Anda di halaman 1dari 30

HUBUNGAN ILMU KALAM DENGAN FILSAFAT DAN

TASAWUF
Makalah Ini Dibuat Dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Pada
Mata Kuliah“Ilmu Tasawuf”.

Dosen Pengampu :
Drs. H. Adnan, M.Ag

Disusun Oleh :

Amanda Cinta Nabila (1221040010)


Aufa Rofiana Yuliansyah (1221040017)
Fathur Hidayat (1221040037)

PROGRAM STUDI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT. karena atas rahmat,
karunia serta kasih sayang-Nya saya dapat menyelesaikan makalah mengenai
“Latar Belakang Tasawuf” ini dengan sebaik mungkin. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurah kepada suri tauladan kita sekaligus penutup para nabi yaitu
Nabi Muhammad SAW. Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada Drs.
H. Adnan, M.Ag selaku dosen mata kuliah Ilmu Kalam Prodi Tasawuf dan
Psikoterapi
Dalam penulisan makalah ini, saya menyadari masih banyak terdapat
kesalahan dan kekeliruan, baik yang berkenaan dengan materi pembahasan
maupun dengan teknik pengetikan, walaupun demikian, inilah usaha maksimal
kami selaku para penulis usahakan.
Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan
ilmu pengetahuan dan diharapkan kritik yang membangun dari para pembaca
guna memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.

Bandung, 12 Maret 2023

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................1
BAB II.......................................................................................................................2
PEMBAHASAN.......................................................................................................2
A. Sejarah Timbulnya Masalah Aqidah Dalam Islam...................................2
B. Aliran-aliran Ilmu Kalam............................................................................5
C. Kontak Pertama Kaum Muslimin dengan Filsafat Yunani....................13
D. Rasional dan Tradisional dalam Pemikiran Islam..................................19
BAB III....................................................................................................................26
PENUTUP...............................................................................................................26
A. Kesimpulan..................................................................................................26
B. Saran............................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................27

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asy’ariyah merupakan salah satu nama dari beberapa nama corak pemikiran
dalam ilmu kalam, disebut Asy’ariyah sebagai nisbat kepada seorang yang Pertama
kali memuncul kan dan mengembangkan paham tersebut. Dialah Abu HasanAli bin
Ismail Al-Asy’ari yang lahir dari keturunan seorang yang dijadikanutusan perdamaian
dalam peperangan antara Ali dengan Muawiyah pada peristiwa tahkim. Aliran
Asy’ariyah ini juga yang disebut-sebut sebagai bagian dari aliran Ahlussuinnah Wa
al-Jama’ah yang menjadi aliran yang diikuti oleh mayoritas umat Islam.
Aliran ini muncul selain untuk membela kaum “Mustadl’afin” yang menjadi
korban kaum Mutazilah karena berbeda pendapat tentang al- qur’an sebagai
makhluk, juga muncul sebagai aliran yang menentang aliran mutazilah (yang
ditinggalkannya).
Di Indonesia, aliran ini diklaim oleh para kiai tradisional sebagai
kelompok yang selamat (al-firqt al-najiyah), meskipun banyak para cendikiawan
muslim lebih cenderung untuk menyalah gunakannya dengan alasan bahwa aliran ini
menyempitkan umat karena hanya banyak membaha tentang sepiritual dan
akhirat belaka sementara
umat umat yang ada di indonesia sampai sekarang ini mempunyai etoskerja yang
sangat lemah
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah timbulnya masalah aqidah dalam islam?
2. Apa saja aliran-aliran ilmu kalam?
3. Bagaimana kontak pertama kaum muslimin dengan filsafat Yunani?
4. Bagaimana rasional dan tradisional dalam pemikiran kalam?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui sejarah aqidah dalam Islam
2. Mengetahui aliran-aliran kalam
3. Mengetahui konteak pertama kaum muslimin dengan filsafat Yunani
4. Mengetahui pemikiran Islam

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Timbulnya Masalah Aqidah Dalam Islam
Aqidah secara etimologi dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘aqada, yang
berarti ikatan atau dalam hal ini berarti sesuatu yang ditetapkan atau yang
diyakini oleh hati dan perasaan, yaitu sesuatu yang dipercaya dan diyakini
kebenarannya oleh manusia.1 Sedangkan secara terminologi terdapat beberapa
definisi tentang aqidah, diantaranya Hasan al-Banna mengatakan aqidah adalah
beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati manusia,
mendatangkan ketenteraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur
sedikitpun dengan keragu-raguan.2
Aqidah adalah hal yang mendasar dalam agama Islam dan ada dalam setiap
aspek kehidupan yang menjadi dasar kehidupan seorang Muslim. Hal ini
dikarenakan hakikat penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Sang
Pencipta, yang setelahnya itu diikuti dengan rukun-rukun iman yang lain.
Aqidah merupakan pengetahuan pokok yang disebut arkanul iman atau
rukun iman yang terdiri atas iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman
kepada Rasul, iman kepada hari akhir serta iman kepada qada dan qadar.
Sedangkan menurut Buya Hamka, aqidah adalah kepercayaan kepada Allah
Yang Maha Esa.3 Pokok-pokok keimanan tersebut yang biasanya dibahas dalam
teologi Islam, dan dengan kata lain, yang dimaksud teologi adalah pengetahuan
tentang Tuhan dan manusia dalam pertaliannya dengan Tuhan.
Kemunculan paham dan aliran-aliran teologi dalam Islam tidaklah dapat
dilepaskan dari pertikaian politik. Yang mana dapat kita ketahui dari ketika
terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a, dan banyak kalangan yang tidak
menerima kematian beliau. Oleh karena itu, kebanyakan para sahabat menuntut
kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib untuk segera menghukum pelaku tindak
pembunuhan Utsman. Bahkan, ada indikasi jika Khalifah Ali terlibat dalam
wafatnya Utsman bin Affan tersebut.
Setelah Rasulullah SAW wafat, permasalahan politik yang pertama kali
muncul adalah masalah kepemimpinan, yaitu siapakah yang akan menggantikan
1
Mandzur, Ibnu, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Beirut li al-Thaba’ah wa al-Nasr, 1968, hlm. 296.
2
Hasan al-Banna, Majmu’atu ar-Rasail, Beirut: Muassasah ar-Risalah.
3
Hamka, Pelajaran Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1956, hlm. 25-26.
2
kepala pemerintahan yang sebelumnya dipegang oleh Rasulullah. Agama Islam
sendiri disamping merupakan sistem agama juga merupakan sistem politik, dan
Nabi Muhammad disamping kedudukannya sebagai Rasul, ia juga berkedudukan
sebagai kepala pemerintahan.4 Jadi, tidak mengherankan manakala masyarakat
Madinah justru sibuk memikirkan pengganti beliau sebagai pemimpin, sehingga
acara pemakaman Nabi menjadi persoalan nomor dua.
Terpilihnya Utsman sebagai Khalifah ternyata mendatangkan perpecahan
dikalangan pemerintahan Islam. Pangkal masalahnya sebenarnya berasal dari
persaingan kesukuan antara bani Umayyah dengan bani Hasyim atau Alawiyah
yang memang sudah bersaing sejak zaman pra Islam. Oleh karenanya, saat
Utsman terpilih, masyarakat menjadi dua golongan, yaitu golongan pengikut bani
Umayyah sebagai pendukung Utsman dan golongan bani Hasyim sebagai
pendukung Ali. Perpecahan tersebut semakin memuncak di penghujung
pemerintahan Utsman, yang menjadi simbol perpecahan kelompok yang
menyebabkan disintegrasi masyarakat Islam pada masa berikutnya.5
Pada tanggal 17 Juni 656 M (35 H) Khalifah Utsman dibunuh dengan cara
ditikam oleh gerombolan pemberontak yang berjumlah sekitar 500 masa
(diantaranya bernama Hamran bin Saudan Asy-Syaqi) yang tiba-tiba datang
mengepung rumah Utsman pada saat dirinya sedang membaca Al-Qur’an.
Kematian beliau dengan cara tersebut menyebabkan terjadinya huru hara
dikalangan kaum Muslimin yang menyebabkan banyaknya korban berjatuhan
dikalangan pemuda Muslim. Pembunuhan yang bermotif politik atas diri
Khalifah Utsman membawa dampak yang panjang terhadap sejarah Islam
sesudahnya, yang kemudian membuka pintu perpecahan antara kaum Muslimin.6
Saat ketika Ali bin Thalib sebagai Khalifah, segera ia mendapat tantangan
dari para pemuka yang ingin menjadi Khalifah yakni Thalhah bin Ubaidillah dan
Zubair bin Awwam (kakak ipar ‘Aisyah, suami dari Asma’ bin Abu Bakar) yang
disokong oleh Aisyah, puncaknya terjadi perang Jamal (35 H / 656 M).
Menurut riwayat Ibnu Qutaibah, “ Setelah Aisyah bertemu dengan Thalhah
dan Zubair lalu keduanya berkata, “Kalau engkau setuju lebih baik kita menuntut
darah Utsman.” Aisyah menjawab, “Dari siapakah kita akan menuntut darah
4
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Seajarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 2002,
hlm. 5.
5
A. Hafidz Dasuki dkk, Ensiklopedia Islam Jilid III, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hlm. 243.
6
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 2002,
hlm. 6.
3
Utsman?” Keduanya menjawab, “Orang-orang itu terang dan nyata, kebanyakan
ialah para pengikut Ali dan teman-temannya yang setia.” Pemikiran itu diikuti
oleh Aisyah, dan mereka pun berangkat ke Basrah bersama-sama. ”
Kedatangan Aisyah, Thalhah, dan Zubair terdengar oleh Utsman bin
Hunaif, walikota Basrah yang diangkat oleh Ali, kemudian menanyakan maksud
kedatangan mereka. Dan mereka pun (Aisyah, Thalhah, Zubair) segera
menjawab bahwa maksud dari kedatangannya adalah untuk mengumpulkan
kaum Muslimin agar bersama-sama meminta para pemberontak Utsman dituntut
dan diminta tebusan darahnya.7 Hukaim bin Jabalah yang berada di pasukan
Utsman bin Hunaif yang memicu pecahnya perang, dan perang tersebut berlanjut
hingga memakan korban jiwa dan luka-luka, perang ini pun berlangsung selama
dua hari dan berakhir dengan damai.
Adapun tantangan kedua yang berasal dari Gubernur Damaskus Muawiyah
bin Abi Sufyan yang tidak mau mengakui keKhalifahan Ali dan menuntut untuk
menghukum para pembunuh Utsman dan bahkan menuduh Ali terlibat
didalamnya. Puncak dari ketidaksetujuan pihak Muawiyah terhadap Ali adalah
terjadinya perang Shiffin (36 H / 657 M) antara pihak Khalifah Ali dengan
Muawiyah.8
Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali memeutuskan bergerak
menuju Syam dengan pasukannya yang berjumlah sekitar 100.000 hingga
150.000 personel, dan rencananya tersebut sampai kepada Muawiyah. Segera
setelahnya, Muawiyah pun menyiapkan pasukan dengan jumlah 90.000 hingga
150.000 personel, dan akhirnya kedua pasukan tersebut pun bertemu di Shiffin.
Saat perang berkecamuk, pasukan Ali hampir memenangkan pertempuran dan
tercatat 7.000 orang Islam gugur.9
Peristiwa ini berakhir dengan penerimaan (tahkim) dalam menyelesaikan
konflik dengan Muawiyah, yang justru dimenangkan oleh pihak Muawiyah.
Sikap Ali yang menerima tawaran Amr bin Ash untuk melaksanakan
perundingan melalui sistem tahkim, sebenarnya dalam keadaan situasi terpaksa,
karena tidak semua pasukannya menyetujui hal tersebut. Dengan demikian, maka
sebagian pasukan Ali menganggap beliau telah melakukan kesalahan sehingga

7
Hamka, Sejarah Umat Islam Pra Kenabian hingga Islam di Nusantar, Gema Insani, Jakarta, 2016.
8
Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufr Dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hlm. 9.
9
Buchori, Didin Saefuddin, Sejarah Politik Islam, Pustaka Intermassa, Jakarta, 2009.
4
mereka segera meninggalkan barisan Ali, mereka inilah yang dalam catatan
sejarah perkembangan Islam dikenal dengan nama kelompok Khawarij, yaitu
orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Dan kelompok tersebut juga
yang menghalalkan darah orang-orang yang terlibat dalam arbitrase dan juga
merupakan kelompok pertama yang tidak sepakat dengan negosiasi tersebut.
Kelompok ini mengatakan bahwa tidak beriman orang yang menerima keputusan
arbitrase, karena siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah
diturunkan Allah adalah kafir. Saling kafir mengkafirkan pun menjadi sebuah
realitas yang tak dapat disangkal pada masa ini, bahkan banyak nyawa kaum
Muslimin yang melayang dalam mempertahankan konsep dan pendirian tersebut.
Gagasan atau pemikiran adalah refleksi terhadap pemahaman Al-Qur’an,
hadits, fenomena alam, sosial, ekonomi, politik dan budaya yang dikeluarkan
oleh seorang intelektual. Oleh karena itu, memang benar jikalau pemikiran atau
gagasan akan terus ada, walaupun aliran dan tokoh pencetusnya telah tiada atau
terpinggirkan. Sederhananya, gagasan atau pemikiran tak lekang oleh waktu
selama ia diperbincangkan atau diperdebatkan. Oleh karena itu, sesungguhnya
Islam tidak dapat dilepaskan dari politik, dan lahirnya aliran teologi Islam juga
berawal dari politik.10

B. Aliran-aliran Ilmu Kalam


Kemunculan aliran - aliran dalam ilmu kalam ini karena dipicu oleh
persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan.
Dan dari sanalah muncul aliran-aliran ilmu kalam, yaitu aliran Khawarij, Syi'ah,
Murji'ah dan Mu'tazilah. Sejak saat itu pula bermunculan paham teologi yang lain
yang terkenal yaitu Jabariyah dan Qadariyah. Karena Mu‘tazilah bercorak
rasional, maka aliran ini mendapat tantangan besar dari golongan tradisional
Islam, yaitu aliran Asy‘ariyah dan aliran Al-Maturidiyah yang keduanya disebut
ahlussunnah wal jama‘ah.
1. Khawarij
Kata Khawarij berasal dari bahasa arab yaitu kharaja yang artinya
adalah keluar. Di dalam konteks ini makna keluar disini yaitu orang-orang
yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib sebagai diterimanya arbitrase oleh
Ali. Tetapi sebagian orang berpendapat bahwa nama itu diberikan kepada

10
Nasution, Harun, Teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 2002.
5
mereka, karena mereka keluar dari rumah-rumah mereka dengan maksud
berjihad di jalan Allah. Hal ini didasarkan pada QS An-Nisa ayat 100.
Berdasarkan ayat tersebut, maka kaum khawarij memandang diri mereka
sebagai orang yang meninggalkan rumah atau kampung halamannya untuk
berjihad di jalan Allah.11
Dalam buku al-Khalifah wa al-Mulk karya Abu 'Ala al-Maududi
menjelaskan bahwa sejarah munculnya kelompok Khawarij adalah pada
waktu perang Shiffin ketika Ali dan Muawiyah
menyetujui penunjukan dua orang hakim sebagai penengah guna
menyelesaikan pertikaian yang ada diantara keduanya. Sebenarnya sampai
saat ini mereka adalah pendukung Ali, tetapi kemudian secara tiba-tiba,
mereka berbalik ketika berlangsungnya tahkim dan berkata kepada kedua
tersebut : "Kalian semuanya telah menjadi kafir dengan memperhakimkan
manusia sebagai ganti Allah di antara mereka."12
Sedangkan menurut Thaib Abdul Muin, menjelaskan bahwa Khawarij
timbul setelah perang Shiffin antara Ali dan Muawiyah. Peperangan itu
diakhiri dengan gencatan senjata, untuk mengadakan perundingan antara
kedua belah pihak. Golongan Khawarij adalah pengikut Ali,
mereka memisahkan diri dari pihak Ali, dan jadilah penentang Ali dan
Muawiyah, mereka mengatakan Ali tidak konsekuen dalam membela
kebenaran.13
Pengikut Khawarij berasal dari suku Arab Badui yang masih sederhana
akan cara berpikirnya. Jadi sikap keagamaan mereka sangat ekstrem dan sulit
menerima perbedaan pendapat. Mereka menganggap orang yang berada di
luar kelompoknya adalah kafir dan halal dibunuh.
a. Ajaran - Ajaran Khawarij
1) Pengangkatan khalifah akan sah jika berdasarkan pemilihan yang
benar-benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa
diskriminasi. Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku
adil, melaksanakan syariat, serta jauh dari kesalahan dan
penyelewengan. Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhkan dari

11
Chaerudji, Ilmu Kalam (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm. 33
12
Abu ‘Ala al-Maududi, Al-Khalifah wa al-Mulk, trans. oleh Muhammadal-Baqia, IV (Bandung: Mizan,
1996), hlm .275.
13
Thaib Abdul Muin, Ilmu Kalam (Jakarta: Bumi Restu, 2006), hlm.98
6
jabatannya atau dibunuh.
2) Jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan
monopoli suku Quraisy sebagaimana dianut oleh golongan lain, bukan
pula khusus orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan
semua bangsa mempunyai hak yang sama. Bahkan Khawarij
Mengutamakan non-Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.
Alasannya, apabila seorang khalifah melakukan penyelewengan dan
melanggar syariat akan mudah dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang
mempertahankannya atau keturunan keluarga yang mewarisinya.
3) Pengangkatan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat
menyelesaikan masalah-masalah mereka. Pengangkatan khalifah
bukan suatu kewajiban berdasarkan syara‘, tetapi hanya bersifat
kebolehan. Kalaupun pengangkatan itu wajib, maka kewajiban itu
berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
4) Orang yang berdosa adalah kafir. Mereka tidak membedakan antara
satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan berpendapat
merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.
5) Orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal (perang antara para
pelaku Aisyah, Thalhah, dan Zubair, dengan Ali bin Abi Thalib) dan
para pelaku tahkim termasuk yang menerima dan membenarkannya
dihukum kafir. 14
b. Tokoh - Tokoh Khawarij
Tokoh-tokoh Dalam Aliran Khawarij ini adalah Urwah bin Hudair,
Mustarid bin Sa'ad, Hausarah al-Asadi, Quraib bin Maruah, Nafi' bin al-
Azraq, dan 'Abdullah bin Basyir.
2. Syi'ah
Kata Syi‘ah menurut bahasa adalah pendukung atau pembela. Syi‘ah Ali
adalah pendukung atau pembela Ali. Syiah Muawiyah adalah pendukung
Muawiyah. Pada zaman Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman
bin Affan, kata Syi‘ah‘ dalam arti nama kelompok orang Islam belum
dikenal.15 Kalau pada waktu pemilihan khalifah ketiga ada yang mendukung
Ali, tetapi setelah umat Islam memutuskan memilih Utsman bin Affan, maka
14
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, hml.69.
15
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, trans. oleh Abdurrahman Dahlan
dan Ahmad Qarib (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hlm.34.
7
orang-orang yang tadinya mendukung Ali, berbaiat kepada Utsman termasuk
Ali. Jadi belum terbentuk secara faktual kelompok ummat Islam Syi‘ah.
Syi‘ah adalah mazhab politik yang pertama lahir dalam Islam. Mazhab
mereka tampil pada akhir masa pemerintahan Utsman, kemudian Pada masa
kekhalifahan Ali bin abi thalib Aliran ini tumbuh dan berkembang. Bahkan,
pada saat ali terjun ke masyarakat, aliran ini semakin mengagumi Ali karena
bakat bakatnya, kekuatan beragama, dan ilmunya. Karena itu, para
propagandis Syi‘ah mengeksplorasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk
menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya.16
Menurut Prof. Ahmad Amin, Syiah sudah muncul sebelum orang-orang
Persia masuk Islam, tetapi masih belum ekstrim seperti sekarang. Mereka
hanya berpendapat bahwa Ali lebih utama dari sahabat lainnya. Kemudian
pemahaman Syiah ini berkembang seiring perkembangan zaman dan adanya
kasus pembunuhan-pembunuhan yang mengatasnamakan Syiah.17
a. Ajaran-Ajaran Syi'ah
1) At-Tauhid.
Kaum Syi‘ah juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat
bergantung semua makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan
juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di bumi ini.
2) Kaum Syi‘ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha
Adil.
3) An-Nubuwwah
Kepercayaan kaum Syi‘ah terhadap keberadaan Nabi juga tidak
berbeda halnya dengan kaum muslimin yang lain. Menurut mereka
Allah mengutus nabi dan rasul untuk membimbing umat manusia.
4) Bagi kaum Syi‘ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama
sekaligus dalam dunia.
5) Al-Ma‘ad
Secara harfiah al-Ma‘dan yaitu tempat kembali, yang dimaksud disini
adalah akhirat. Kaum Syi‘ah percaya sepenuhnya bahwa hari akhirat
itu pasti terjadi. 18

16
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, trans. oleh Abdurrahman Dahlan
dan Ahmad Qorib (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hlm.34.
17
Ahmad Nahrawi Abdussalam, Ensiklopedia Imam Syafi‟i, (Jakarta: Hikmah, 2008), hlm. 95
18
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm.90-94.
8
b. Tokoh - Tokoh Syi'ah
Tokoh-tokoh Aliran Syiah: Jalaludin Rakhmat, Haidar Bagir, Haddad
Alwi, Nashr bin Muzahim, Ahmad bin Muhammad bin Isa Al-Asy‟ari.
3. Qadariyah & Jabariah
Sebagai aliran Qadariah dalam ilmu kalam Qadariah berasal dari kata
"qadara" yang artinya memutuskan dan kemampuan dan memiliki kekuatan.
Dalam paham Qadariyah manusia dipandang mempunyai Qudrat atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada Qadar atau pada Tuhan.
Aliran ini juga berpendapat bahwa setiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak
sendiri. Jadi kaum Qadariah ini berpendapat bahwa manusia mempunyai
kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Dalam
istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will dan free act. 19
a. Ajaran - Ajaran Qadariyah
1) Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan tindakannya sendiri
2) Dalam memahami takdir aliran Qadariyah terlalu Liberal
3) Aliran Qadariyah mengukur keadilan Allah dengan barometer
keadilan manusia
4) Paham ini tidak percaya jika ada takdir dari Allah.20
b. Tokoh - Tokoh Qadariyah
1) Ma‘bad al-Jauhani dan Ghailan al-Dimasyqi
Adapun aliran Jabariah nama Jabariyah berasal dari kata Jabara yang artinya
memaksa atau mengharuskan mengerjakan sesuatu. Imam Al-Syahrastani
memaknai al-jabr dengan "nafy al-fil haqiqatan an al-abdi wa idhafatihi ila
al-Rabb" yaitu (Menolak adanya perbuatan manusia dan menyandarkan
semua perbuatannya kepada Allah SWT).21 corak pemikiran paham Jabariyah
menganggap bahwa perbuatan manusia dilakukan oleh Tuhan dan manusia
hanya menerima. Hal ini juga dikenal dengan istilah kasb yang secara literal
berarti usaha. Tetapi kasb di sini mengandung pengertian bahwa pelaku

19
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986)
hlm. 33
20
Hamdan Rasyid dan Saiful Hadi El-Sutha, Panduan Muslim Sehari-Hari Dari Lahir Sampai Mati,
(Jakarta: WahyuQolbu, 2016), hlm. 141.
21
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam dari Tauhid Menuju Keadilan, Ilmu Kalam Tematik, Klasik dan
Kontemporer (Jakarta: Prenada Media, 2016), hlm.81
9
perbuatan manusia adalah Tuhan sendiri dan usaha manusia tidaklah efektif.
Manusia hanya menerima perbuatan bagaikan gerak tak sadar yang
dialaminya.22
c. Ajaran - Ajaran Jabariah
1) Kalam Tuhan adalah makhluk
2) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat
3) Surga Neraka tidak kekal
4) Manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa23
d. Tokoh - Tokoh Jabariah
Tokoh-tokoh Aliran Jabariyah: Al-Ja'ad bin Dirham, Jahm bin Sofwan,
Adh-Dhirar, Husain bin Muhammad al-Najjar.
4. Mu'tazilah
Kaum Mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan- persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-
persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji'ah.Dalam pembahasan,
mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama "kaum
rasionalis Islam."24
Al-Mas‘udi menjelaskan bahwa pemberian nama Mu‘tazilah ini karena
mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan
bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara kedua posisi itu (al
manzilah bain al-manzilatain) yang berarti mengambil posisi diantara
keduanya .25
a. Ajaran - Ajaran Mu'tazilah
1) At-tauhid (Keesaan Allah)
Pada ajaran Mu'tazilah ini Allah itu ada namun Allah tidak
mempunyai sifat, lalu aliran ini berpendapat Al - Quran itu makhluk,
dan Allah tidak dapat dilihat oleh mata manusia walaupun di akhirat
manusia tidak dapat melihat Allah
2) Al wad wal waid (janji baik dan ancaman)
3) Al manzilah bainal al manzilataini (posisi diantara dua posisi)
4) Al adl (keadilan tuhan)
22
Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqh (Makassar: Yayasan al-Ahkam, 2003), hlm.164.
23
Achmad Surya, Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah (Achmad Surya.id1945.com)
24
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press,
1986) hlm. 40.
25
Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘Ilm al-Kalam, (Kairo: tp, 1969), hlm.75
10
5) Amar ma'ruf nahi munkar
b. Tokoh - Tokoh Mu'tazilah
Tokoh-tokoh Aliran Mu'tazilah yaitu : Wasil bin Ata‟, Abu Huzail al-allaf,
An-Nazam, dan Al-Jubba'i.

5. Murji'ah
Murjiah berasal dari bahasa Arab irja artinya penundaan atau
penangguhan atau arja'a dapat juga diartikan sebagai pemberi pengharapan.
Karena sekte yang berkembang pada masa awal islam yang dapat diistilahkan
sebagai “orang-orang yang diam”. Mereka meyakini bahwa dosa besar
merupakan imbangan atau pelanggaran terhadap keimanan dan bahwa
hukuman atau dosa tidak berlaku selamanya. Oleh karena itu, ia menunda atau
menahan pemutusan dan penghukuman pelaku dosa di dunia ini. Arja'a
selanjutnya, juga mengandung arti memberi pengharapan. Orang yang
berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir
tetapi tetap mukmin dan tidak akan kekal dalam neraka, memang memberi
pengharapan bagi yang berbuat dosa besar untuk mendapat rahmat Allah.26
a. Ajaran - Ajaran Murji'ah
1) Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman,
dan bila meninggal dunia dalam keadaan berdosa, maka segala
ketentuannya tergantung Allah di akhirat kelak.
2) Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap orang bila
telah beriman.
3) Perbuatan kebajikan tidak berarti apa pun apabila dilakukan di saat
kafir. Ini berarti perbuatan-perbuatan "baik" tidak dapat
menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga
bermanfaat, karena melakukannya sebelum masuk Islam.
4) Golongan Murji'ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk
Islam, sekalipun orang tersebut zalim, berbuat maksiat dan lain-lain,
sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa dosa sebesar apa pun
tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut
masih muslim. 27
26
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986)
hlm. 25.
27
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam: Dari Tauhid Menuju Keadilan; Ilmu Kalam Tematik, Klasik, dan
11
b. Tokoh - Tokoh Murjiah
Pemimpin utama Madzhab murji’ah ialah Hasan ibn Bilal Al Muzni, Abu
Salat As-Samman dan Dhirar ibn Umar.

6. Asy'ariyah & Maturidiyah


Asy'ariyah adalah nama aliran di dalam islam, nama lain dari aliran ini
adalah Ahlussunnah wal Jamaah.28 Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi
yang dinisbahkan kepada pendirinya, yaitu Abu al-Hasan Ali ibn Ismail al
Asy'ari. Kasus keluarnya Asy'ari ini dari mu'tazilah yaitu menurut suatu
pendapat karena ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah yang berkata
kepadanya, bahwa Mu'tazilah itu salah dan yang benar adalah pendirian al-
Hadis. 29
Ada pula yang berpendapat bahwa Abu Hasan tidak puas terhadap
jawaban gurunya dalam menjawab tentang keadilan tuhan yang hanya
menggunakan batas-batas rasional akal saja.
a. Ajaran- ajaran Asy'ariyah
1) Tuhan dan Sifat-sifatnya
Pada aliran Mu'tazilah Allah tidak dapat dilihat oleh manusia,
sedangkan pendapat aliran ini manusia bisa melihat tuhan ketika di
akhirat ini
2) Kebebasan dalam berkehendak
3) Akal dan Wahyu dan Kriteria baik dan buruk30
4) Al Qur'an
Menurut Mu'tazilah al qur'an adalah makhluk Allah, sedangkan
menurut aliran ini al quran adalah kalam Allah
b. Tokoh-tokoh Asy'ariyah
Tokoh-tokoh Aliran Asy'ariyah: Abu Hasan, Al-Baqillani, Al-Juwaini dan
Al Ghazali
Adapun aliran maturidiah Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam,
aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur
Muhammad bin Muhammad.31 Mengenai soal dosa besar ini sepaham dengan

Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2016), hlm.73-74.


28
Dewi Astuti, Kamus Populer Istilah Islam, (Jakarta: Gramedia, 2013), hlm. 24
29
Chaerudji, Ilmu Kalam (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm. 85
30
Abu Muhammad Waskito, Mendamaikan Ahlus Sunnah Di Nusantara, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2012), hlm. 80
31
A. Hanafi. 2003.Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru.
12
aliran asy'ariyah bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan
soal dosa besarnya akan ditentukan oleh Tuhan di akhirat nanti. Aliran ini pun
menolak paham posisi menengahnya kamu Mu'tazilah. Adapun Abu al-Yusr
Muhammad al - Bazdawi salah satu pengikut pengikut al-Maturidi. Murid al
Maturidi juga adalah neneknya al Bazdawi, dan al-Bazdawi pun mengetahui
aliran maturidiah ini dari kedua orang tuanya. Akan tetapi al-Bazdawi ini
mempunya pengikut tersendiri yaitu Najm al-Din Muhammad al-Nasafi.
Seperti al-Baqillani dan al-Juwaini, al-Bazdawi tidak pula selamanya sepaham
dengan al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiah ini, terdapat
perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiah
terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-
Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.
Nah, golongan Samarkand ini mempunyai paham-paham yang lebih dekat
kepada paham Mu'tazilah, namun golongan Bukhara mempunyai pendapat-
pendapat yang lebih dekat kepada pendapat-pendapat. 32
a. Ajaran - Ajaran Maturidiah
1) Maturidiah Samarkan
Akal mengetahui 3 pokok yaitu mengetahui tuhan, kewajiban
berterima kasih kepada tuhan, mengetahui baik dan buruk. Dan tokoh
aliran ini adalah Abu Mansur Al- Maturidi
2) Maturidiah Bukhara
Sepemahaman dengan 3 pokok Abu Mansur tetapi berpendapat bahwa
sebelum datangnya wahyu maka tidak ada kewajiban. Dan tokoh aliran
ini adalah Abu al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi.
C. Kontak Pertama Kaum Muslimin dengan Filsafat Yunani
1. Pengertian Filsafat
Kata filsafat berasal dari Bahasa Yunani adalah Philosophia gabungan dari
kata Philo dan Sophia. Philo yang berarti cinta, keinginan dan Sophia yang
berarti kebijakan atau kebenaran. Etimologinya mengacu pada cinta kebijakan
atau kebenaran (love of wisdom).33 Filsafat diartikan sebagai pengetahuan dan
pemeriksaan rasional tentang hakikat segala sesuatu yang ada, termasuk
sebab-sebab, asal-usul dan hukum-hukumnya, menurut Kamus Besar Bahasa
32
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986)
hlm. 78.
33
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT. Remaja Tosdakarya, 1990), 8
13
Indonesia.34
Banyak para filosof menyajikan definisi filsafat dari segi terminologi,
diantaranya: Menurut Plato filsafat adalah studi tentang segala sesuatu yang
ada. Menurut Aristoteles filsafat adalah ilmu yang menyelidiki dan
memperhitungkan sebab-sebab dan prinsip-prinsip segala sesuatu. Selain itu,
LT. Hobhouse percaya bahwa filsafat adalah upya rasional untuk memahami
realitas secara keseluruhan.35
Pengaruh filsafat terhadap sejarah Yunani dapat dilihat sebagai asal
muasal sains modern sekaligus sumber keresahan sosial karena perdebatan
filosofis bertentangan dengan mitologi Yunani dan sistem keagamaan.
Beberapa orang Yunani telah dipengaruhi oleh pemikiran filosofis untuk
beralih dari peradaban mitos menjadi peradaban logosentris. Filsafat Yunani
menjadi landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan Islam, Barat, dan
modern.
Amroeni Drajat mengatakan terdapat dua jalur yang dilalui transformasi
peradaban Yunani ke dunia islam sepanjang sejarah. Yang pertama dikenal
sebagai jalur wilayah dan jalur kedua dikenal alih bahasa atau terjemahan.
Ketika islam pertama terbentuk, para cendekiawan muslim secara ekstensif
memeluk filsafat logis Aristoteles serta pemikiran mistis Plato dan Plotinus.
Hal ini menunjukan bahwa islam dan pemeluknya tidak memiliki permusuhan
terhadap budaya lain. Islam mampu menunjukan pola pikir terbuka dalam
situasi ini, memastikan proses penyerapan budaya berjalan dengan sukses. J.J.
Sauders menyebutnya sebagai salah satu hal yang paling menakjubkan dan
mencengangkan dalam sejarah bahwa wilayah Arab berhasil berkembang dari
Spanyol ke India dalam waktu kurang dari satu abad. Penyebaran
pengetahuan filosofis dan ilmiah Yunani ke dunia islam, serta
penggabungannya ke dalam tubuh sumber daya intelektual justru harus
diprioritaskan. Islam adalah pencapaian budaya yang luar biasa. 36
2. Kontak Umat Islam Dengan Filsafat Yunani Melalui Perluasan Wilayah
Pada Masa Awal Islam
Wahyu yang pertama kali diterima Nabi Muhammad adalah perintah
34
Harun Nasution, Filsafat Agama, Cet.1 (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), 33
35
Al Haj Hafiz Ghulam Sarwar, Filsafat Qur'an, Diterjemahkan Tim Penerjemah Pustaka Firdaus (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1995), 11
36
Amroeni Drajat. Dalam Hasan Asari (ed). Dari Pemikiran Yunani ke Pengalaman Indonesia
Kontemporer (Bandung: Cipta Pustaka Media, 2006), 14-15
14
bacalah yang sebanyak dua kali, yang terdapat dalam ayat 1-5 QS al-Alaq.
Wahyu ini memperjelas bahwa membaca atau belajar adalah hal pertama yang
Allah perintahkan untuk dilakukan oleh umat islam. Jika dilihat lebih dekat
pada perintah dan larangan yang termasuk dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi,
kita tidak menemukan ketidaksetujuan terhadap apa yang dikenal sebagai
pemikiran filosofis dan ilmiah. Kisah pencarian Tuhan oleh Nabi Ibrahim
memberikan ilustrasi yang gamblang tentang aktivitas intelektual filsafat dan
ilmiah.
Banyak orang arab dari berbagai suku masuk islam dalam jumlah besar
setelah kota Mekkah jatuh ke tangan Nabi Muhammad dan umat islam pada
tahun 6 H. Saat wafatnya Nabi Muhammad tahun 11 H, dunia islam baru
terdiri jazirah arab. Pada masa pemerintahan Umar ibn Khattab 12-23 H,
dunia islam mengalami ekspansi fenomenal. Selama masa pemerintahannya,
dinasti sasanid digulingkan dari kekuasaan di Persia dan Irak, Mesir dan Syam
dibebaskan dari kekuasaan Romawi Timur. Dengan melakukan hal itu, Umar
berhasil menaklukan empat wilayah yang telah dihelenisasi selama beberapa
generasi.37 Umat islam pada masa itu diuntungkan dengan terjadinya
hubungan budaya dan ikatan sosial yang interaktif dan okomodatif dengan
budaya baru di lingkungannya, karena telah berinteraksi dengan pusat-pusat
pertumbuhan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani pada masa itu.
Di wilayah antaranya Iskandaria (Mesir), Damaskus, Syiria, Mesopotamia
dan Jundisapur (Persia) umat islam terlibat dialog intelektual dengan dunia
Hellenik. Wilayah-wilayah tersebut memunculkan Prakarsa studi dan
penerjemahan pertama yang berfokus pada filsafat dan sains Yunani kuno,
yang kemudian didukung dan didanai oleh raja-raja muslim.
Pengaruh filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani belum terlihat jelas pada
masa Bani Umayyah. Hal ini disebabkan umat islam selama ini masih terfokus
pada persoalan penaklukan dan perluasan wilayah kekuasaan ke wilayah-
wilayah terdekat. Selain itu, aktivitas umat islam masih mengacu pada budaya
arab.
Umat islam pertama kali mengenal filsafat pada abad ke-8 M/ke-2 H,
Ketika mereka mulai melebarkan sayap dan melakukan perjalanan ke wilayah
baru. Salah satu budaya asing yang dihadapi islam sepanjang sejarahnya

37
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi Dalam Islam. (Yogyakarta: Teras, 2009), 4-5
15
adalah filsafat.38 Oleh sebab itu, filsafat diambil alih oleh umat islam melalui
terjemahan ke Bahasa arab dari karya-karya filsafat Yunani, yang pada saat itu
menghasilkan minat dan kegemaran yang tinggi terhadap studi filsafat
dikalangan masyarakat umum, pemerintah menjadi pelopor dan penggiring
utama. Filsafat Yunani pertama kali diterjemahkan ke dalam Bahasa arab
untuk buku-buku pada masa pemerintahan khalifah Amawiyah di Damaskus.

3. Kontak Pertama Melalui Kegiatan Penterjemahan Buku Filsafat Yunani


Kegiatan yang berkaitan dengan penerjemahan dilakukan pada masa
daulah Abbasiyyah. Dengan dorongan dari khalifah Bani Abbas Al-Mansur,
Harun Al-Rashid, dan Al-Mamun, muncul gerakan untuk menerjemahkan
karya-karya filsafat dan ilmiah Yunani ke dalam bahasa Arab yang muncul
saat ini. Akibatnya, periode ini dikenal sebagai era penerjemahan. Sejak
kegiatan menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab
semakin populer, para intelektual Muslim menggunakan nama "Falsafah", dan
sejak saat itu, analisis filosofis menjadi hobi populer di kalangan umat Islam.
Aktivitas penerjemahan ini melalui 3 periode:
Periode 1: terjadi dari akhir kekhalifahan Al-Mansur sampai Harun al-
Rashid sebagai khalifah (sekitar abad ke-8 M). Nama-nama penerjemah
seperti Ibnu al-Muqaffa, Jarjis bin Jabril, Yuhanna bin Masweh, dan lain-lain
cukup dikenal pada masa itu. Ibn al-Muqaffa adalah orang pertama yang
menerjemahkan Categoriae, De Interpretation, danl Analityca Priora, tiga
bagian Logika Aristoteles, ke dalam bahasa Arab berdasarkan permintaan Al-
Mansur.
Periode 2: terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmum bin
Harun Ar-Rasyid (abad ke-8 M). Lebih khusus lagi pada tahun 830 M, Al-
Makmum mendirikan sebuah lembaga penerjemahan di Baghdad yang disebut
"Baitul Hikmah" (The House of Wisdom). Dipimpin oleh seorang nasrani yang
mahir berbahasa Yunani yaitu Hunain ibn Ishaq dan dibantu dengan beberapa
anaknya. Bait Al-Hikmah (The House of Wisdom) merupakan mirip seperti
akademi. Ini berfungsi tidak hanya sebagai lokasi penerjemahan tetapi juga
sebagai pusat kemajuan pengetahuan filosofis dan ilmiah. Di luar Bagdad,
pekerjaan penerjemahan juga dilakukan di kota Marwa, Persia Tengah, serta
38
Rasyidi dan Harifuddin Cawidu, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat. Cet. 1(Jakarta: PT Bulan Bintang,
1988), 87
16
di Jundisapur dan Harran.39
Periode 3: Sekitar abad ke-10, dunia islam mengalami periode akhir
penerjemahan massal. Muncul penerjemah Abu Bisher Muttu bin Yunus al-
Qannai (940 M), begitu pula dengan Yahya bin Adi al-Mantiq (974 M), Izhak
bin Zura (1008 M), dan al-Hasan bin al-Khammar ( 942 M). Murid mereka
Yahya bin Adi melanjutkan pekerjaan mereka dengan menyalin dan mencatat
karya logika dan matematika Aristoteles dari periode kedua.40
Setelah era Al-Makmun, yang merupakan masa indah untuk
penerjemahan berhenti dilakukan, terutama untuk tulisan-tulisan filsafat.
Karena penindasan orang-orang yang bekerja dibidang filsafat dan penindasan
kebebasan berpikir dibawah penggantinya (Khalifah Al-Muttawakil). Maka,
orang-orang yang menekuni kajian filsafat muncul secara diam-diam, dan
dikenal dengan Ikhwanush-Shafa. Ikhwanush-Shafa adalah kelompok rahasia
terkait ilmu pengetahuan tetapi kadang tampak seperti sekelompok yang
memiliki kecenderungan politik, bahkan dianggap salah satu ormas kaum
Syiah. Dalam hal agama, Ikhwanush-Shafa sepakat dengan kaum Mu'tazilah
tetapi tidak dalam hal krusial: Mu'tazilah berpikir manusia tidak dapat melihat
Allah, Ikhwanush-Shafa berpikir pada hari kebangkitan Allah akan muncul.41
Zaman Abbasiyyah dikenal sebagai masa puncak islam, juga dikenal
masa kebangkitan dan keemasan bagi pengetahuan filsafat dan ilmiah. Hal ini
terlihat dari kedatangan banyak filosof dan ilmuwan muslim, antara lain al-
Farabi, Ibnu Rusyd, al-Ghazali, Ibnu Bajjah, dan Ibnu Miskawaih. Sejarah
juga mendokumentasikan perkembangan ilmu-ilmu keislaman di bidang tafsir,
hadis, fikih, dan topik terkait lainnya. Selain kemajuan filsafat dan ilmu
eksakta seperti matematika, biologi, kimia, dan lain-lain.

4. Kontak Pertama Filsafat Yunani Melalui Forum Dialog dan Debat


Agama
Non-Muslim dan Muslim dapat berinteraksi dengan mudah; faktanya,
sejak masa Bani Umayyah, buruh non-Muslim sering dipekerjakan oleh raja-
raja Muslim untuk berbagai fungsi administratif. Karena tidak sulit bagi ulama

39
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2009), 34-36
40
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Cet.1 (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 9-10
41
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Edisi II (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1991), 59
17
Muslim dan non-Muslim untuk berinteraksi, diskusi dan perbedaan pendapat
tentang agama antara kedua kalangan ini sering terjadi, terutama pada kuartal
terakhir abad pertama H.
Contoh dari sejarah yang berkaitan dengan diskusi dan interaksi
keagamaan yang terjadi antara lain Yahya al-Dimasyqi, seorang teolog
Kristen yang percaya pada kehendak bebas, berusaha mempersiapkan murid-
muridnya dengan menyusun panduan untuk mengatasi perbedaan pendapat
dengan umat Islam. Sejarah mencatat bahwa Jahm bin Syafwan, seorang
Jabariyah yang wafat pada tahun 128 H/746 M, berpendapat mendukung
pemikiran Islam tentang apa yang membenarkan adanya Tuhan terhadap
bangsa Suman. Klaim lain adalah bahwa penulis al-Alf Mas'alah (Seribu
Masalah), Wasil Ibnu Atha (wafat 131 H/749 M), yang mendirikan mazhab
Mu'tazilah, menolak manikheisme.
Untuk memerangi para teolog non-Muslim yang banyak menggunakan
senjata logika dan filsafat, bahkan Khalifah al-Mahdi (158-169 H/77-785 M)
terpaksa mendesak para teolog Muslim untuk menerbitkan buku pedoman.
Para teolog Islam, khususnya dari kalangan Mu'tazilah, merasa terdorong dan
tergugah untuk mempelajari logika dan filsafat guna memperdebatkan
pemikiran non-Muslim karena partai-partai non-Muslim mampu
menggunakan logika yang cerdas dan konsep-konsep filosofis yang luas.
Misalnya, Abu al-Huzail al-'Allaf (135-235 H/753-851 M) berhasil
mengembangkan kematangan filsafatnya sehingga mampu menyusun dasar-
dasar Mu'tazilah secara teratur dan berhasil mengembangkan kemampuan
argumentasinya. untuk mengalahkan orang Majusi, Manicheis, ateis, dan
lainnya. Keunggulan Islam dalam diskusi dan debat teologis dengan non-
Muslim menarik lebih dari 3000 pemimpin dari berbagai agama dan tradisi
filsafat.
Ada diskusi dan interaksi keagamaan di antara umat Islam, yaitu antara
kelompok dan kelompok lain dalam Islam, selain diskusi dan dialog
keagamaan antara Muslim dan non-Muslim. Mereka memperdebatkan
keprihatinan teologis yang muncul sebagai hasil dari perenungan mereka
terhadap ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi di wilayah agama. Dua jenis debat
agama antar agama dan intra agama telah menginspirasi umat Islam,
khususnya golongan Mu'tazilah, untuk banyak menaruh perhatian pada
18
berbagai ilmu, logika, dan filsafat. Mereka sangat membutuhkan studi logika
dan filsafat untuk berteologi dan mempertahankan akidah Mu'tazilah
khususnya dan iman Islam secara keseluruhan.42

D. Rasional dan Tradisional dalam Pemikiran Islam


Rasional Dalam Pemikiran Kalam
Kerangka berpikir ilmu kalam secara garis besar dapat dibedakan
menjadi dua bagian, yaitu kerangka berpikir rasional dan kerangka berpikir
tradisional.
Kerangka berpikir rasional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut, yaitu:
a. Hanya terikat pada kepercayaan-kepercayaan yang dengan jelas dan
tegas disebut dalam al-Quran dan Hadits Nabi, yaitu ayat yang naqli.
b. Dengan adanya kepercayaan tersebut membuat para pemikir rasional
menjadikan pokok ajaran utama karena sudah tertulis.
c. Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan
berkehendak serta berkehendak serta memberikan daya yang kuat
kepada akal.
d. Fokus dalam prinsip berpikir rasional adalah lebih dominannya peran
akal sehingga harus lebih ekstra keras berupaya untuk memahamkan
suatu ajaran atau konsep kepada orang lain.
Jadi Dominannya aspek rasionalisme dalam ilmu kalam akhirnya
menjadikan pemikiran ini jatuh ke wilayah pemikiran metafisika yang lebih
bersifat spekulatif dan melampaui batas-batas kemampuan dan daya serap
pikiran manusia biasa.
Merujuk sejarah pemikiran klasik, corak teologi dalam Islam dua yaitu
teologi rasional dan tradisional.43
Teologi rasional dikenal dengan aliran Mu’tazilah dan Maturidiyah
Samarkan Sedangkan teologi tradisional dikenal dengan aliran Asy’ariyah dan
Maturidiyah Bukhara.44
1. Teologi Rasional
Kata rasional berasal dari bahasa Inggris ratio yang berarti akal atau
pikiran. Ada beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang akar katanya dari
ratio ini, misalnya rasional, rasionalisasi dan rasionalisme. Kata rasional
mengandung makna sifat, kata rasionalisasi mengandung arti proses dan kata
rasionalisme mengandung pengertian paham45 .

42
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi Dalam Islam, 21-23
43
Afrizal M, Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, Jakarta: Erlangga, 2006. hlm. 26
44
Sirajuddin Zar, Teologi Islam Aliran dan Ajarannya, Padang, IAIN-IB Press, 2003. hlm. 4-5
45
Kafrawi Ridwan, dkk. (ed.), Ensiklopedi Islam, Cet.IX, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999) h. 98
19
Dalam sejarahnya, rasionalisme pernah menjadi tema aktual di dunia
Barat pada abad ke-17, bahkan menjadi suatu aliran, yakni aliran rasionalisme
yang ajarannya menitikberatkan kemampuan rasio atau akal budi dalam segala
macam pengetahuan. Menurut pendapat mereka, pengetahuan manusia berasal
dari akal budi. Konsep-konsep yang merupakan pusat pemikiran filsafat,
seperti ketuhanan, jiwa, substansi dan sebagainya tidak dapat disaring dari
pengalaman indrawi, melainkan bersumber pada akal budi. Konsep-konsep ini
merupakan pembawaan yang telah berakar dalam batinmanusia sejak lahir.46
Sedangkan menurut Adi Negoro, rasionalisme adalah suatu aliran yang
mengutamakan akal, segala sesuatu diukur dengan pandangan akal dan tidak
percahaya bahwa segala sesuatu telah ditentukan Tuhan 47. Karena itu, aliran
rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi
danyang dapat dipercaya adalah rasio atau akal. Hanya pengetahuan yang
diperoleh dari akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum
dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan
ilmiah. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan
kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti.48
Dengan demikian, kata rasionalisme di dunia Barat tidak punya
hubungan dengan agama, bahkan kata itu mengingkari adanya penomena
agama dalam kehidupan manusia. Berbeda dari itu, di dunia islam pengertian
kata rasionalisme yang terlepas dari agama tidak ada, sehingga bila
menggunakan “rasionalisme” di dunia Islam harus mempunyai terminologi
yang berbeda dari terminologi yang ada di Barat. Ini berarti rasionalisme yang
ada di Barat tidak sama dengan rasionalisme yang ada di dunia Islam
Dalam Islam, kata rasionalisme bisa dipahami berasal dan berakar dari
kata ‘aql yang berarti akal. Kata ‘aql dizaman jahiliyah dipakai dalam arti
kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi
modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity).
Ini berarti, orang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk
menyelesaikan masalah; setiap kali dia dihadapkan dengan problema, dia
dapat menyelesaikan diri dari bahaya yang mungkin terjadi. Setelah Islam
datang, kata akal itu tidak pernah lepas dari agama. Dalam hal ini, akal
dipandang oleh agama sebagai alat untuk mendalami agama. Karenanya, akal
tidak pernah bertentangan dengan agama, akal senantiasa sejalan dengan
agama, bahkan akal dan agama saling mendukung.
Orang yang sering menggunakan akalnya dalam menelaah sesuatu biasa
46
C.A. Van Peursen, Filosofische Orientatie, diterjemahkan oleh Dik Hartono, Orientasi di Alam Filsafat,
(Jakarta: Gramedia, 1980), h. 22
47
Adi Negoro, Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta:Bulan Bintang, 1954) h. 306.
48
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 18-39 1
20
disebut orang rasional. Rasional disini mengandung beberapa unsur seperti
dinamis, filosofis dan sistematis. Sedangkan dalam kajian ilmu kalam dikenal
dengan istilah teologi rasional atau Islam rasional.
Dalam ilmu kalam, kelompok yang termasuk dalam rasional adalah
kelompok yang menganut paham atau pemikiran teologi yang banyak
mengandalkan kekuatan rasio. Mereka mengatakan bahwa akal mempunyai
daya yang kuat serta memberikan interpretasi secara lebih luas terhadap teks
ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis. Interpretasi secara lebih luas dalam ilmu kalam
dilakukan oleh aliran Mu‟tazilah dan Maturidiah Samarkand. Penganut
teologi ini hanya terikat pada kepercayaan-kepercayaan yang dengan jelas lagi
tegas disebut dalam al-Qur‟an atau hadis, yaitu teks-teks ayat al-Qur‟an atau
hadis yang tidak dapat diinterpretasikan lagi kepada arti lain selain arti teks
yang terkandung didalamnya (biasa disebut dengan istilah qath’i). Ayat-ayat
yang dianggap mempunyai arti qath’i ini tidak banyak terdapat dalam al-
Qur‟an49
Teologi rasional dikenal dengan penggunaan akal secara bebas, yaitu
dengan menggunakan rasional dalam memahami Islam. Pemahaman dalam
teologi rasional berarti aliran teologi yang mengandalkan kekuatan akal atau
rasio karena akal mempunyai daya yang kuat serta dapat memberikan
interpretasi secara rasional terhadap teks-teks, ayat-ayat Alquran dan hadis.
Pengertian rasional secara sosiologis ini sejalan dengan pengertian
modernisasi ialah rasionalisasi.50
Teologi modern adalah pembicaraan tentang keyakinan yang
berhubungan dengan Ilahiyat untuk menyelaraskan dengan pemahaman selera
baru yang bersifat rasional atau ilmiah. Menurut Joesoef Sou„yb bahwa
teologi modern adalah pandangan maupun metode baru, kecendrungannya
khusus dalam masalah kepercayaan keagamaan untuk menundukkan tradisi
dalam upaya penyelarasan dengan pemikiran baru.
Menurut Ahmad Hasan, modernisme adalah aliran pemikiran
keagamaan yang menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk
menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Dengan demikian Islam
harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di dunia modern. Hampir
serupa dengan rumusan Hasan, Mukti Ali tampaknya setuju dengan
pengertian ini, tetapi dia lebih menekankan defenisi modernisme pada usaha
purifikasi agama dan kebebasan berfikir51

49
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
(Bandung: Mizan, 1993), h. 137-142.
50
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1993), h. 183
51
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1999), h. 12
21
Sedangkan menurut Abuddin Nata, Islam rasional adalah Islam yang
menghargai pendapat akal pikiran dan menggunakannya untuk memperkuat
dalil-dalil agama52. Dengan demikian teologi rasional atau Islam rasional
merupakan paham yang menggunakan akal dalam menyelesaikan setiap
persoalan dengan menggunakan akal. Islam rasional adalah aliran teologi yang
mengandalkan kekuatan akal atau rasio karena akal mempunyai daya yang
kuat serta dapat memberikan interpretasi secara rasional terhadap teks-teks
wahyu.
2. Teologi Tradisional
Tradisi dalam kamus bahasa Indonesia adalah segala sesuatu seperti
adat, kepercayaan, kebiasaan, dan ajaran yang turun temurun dari leluhur 53.
Dalam bahasa Arab kata tradisi adalah salah satu makna dari kata sunnah
selain makna norma, aturan, dan kebiasaan.54 Sedangkan kata sunnah
merupakan, ucapan, ketetapan, serta perbuatan rosulullah.
Ketika berbicara mengenai masyarakat Islam tradisional, yang
terbayang adalah sebuah gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang,
masyarakat Islam yang kolot, masyarakat yang anti atau menolak perubahan
(anti progresivitas), konservatif (staid approach), dan diliputi oleh sikap taqlid.
Mereka adalah kelompok yang membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk
karya al-Ghazali dan ulama‟ fiqh klasik, dan tokoh-tokoh sufi pada zaman
pertengahan Islam.55
Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk melakukan
sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau
sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan. Menurut Achmad
Jainuri, kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan
dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional yang tidak
tertarik dengan perubahan dalam pemikiran serta praktik Islam
Teologi tradisional, merupakan salah satu corak paham keislaman yang
telah membudaya atau hal ini sudah menjadi kebiasaan dan melekat pada
52
Abudin Nata, Peta Keagamaan Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) h.
62
53
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XII, h.
1088.
54
Munir Baalbaki, Rohi Baalbaki, Kamus Al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia, (Surabaya: Halim Jaya,
2006) h.483.
55
Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), h.
2
22
sebuah kelompok tertentu yang menganggap bahwa paham yang dianutnya
merupakan paham yang paling benar diantara paham-paham yang lainnya.
Berbicara mengenai teologi tradisional, dalam konteks teologi berarti
mengambil sikap terikat, tidak hanya kepada dogma yang jelas dan tegas di
dalam Alquran dan Hadist, tetap juga pada ayat-ayat yang mempunyai zhanni,
yaitu ayat-ayat yang mempunyai arti harfiah dari teksteks ayat Alquran dan
kurang menggunakan logika.56
Jika kita amati dari ciri-ciri teologi tradisional ini, bahwa kedudukan
akal yang rendah membuat pemikiran para pengikutnya tidak berkembang
atau disebut dengan kaku dalam segala aspek, sehingga sikap taklid semakin
mengakar dan berkembang didalam masyarakat. Contohnya saja dalam
perbuatan manusia, paham ini mengklaim bahwa manusia tidak bebas dalam
berbuat, takdir bagi pengikut aliran ini tidak dapat dielakkan. Pandangan
teologi tradisional, manusia adalah makhluk yang lemah, manusia tidak dapat
berbuat sesuai dengan kemaunnya karena kehendak dan kekuasaan Tuhan atas
manusia bersifat mutlak.Dalam teologi ini dinyatakan bahwa di atas Tuhan
tidak ada satu zat pun yang dapat menghukum atau menentukan apa yang
boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat oleh Tuhan. Tuhan bersifat
absolute, dalam kehendak dan kekuasaan-Nya57
Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual
sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat
oportunis58. Kaum tradisionalis Indonesia sering digolongkan ke dalam
organisasi sosial keagamaan terbesar59 bernama NU, sebuah organisasi
keagamaan yang didirikan pada tahun 1926 di Surabaya, oleh beberapa
ulama‟ pengasuh pesantren, di antaranya K.H. Hasyim Asy'ari (Tebu Ireng)
dan K. Wahab Hasbullah (Tambak Beras).60
Golongan tradisi banyak menghiraukan soal-soal ibadah belaka. Bagi
mereka Islam seakan sama dengan fiqh, dan dalam hubungan ini mereka
mengakui taqlid dan menolak ijtihad. Sikap ini sering menyebabkan mereka

56
Al-Munawwar, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), h. 716.
57
Harun Nasution, Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan PraktikHarun Nasution
(Jakarta: Ciputat Press, 2001), h. 126.
58
Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), 38
59
Greg Fealy, Percikan Api Muktamar 1994;Gus Dur, Suksesi dan Perlawanan NU Terhadap Kontrol
Negara, dalam Greg Fealy, Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikan;Persinggungan Nahdatul Ulama’
Negara, ter. Ahmad Suaedy (Yogyakarta;LKiS, 1997), h. 220.
60
Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad, 124
23
menjadi patuh buta, sebab imam madzhab fiqh atay kyai dianggap ma'sum,
bebas dari kesalahan. Dalam situasi seperti itu Islam dan tafsiran tentangnya
merupakan monopoli kyai belaka, sehingga fatwa kyai dianggap mutlak, final
dan tidak dapat dipertanyakan lagi.61

Tradisional Dalam Pemikiran Kalam


Sedangkan kerangka berpikir tradisional mempunyai prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a) Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti
dzanni. Dengan adanya teks agama tersebut membuat suatu pemahaman
menjadi tidak pasti, hasil pemikiran menjadi dzanni, tidak mutlak Tidak
memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat jelas
b) Memberikan daya yang kecil kepada akal (tidak memberikan
kebebasan dalam berpikir).
Dari paparan dua bentuk kerangka berpikir dalam ilmu kalam di atas
dapat disimpulkan bahwa Semua aliran dalam pemikiran kalam berpegang
kepada wahyu sebagai sumber pokok. Dalam hal ini, perbedaan yang muncul
hanyalah bersifat interpretasi mengenai teks ayat-ayat Alqur’an maupun
Hadis.
Perbedaan dalam interpretasi, seperti yang dikatakan itu, menimbulkan
aliran-aliran yang tidak sama. Di antara para teolog ada yang berpendapat
bahwa akal mempunyai daya yang kuat untuk memberi interpretasi yang
bebas tentang teks Alqur’an dan hadis nabi sehingga dengan demikian
timbullah aliran teologi yang dipandang liberal dalam Islam, yaitu Mu’tazilah.
Di pihak lain, terdapat pula sekelompok teolog yang melihat bahwa akal
tidak mampu untuk memberikan interpretasi terhadap teks Alqur’an,
seandainyapun dianggap mampu resiko kesalahannya lebih besar daripada
kebenaran yang akan didapatkan. Kendatipun justru fakta ini yang didapatkan,
namun semua sepakat bahwa sumber kebenaran itu hanyalah wahyu Tuhan
itu.
1. Ciri Teologi Tradisional
Sementara itu, ciri-ciri teologi tradisional dapat di lihat dalam pembagiannya,
ciri tersebut adalah :
a) Akal mempunyai kedudukan yang rendah, karenanya dalam memahami
wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti lafzhi atau literal
b) Manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak
c) Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini, bukan menurut
61
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3S, 1996), h. 320-321.
24
sunatullah, namun benar-benar menurut kehendak mutlak Tuhan.62

Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Qur’an, Jakarta: PT.
62

Rajagrafindo Persada, 1997. hlm. 1-2


25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Islam telah hadir sebagai pelopor
lahirnya pemikiran-pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu dapat kita jumpai
hampir diseluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa Islam sebagi mana
di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang dipahami pada umumnya, karena
Islam dengan bersumber pada al-Quran dan As-Sunnah dapat berhubungan dengan
pertumbuhan masyarakat luas.Sekarang, bagaimana kita menaggapi pemikiran-
pemikiran tersebut yang kesemuanya memiliki titik pertentangan dan persamaan
masing-masing dan tentunya pendapat-pendapat mereka memiliki argumentasi-
argumentasi yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits. Namun pendapat mana
diantara pendapat-pendapat tersebut yang paling baik,tidaklah bisa kita nilai sekarang.
Kerana penilaian sesungguhnya ada pada sisi Allah yangakan diberikanNya di akhirat
nanti.Penilaiaan baik tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin
dilakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-
peristiwayang berkembang dalam sejarah. Disisi lain, kita juga bisa menilai baik
tidaknya suatu pendapat atau paham dengan mengaitkannya pada kenyataan yang
berlaku dimasyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia, dan
juga pendapat tersebut banyak di ikuti oleh Manusia

B. Saran
Demikianlah makalah Hubungan Ilmu Kalam dengan Filsafat dan Tasawuf
yang dapat kami sampaikan. Kami sebagai penulis berharap agar para pembaca
dapat memberikan kritik dan saran yang positif dalam makalah ini.

26
DAFTAR PUSTAKA

27

Anda mungkin juga menyukai