diantaranya adalah sebagai berikut:

a) Wujud ide, yang sifatnya abstrak dan tidak dapat diraba, tetapi memiliki lokasi
didalam kepala tiap-tiap individu. Wujud ide ini baru tampak apabila dihasilkan
dalam bentuk karya-karya yang jelas.
b) Kelakukan berpola dari manusia untuk masyarakat, yaitu aktifitas yang dilakukan
untuk kepentingan masyarakat.

13
c) Hasil karya manusia yaitu sebuah wujud atau sifat yang paling konkrit.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pokok pembahasan filsat agama adalah sejarah kepercayaan umat manusia tentang yang gaib
dan agumen tentang adanya Tuhan. Sepanjang sejarah, tidak ada masyarakat yang bebas dari
kepercayaan kepada yang gaib, baik dalam masyarakat yng sangat sederhna maupun
masyarakat modern. Bukti tentang adanya Tuhan itu tidak dapat dipungiri oleh siapapun.
Namun bentuk dan respon suatu masyarakat tentang kekuatan gaib itu berbeda. Jika yang
gaib dilihat dari sudut kekuatan dan keperkasaan dan perhatian kepada mahluk maka
penghormatan kepada-Nya berbentuk ketundukan dan ibadah. Jika Tuhan dipandang dari
sudut asal dan tujuan alam, kemudian Dia tidak campur tangan didalamnya, maka timbullah
suatu keyakinan kepada Tuhan yang tidak diiringi dengan adanya kepatuhan dan ibadah,
tetapi hanya sekedar kekaguman saja. Dari konsep keerkasaan Tuhan muncul keinginan
manusia untuk menjalin hubungan baik dengan Tuhan, sedangkan dari konsep Tuhan yang
sekedar asal dan tujuan alam, tidak timbul keinginan manusia mengadakan hubungan baik
dengannya.

Disamping menguraikan alternatif-alternatif dalam masalah hubungan Tuhan dan manusia,


filsafat agama juga mengungkapkan problem-problem yang cukup dilematis, seperti
hubungan kehendak mutlak Tuhan dengan kebebasan manusia dan Tuhan personal dengan
Tuhan yang imposenal. Masalah seperti itu telah dibahas oleh para pemikir agama dari
berbagai sudut pandang. Namun penyelesaian yang maksimal dan tuntas tentang masalah
tersebut belum tercapai dan memuaskan semua pihak. Karena itu penyelesaian dan kepuasan
para penganut agama sangat tergantung pada keluasan pengetahuannya dan keinginannya
untuk mencari yang lebih memuaskan. Ini mungkin ada hikmahnya, minimal agar penganut
agama itu tidak statis, tetapi selalu kreatif dan mengadakan dialog untuk mencari jalan keluar
yang terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

14
Ahmad Syarqawi. (t.thn.). Masyarakat Multikultural (Dinamika Kehidupan Manusia).
Medan: Jurnal Program UIN Sumatera Utara.

Demitria Selvita Alvianey. (2016). Pokok – Pokok Pemikiran Eksistensialisme Friedrich


Wilhelm Nietzsche dalam Memoar La Nuit Karya Elie Wiesel : Sebuah Tinjauan
Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Semarang: Skripsi Program Sarjana
Universitas Negeri Semarang.

Emanuel Prasetyono. (2014). Tema - Tema Eksistensialisme. Surabaya: Repository Unika


Widya Mandala.

Fajar Nurhardianto dan Trimo Prabowo. (2013). Akar Keraguan Terhadap Agama. Bandar
Lampung: Makalah Program Sarjana UIN Raden Intan Lampung.

Narmi Kadullah dan Fauzia Sambayang. (2011). Filsafat Ilmu. Manado: Makalah Program
Sarjana STAIN Manado.

15

Anda mungkin juga menyukai