TASAWUF
Makalah Ini Dibuat Dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Pada
Mata Kuliah“Ilmu Tasawuf”.
Dosen Pengampu :
Drs. H. Adnan, M.Ag
Disusun Oleh :
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT. karena atas rahmat,
karunia serta kasih sayang-Nya saya dapat menyelesaikan makalah mengenai
“Latar Belakang Tasawuf” ini dengan sebaik mungkin. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurah kepada suri tauladan kita sekaligus penutup para nabi yaitu
Nabi Muhammad SAW. Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada Drs.
H. Adnan, M.Ag selaku dosen mata kuliah Ilmu Kalam Prodi Tasawuf dan
Psikoterapi
Dalam penulisan makalah ini, saya menyadari masih banyak terdapat
kesalahan dan kekeliruan, baik yang berkenaan dengan materi pembahasan
maupun dengan teknik pengetikan, walaupun demikian, inilah usaha maksimal
kami selaku para penulis usahakan.
Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan
ilmu pengetahuan dan diharapkan kritik yang membangun dari para pembaca
guna memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.
Kelompok 1
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................1
BAB II.......................................................................................................................2
PEMBAHASAN.......................................................................................................2
A. Sejarah Timbulnya Masalah Aqidah Dalam Islam...................................2
B. Aliran-aliran Ilmu Kalam............................................................................5
C. Kontak Pertama Kaum Muslimin dengan Filsafat Yunani....................13
D. Rasional dan Tradisional dalam Pemikiran Islam..................................19
BAB III....................................................................................................................26
PENUTUP...............................................................................................................26
A. Kesimpulan..................................................................................................26
B. Saran............................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................27
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asy’ariyah merupakan salah satu nama dari beberapa nama corak pemikiran
dalam ilmu kalam, disebut Asy’ariyah sebagai nisbat kepada seorang yang Pertama
kali memuncul kan dan mengembangkan paham tersebut. Dialah Abu HasanAli bin
Ismail Al-Asy’ari yang lahir dari keturunan seorang yang dijadikanutusan perdamaian
dalam peperangan antara Ali dengan Muawiyah pada peristiwa tahkim. Aliran
Asy’ariyah ini juga yang disebut-sebut sebagai bagian dari aliran Ahlussuinnah Wa
al-Jama’ah yang menjadi aliran yang diikuti oleh mayoritas umat Islam.
Aliran ini muncul selain untuk membela kaum “Mustadl’afin” yang menjadi
korban kaum Mutazilah karena berbeda pendapat tentang al- qur’an sebagai
makhluk, juga muncul sebagai aliran yang menentang aliran mutazilah (yang
ditinggalkannya).
Di Indonesia, aliran ini diklaim oleh para kiai tradisional sebagai
kelompok yang selamat (al-firqt al-najiyah), meskipun banyak para cendikiawan
muslim lebih cenderung untuk menyalah gunakannya dengan alasan bahwa aliran ini
menyempitkan umat karena hanya banyak membaha tentang sepiritual dan
akhirat belaka sementara
umat umat yang ada di indonesia sampai sekarang ini mempunyai etoskerja yang
sangat lemah
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah timbulnya masalah aqidah dalam islam?
2. Apa saja aliran-aliran ilmu kalam?
3. Bagaimana kontak pertama kaum muslimin dengan filsafat Yunani?
4. Bagaimana rasional dan tradisional dalam pemikiran kalam?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui sejarah aqidah dalam Islam
2. Mengetahui aliran-aliran kalam
3. Mengetahui konteak pertama kaum muslimin dengan filsafat Yunani
4. Mengetahui pemikiran Islam
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Timbulnya Masalah Aqidah Dalam Islam
Aqidah secara etimologi dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘aqada, yang
berarti ikatan atau dalam hal ini berarti sesuatu yang ditetapkan atau yang
diyakini oleh hati dan perasaan, yaitu sesuatu yang dipercaya dan diyakini
kebenarannya oleh manusia.1 Sedangkan secara terminologi terdapat beberapa
definisi tentang aqidah, diantaranya Hasan al-Banna mengatakan aqidah adalah
beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati manusia,
mendatangkan ketenteraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur
sedikitpun dengan keragu-raguan.2
Aqidah adalah hal yang mendasar dalam agama Islam dan ada dalam setiap
aspek kehidupan yang menjadi dasar kehidupan seorang Muslim. Hal ini
dikarenakan hakikat penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Sang
Pencipta, yang setelahnya itu diikuti dengan rukun-rukun iman yang lain.
Aqidah merupakan pengetahuan pokok yang disebut arkanul iman atau
rukun iman yang terdiri atas iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman
kepada Rasul, iman kepada hari akhir serta iman kepada qada dan qadar.
Sedangkan menurut Buya Hamka, aqidah adalah kepercayaan kepada Allah
Yang Maha Esa.3 Pokok-pokok keimanan tersebut yang biasanya dibahas dalam
teologi Islam, dan dengan kata lain, yang dimaksud teologi adalah pengetahuan
tentang Tuhan dan manusia dalam pertaliannya dengan Tuhan.
Kemunculan paham dan aliran-aliran teologi dalam Islam tidaklah dapat
dilepaskan dari pertikaian politik. Yang mana dapat kita ketahui dari ketika
terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a, dan banyak kalangan yang tidak
menerima kematian beliau. Oleh karena itu, kebanyakan para sahabat menuntut
kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib untuk segera menghukum pelaku tindak
pembunuhan Utsman. Bahkan, ada indikasi jika Khalifah Ali terlibat dalam
wafatnya Utsman bin Affan tersebut.
Setelah Rasulullah SAW wafat, permasalahan politik yang pertama kali
muncul adalah masalah kepemimpinan, yaitu siapakah yang akan menggantikan
1
Mandzur, Ibnu, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Beirut li al-Thaba’ah wa al-Nasr, 1968, hlm. 296.
2
Hasan al-Banna, Majmu’atu ar-Rasail, Beirut: Muassasah ar-Risalah.
3
Hamka, Pelajaran Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1956, hlm. 25-26.
2
kepala pemerintahan yang sebelumnya dipegang oleh Rasulullah. Agama Islam
sendiri disamping merupakan sistem agama juga merupakan sistem politik, dan
Nabi Muhammad disamping kedudukannya sebagai Rasul, ia juga berkedudukan
sebagai kepala pemerintahan.4 Jadi, tidak mengherankan manakala masyarakat
Madinah justru sibuk memikirkan pengganti beliau sebagai pemimpin, sehingga
acara pemakaman Nabi menjadi persoalan nomor dua.
Terpilihnya Utsman sebagai Khalifah ternyata mendatangkan perpecahan
dikalangan pemerintahan Islam. Pangkal masalahnya sebenarnya berasal dari
persaingan kesukuan antara bani Umayyah dengan bani Hasyim atau Alawiyah
yang memang sudah bersaing sejak zaman pra Islam. Oleh karenanya, saat
Utsman terpilih, masyarakat menjadi dua golongan, yaitu golongan pengikut bani
Umayyah sebagai pendukung Utsman dan golongan bani Hasyim sebagai
pendukung Ali. Perpecahan tersebut semakin memuncak di penghujung
pemerintahan Utsman, yang menjadi simbol perpecahan kelompok yang
menyebabkan disintegrasi masyarakat Islam pada masa berikutnya.5
Pada tanggal 17 Juni 656 M (35 H) Khalifah Utsman dibunuh dengan cara
ditikam oleh gerombolan pemberontak yang berjumlah sekitar 500 masa
(diantaranya bernama Hamran bin Saudan Asy-Syaqi) yang tiba-tiba datang
mengepung rumah Utsman pada saat dirinya sedang membaca Al-Qur’an.
Kematian beliau dengan cara tersebut menyebabkan terjadinya huru hara
dikalangan kaum Muslimin yang menyebabkan banyaknya korban berjatuhan
dikalangan pemuda Muslim. Pembunuhan yang bermotif politik atas diri
Khalifah Utsman membawa dampak yang panjang terhadap sejarah Islam
sesudahnya, yang kemudian membuka pintu perpecahan antara kaum Muslimin.6
Saat ketika Ali bin Thalib sebagai Khalifah, segera ia mendapat tantangan
dari para pemuka yang ingin menjadi Khalifah yakni Thalhah bin Ubaidillah dan
Zubair bin Awwam (kakak ipar ‘Aisyah, suami dari Asma’ bin Abu Bakar) yang
disokong oleh Aisyah, puncaknya terjadi perang Jamal (35 H / 656 M).
Menurut riwayat Ibnu Qutaibah, “ Setelah Aisyah bertemu dengan Thalhah
dan Zubair lalu keduanya berkata, “Kalau engkau setuju lebih baik kita menuntut
darah Utsman.” Aisyah menjawab, “Dari siapakah kita akan menuntut darah
4
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Seajarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 2002,
hlm. 5.
5
A. Hafidz Dasuki dkk, Ensiklopedia Islam Jilid III, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hlm. 243.
6
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 2002,
hlm. 6.
3
Utsman?” Keduanya menjawab, “Orang-orang itu terang dan nyata, kebanyakan
ialah para pengikut Ali dan teman-temannya yang setia.” Pemikiran itu diikuti
oleh Aisyah, dan mereka pun berangkat ke Basrah bersama-sama. ”
Kedatangan Aisyah, Thalhah, dan Zubair terdengar oleh Utsman bin
Hunaif, walikota Basrah yang diangkat oleh Ali, kemudian menanyakan maksud
kedatangan mereka. Dan mereka pun (Aisyah, Thalhah, Zubair) segera
menjawab bahwa maksud dari kedatangannya adalah untuk mengumpulkan
kaum Muslimin agar bersama-sama meminta para pemberontak Utsman dituntut
dan diminta tebusan darahnya.7 Hukaim bin Jabalah yang berada di pasukan
Utsman bin Hunaif yang memicu pecahnya perang, dan perang tersebut berlanjut
hingga memakan korban jiwa dan luka-luka, perang ini pun berlangsung selama
dua hari dan berakhir dengan damai.
Adapun tantangan kedua yang berasal dari Gubernur Damaskus Muawiyah
bin Abi Sufyan yang tidak mau mengakui keKhalifahan Ali dan menuntut untuk
menghukum para pembunuh Utsman dan bahkan menuduh Ali terlibat
didalamnya. Puncak dari ketidaksetujuan pihak Muawiyah terhadap Ali adalah
terjadinya perang Shiffin (36 H / 657 M) antara pihak Khalifah Ali dengan
Muawiyah.8
Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali memeutuskan bergerak
menuju Syam dengan pasukannya yang berjumlah sekitar 100.000 hingga
150.000 personel, dan rencananya tersebut sampai kepada Muawiyah. Segera
setelahnya, Muawiyah pun menyiapkan pasukan dengan jumlah 90.000 hingga
150.000 personel, dan akhirnya kedua pasukan tersebut pun bertemu di Shiffin.
Saat perang berkecamuk, pasukan Ali hampir memenangkan pertempuran dan
tercatat 7.000 orang Islam gugur.9
Peristiwa ini berakhir dengan penerimaan (tahkim) dalam menyelesaikan
konflik dengan Muawiyah, yang justru dimenangkan oleh pihak Muawiyah.
Sikap Ali yang menerima tawaran Amr bin Ash untuk melaksanakan
perundingan melalui sistem tahkim, sebenarnya dalam keadaan situasi terpaksa,
karena tidak semua pasukannya menyetujui hal tersebut. Dengan demikian, maka
sebagian pasukan Ali menganggap beliau telah melakukan kesalahan sehingga
7
Hamka, Sejarah Umat Islam Pra Kenabian hingga Islam di Nusantar, Gema Insani, Jakarta, 2016.
8
Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufr Dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hlm. 9.
9
Buchori, Didin Saefuddin, Sejarah Politik Islam, Pustaka Intermassa, Jakarta, 2009.
4
mereka segera meninggalkan barisan Ali, mereka inilah yang dalam catatan
sejarah perkembangan Islam dikenal dengan nama kelompok Khawarij, yaitu
orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Dan kelompok tersebut juga
yang menghalalkan darah orang-orang yang terlibat dalam arbitrase dan juga
merupakan kelompok pertama yang tidak sepakat dengan negosiasi tersebut.
Kelompok ini mengatakan bahwa tidak beriman orang yang menerima keputusan
arbitrase, karena siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah
diturunkan Allah adalah kafir. Saling kafir mengkafirkan pun menjadi sebuah
realitas yang tak dapat disangkal pada masa ini, bahkan banyak nyawa kaum
Muslimin yang melayang dalam mempertahankan konsep dan pendirian tersebut.
Gagasan atau pemikiran adalah refleksi terhadap pemahaman Al-Qur’an,
hadits, fenomena alam, sosial, ekonomi, politik dan budaya yang dikeluarkan
oleh seorang intelektual. Oleh karena itu, memang benar jikalau pemikiran atau
gagasan akan terus ada, walaupun aliran dan tokoh pencetusnya telah tiada atau
terpinggirkan. Sederhananya, gagasan atau pemikiran tak lekang oleh waktu
selama ia diperbincangkan atau diperdebatkan. Oleh karena itu, sesungguhnya
Islam tidak dapat dilepaskan dari politik, dan lahirnya aliran teologi Islam juga
berawal dari politik.10
10
Nasution, Harun, Teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 2002.
5
mereka, karena mereka keluar dari rumah-rumah mereka dengan maksud
berjihad di jalan Allah. Hal ini didasarkan pada QS An-Nisa ayat 100.
Berdasarkan ayat tersebut, maka kaum khawarij memandang diri mereka
sebagai orang yang meninggalkan rumah atau kampung halamannya untuk
berjihad di jalan Allah.11
Dalam buku al-Khalifah wa al-Mulk karya Abu 'Ala al-Maududi
menjelaskan bahwa sejarah munculnya kelompok Khawarij adalah pada
waktu perang Shiffin ketika Ali dan Muawiyah
menyetujui penunjukan dua orang hakim sebagai penengah guna
menyelesaikan pertikaian yang ada diantara keduanya. Sebenarnya sampai
saat ini mereka adalah pendukung Ali, tetapi kemudian secara tiba-tiba,
mereka berbalik ketika berlangsungnya tahkim dan berkata kepada kedua
tersebut : "Kalian semuanya telah menjadi kafir dengan memperhakimkan
manusia sebagai ganti Allah di antara mereka."12
Sedangkan menurut Thaib Abdul Muin, menjelaskan bahwa Khawarij
timbul setelah perang Shiffin antara Ali dan Muawiyah. Peperangan itu
diakhiri dengan gencatan senjata, untuk mengadakan perundingan antara
kedua belah pihak. Golongan Khawarij adalah pengikut Ali,
mereka memisahkan diri dari pihak Ali, dan jadilah penentang Ali dan
Muawiyah, mereka mengatakan Ali tidak konsekuen dalam membela
kebenaran.13
Pengikut Khawarij berasal dari suku Arab Badui yang masih sederhana
akan cara berpikirnya. Jadi sikap keagamaan mereka sangat ekstrem dan sulit
menerima perbedaan pendapat. Mereka menganggap orang yang berada di
luar kelompoknya adalah kafir dan halal dibunuh.
a. Ajaran - Ajaran Khawarij
1) Pengangkatan khalifah akan sah jika berdasarkan pemilihan yang
benar-benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa
diskriminasi. Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku
adil, melaksanakan syariat, serta jauh dari kesalahan dan
penyelewengan. Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhkan dari
11
Chaerudji, Ilmu Kalam (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm. 33
12
Abu ‘Ala al-Maududi, Al-Khalifah wa al-Mulk, trans. oleh Muhammadal-Baqia, IV (Bandung: Mizan,
1996), hlm .275.
13
Thaib Abdul Muin, Ilmu Kalam (Jakarta: Bumi Restu, 2006), hlm.98
6
jabatannya atau dibunuh.
2) Jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan
monopoli suku Quraisy sebagaimana dianut oleh golongan lain, bukan
pula khusus orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan
semua bangsa mempunyai hak yang sama. Bahkan Khawarij
Mengutamakan non-Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.
Alasannya, apabila seorang khalifah melakukan penyelewengan dan
melanggar syariat akan mudah dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang
mempertahankannya atau keturunan keluarga yang mewarisinya.
3) Pengangkatan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat
menyelesaikan masalah-masalah mereka. Pengangkatan khalifah
bukan suatu kewajiban berdasarkan syara‘, tetapi hanya bersifat
kebolehan. Kalaupun pengangkatan itu wajib, maka kewajiban itu
berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
4) Orang yang berdosa adalah kafir. Mereka tidak membedakan antara
satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan berpendapat
merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.
5) Orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal (perang antara para
pelaku Aisyah, Thalhah, dan Zubair, dengan Ali bin Abi Thalib) dan
para pelaku tahkim termasuk yang menerima dan membenarkannya
dihukum kafir. 14
b. Tokoh - Tokoh Khawarij
Tokoh-tokoh Dalam Aliran Khawarij ini adalah Urwah bin Hudair,
Mustarid bin Sa'ad, Hausarah al-Asadi, Quraib bin Maruah, Nafi' bin al-
Azraq, dan 'Abdullah bin Basyir.
2. Syi'ah
Kata Syi‘ah menurut bahasa adalah pendukung atau pembela. Syi‘ah Ali
adalah pendukung atau pembela Ali. Syiah Muawiyah adalah pendukung
Muawiyah. Pada zaman Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman
bin Affan, kata Syi‘ah‘ dalam arti nama kelompok orang Islam belum
dikenal.15 Kalau pada waktu pemilihan khalifah ketiga ada yang mendukung
Ali, tetapi setelah umat Islam memutuskan memilih Utsman bin Affan, maka
14
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, hml.69.
15
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, trans. oleh Abdurrahman Dahlan
dan Ahmad Qarib (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hlm.34.
7
orang-orang yang tadinya mendukung Ali, berbaiat kepada Utsman termasuk
Ali. Jadi belum terbentuk secara faktual kelompok ummat Islam Syi‘ah.
Syi‘ah adalah mazhab politik yang pertama lahir dalam Islam. Mazhab
mereka tampil pada akhir masa pemerintahan Utsman, kemudian Pada masa
kekhalifahan Ali bin abi thalib Aliran ini tumbuh dan berkembang. Bahkan,
pada saat ali terjun ke masyarakat, aliran ini semakin mengagumi Ali karena
bakat bakatnya, kekuatan beragama, dan ilmunya. Karena itu, para
propagandis Syi‘ah mengeksplorasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk
menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya.16
Menurut Prof. Ahmad Amin, Syiah sudah muncul sebelum orang-orang
Persia masuk Islam, tetapi masih belum ekstrim seperti sekarang. Mereka
hanya berpendapat bahwa Ali lebih utama dari sahabat lainnya. Kemudian
pemahaman Syiah ini berkembang seiring perkembangan zaman dan adanya
kasus pembunuhan-pembunuhan yang mengatasnamakan Syiah.17
a. Ajaran-Ajaran Syi'ah
1) At-Tauhid.
Kaum Syi‘ah juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat
bergantung semua makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan
juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di bumi ini.
2) Kaum Syi‘ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha
Adil.
3) An-Nubuwwah
Kepercayaan kaum Syi‘ah terhadap keberadaan Nabi juga tidak
berbeda halnya dengan kaum muslimin yang lain. Menurut mereka
Allah mengutus nabi dan rasul untuk membimbing umat manusia.
4) Bagi kaum Syi‘ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama
sekaligus dalam dunia.
5) Al-Ma‘ad
Secara harfiah al-Ma‘dan yaitu tempat kembali, yang dimaksud disini
adalah akhirat. Kaum Syi‘ah percaya sepenuhnya bahwa hari akhirat
itu pasti terjadi. 18
16
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, trans. oleh Abdurrahman Dahlan
dan Ahmad Qorib (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hlm.34.
17
Ahmad Nahrawi Abdussalam, Ensiklopedia Imam Syafi‟i, (Jakarta: Hikmah, 2008), hlm. 95
18
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm.90-94.
8
b. Tokoh - Tokoh Syi'ah
Tokoh-tokoh Aliran Syiah: Jalaludin Rakhmat, Haidar Bagir, Haddad
Alwi, Nashr bin Muzahim, Ahmad bin Muhammad bin Isa Al-Asy‟ari.
3. Qadariyah & Jabariah
Sebagai aliran Qadariah dalam ilmu kalam Qadariah berasal dari kata
"qadara" yang artinya memutuskan dan kemampuan dan memiliki kekuatan.
Dalam paham Qadariyah manusia dipandang mempunyai Qudrat atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada Qadar atau pada Tuhan.
Aliran ini juga berpendapat bahwa setiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak
sendiri. Jadi kaum Qadariah ini berpendapat bahwa manusia mempunyai
kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Dalam
istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will dan free act. 19
a. Ajaran - Ajaran Qadariyah
1) Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan tindakannya sendiri
2) Dalam memahami takdir aliran Qadariyah terlalu Liberal
3) Aliran Qadariyah mengukur keadilan Allah dengan barometer
keadilan manusia
4) Paham ini tidak percaya jika ada takdir dari Allah.20
b. Tokoh - Tokoh Qadariyah
1) Ma‘bad al-Jauhani dan Ghailan al-Dimasyqi
Adapun aliran Jabariah nama Jabariyah berasal dari kata Jabara yang artinya
memaksa atau mengharuskan mengerjakan sesuatu. Imam Al-Syahrastani
memaknai al-jabr dengan "nafy al-fil haqiqatan an al-abdi wa idhafatihi ila
al-Rabb" yaitu (Menolak adanya perbuatan manusia dan menyandarkan
semua perbuatannya kepada Allah SWT).21 corak pemikiran paham Jabariyah
menganggap bahwa perbuatan manusia dilakukan oleh Tuhan dan manusia
hanya menerima. Hal ini juga dikenal dengan istilah kasb yang secara literal
berarti usaha. Tetapi kasb di sini mengandung pengertian bahwa pelaku
19
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986)
hlm. 33
20
Hamdan Rasyid dan Saiful Hadi El-Sutha, Panduan Muslim Sehari-Hari Dari Lahir Sampai Mati,
(Jakarta: WahyuQolbu, 2016), hlm. 141.
21
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam dari Tauhid Menuju Keadilan, Ilmu Kalam Tematik, Klasik dan
Kontemporer (Jakarta: Prenada Media, 2016), hlm.81
9
perbuatan manusia adalah Tuhan sendiri dan usaha manusia tidaklah efektif.
Manusia hanya menerima perbuatan bagaikan gerak tak sadar yang
dialaminya.22
c. Ajaran - Ajaran Jabariah
1) Kalam Tuhan adalah makhluk
2) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat
3) Surga Neraka tidak kekal
4) Manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa23
d. Tokoh - Tokoh Jabariah
Tokoh-tokoh Aliran Jabariyah: Al-Ja'ad bin Dirham, Jahm bin Sofwan,
Adh-Dhirar, Husain bin Muhammad al-Najjar.
4. Mu'tazilah
Kaum Mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan- persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-
persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji'ah.Dalam pembahasan,
mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama "kaum
rasionalis Islam."24
Al-Mas‘udi menjelaskan bahwa pemberian nama Mu‘tazilah ini karena
mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan
bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara kedua posisi itu (al
manzilah bain al-manzilatain) yang berarti mengambil posisi diantara
keduanya .25
a. Ajaran - Ajaran Mu'tazilah
1) At-tauhid (Keesaan Allah)
Pada ajaran Mu'tazilah ini Allah itu ada namun Allah tidak
mempunyai sifat, lalu aliran ini berpendapat Al - Quran itu makhluk,
dan Allah tidak dapat dilihat oleh mata manusia walaupun di akhirat
manusia tidak dapat melihat Allah
2) Al wad wal waid (janji baik dan ancaman)
3) Al manzilah bainal al manzilataini (posisi diantara dua posisi)
4) Al adl (keadilan tuhan)
22
Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqh (Makassar: Yayasan al-Ahkam, 2003), hlm.164.
23
Achmad Surya, Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah (Achmad Surya.id1945.com)
24
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press,
1986) hlm. 40.
25
Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘Ilm al-Kalam, (Kairo: tp, 1969), hlm.75
10
5) Amar ma'ruf nahi munkar
b. Tokoh - Tokoh Mu'tazilah
Tokoh-tokoh Aliran Mu'tazilah yaitu : Wasil bin Ata‟, Abu Huzail al-allaf,
An-Nazam, dan Al-Jubba'i.
5. Murji'ah
Murjiah berasal dari bahasa Arab irja artinya penundaan atau
penangguhan atau arja'a dapat juga diartikan sebagai pemberi pengharapan.
Karena sekte yang berkembang pada masa awal islam yang dapat diistilahkan
sebagai “orang-orang yang diam”. Mereka meyakini bahwa dosa besar
merupakan imbangan atau pelanggaran terhadap keimanan dan bahwa
hukuman atau dosa tidak berlaku selamanya. Oleh karena itu, ia menunda atau
menahan pemutusan dan penghukuman pelaku dosa di dunia ini. Arja'a
selanjutnya, juga mengandung arti memberi pengharapan. Orang yang
berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir
tetapi tetap mukmin dan tidak akan kekal dalam neraka, memang memberi
pengharapan bagi yang berbuat dosa besar untuk mendapat rahmat Allah.26
a. Ajaran - Ajaran Murji'ah
1) Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman,
dan bila meninggal dunia dalam keadaan berdosa, maka segala
ketentuannya tergantung Allah di akhirat kelak.
2) Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap orang bila
telah beriman.
3) Perbuatan kebajikan tidak berarti apa pun apabila dilakukan di saat
kafir. Ini berarti perbuatan-perbuatan "baik" tidak dapat
menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga
bermanfaat, karena melakukannya sebelum masuk Islam.
4) Golongan Murji'ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk
Islam, sekalipun orang tersebut zalim, berbuat maksiat dan lain-lain,
sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa dosa sebesar apa pun
tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut
masih muslim. 27
26
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986)
hlm. 25.
27
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam: Dari Tauhid Menuju Keadilan; Ilmu Kalam Tematik, Klasik, dan
11
b. Tokoh - Tokoh Murjiah
Pemimpin utama Madzhab murji’ah ialah Hasan ibn Bilal Al Muzni, Abu
Salat As-Samman dan Dhirar ibn Umar.
37
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi Dalam Islam. (Yogyakarta: Teras, 2009), 4-5
15
adalah filsafat.38 Oleh sebab itu, filsafat diambil alih oleh umat islam melalui
terjemahan ke Bahasa arab dari karya-karya filsafat Yunani, yang pada saat itu
menghasilkan minat dan kegemaran yang tinggi terhadap studi filsafat
dikalangan masyarakat umum, pemerintah menjadi pelopor dan penggiring
utama. Filsafat Yunani pertama kali diterjemahkan ke dalam Bahasa arab
untuk buku-buku pada masa pemerintahan khalifah Amawiyah di Damaskus.
39
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2009), 34-36
40
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Cet.1 (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 9-10
41
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Edisi II (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1991), 59
17
Muslim dan non-Muslim untuk berinteraksi, diskusi dan perbedaan pendapat
tentang agama antara kedua kalangan ini sering terjadi, terutama pada kuartal
terakhir abad pertama H.
Contoh dari sejarah yang berkaitan dengan diskusi dan interaksi
keagamaan yang terjadi antara lain Yahya al-Dimasyqi, seorang teolog
Kristen yang percaya pada kehendak bebas, berusaha mempersiapkan murid-
muridnya dengan menyusun panduan untuk mengatasi perbedaan pendapat
dengan umat Islam. Sejarah mencatat bahwa Jahm bin Syafwan, seorang
Jabariyah yang wafat pada tahun 128 H/746 M, berpendapat mendukung
pemikiran Islam tentang apa yang membenarkan adanya Tuhan terhadap
bangsa Suman. Klaim lain adalah bahwa penulis al-Alf Mas'alah (Seribu
Masalah), Wasil Ibnu Atha (wafat 131 H/749 M), yang mendirikan mazhab
Mu'tazilah, menolak manikheisme.
Untuk memerangi para teolog non-Muslim yang banyak menggunakan
senjata logika dan filsafat, bahkan Khalifah al-Mahdi (158-169 H/77-785 M)
terpaksa mendesak para teolog Muslim untuk menerbitkan buku pedoman.
Para teolog Islam, khususnya dari kalangan Mu'tazilah, merasa terdorong dan
tergugah untuk mempelajari logika dan filsafat guna memperdebatkan
pemikiran non-Muslim karena partai-partai non-Muslim mampu
menggunakan logika yang cerdas dan konsep-konsep filosofis yang luas.
Misalnya, Abu al-Huzail al-'Allaf (135-235 H/753-851 M) berhasil
mengembangkan kematangan filsafatnya sehingga mampu menyusun dasar-
dasar Mu'tazilah secara teratur dan berhasil mengembangkan kemampuan
argumentasinya. untuk mengalahkan orang Majusi, Manicheis, ateis, dan
lainnya. Keunggulan Islam dalam diskusi dan debat teologis dengan non-
Muslim menarik lebih dari 3000 pemimpin dari berbagai agama dan tradisi
filsafat.
Ada diskusi dan interaksi keagamaan di antara umat Islam, yaitu antara
kelompok dan kelompok lain dalam Islam, selain diskusi dan dialog
keagamaan antara Muslim dan non-Muslim. Mereka memperdebatkan
keprihatinan teologis yang muncul sebagai hasil dari perenungan mereka
terhadap ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi di wilayah agama. Dua jenis debat
agama antar agama dan intra agama telah menginspirasi umat Islam,
khususnya golongan Mu'tazilah, untuk banyak menaruh perhatian pada
18
berbagai ilmu, logika, dan filsafat. Mereka sangat membutuhkan studi logika
dan filsafat untuk berteologi dan mempertahankan akidah Mu'tazilah
khususnya dan iman Islam secara keseluruhan.42
42
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi Dalam Islam, 21-23
43
Afrizal M, Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, Jakarta: Erlangga, 2006. hlm. 26
44
Sirajuddin Zar, Teologi Islam Aliran dan Ajarannya, Padang, IAIN-IB Press, 2003. hlm. 4-5
45
Kafrawi Ridwan, dkk. (ed.), Ensiklopedi Islam, Cet.IX, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999) h. 98
19
Dalam sejarahnya, rasionalisme pernah menjadi tema aktual di dunia
Barat pada abad ke-17, bahkan menjadi suatu aliran, yakni aliran rasionalisme
yang ajarannya menitikberatkan kemampuan rasio atau akal budi dalam segala
macam pengetahuan. Menurut pendapat mereka, pengetahuan manusia berasal
dari akal budi. Konsep-konsep yang merupakan pusat pemikiran filsafat,
seperti ketuhanan, jiwa, substansi dan sebagainya tidak dapat disaring dari
pengalaman indrawi, melainkan bersumber pada akal budi. Konsep-konsep ini
merupakan pembawaan yang telah berakar dalam batinmanusia sejak lahir.46
Sedangkan menurut Adi Negoro, rasionalisme adalah suatu aliran yang
mengutamakan akal, segala sesuatu diukur dengan pandangan akal dan tidak
percahaya bahwa segala sesuatu telah ditentukan Tuhan 47. Karena itu, aliran
rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi
danyang dapat dipercaya adalah rasio atau akal. Hanya pengetahuan yang
diperoleh dari akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum
dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan
ilmiah. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan
kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti.48
Dengan demikian, kata rasionalisme di dunia Barat tidak punya
hubungan dengan agama, bahkan kata itu mengingkari adanya penomena
agama dalam kehidupan manusia. Berbeda dari itu, di dunia islam pengertian
kata rasionalisme yang terlepas dari agama tidak ada, sehingga bila
menggunakan “rasionalisme” di dunia Islam harus mempunyai terminologi
yang berbeda dari terminologi yang ada di Barat. Ini berarti rasionalisme yang
ada di Barat tidak sama dengan rasionalisme yang ada di dunia Islam
Dalam Islam, kata rasionalisme bisa dipahami berasal dan berakar dari
kata ‘aql yang berarti akal. Kata ‘aql dizaman jahiliyah dipakai dalam arti
kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi
modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity).
Ini berarti, orang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk
menyelesaikan masalah; setiap kali dia dihadapkan dengan problema, dia
dapat menyelesaikan diri dari bahaya yang mungkin terjadi. Setelah Islam
datang, kata akal itu tidak pernah lepas dari agama. Dalam hal ini, akal
dipandang oleh agama sebagai alat untuk mendalami agama. Karenanya, akal
tidak pernah bertentangan dengan agama, akal senantiasa sejalan dengan
agama, bahkan akal dan agama saling mendukung.
Orang yang sering menggunakan akalnya dalam menelaah sesuatu biasa
46
C.A. Van Peursen, Filosofische Orientatie, diterjemahkan oleh Dik Hartono, Orientasi di Alam Filsafat,
(Jakarta: Gramedia, 1980), h. 22
47
Adi Negoro, Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta:Bulan Bintang, 1954) h. 306.
48
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 18-39 1
20
disebut orang rasional. Rasional disini mengandung beberapa unsur seperti
dinamis, filosofis dan sistematis. Sedangkan dalam kajian ilmu kalam dikenal
dengan istilah teologi rasional atau Islam rasional.
Dalam ilmu kalam, kelompok yang termasuk dalam rasional adalah
kelompok yang menganut paham atau pemikiran teologi yang banyak
mengandalkan kekuatan rasio. Mereka mengatakan bahwa akal mempunyai
daya yang kuat serta memberikan interpretasi secara lebih luas terhadap teks
ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis. Interpretasi secara lebih luas dalam ilmu kalam
dilakukan oleh aliran Mu‟tazilah dan Maturidiah Samarkand. Penganut
teologi ini hanya terikat pada kepercayaan-kepercayaan yang dengan jelas lagi
tegas disebut dalam al-Qur‟an atau hadis, yaitu teks-teks ayat al-Qur‟an atau
hadis yang tidak dapat diinterpretasikan lagi kepada arti lain selain arti teks
yang terkandung didalamnya (biasa disebut dengan istilah qath’i). Ayat-ayat
yang dianggap mempunyai arti qath’i ini tidak banyak terdapat dalam al-
Qur‟an49
Teologi rasional dikenal dengan penggunaan akal secara bebas, yaitu
dengan menggunakan rasional dalam memahami Islam. Pemahaman dalam
teologi rasional berarti aliran teologi yang mengandalkan kekuatan akal atau
rasio karena akal mempunyai daya yang kuat serta dapat memberikan
interpretasi secara rasional terhadap teks-teks, ayat-ayat Alquran dan hadis.
Pengertian rasional secara sosiologis ini sejalan dengan pengertian
modernisasi ialah rasionalisasi.50
Teologi modern adalah pembicaraan tentang keyakinan yang
berhubungan dengan Ilahiyat untuk menyelaraskan dengan pemahaman selera
baru yang bersifat rasional atau ilmiah. Menurut Joesoef Sou„yb bahwa
teologi modern adalah pandangan maupun metode baru, kecendrungannya
khusus dalam masalah kepercayaan keagamaan untuk menundukkan tradisi
dalam upaya penyelarasan dengan pemikiran baru.
Menurut Ahmad Hasan, modernisme adalah aliran pemikiran
keagamaan yang menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk
menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Dengan demikian Islam
harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di dunia modern. Hampir
serupa dengan rumusan Hasan, Mukti Ali tampaknya setuju dengan
pengertian ini, tetapi dia lebih menekankan defenisi modernisme pada usaha
purifikasi agama dan kebebasan berfikir51
49
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
(Bandung: Mizan, 1993), h. 137-142.
50
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1993), h. 183
51
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1999), h. 12
21
Sedangkan menurut Abuddin Nata, Islam rasional adalah Islam yang
menghargai pendapat akal pikiran dan menggunakannya untuk memperkuat
dalil-dalil agama52. Dengan demikian teologi rasional atau Islam rasional
merupakan paham yang menggunakan akal dalam menyelesaikan setiap
persoalan dengan menggunakan akal. Islam rasional adalah aliran teologi yang
mengandalkan kekuatan akal atau rasio karena akal mempunyai daya yang
kuat serta dapat memberikan interpretasi secara rasional terhadap teks-teks
wahyu.
2. Teologi Tradisional
Tradisi dalam kamus bahasa Indonesia adalah segala sesuatu seperti
adat, kepercayaan, kebiasaan, dan ajaran yang turun temurun dari leluhur 53.
Dalam bahasa Arab kata tradisi adalah salah satu makna dari kata sunnah
selain makna norma, aturan, dan kebiasaan.54 Sedangkan kata sunnah
merupakan, ucapan, ketetapan, serta perbuatan rosulullah.
Ketika berbicara mengenai masyarakat Islam tradisional, yang
terbayang adalah sebuah gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang,
masyarakat Islam yang kolot, masyarakat yang anti atau menolak perubahan
(anti progresivitas), konservatif (staid approach), dan diliputi oleh sikap taqlid.
Mereka adalah kelompok yang membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk
karya al-Ghazali dan ulama‟ fiqh klasik, dan tokoh-tokoh sufi pada zaman
pertengahan Islam.55
Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk melakukan
sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau
sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan. Menurut Achmad
Jainuri, kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan
dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional yang tidak
tertarik dengan perubahan dalam pemikiran serta praktik Islam
Teologi tradisional, merupakan salah satu corak paham keislaman yang
telah membudaya atau hal ini sudah menjadi kebiasaan dan melekat pada
52
Abudin Nata, Peta Keagamaan Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) h.
62
53
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XII, h.
1088.
54
Munir Baalbaki, Rohi Baalbaki, Kamus Al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia, (Surabaya: Halim Jaya,
2006) h.483.
55
Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), h.
2
22
sebuah kelompok tertentu yang menganggap bahwa paham yang dianutnya
merupakan paham yang paling benar diantara paham-paham yang lainnya.
Berbicara mengenai teologi tradisional, dalam konteks teologi berarti
mengambil sikap terikat, tidak hanya kepada dogma yang jelas dan tegas di
dalam Alquran dan Hadist, tetap juga pada ayat-ayat yang mempunyai zhanni,
yaitu ayat-ayat yang mempunyai arti harfiah dari teksteks ayat Alquran dan
kurang menggunakan logika.56
Jika kita amati dari ciri-ciri teologi tradisional ini, bahwa kedudukan
akal yang rendah membuat pemikiran para pengikutnya tidak berkembang
atau disebut dengan kaku dalam segala aspek, sehingga sikap taklid semakin
mengakar dan berkembang didalam masyarakat. Contohnya saja dalam
perbuatan manusia, paham ini mengklaim bahwa manusia tidak bebas dalam
berbuat, takdir bagi pengikut aliran ini tidak dapat dielakkan. Pandangan
teologi tradisional, manusia adalah makhluk yang lemah, manusia tidak dapat
berbuat sesuai dengan kemaunnya karena kehendak dan kekuasaan Tuhan atas
manusia bersifat mutlak.Dalam teologi ini dinyatakan bahwa di atas Tuhan
tidak ada satu zat pun yang dapat menghukum atau menentukan apa yang
boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat oleh Tuhan. Tuhan bersifat
absolute, dalam kehendak dan kekuasaan-Nya57
Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual
sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat
oportunis58. Kaum tradisionalis Indonesia sering digolongkan ke dalam
organisasi sosial keagamaan terbesar59 bernama NU, sebuah organisasi
keagamaan yang didirikan pada tahun 1926 di Surabaya, oleh beberapa
ulama‟ pengasuh pesantren, di antaranya K.H. Hasyim Asy'ari (Tebu Ireng)
dan K. Wahab Hasbullah (Tambak Beras).60
Golongan tradisi banyak menghiraukan soal-soal ibadah belaka. Bagi
mereka Islam seakan sama dengan fiqh, dan dalam hubungan ini mereka
mengakui taqlid dan menolak ijtihad. Sikap ini sering menyebabkan mereka
56
Al-Munawwar, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), h. 716.
57
Harun Nasution, Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan PraktikHarun Nasution
(Jakarta: Ciputat Press, 2001), h. 126.
58
Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), 38
59
Greg Fealy, Percikan Api Muktamar 1994;Gus Dur, Suksesi dan Perlawanan NU Terhadap Kontrol
Negara, dalam Greg Fealy, Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikan;Persinggungan Nahdatul Ulama’
Negara, ter. Ahmad Suaedy (Yogyakarta;LKiS, 1997), h. 220.
60
Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad, 124
23
menjadi patuh buta, sebab imam madzhab fiqh atay kyai dianggap ma'sum,
bebas dari kesalahan. Dalam situasi seperti itu Islam dan tafsiran tentangnya
merupakan monopoli kyai belaka, sehingga fatwa kyai dianggap mutlak, final
dan tidak dapat dipertanyakan lagi.61
Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Qur’an, Jakarta: PT.
62
B. Saran
Demikianlah makalah Hubungan Ilmu Kalam dengan Filsafat dan Tasawuf
yang dapat kami sampaikan. Kami sebagai penulis berharap agar para pembaca
dapat memberikan kritik dan saran yang positif dalam makalah ini.
26
DAFTAR PUSTAKA
27