Anda di halaman 1dari 16

EMPAT KATA AJAIB BAGI

ANAK USIA DINI

KARYA TULIS ILMIAH

Disusun oleh:
Kelompok 11
Nafisatul Widad 220210205013
Nurul Lutfiyatul Faizah 220210205016
Tasya Cahyani Riski 220210205023
Atika Dewi Rahmawati 220210205033
Sulvi Ita Purnamasari 220210205059
Aisya Fany Putri Harwant 220210205089

PROGRAM STUDI S1 PG PAUD


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2023
ii

ABSTRAK

Abstrak: Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk (1) menginternalisasikan


Empat Kata Ajaib untuk membentuk karakter dan moral anak. (2) Membiasakan
anak usia dini untuk mengucapkan (maaf, tolong, permisi dan terima kasih).
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan pendekatan kualitatif yang deskriptif
dengan menganalisa beberapa karya ilmiah. Dilaksanakan pada tanggal 22 Maret
2023 sampai 24 Maret 2023. Dalam proses analisis data penulis menggunakan
referensi beberapa jurnal, penyajian data dan kesimpulan. Dengan hasil sebagai
berikut: (1) Internalisasi Empat Kata Ajaib sebagai pembentuk moral dan karakter
anak, dengan membiasakan anak mengucapkan ”maaf, tolong, permisi dan terima
kasih”, dengan melakukan pengulangan. (2) Pembiasaan yang dilakuakan
membawa dampak baik pada moral dan karakter anak, seperti sabar, saling
memaafkan dan tolong menolong antar sesama.
Kata kunci: Menginternalisasikan, Empat Kata Ajaib, Pembiasaan
BAB I
PENDAHULUAN

Manusia hakikatnya merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan


satu sama lain. Dalam proses interaksi dengan sesama diharapkan membawa
dampak positif terhadap karakter pribadinya. Kesantunan bahasa merupakan kunci
utama dalam berinteraksi dengan sesame manusia. Krisis moral dan karakter kini
dapat kita rasakan ditengah lingkungan masyarakat, hal ini berkaitan dengan
kurangnya internalisasi nilai nilai moral dan karakter pada anak usia dini. Adanya
wabah covid-19 beberapa waktu lalu juga ikut andil dalam penurunan pendidikan
moral dan karakter pada anak.
Dalam hal ini sebagai orang tua dan pendidik harus menekankan pendidikan
moral dan karakter pada anak sedini mungkin, sebab hal ini akan mempengaruhi
kebiasaan anak untuk masa depannya dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai
orang tua kita juga mampu membiasakan anak tanpa harus memaksakan kehendak,
hal sederhana dapat kita ajarkan dan tanamkan pada diri anak seperti mengucapkan
“terima kasih, tolong, permisi dan maaf”.
Orang tua dan pendidik merupakan kunci utama dalam menanamkan
pendidikan moral untuk membangkitkan kembali karakter dan moral yang baik dan
beradab di lingkungan masyarakat. Mengajarkan sopan santun dapat diusahakan
sedini mungkin pada anak sebab dapat menjadi pondasi bagi kehidupan anak
tersebut.
1

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1. Perilaku Sopan Santun Anak Usia Dini


a. Pengertian perilaku sopan santun
Ujiningsih (Niken & Siti & Sadiman : 2014) berpendapat bahwa perilaku
sopan santun merupakan perilaku seorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai
menghormati, menghargai, tak sombong, serta berakhlaq mulia. Perwujudan asal
perilaku sopan santun artinya perilaku yang menghormati orang lain melalui
komunikasi menggunakan bahasa yang tidak meremehkan atau merendahkan orang
lain. dalam budaya jawa sikap sopan salah satunya ditandai dengan sikap
menghormati kepada orang yang lebih tua, menggunakan bahasa yang sopan, tidak
memiliki sifat yang sombong. Pembiasaan sikap sopan santun ini perlu dilakukan
di kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga juga dilingkungan lebih kurang anak,
supaya nantinya anak akan mudah bersosialisasi dimanapun anak berada. Hal ini
berdasar ungkapan Kusuma ( dalam Kusbandinah : 2013), Kelak, anak yang
dibiasakan asal kecil buat bersikap sopan santun akan lebih simpel bersosialisasi.
dia akan praktis memahami aturan-aturan yang ada pada warga serta mau
mematuhi hukum awam tersebut. Anak pun cukup simpel beradaptasi dengan
lingkungan baru, supel, selalu menghargai orang lain, penuh percaya diri, serta
mempunyai kehidupan sosial yang baik. Pendek istilah, dia tumbuh menjadi sosok
yang beradab. Untuk dapat memenuhi kebutuhan bersosialisasi dengan manusia
lain, sangat diperlukan adanya sopan santun sebagai sarananya.
b. Faktor yang mempengaruhi sopan santun
Sopan santun merupakan sebuah perilaku. Untuk dapat mengetahui faktor
yang mempengaruhi sopan santun, sama pula dengan mengetahui faktor yang
mempengaruhi perilaku. Faktor-faktor yang mempengaruhi sopan santun anak,
adalah sebagai berikut:
2

a. Faktor Orang Tua Orang tua adalah faktor pertama yang menyebabkan
penyimpangan dari diri anak. Karena dari orang tua pendidikan pertama
didapat oleh anak.
b. Faktor Lingkungan Lingkungan mempunyai peranan yang besar dalam
membentuk karakter dan kepribadian anak jika anak tumbuh dan besar
dalam lingkungan yang disharmonis, maka perilaku anak tersebut akan
cenderung kepada penyimpangan-penyimpangan pada diri anak.
c. Faktor Sekolah Perilaku siswa terbentuk dan dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain faktor lingkungan, keluarga dan sekolah.
c. Contoh perilaku sopan santun

Berdasar Standar dan Bahan Ajar PAUD Nonformal Tahun 2007, dalam Satibi
(2013: 1.15) Pada Aspek Perkembangan Moral dan Nilai-nilai Agama usia 5-6
tahun, di perkembangan dasar anak untuk terbiasa berperilaku sopan santun dan
saling menghormati yang menjadi Indikator adalah: 1.Bersikap ramah; 2. Meminta
tolong dengan baik; 3. Berterima kasih jika memperoleh sesuatu; 4. Berbahasa
sopan dalam berbicara (tidak berteriak); 5. Mau mengalah; 6. Mendengarkan orang
tua/teman berbicara; 7. Tidak mengganggu teman; 8. Memberi dan membalas
salam; 9. Menutup mulut dan hidung bila bersin/batuk; 10. Menghormati yang lebih
tua; 11. Menghargai teman/orang lain; 12. Mendengarkan dan memperhatikan
teman bicara; 14. Menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua.
2.2 Metode Bercerita
a. Metode Bercerita
Bercerita merupakan salah satu metode pembelajaran yang sudah sering
dipakai dalam pembelajaran anak, terutama pada pembelajaran anak usia dini.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Muzdalifah:2013) cerita merupakan
tuturan yang membentangkan tentang bagaimana terjadinya suatu hal atau peristiwa
atau karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman kebahagiaan atau
penderitaan orang, kejadian tersebut sungguh-sungguh atau rekaan. Sedangkan
Depdiknas (Muzdalifah:2013) mendefinisikan bahwa metode bercetita adalah cara
bertutur kata dalam penyampaian cerita atau memberikan penjelasan kepada anak
secara lisan, dalam upaya memperkenalkan ataupun memberikan keterangan hal
3

baru pada anak. Conny R. Semiawan (2008:34) cara ampuh merubah anak adalah
dengan memahami anak sedemikian rupa dapat menerobos ke dalam penghayatan
pengalaman. Satu-satunya jalan adalah memasuki dunia anak itu melalui cerita
sesuai dengan dunia anak sehingga tercadi pertemuan dan keterlibatan emosi,
pemahaman keterlibatan mental antara bercerita dengan anak. Dengan demikian
terwujudlah pengalaman dua sisi antara yang bercerita dengan anak.
b. Manfaat bercerita
Metode bercerita mampu mengembangkan nilai-nilai moral dan agama pada
anak usia dini, karena bisa membiasakan anak untuk berperilaku sopan,
mengucapkan salam, mau berbagi mainan, mau bekerjasama, tidak mudah marah,
mau memaafkan dan memberikan contoh-contoh positif pada anak, menciptakan
lingkungan yang baik, yang harmonis penuh ketata sopanan, menurut Siti (2013).
Cerita banyak digunakan oleh para guru untuk menyampaikan pesan kepada peserta
didiknya. Penggunaan cerita ini bukan tanpa alasan. Bercerita memiliki manfaat
yang banyak. Abbas (Wuri Wuryandani:2010) mengungkapkan bercerita sebagai
metode atau media pendidikan yang mempunyai fungsi: 1) menyajikan kebenaran
yang abstrak menjadi jelas, 2) mengembangkan imajinasi, 3) membangkitkan rasa
ingin tahu, 4) mempengaruhi perasaan, 5) melatih daya tangkap dan konsentrasi, 6)
membantu perkembangan fantasi, 7) menambah pengetahuan, 8) mengembangkan
kemampuan berbahasa. Satibi (2013:4.24) berpendapat bercerita mempunyai
makna penting bagi perkembangan anak usia dini, karena melalui bercerita kita
dapat: 1) Mengkomunikasikan nilai-nilai budaya, 2) Mengkomunikasikan nilai-
nilai sosial, 3) Mengkomunikasikan nilai moral dan keagamaan, dan 4) Membantu
mengembangkan fantasi anak.
c. Teknik bercerita

Banyaknya teknik bercerita bertujuan membuat adanya variasi dalam


penyampaian cerita pada anak usia dini. Pentingnya pemilihan metode yang tepat
juga berpengaruh pada seberapa tertariknya anak-anak untuk mendengar cerita itu
sendiri. Satibi (2013: 4.25) menggolongkan teknik bercerita menjadi lima, yaitu
diantaranya: Teknik bercerita dengan membaca langsung dari buku, Teknik
bercerita dengan menggunakan ilustrasi dari buku, Teknik bercerita dengan
4

menceritakan dongeng, Teknik bercerita dengan menggunakan papan flannel, dan


Teknik bercerita dengan menggunakan media boneka. Peneliti memilih teknik
bercerita dengan menggunakan media boneka, dalam penyampaian cerita yang
akan disampaikan. Teknik menggunakan media boneka adalah proses penyampaian
cerita dengan menggunakan boneka sebagai tokoh-tokoh yang mewakili cerita yang
sedang disampaikan. Pemilihan bercerita dengan menggunakan boneka tergantung
pada usia dan pengalaman anak. Karena boneka yang digunakan akan mewakili
tokoh-tokoh cerita yang disampaikan, maka penting menyiapkan terlebih dahulu
boneka yang akan digunakan. Sebagai contoh, jika akan menceritakan tentang
keluarga, maka perlu menyiapkan boneka yang terdiri atas ayah, ibu, anak, kakek,
nenek, dan yang lain sebagainya disesuaikan dengan tokoh yang diinginkan,
menurut Satibi (2013: 4.27).
2.3 Kerangka Berpikir
Moeslichatoen (2004:157) metode bercerita adalah galat satu metode
pemberian pengalaman belajar bagi anak Taman Kanak-kanak dengan
membawakan cerita pada anak secara verbal. Satibi (2013:4.24) mengatakan,
bercerita mempunyai makna penting bagi perkembangan anak usia dini, karena
bercerita kita bisa 1.) Mengkomunikasikan nilai-nilai budaya, dua.)
Mengkomunikasikan nilai-nilai sosial, tiga.) Mengkomunikasikan nilai moral dan
keagamaan, dan 4.) Membantu membuatkan fantasi anak. Melihat seluruh paparan
di atas maka bisa disimpulkan bahwa metode bercerita diperlukan akan mampu
menaikkan sikap sopan santun anak usia 5-6 tahun, sebab fungsi bercerita ialah buat
mengkomunikasikan berbagai nilai serta bisa mengganti nilai tertentu dalam diri
seseorang. Hal tadi juga terkait menggunakan seluruh yang didengar lewat cerita
oleh anak akan direkam anak dan dijadikan sebagai pengalaman yang akan
diterapkannya pada kehidupannya.
2.4 Penelitian Relevan
Penelitian ini didasarkan di hasil penelitian yg dilakukan oleh Niken Popy, dkk
(2015) berjudul “Peningkatan sikap Sopan Santun Melalui Cerita Fiksi terbaru di
Anak grup B Taman Kanak-kanak Islam Permata Hati Surakarta” , dengan metode
PTK yg dilaksanakan dalam dua siklus. dari penelitian tersebut didapatkan hasil
5

presentase sikap sopan santun yang signifikan di daur ke 2. menggunakan istilah


lain penggunaan metode bercerita dapat menaikkan sikap sopan santun anak. Siti
Maemunah (2013) jua sudah melakukan penelitian berjudul “Pengembangan Nilai-
Nilai Moral dan agama Melalui Metode Bercerita di Anak grup B Taman Kanak-
Kanak Aba Gaden III, Klaten” dan diperoleh prosentase daur terakhir penelitian
yg bisa melebihi kriteria ketuntasan minimum yg ditetapkan sebelumnya. Berdasar
penelitian ini, kesimpulannya ialah bahwa metode bercerita dapat membuatkan
nilai-nilai moral dan agama anak. berdasarkan asal beberapa penelitian pada atas,
diperoleh akibat bahwa metode bercerita bisa menaikkan moral anak, khususnya
perilaku sopan santun anak. Peningkatan moral atau sikap sopan santun anak bisa
dilihat berasal perubahan angka kenaikan di daur I ke siklus berikutnya.
menggunakan demikian penggunaan metode bercerita bisa menaikkan sikap sopan
santun anak, sesuai dengan penelitianpenelitian yg dilakukan sebelumnya. namun
demikian, masih perlu dibuktikan lagi melalui metode PAR (Participatory Action
Research) ini.
6

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penlitian Kualitatif


Maka dari itu peneliti terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul
“ Empat Kata Ajaib Untuk Anak Usia Dini”.Metode Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian yang
dilakukan bermaksud untuk melihat pembiasaan empat kata ajaib (maaf,
tolong, permisi, terimakasih) dalam pembentukan karakter siswa pada anak usia
dini, sehingga peneliti memilih penelitian kualitatif.
Metode Penelitian Kualitatif Menurut (Sugiyono, 2019) metode penelitian
berdasarkan post-positivisme atau filosofi korporasi untuk kajian terhadap kondisi
obyek yang alamiah, dimana peneliti sebagai alat kunci, teknik pengumpulan data
diperoleh dengan triangulasi (menggabungkan observasi, wawancara, dokumen),
Data tersebut sering berupa data kualitatif, analisis data bersifat
induktif/kualitatif, hasil penelitian kualitatif dapat berupa penemuan potensi dan
masalah, keunikan objek, makna peristiwa, proses dan interaksi sosial, data
deterministik keaslian, konstruksi fenomena, penemuan hipotesis. Jenis penelitian
yang digunakan adalah studi kasus atau biasa disebut dengan studi lapangan. Oleh
karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menggali interaksi lingkungan, lokasi,
dan kondisi tapak unit kajian (misalnya: unit sosial atau lingkungan) secara as-is.
Obyek penelitian dapat berupa individu, komunitas atau lembaga. Padahal, subjek
penelitian yang dipelajari relatif sedikit. Namun fokus dan variabel penelitian
sangat luas (Suyitno, 2018).
7

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Cara pembiasaan empat kata ajaib dalam pembentukan karakter anak.
Setiap proses mempunyai strategi yang baik agar terlaksananya
suatu implementasi pembiasaan. Cara pembiasaan empat kata ajaib diantaranya
yaitu, penanaman moral, morning talk dengan memberikan nilai-nilai yang
baik dan tidak baik, pembiasaan berkata empat kata ajaib (maaf, tolong ,
permisi dan terimakasih) guru memberitahu pentingnya empat kata ajaib dan
membuat pemberitahuan yang menarik seperti pamflet himbauan, selain itu
mencontohkan dan saling mengingatkan.
4.2 Faktor pendukung dan penghambat implementasi pembiasaan empat kata
ajaib.
Setiap pelaksanaan pembiasaan tentunya terdapat faktor pendukung dan
penghambat, seperti kendala dan permasalahan yang terjadi. Berkenaan dengan
faktor pendukung dari implementasi pembiasaan empat kata ajaib ini sebagai
berikut:
Pertama keaktifan peserta didik, yaitu terlihat dari antusias, disiplin dan
saling mengingatkan teman sebayanya dalam kebaikan bertutur kata yang baik,
peserta didik dapat mengimplementasikan pembiasaan empat kata ajaib seperti
contohnya jika berbuat salah maka segera meminta maaf, ketika siswa melihat
temannya yang berbuat salah maka siswa yang lain dapat mengingatkannya
secara sopan. Jika butuh pertolongan maka meminta tolong dengan berkata
yang sopan agar tidak asal nyuruh saja. Ketika diberi sesuatu maka siswa
akan mengucapkan terimakasih. Jika anak melewati rombongan orang tua atau
teman sebaya anak akan mengucapkan kata permisi. Karena mereka telah
mengetahui bahwasannya dengan melakukan pembiasaan empat kata ajaib akan
memberikan manfaat positif bagi mereka, yaitu dalam berbicara menjadi lebih
sopan, tidak egois.
8

Kedua bimbingan orang tua, didalam keluarga ada orang tua yang
memegang peran penting dalam membentuk karakter anak, orangtua tidak hanya
melakukan pengawasan pada anak tetapi juga memberikan bimbingan agar anak
terbiasa melakukan kebiasaan positif seperti membiasakan mengucapkan empat
kata ajaib.
Ketiga peran guru, peran guru disekolah merupakan sebagai figure yang
memberikan keteladanan pada peserta didik. Dimana guru bukan hanya
memerintahkan peserta didik untuk saling memaafkan, tolong menolong dan
berterimakasih saja, namun guru juga ikut andil mencontohkan dengan baik
sebab peran guru juga penting di sekolah.
Adapun faktor penghambat seperti diri sendiri yang egois menyebabkan
dirinya merasa paling benar. Kedua,orangtua pun selain menjadi faktor pendukung
bisa jadi faktor penghambat jika orangtua tersebut acuh atau tidak mendukung
pembiasaan berkata empat ajaib di lingkungan rumah. Ketiga, lingkungan yang
dapat menyebabkan salah satu faktor penghambat, jika terdapat teman yang
egois, dan bertutur kata yang kurang baik, tidak membiasakan menerapkan
tiga kata ajaib.
4.3 Penerapan Metode CTL (Contextual Teaching and Learning)
Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi setiap orang. Setiap orang
berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak selama hidupnya. Munculnya
pandemi covid-19 mengakibatkan sektor pendidikan terdampak cukup besar,
sehingga mengakibatkan proses belajar mengajar yang semula dilakuka secara
tatap muka menjadi harus dilakukan secara daring (online). Hal tersebut pastinya
akan mengakibatkan peserta didik diharuskan untuk beradaptasi lagi dalam
kegiatan belajar dan pembelajaran. Ada suatu hal yang hilang dalam kegiatan
pembelajaran offline yang tidak bisa bahkan sulit untuk diterapkan pada saat
pembelajaran online. Khususnya dalam perilaku atau etika peserta didik, misalnya
dengan kebiasaan untuk mengtakan kata “maaf”, “terimakasih”, “tolong”, dan
“permisi”. Hal tersebut tentunya harus segera dibenahi agar kedepannya anak -anak
bisa lebih mengerti dan memahami tentang etika yang akan membuat mereka untuk
lebih bisa menghormati orang orang disekitarnya. Karena etika yang buruk tentunya
9

akan berakibat buruk juga untuk masa depan dari anak-anak tersebut. Dalam
menghadapi permasalahan tersebut, bisa diatasi dengan melakukan kegiatan
pembelajaran etika melalui model CTL (Contextual Teaching learning) kepada
anak – anak usia dini.
Masalah etika biasa muncul dikalangan anak-anak diakibatkan oleh
lingkungan sekitar mereka yang cukup memberikan dampak negatif apalagi anak
adalah peniru yang sangat handal . Tidak ada role model yang cukup signifikan atau
baik bagi mereka yang bisa ditiru dalam aspek etika ini. Orang tua pun bisa menjadi
alasan mengapa anak tidak memiliki etika yang baik, karena orang tua tersebut tidak
begitu mengawasi lingkup pertenamanan. Terlebih dengan kondisi pembelajaran
saat daring, yang bisa memperparah keadaan karena anak-anak tidak mendapat
teguran, nasihat atau contoh secara nyata dari guru mereka tentang pendidikan etika
itu sendiri.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, bisa dilkukan kegiatan
pembelajaran khusus terkait etika kepada anak -anak dini. Yang mana akan
dilakukan dengan metode yang berbeda agar anak bisa lebih tertarik, memahami
dan juga bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya.
Metode yang akan digunakan adalah CTL (Contextual Teaching and Learning)
dalam kegiatan belajar mengajar pad anak usia dini.
Menurut Nurhadi dalam Mundilarto (Mundilarto, (2004)) Contextual
Teaching and Learning merupakan konsep belajar mengajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan di kelas dengan situasi dunia nyata siswa
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan
penerapannya dalam kehidupannya sebagai individu, anggota keluarga, dan
masyarakat. Selanjutnya ada karakteristik pembelejaran yang menggunakan
metode kontekstual menurut Priyatni (Krisnawati dan Madya (2004)), yaitu sebagai
berikut:
(1) Pembelajaran yang dilaksanakan dalam konteks yang otentik, artinya
pembelajaran diarahkan agar siswa memiliki keterampilan dalam memecahkan
masalah nyata yang dihadapi.
10

(2) Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan


tugastugas yang bermakna.
(3) Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada
siswa.
(4) Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok , berdiskusi, dan saling
mengoreksi.
(5) Kebersamaan, kerjasama, dan saling memahami satu dengan yang lain secara
mendalam merupakan aspek pembelajaran yang menyenangkan.
(6) Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif dan memetingkan
kerjasama.
(7) Pembelajaran dilaksanakan dengan cara menyenangkan.
Kegiatan pembelajaran etika dilakukan merujuk pada karakteristik
sebelumnya. Dengan melibatkan secara penuh peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran hal ini bertujuan agar materi yang disampaikan dapat dipahami secara
mendalam. Lalu dengan proses pembelajaran yang aktif, kreatif dan produktif tadi
membuat peserta didik merasa nyaman dan hal ini akan berdampak pada
pemahaman mereka tentang materi yang sedang diberikan. Menurut Enoh (2004)
dijelaskan bahwa evaluasi dalam pembelajaran kontekstual dilakukan tidak terbatas
pada evaluasi hasil (ulangan harian, cawu, tetapi juga berupa kuis, tugas kelompok,
tugas individu, dan ulangan akhir semester) tetapi juga dapat dilakukan evaluasi
proses. Dengan demikian akan diketahui kecepatan belajar siswa, walau akhirnya
akan dibandingan dengan standar yang harus dicapai. Adapun metode penilaian
yang digunakan dalam pembelajaran pendekatan kontekstual adalah:
(1) Diskusi: kemampuan siswa berbicara, mengemukakan ide, dan sebagainya.
(2) Wawancara: kemampuan siswa dalam memahami konsep dan kedalamannya.
(3) Paper & Pencil Test: berbagai jenis tes dengan tingkat pemikiran yang tinggi.
(4) Observasi: menilai sikap dan perilaku siswa.
(5) Demonstrasi: kemampuan mentransformasikan ide-ide ke dalam sesuatu yang
konkret dan dapat diamati melalui penglihatan, pendengaran, seni, drama
pergerakan, dan atau musik.
11

Hal ini berarti menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran etika yang


dilakukan dengan menggunakan metode CTL (Contextual Teaching and Learning)
bisa diterapkan di lembaga Pendidikan Anak Uia Dini. Peserta didik dapat
memahami lebih baik tentang etika dan juga dapat mengaplikasikannya kedalam
kehidupan sehari–hari. Tentunya keberhasilan pembelajaran menggunakan metode
kontekstual ini dipengaruhi juga oleh motivasi anak yang cukup baik sehingga
mereka dapat menerima materi dengan baik pula.
12

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pendidikan merupakan hal utama bagi setiap orang. Dengan pendidikan,
seseorang akan mengetahui perilaku etika. Dengan adanya pendidikan, seseorang
dapat menerapkan perilaku etika, seperti kebiasaan dengan mengucapkan empat
kata ajaib yaitu, kata “maaf”, “terima kasih”, “tolong”, dan “permisi”. Dengan
menerapkan empat kata ajaib tersebut anak-anak akan terbiasa dan tahu bagaimana
melakukan hal-hal baik yang dapat menghormati kepada orang-orang disekitar
terutama orang yang lebih tua.
Etika adalah sesuatu yang harus dimiliki seseorang, baik orang dewasa
maupun anak-anak. Pengaruh etika, baik pengaruh etika positif maupun pengaruh
etika negatif merupakan hasil dari pengaruh lingkungan. Anak-anak adalah peniru
yang handal. Orang tua harus mengontrol lingkungan pengaruh anak. Jika
lingkungan anak memberikan pengaruh yang positif, maka anak akan terarah
dengan lingkungan yang posistif, begitu pula sebaliknya.
5.2 Saran
Sebagai orang yang lebih tua dari anak-anak. Guru dan orang tua hendaknya
harus membentuk karakter anak dengan terwujudnya pribadi anak yang memiliki
kebiasaan dengan mengucapkan empat kata ajaib seperti, “maaf”, “terima kasih”,
“tolong”, dan “permisi”.
13

DAFTAR PUSTAKA

Dini, J. P. A. U. (2021). Penanaman Sikap Sopan Santun dalam Budaya Jawa

Pada Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini.
5(2): 2059-2070.
Fauziah, D. F. Firdaus, F. N. Sonia, N. Rosmiati, S. Pramudia, Y. dan Afrillia, A.
(2021). Analisis Penerapan Etik Pendidikan Menggunakan Model CTL
(Contextual Teaching and Learning) Terhadap Anak Sekolah Dasar.
Proceedings UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 1(52). Desember 2021:
93-98.
Purba. Minanrni. Syahrial. dan Fauziddin, M. (2020). Menanamkan Moral Sejak
Dini Melalui Buku Bergambar Pilar Karakter Sopan Santun Pada Anak
Usia Dini di Desa Gerbang Sari Kecamatan Tapung Hilir Kabupaten
Kampar. Journal on Teacher Education. 2(1): 146-155
Sugiono. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suyitno. (2018). Metode Penelitian Kualitatif: Konsep,Prinsip, dan
Operasionalnya. Tulungagung: Akademia Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai