Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“RELASI NAHDLATUL ULAMA’ DENGAN ALIRAN AHLUSSUNNAH WAL


JAMAAH AN-NAHDLIYAH”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aswaja An-Nahdhiyyah

Dosen Pengampu : Syafi’atul Mir’ah Ma’shum S. HI.,M.H

Oleh Kelompok:

Erika Damayanti 22001081257

Khusnul Khatimah 22001083006

PRODI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM MALANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas rahmat dan karunia Alah SWT, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Relasi Nahdlatul Ulama’ dengan
aliran Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah”.

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aswaja An-Nahdhiyyah yang dibina
oleh Syafi’atul Mir’ah Ma’shum S.HI.,M.H. Terima kasih penulis haturkan kepada beliau
selaku dosen yang telah membimbing serta motivasi kami ( kelompok 10 ) sehingga bisa
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Makalah ini berisi pembahasan tentang Relasi Nahdlatul Ulama’ dengan aliran
Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah dan apa saja yang ada didalamnya. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna di
dalamnya karena pengetahuan dan pengalaman yang masih sangat minim. Oleh karena
itu penulis berharap kepada pembaca agar terus memberikan saran dan kritik yang
membangun.

Akhir kata dari kami, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Mohon maaf apabila ada
kesalahan dalam penulisan makalah ini.

Malang, 3 juli 2023

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ahlussunnah Waljama’ah merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam


berbagai bidang yang dihasilkan para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul
pada zaman tertentu. Karenanya, proses terbentuknya Ahlussunnah Waljama’ah sebagai
suatu faham atau madzhab membutuhkan jangka waktu yang panjang. Seperti diketahui,
pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang, seperti ilmu Tauhid, Fiqih, atau Tasawuf
terbentuk tidak dalam satu masa, tetapi muncul bertahap dan dalam waktu yang berbeda.

1.2 Rumusan Masalah

1.Bagaimana Nahdatul Ulama dan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah ?

2.Bagaimana Dasar faham keagamana NU

3.Bagaimana hubungan Nahdatul Ulama dan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah secara
aqidah,syari’ah dan akhlaq ?

1.3 Tujuan Pembahasan

1. Membahas tentang NU dan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah

2. Membahas dasar faham keagamaan NU

3. Menjelaskan bagaimana hubungan Nahdatul Ulama dan Ahlu Sunnah Wal


Jama’ah secara aqidah,syari’ah dan akhlaq.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Aswaja

Ahlu Sunnah Wa al-Jamaah atau yang biasa disingkat dengan Aswaja


terdiri dari tiga suku kata yakni Ahlun, Al Sunnah, dan Al Jama’ah. Ahlun dapat
berarti famili, kerabat, keluarga, penduduk,sebagaimana dalam ungkapkan Ahlul
qoryah, dan dapat juga berarti pemeluk atau pengikut sebagaimana dalam
ungkapan Ahlul madzhab. As Sunnah semakna dengan At-tariqoh yang berarti
metode, jalan yang ditempuh, kebiasaan, perjanjian hidup atau perilaku baik atau
tercela.Dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh
Muslim,“baik” disebut dengan ungkapan sunnatan hasanatan dan “tercela”
disebut dengan sunnatan sayyiatan. Menurut Ibnu Katsir, kata sunnah arti asalnya
adalah perjalanan hidup Nabi. Dan yang terakhir Al Jama’ah artinya sekumpulan.
Semua orang Islam merupakan kesatuan (jama’ah), tanpa memandang latar
belakang, asal mereka orang islam harus dianggap jama’ah. Jama’ah juga berarti
mayoritas penganut dan pembela sunnah Nabi Muhammad SAW.

KH. Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa, Ahl Al-Sunnah Wa al Jamaah


adalah mereka yang ahli tafsir, hadis, dan fiqh. Mereka adalah orang yang
mendapat petunjuk yang selalu berpegang teguh pada sunah Nabi Muhammad
SAW dan khulafa’ al-rashidin, mereka adalah kelompok yang selamat. Para
ulama menegaskan pada masa sekarang, mereka telah berkumpul di empat
madhab, yaitu madhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali. Dan barang siapa
yang keluar dari empat madzhab tersebut padamasa ini termasuk golongan ahli
bid’ah.

2.2 Nahdlatul Ulama

Bertolak dari telaah terma Nahdlotul Ulama’ (NU) secara etimologis, Al


Nahdlah berarti kemampuan, kekuatan, loncatan, terobosan, dalam upaya
memajukan masyarakat atau yang lain. Sementara secara epistimologis berarti
menerima segala budaya lama dari sisi kebudayaan yang lebih baru dengan
melakukan rekontruksi dan reformasi. Atau dapat diartikan secara lugas berarti
kebangkitan atau gerakan yang dipelopori para ulama’. Secara teknis berarti
organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah) yang didirikan oleh para ulama’
tradisional dan usahawan Jawa Timur yang berfaham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
pada tanggal 12 Rajab 1344/ 31 Januari 1926 M.

Islam Ahlu Sunnah Wal al-Jamaah adalah ajaran sebagaimana diungkap


Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang artinya :

ً‫ار ِإالَّ ِملَّة‬ ٍ َ‫ق ُأ َّمتِى َعلَى ثَال‬


ِ َّ‫ث َو َس\ ْب ِعينَ ِملَّةً ُكلُّهُ ْم فِى الن‬ ُ ‫ت َعلَى ثِ ْنتَ ْي ِن َو َس ْب ِعينَ ِملَّةً َوتَ ْفت َِر‬
ْ َ‫وَِإ َّن بَنِى ِإ ْس َراِئي َل تَفَ َّرق‬
‫ال َما َأنَا َعلَ ْي ِه َوَأصْ َحابِى‬ َ َ‫ُول هَّللا ِ ق‬
َ ‫َوا ِح َدةً قَالُوا َو َم ْن ِه َى يَا َرس‬

Artinya :”Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, ‘Sungguh akan terjadi pada ummatku, apa yang telah terjadi
pada ummat bani Israil sedikit demi sedikit, sehingga jika ada di antara mereka
(Bani Israil) yang menyetubuhi ibunya secara terang-terangan, maka niscaya akan
ada pada ummatku yang mengerjakan itu. Dan sesungguhnya bani Israil berpecah
menjadi tujuh puluh dua millah, semuanya di Neraka kecuali satu millah saja dan
ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga millah, yang semuanya di
Neraka kecuali satu millah.’ (para Shahabat) bertanya, ‘Siapa mereka wahai
Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Apa yang aku dan
para Shahabatku berada di atasnya.”(HR-Tirmidzi.2641).

Jadi Islam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah ajaran (wahyu AllahSWT)
disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada sahabat sahabatNya dan beliau
amalkan serta diamalkan para sahabat.

NU mengikuti pendirian bahwa agama Islam agama yang fitri yang


bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Paham
keagamaan yang dianut NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang
sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku
maupun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.

Jadi dapat diketahui bahwa, landasan filosofis NU (termasuk ranah


pendidikannya) adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (ASWAJA). Aswaja dapat
dimaknai secara klasik dan kontemporer. Dalam pengertian klasik Aswaja berarti
mengikuti jejak Imam Al-Asy’ari dan Al Maturidi dalam bidang teologi, Imam
Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali dalam bidang Fiqih. Imam Junaid dan Al
Ghazali dalam bidang tasawuf. Sementara itu secara kontemporer Aswaja bersifat
dan bermakna fleksibel sesuai dengan tuntutan zaman dengan prinsip Tawazun,
Tawasuth, Tasamuh, ‘Adalah dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Sehingga dapat dipahami bahwa hakikat dari pendidikan NU ala Aswaja


yakni memanusiakan manusia (humanisasi) dengan cara mentransmisikan ajaran-
ajaran yang islami, membina IQ (Intellegence Quotion), EQ (Emotional Quotion),
dan SQ (Spiritual Quotion) serta mengarahkan minat dan bakat peserta didik. NU
dengan ajaran Aswaja melihat ada tiga jenis hubungan antar manusia yang sangat
besar pengaruhnya terhadap kehidupan yaitu, hubungan kesamaan agama
(Ukhuah Islamiyah), Hubungan Kesamaan Bangsa (Ukhuah Wathaniyah) dan
Hubungan Global sesama Manusia (Ukhwuah Basyariyah).

Beberapa prinsip dan karakteristik Aswaja yang dianut ole NU antara lain :
1) Tawassul : Mempergunakan perantara dalam berdo’a, seperti memohon syafaat
kepada Nabi Muhammad atau orang-orang saleh.

2) Haul dan Sedekah Desa : Merayakan ulang tahun wafatnya seorang wali Allah
atau ulama besar dengan mengadakan acara pengajian dan kegiatan sosial di desa
atau lingkungan sekitar
3) Kerohanian Islam : Mengajarkan praktik-praktik spiritual dalam Islam, seperti
wirid (zikir), tahlilan dan Maulid Nabi
4) Kebersamaan dan Persatuan ; Menekankan pentingnya persatuan dan
kerukunan antarumat beragama serta menjunjung tinggi semangat gotong-royong
dan kebersamaan dalam masyarakat.
5) Keterbukaan : Mengakui keberagaman pandangan dan pemahaman dalam
Islam serta menghargai perbedaan dalam rangka mencapai persatuan dan
toleransi.

NU dan paham Aswaja bertujuan untuk mendorong pendekatan Islam


yang inklusif, menjaga keberagaman, dan menjunjung tinggi nilai-nilai
perdamaian, toleransi, dan keadilan sosial. Organisasi ini memainkan peran
penting dalam pembangunan sosial dan keagamaan di Indonesia, serta
berkonstribusi dalam upaya memperkuat nilai-nilai demokrasi dan pluralisme di
negara ini.

2.3 Dasar-dasar Faham Keagamaan NU

a. Nahdlatul Ulama mendasarkan faham keagamaan kepada sumber ajaran


agama Islam: al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas.

b. Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya di atas,


Nahdlatul Ulama mengikut faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan
menggunakan jalan pendekatan (al-madzhab):

1) Di bidang aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti Ahlussunnah wal


Jamaah yang dipelopori oleh Imam Hasan Al-Asy’ari dan Imam Manshur
al-Maturidzi.

2) Di bidang fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan


(almadzhab) salah satu dari madzhab Abu Hanifah an Nu’am, Imam Malik
bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hambal.

3) Di bidang tasawuf, mengikuti antara lain Imam al-Junaid alBaghdadi


dan Imam Al-Ghazali serta imam-imam yang lain.

c. Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang


fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki
manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat
menyempuranakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik
seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai
tersebut.

2.4 Khashaish Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdhiyah

Islam sebagai agama samawi terakhir memiliki banyak ciri khas


(khashaish) yang membedakannya dari agama lain. Ciri khas Islam yang paling
menonjol adalah tawassuth, ta’adul, dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan
yang memiliki arti yang sangat berdekatan atau bahkan sama. Oleh karena itu,
tiga ungkapan tersebut bisa disatukan menjadi “wasathiyah”. Watak wasathiyah
Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an,

ِ َّ‫ك َج َع ْلنَا ُك ْم ُأ َّمةً َو َسطًا لِتَ ُكونُوا ُشهَدَا َء َعلَى الن‬


‫اس َويَ ُكونَ ال َّرسُو ُل َعلَ ْي ُك ْم َش ِهيدًا‬ َ ِ‫“ َو َك َذل‬

Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil
dan pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul
(Muhammad SAW) menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah;143)

Nabi Muhammad SAW sendiri menafsirkan kata ‫ َو َسطًا‬dalam firman Allah di atas
dengan adil, yang berarti fair dan menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Perubahan fatwa karena perubahan situasi dan kondisi, dan perbedaan penetapan
hukum karena perbedaan kondisi dan psikologi seseorang adalah adil.Selain ayat
di atas, ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan watak wasathiyah dalam
Islam, misalnya firman Allah:

‫ْط فَتَ ْق ُع َد َملُو ًما َمحْ سُورًا‬ ْ ‫ك َواَل تَ ْبس‬


ِ ‫ُطهَا ُك َّل ْالبَس‬ َ ِ‫َواَل تَجْ َعلْ يَدَكَ َم ْغلُولَةً ِإلَى ُعنُق‬

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah
kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”
(QS. Al-Isra’: 29)

Sementara dalam hadits dikatakan,


‫خَ ْي ُر ْاُأل ُموْ ِر َأوْ َساطُهَا‬

“Sebaik-baik persoalan adalah sikap-sikap moderat.”

Mirip dengan hadits di atas adalah riwayat,

‫َوخَ ْي ُر اَْأل ْع َما ِل َأوْ َسطُهَا َو ِديْنُ هللاِ بَ ْينَ ْالقَا ِس ْى َو ْالغَالِ ْى‬

“Dan sebaik-baik amal perbuatan adalah yang pertengahan, dan agama Allah itu
berada di antara yang beku dan yang mendidih.”
Wasathiyyah yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa
pengertian sebagai berikut:

Pertama, keadilan di antara dua kezhaliman (‫ )ع\\دل بين ظلمين‬atau kebenaran di


antara dua kebatilan (‫)ح\\ق بين ب\\اطلين‬, seperti wasathiyah antara atheisme dan
poletheisme. Islam ada di antara atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan
poletheisme yang memercayai adanya banyak Tuhan. Artinya, Islam tidak
mengambil paham atheisme dan tidak pula paham poletheisme, melainkan paham
monotheisme, yakni paham yang memercayai Tuhan Yang Esa. Begitu juga
wasathiyyah antara boros dan kikir yang menunjuk pada pengertian tidak boros
dan tidak kikir. Artinya, Islam mengajarkan agar seseorang di dalam memberi
nafkah tidak kikir dan tidak pula boros, melainkan ada di antara keduanya, yaitu
al-karam dan al-jud. Allah berfirman;  

ِ ‫َوالَّ ِذينَ ِإ َذا َأ ْنفَقُوا لَ ْم يُس‬


‫ْرفُوا َولَ ْم يَ ْقتُرُوا َو َكانَ بَ ْينَ َذلِكَ قَ َوا ًما‬

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan,


dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)

Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya, (a).


wasathiyyah antara rohani dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya
memerhatikan aspek rohani saja atau jasmani saja, melainkan memerhatikan
keduanya. Wasathiyyah antara nushûs dan maqâshid. Itu berarti Islam tak hanya
fokus pada nushûs saja atau maqâshid saja, melainkan memadukan antara
keduanya. (b). Islam pun merupakan agama yang menyeimbangkan antara `aql
dan naql. Bagi Islam, akal dan wahyu merupakan dua hal yang sama-sama
memiliki peranan penting yang sifatnya komplementer (saling mendukung antara
satu sama lain). Kalau diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi sebagai
syahid (saksi) sementara wahyu sebagai hakim, atau sebaliknya, yakni akal
sebagai hakim sementara wahyu sebagai syahid. (c).  Islam menjaga
keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat,  antara
ilmu dan amal, antara ushul dan furu’, antara sarana (wasilah) dan tujuan
(ghayah), antara optimis dan pesimis, dan seterusnya.
Ketiga, realistis (wâqi’iyyah). Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu
idealistis. Islam memunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk
mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam
tidak menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai
hal-hal yang sangat tidak ideal. Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas daripada
terus menggantung di langit idealitas yang hampa. Ini tidak berarti bahwa Islam
menyerah pada pada realitas yang terjadi, melainkan justru memerhatikan realitas
sambil tetap berusaha untuk tercapainya idealitas. Contoh wasathiyyah dalam arti
waqi’iyyah ini adalah pemberlakuan hukum ‘azîmah dalam kondisi normal dan
hukum rukhshah dalam kondisi dharurat atau hajat. Watak wasathiyyah dalam
Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin dalam semua aspek ajarannya, yaitu
akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj.

Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari golongan


Ahlussunnah wal Jama’ah, watak wasathiyyah tersebut antara lain terjadi dalam
hal-hal sebagai berikut:
1. Melandaskan

ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan
juga kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an dan As-
sunnah seperti ijma’ dan qiyas.  

2. Menjadikan

ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi
syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi. Sedangkan bagi yang
tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali harus bermazhab
dengan mengikuti salah satu dari mazhab-mazhab yang diyakini penisbatannya
kepada ashabul madzahib. Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang untuk
bermazhab secara manhaji dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin
dipecahkan dengan bermazhab secara qauli.

Pola bermazhab dalam NU berlaku dalam semua aspek ajaran Islam;


aqidah, syariah/fiqh, dan akhlaq/tasawwuf, seperti dalam rincian berikut:
(a). Di bidang syariah/fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu dari
mazhab empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Malik
ibn Anas, mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafii dan mazhab Imam
Ahmad bin Hanbal.

(b). Di bidang aqidah mengikuti mazhab Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan
mazhab Imam Abu Manshur al-Maturidi.

(c). Di bidang akhlaq/tasawuf mengikuti mazhab Imam al-Junaid al-


Baghdadi dan mazhab Imam Abu Hamid al-Ghazali.  

3. Berpegang

teguh pada petunjuk Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf
nahi mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan
mujadalah bil husna.  

4. Sebagai

salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah


(realistis), Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) dengan Pancasila sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah
menurut pandangan Islam dan tetap berusaha secara terus menerus melakukan
perbaikan sehingga menjadi negara adil makmur berketuhanan Yang Maha Esa.   

5. Mengakui

keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka
serta menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap
mereka apalagi menuduh mereka kafir.  

6. Tidak

menganggap siapa pun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang
ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa). 

7. Perbedaan
yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah
kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il
furu`iyyah-ijtihadiyah adalah keharusan. Nahdlatul Ulama tak perlu melakukan
klaim kebenaran dalam masalah ijtihadiyyah tersebut.  

8. Menghindari

hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama


muslim, ahlul qiblah.   Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan
kaum muslimin dan ukhuwwah wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-
agama lain. Dalam konteks NU, menjaga ukhuwwah nahdliyyah adalah niscaya
terutama untuk menjaga persatuan dan kekompakan seluruh warga NU.  

9. Menjaga

keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan


tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir, dan sholawat sebagai sarana taqarrub
ilallah di samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.

2.5.1 Hubungan Nahdlatul Ulama Dan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah


Secara Aqidah, Syari’ah Dan Akhlaq

Hubungan Nahdlatul ulama dengan ahlusunnah wal jamaah sangat erat


dan tidak dapat dipisahkan. Sebab latar belakang didirikan NU merupakan usaha
untuk mempertahanakan ajaran ahlusunnah wal jamaah. Di samping itu, segala
ajaran NU baik dalam bidang aqidah, syari’ah maupun akhlaq didasarkan pada
ajaran-ajaran ulama NU.Maka tidak salah ketika NU juga disebut sebagai
organisasi Ahlusunnah wal Jamaah.

Nahdlatul Ulama (NU) dan Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWJ) adalah dua
organisasi Islam yang memiliki hubungan erat dalam konteks Aqidah
(keyakinan), syariat (hukum islam), dan akhlak (etika).
1. Aqidah : NU dan ASWJ memiliki kesamaan dalam keyakinan Aqidah mereka.
Keduanya mengikuti Aqidah Sunni yang didasarkan pada Al-Qu’an, Sunnah
(tradisi) Rasulullah Muhammad SAW, serta pemahaman para ulama terkemuka
dari generasi awal Islam. Mereka meyakini adanya Tuhannya yang Esa (Allah
SWT), mengakui risalah dan nubuwwah (kenabian) Nabi Muhammad, serta
menerima bebagai konsep dan keyakinan dalam Islam seperti iman kepada Allah,
malaikat, kitab-kitab-Nya, hari kiamat, takdir dan sebagainya.
2. Syariat : NU dan ASWJ juga sepakat dalam menerapkan syariat Islam sebagai
panduan hidup. Mereka menghormati dan mengikuti hukum-hukum Islam yang
tercantum dalam Al-Qur’an dan hadist, serta melakukan ibadah seperti shalat,
puasa, zakat haji dan sebagainya. Keduanya mengakui otoritas ulama dalam
menjelaskan dan memahami hukum-hukum agama serta memberikan pengarahan
kepada umat Islam.
3. Akhlak : NU dan ASWJ mendorong umat Islam untuk mempraktikkan akhlak
yang baik dan mulia sesuai dengan ajaran Islam. Mereka mengedepankan nilai-
nilai seperti kejujuran, keadilan, tolong-menolong, kesabaran, dan berbagai
akhlak terpuji lainnya. Keduanya menekankan pentingnya menjaga moralitas,
membangun hubungan yang baik dengan sesama, dan berkonstribuasi positif
terhadap masyarakat.

Meskipun NU dan ASWJ memiliki kesamaan dalam Aqidah, syariat dan


akhlak, mereka juga memiliki perbedaan dalam hal organisasi dan konteks sosial-
politik. NU adlaah sebuah organisai Islam di Indonesia yang memiliki sejarah
panjang dan merupakan salah satu organisasi Islam terbesar didunia. Sementara
itu, ASWJ adalah istilah yang lebih umum untuk menggambarkan masyarakat
Muslim yang mengikuti Aqidah dan praktik-praktik Sunni di berbagai daerah.

Dalam bidang aqidah, Nu didasarkan pada pemikiran imam Abu Hasan


Al Asyari dan imam Abu Mansur Al Maturidi. Dalam bidang syari’ah
didasarkan padaa hasil ijtihad 4 madzab ( Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hambali ). Sedangkan dalam bidang akhlaq / tasawuf menganut ajaran Abdul
Qosim Junaidi Al Baghdadi dan Imam Al-Ghozali.
Salah satu ciri ajaran Ahlusunnah wal Jamaah yang dipraktekkan NU
adalah sikap At-Tawasuth dan At- Tawazun ( jalan tengah dan keseimbangan ).
Dengan sikap At-Tawasuth. NU memiliki semboyan : “ Mempertahankan budaya
lama yang masih baik dan mengambil budaya yang baru yang lebih baik “.
Sedangkan contoh sikap NU At-Tawazun dalam menggunakan dalil, yaitu
seimbang  artinya kapan menggunakan dalil Naqli dan kapan menggunakan dalil
aqli.

Dalam bidang akhlaq, Ahlusunnah wal Jamaah dan NU sama-sama


menggunakan perpaduan antara sikap syaja’ah ( berani ) dan sikap tawadlu.
BAB III

PENUTUP

Ahlussunnah Waljama’ah merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam


berbagai bidang yang dihasilkan para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul
pada zaman tertentu.Bertolak dari telaah terma Nahdlotul Ulama’ (NU) secara
etimologis, Al Nahdlah berarti kemampuan, kekuatan, loncatan, terobosan, dalam upaya
memajukan masyarakat atau yang lain. Sementara secara epistimologis berarti menerima
segala budaya lama dari sisi kebudayaan yang lebih baru dengan melakukan rekontruksi
dan reformasi. Atau dapat diartikan secara lugas berarti kebangkitan atau gerakan yang
dipelopori para ulama’.

Sehingga dapat dipahami bahwa hakikat dari pendidikan NU ala Aswaja yakni
memanusiakan manusia (humanisasi) dengan cara mentransmisikan ajaran-ajaran yang
islami, membina IQ (Intellegence Quotion), EQ (Emotional Quotion), dan SQ (Spiritual
Quotion) serta mengarahkan minat dan bakat peserta didik. NU dengan ajaran Aswaja
melihat ada tiga jenis hubungan antar manusia yang sangat besar pengaruhnya terhadap
kehidupan yaitu, hubungan kesamaan agama (Ukhuah Islamiyah), Hubungan Kesamaan
Bangsa (Ukhuah Wathaniyah) dan Hubungan Global sesama Manusia (Ukhwuah
Basyariyah).

Anda mungkin juga menyukai