Anda di halaman 1dari 16

Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyyah

(Analisa Tekstual dan Kontekstual Aqidah dan Manhaj NU dari Masa ke Masa)

Oleh Muhammad Najmuddin Huda1


asatir-revolusi.blogspot.com

Muqaddimah
Nahdlatul Ulama merupakan bentuk pelembagaam faham Ahlussunnah Wal
Jamaah di Indonesia. NU didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ary, KH. Wahab Hasbullah, KH.
Bisri Syamsuri, serta ulama dan tokoh Indonesia lainnya atas petunjuk para ulama’ sepuh,
utamanya Syaikhona Kholil Bangkalan. NU dideklarasikan di Surabaya, pada tanggal 31
Januari 1926 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah.
Dalam Musyawarah Nasional Ulama Nu tahun 2006 di Subaya, tentang Bahtsul
Masail Maudlu’iyyah Fikrah Nahdliyyah dijelaskan bahwa pembentukan Jam’iyyah Nu
dilatarbelakangi oleh dua faktor dominan: Pertama, adanya kekhawatiran dari sebagian
umat Islam yang berbasis pesantren terhadap gerakan modernis yang meminggrikan
mereka. Kedua, sebagai respons ulama-ulama berbasis pesantren terhadap pertarungan
ideologis yang terjadi di dunia Islam pasca penghapusan kekhalifahan Turki, munculnya
gagasan Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani dan gerakan kaum
Wahabi di Hijaz.
Dari penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa sebenarnya inti utama
pendirian NU adalah mempertahankan faham Ahlussunnah Wal Jamaah yang selama ini
telah mengakar kuat di Indonesia dalam masa yang sangat lama. Faham yang disebarkan
oleh para Walisongo tersebut telah menjadi satu dengan budaya dan peradaban dalam
kehidupan sehari-hari orang Indonesia. Maka tidak mengherankan jika ada budaya dan
peradaban lain yang ingin merubahnya banyak yang kemudian menolaknya.
Akan tetapi sebenarnya apabila diperhatikan lebih detail lagi, faham Ahlussunnah
Wal Jamah di Nusantara mengalami pertumbuhan serta perkembangan yang berbeda
dengan yang ada di berbagai negara atau daerah arab sebagai pusat pertama Aswaja
digaungkan. Bahkan bisa dikatakan bahwa perkembangan tersebut mempunyai
kekhususan serta identitas-identitas tersendiri, walaupun subtansinya masih sama.
Perubahan perkembangan tersebut sangat terlihat sekali, dan menuai sikap positif dari
masyarakat Internasional. Perkembangan faham Aswaja di Nusantara tersebut pada akhir-
akhir ini juga sering disebut sebagai Islam Nusantara.
1
Aktifis Pergerakan ’15 Jawa Tengah, Direktur Program Dauroh Santri Nusantara (DSN)
Aswaja yang ada di nusantara ini yang kemudian dilembagakan oleh NU terus maju
dan berkembang baik dari segi aqidah maupun manhajnya. Oleh karena itu penulis akan
menganalisa pada fokus permasalahan tertentu yang berkaitan dengan perkembangan
tekstual dan kontekstual aqidah dan manhaj Aswaja dari masa ke masa.

Ahlussunnah Wal Jamaah Dalam Perspektif NU


Hadrostus Syekh KH. Hasyim Asáry mengatakan bahwa antara faham Ahlussunnah
Wal Jamah dan Nahdlatul Ulama tidak bisa dipisahkan. Aswaja merupakan faham yang
melandasi serta menjadi dasar jam’iyyah NU. NU didirikan pun juga tidak lepas dari
keinginan untuk mempertahankan agar aqidah Aswaja tetap berdiri tegak di Indonesia.
Oleh karena itu seringkali ketika dikatakan Aswaja di Indonesia, maka itu adalah NU. Dan
ini juga sudah mendapatkan pengakuan dunia Internasional.
Sebagai peletak dasar pondasi-pondasi NU, KH. Hasyim Asy’ary mendefinisikan
Sunnah dalam Kitab Risalah Ahlusuunah Wal Jamaaah2 yaitu

‫ لقولو‬، ‫اسم للطريقة ادلرضية ادلسلوكة يف الدين سلكها رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص أو غريه ممن ىو علم يف الدين كالصحابة مهنع هللا يضرهلوقل‬

‫ملسو هيلع هللا ىلص "عليكم بسنيت وسنة اخللفاء الراشدين من بعدي‬

“Aswaja yaitu nama bagi sebuah jalan dalam agama Islam yang ditempuh oleh
Rasulullah Saw atau orang-orang yang menjadi panutan dalam beragama seperti
para sahabat Nabi Radhiyallahu ‘anhum ajma’in, yang didasarkan pada sabda
Nabi “Ikutilah sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku”
Sedangkan Aswaja sendiri dalam kitab beliau yang lain, yaitu Ziyadatut Ta’liqat3
didefinisikan sebagai berikut:

‫ فإهنم ادلهتدون ادلتمسكون بسنة النيب هللا ملسو هيلع هللا ىلص واخللفاء بعده الراشدين‬، ‫أىل السن ة فهم أىل التفسري واحلديث والفقوهلوقل‬

.‫وىم الطائفة الناجية قالوا وقد اجتمعت اليوم يف مذاىب أربعة احلنفيون والشافعيون وادلالكيون واحلنبليون‬

“Aswaja yaitu kelompok Ahli Tafsir, Ahli Hadis, dan Ahli Fiqih. Merekalah
kelompok yang mendapatkan petunjuk untuk tetap berpegang teguh dengan
Sunnah Nabi Muhammad Saw, dan Khulafaur Rasyidin setelah beliau wafat.
Mereka adalah kelompok yang selamat (di dunia dan akhirat). Para ulama
mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah sekarang terhimpun dalam
penganut madzhab Hanafi, Syafii, Maliki, dan Hanbali.”

2
KH. Hasyim Asy’ary. 1998. Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Jombang: Maktabah Al-Masruriyyah. Hlm:5.
3
KH. Hasyim Asy’ary. tt. Ziyadatu Ta’liqat ‘Ala Mandzumati Syekh Abdullah bin Yasin Al-Pasuruani. Jombang:
Maktabah At-Turats Al-Islami. Hlm:23.
Dari dua definisi di atas yang dimunculkan oleh KH. Hasyim Asyáry dapat dipahami
bahwa sejatinya Aswaja bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari ebebrapa
aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Tetapi Aswaja adalah Islam yang
murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Saw, dan sesuai dengan apa yang telah
digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Aswaja merupakan Islam murni yang
berlangsung dari Rasulullah, kemudian diteruskan oleh para sahabatnya. Oleh karena itu,
tidak ada seorang pun yang menjadi pendiri Aswaja. Yang ada hanyalah ulama yang
merumuskan kembali ajaran Islam tersebut setelah lahirnya beberapa faham dan aliran
keagamaan yang berusaha mengaburkan ajaran Rasulullah dan para sahabatnya yang
murni itu. 4
Menurut KH. Said Aqil Siradj, sampai saat ini memang belum ada pengertian yang
lebih epistimologis (nadzriyyat al-ma’rifat) yang mendefinisikan Aswaja secara tuntas dan
menyeluruh. Kalaupun istilah Aswaja sering disebut dalam buku-buku klasik maupun
dalam wacana pengajaran agama di pesantren, biasanya itu demi penyederhanaan cara
penyebutan dan kepraktisan saja. Begitu pula terminology yang sudah berlaku di kalangan
Nahdliyyin saat ini juga masih memerlukan penyempurnaan. Akan tetapi bukan berarti
bahwa pengertian yang dianut selama ini keliru. Namun, pengertian Aswaja yang ada
selama ini masih dibatasi pada madzhab-madzhab tertentu (dalam aqidah mengikuti
madzhab asyáryi dan maturidy, dalam bidang fiqih mengikuti Madzhaba Hanafi, Maliki,
Syafií, dan Hanbali, dan dalam bertasawwuf mengikuti salah satu dari Imam Al-Junaidi dan
Imam Al-Ghazali).5
Oleh karena itu beliau memandang bahwa definisi tentang Aswaja (yang dibatasi
madzhab-madzhab tertentu) yang selama ini diyakini oleh banyak Nahdliyyin tampak
mempertemukan sejumlah hal yang saling kontradiktif. Mendefinisikan Aswaja dengan
dalam fiqih mengikuti madzhab ini, akidah ini, dan tasawuf ini berarti ghair jami’ mani’.
Begitu pula kita yakini Aswaja sebagai madzhab, maka akan timbul isykal juga bagaimana
mungkin dalam sebuah madzhab mengandung beberapa madzhab ? dari sinilah KH. Said
Aqil Siradj memandang bahwa Aswaja bukanlah sebagai sebuah madzhab, melainkan
hanyalah manhaj al-fikr atau paham saja yang di dalamnya masih memuat banyak aliran
dan madzhab.

4
Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. 2015. Risalah Ahlussunnah wal Jamaah: Dari Pembiasaan
Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah NU. Surabaya: Khalista. Hlm:7.
5
KH. Abdurrhaman Wahid, Dkk. 2016. Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih Sampai Madzhab Kebangsaan.
Jakarta: PT. Mizan Pustaka. Hlm:138.
Ketiadaan satu definisi dalam Aswaja tersebut maka kemudian menyebabkan
pendefinisiannya sangat beragam. Berbagai tokoh mendefinisikan Aswaja sesuai dengan
hasil ijtihadnya masing-masing. Dalam NU sendiri pengertian Aswaja juga sangat beragam,
walaupun mempunyai subtansi yang sama. Diantara definisi yang beragam tersebut
adalah
a. Dalam AD ART NU hasil Muktamar NU ke 33 di Jombang tahun 2015 menyebutkan
bahwa Aswaja adalah sebuah “Faham”, yang secara lengkapnya berbunyi sebagai
berikut dalam Pasal 5 Anggaran Dasar NU “Nahdlatul Ulama beraqidah Islam menurut
faham Ahlusunnah wal Jama’ah dalam bidang aqidah mengikuti madzhab Imam Abu
Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi; dalam bidang fiqh mengikuti
salah satu dari Madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali); dan dalam
bidang tasawuf mengikuti madzhab Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Abu Hamid al-
Ghazali”.6
b. KH. Said Aqil Siraj mengatakan bahwa Aswaja bukanlah sebuah madzhab, tetapi
sejatinya lebih merupakan sebuah metode berfikir (manhajul fikr), atau sebuah
paham yang di dalamnya memuat banyak aliran dan madzhab pemikiran. Paham
Aswaja bisa diibaratkan sebagai sebuah tenda besar yang didalamnya memuat banyak
aliran dan madzhab pemikiran.7
c. Nurcholish Majid menganalisa Aswaja sebagai sebuah tinjauan dari perspektif historis,
bahwa kata wal jama’ah dalam kata Ahlussunnah wal Jamaah mengandung semangat
non-sektarianisme. Menurut Cak Nur, semangat non-sekretarianismelah yang
mendorong dianutnya paham irja’, yaitu keyakinan bahwa Allah saja yang berhak
memutuskan apakah seseorang akan masuk neraka atau surga.8
d. KH. M. Daniel Royan (Rois Syuriyah PCNU Kendal) mendefinisikan Aswaja sebagai
berikut

‫ىم الذين يتمسكون بسنة رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص وسنة صحابتو‬

“Kelompok yang berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah Saw, serta


sunah sahabat-sahabatnya”
Ta’rif atau definisi tersebut merupakan definisi yang diambil dari hadis nabawi “ ‫ما أان‬

‫”عليو اليوم وأصحايب‬. Menurut beliau, orang yang memplokamirkan definisi tersebut adalah

Imam Ahmad ibnu Hanbal.9

6
NU Online. 2015. AD-ART NU. (Online). Diakses 20 Mei 2017.
7
KH. Abdurrhaman Wahid, Dkk. Op.Cit. Hlm:140.
8
Ibid. Hlm:125-126.
9
M. Daniel Royan. Tt. Haqiqatu Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Menara Jogjakarta. Hlm:4-5.
e. Dalam buku hasil diskusi Purna Siswa Aliyah Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo
Kota Kediri mendefinisikan Aswaja sebagai “Pengikut thariqah yang ditempuh oleh
Nabi dan para sahabat dan selalu berada dalam kelompok mayoritas dari umat
terdahulu”. 10
f. Forum Kajian Ilmiah Jimat Ilmiah 16 Lirboyo mendefinisakan Aswaja sebagai
“mayoritas orang-orang yang bersatu, berpegang teguh pada ajaran Nabi Saw, dan
tuntunan para sahabat”. Forum ini juga menyebutkan bahwa Abu Hasan AlÁsyáry dan
Abu Mansur Al-Maturidy sebagai “Pendiri/Muassis Aswaja”. Aswaja juga disebut
sebagai Madzhab, serta mempunyai nama lain yaitu Al-Firqah An-Najiyah, At-Thaifah
Al-Mansurah serta As-Sawadul A’dham. Akan tetapi dalam halaman yang lain, Forum
ini menyebut Aswaja sebagai manhajuul fikr (metodologi pemikiran), yang sudah
berlangsung dan terus dipeluk serta diyakini sejak zaman Rasulullah Saw masih hidup
dan para sahabatnya. Paham ini terus menerus menjadi paradigma pemikiran Umat
Islam setelahnya yang masih mengikuti tuntunan hidup yang diajarkan oleh Nabi Saw
dan para sahabat. Pada halaman lain juga disebutkan bahwa Imam Asyáry dan Imam
Maturidy adalah perumus terhadap akidah yang diyakini sesuai dengan pijakan para
sahabat dan tabiín. Dan semua ajaran itu terkodifikasikan dengan sistematika baru
yang yang beliau ciptakan.11
Dari berbagai definisi di atas kita dapat melihat ketidak ragaman Nahdliyyin dalam
mendefiniskan Aswaja. Walaupun mempunyai subtansi yang hampir sama, tetapi hal
tersebut sangatlah sulit difahami oleh orang awam. Oleh karena itu perlu kiranya untuk
memberikan sebuah definisi yang jelas serta komprehensif yang dapat menjembatani
berbagai persepsi, agar kedepannya tidak memunculkan sebuah standar ganda.
Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat KH. Said Aqil Siradj yang mengatakan
bahwa pengertian Aswaja yang diberikan KH. Hasyim Asy’ary yang dipegang kuat oleh
Nahdliyyin sampai saat ini juga merupakan pemikiran cemerlang yang sangat kondusif. Hal
itu dikarenakan ajaran Aswaja tidak lah pernah jumud atau mandek, tidak kaku, tidak
eksklusif, tidak elitis, dan juga tidak mengenal status quo. Aswaja bisa berkembang secara
fleksibel dan luwes, berkat potensi nahdlah yang dimilikinya. Yaitu, potensi penerimaan
bangsa yang datang belakangan terhadap peradaban bangsa sebelumnya, disertai

10
Purna Siswa Aliyah MHM Lirboyo Kota Kediri. 2007. Polaritas Sektarian: Rekonstruksi Doktrin Pinggiran.
Kediri: Lirboyo Press. Hlm:19.
11
Forum Kajian Ilmiah Jimat ’16. 2016. Menghayati Agama, Islam & Aswaja. Kediri. Lirboyo Press. Hlm:227-
228, 333.
kepampuan untuk meracik dan membentuk kembali peradaban itu sesuai dengan
kebutuhannya.12

Qanun Asasi Nahdlatul Ulama


Qanun Asasi merupakan undang-undang dasar NU yang berisi tentang landasan
Syar’i mengapa NU didirikan. Qanun asasi secara langsung diletakkan oleh Hadrotus Syekh
KH. Hasyim Asy’ary. Semenjak Muktamar NU ke-33 di Jombang pada tahun 2015,
disepakati bahwa Muqaddimah dalam AD-ART NU diganti dengan Muqaddimah Qanun
Asasi yang pertama kali dibuat oleh Hadrotus Syekh. Pada waktu sebelumnya,
muqaddimah tersebut merupakan hasil ijtihad para peserta muktamar, utamanya komisi
yang membidangi AD ART.
Dalam Muqaddimah Qanun Asasi tersebut, berdasarkan analisa penulis setidaknya
KH. Hasyim Asy’ary mengutip 43 ayat al-Qur’an, 5 Hadis Nabi, 4 Perkataan Sahabat, 1
Pendapat Ulama’, dan 2 sya’ir.13 Adapun ayat yang dikutip tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Surat Al-Ahzab; 45-46 m. Surat Luqman; 15
b. Surat An-Nahl; 125 n. Surat Al-Anbiya; 7
c. Surat Az-Zumar; 17-18 o. Surat Ali Imran; 7, 104, 200, 103, 8,
d. Surat Al-Isra; 111, 36 193-194
e. Surat Al-An’a; 153 p. Surat Al-Anfal; 25, 21, 46
f. Surat An-Nisa; 95, 115, 66-68 q. Surat Huud; 113
g. Surat Al-A’raf; 157, 99 r. Surat At-Tahriim; 6
h. Surat Al-Hasyr; 10 s. Surat Al-Maidah; 2 (diulang 2 kali)
i. Surat Al-Hujurat; 13 t. Surat A-Hujurat; 10
j. Surat Al-Fathiir; 28 u. Surat Al-’Ankabut; 69
k. Surat Al-Ahzab; 23, 56 v. Surat As-Syuro; 38
l. At-Taubah; 119, 100, 87 w. Surat Al-Kahfi; 84
Adapun Hadis Nabawi yang dikutip dalam Muqaddimah Qanun Asasi adalah
sebagai berikut:
a. Hadis yang diriwayatakan oleh Imam Suyuthi

‫الشاذ منهم اختطفو الشيطان كما خيتطف الذئب من الغنم‬


ّ ‫ فإذا شذ‬، ‫يد هللا فوق اجلماعةهلوقل‬
12
KH. Abdurrhaman Wahid, Dkk. Op.Cit. Hlm:150.
13
Lihat Kitab Al-Muqtathofat li Ahlil Bidaayat karya KH. Marzuqi Mustamar. Hlm:90; Teks Dan
Kontekstualisasi Amaliyah Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah. 2013. Hlm:127; Mukaddimah Qanun
Asasi yang diterjemahkan KH. Musthofa Bisri dalam AD ART NU Cetakan PCNU Kabupaten Semarang. Hlm:3.
‫‪b. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim‬‬

‫عن أيب ىريرةهلوقل ‪ ،‬قال‪ :‬قال رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص‪" :‬ال حتاسدوا وال تناجشوا والتباغضوا وال تدابرواهلوقل ‪ ،‬واليبع بعضكم على بيع‬

‫بعضهلوقل ‪ ،‬وكونوا عباد هللا إخواانهلوقل ‪ ،‬ادلسلم أخو ادلسلم اليظلمو والخيذلوهلوقل ‪ ،‬وال خيقره التقوى ىا ىنا" ويشري إىل صدره‬

‫الشر أن حيقر أخاه ادلسلمهلوقل ‪ ،‬كل ادلسلم على ادلسلم حرامهلوقل ‪ ،‬دمو ومالو وعرضو‬
‫ثالث مرات "حبسب امرئ من ّ‬
‫‪c.‬‬ ‫‪Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Hakim‬‬

‫فانظروا عمن أتخذون دينكم‬

‫‪d. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad‬‬

‫عن عمران بن حصنيهلوقل ‪ ،‬أن رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص قال‪" :‬ال تزال طائفة من أميت على احلق ظاىرينهلوقل ‪ ،‬على من انوأىم حىت‬

‫أييت أمر هللاهلوقل ‪ ،‬وينزل عيسى ابن مرمي‬

‫‪e.‬‬ ‫’‪Hadis Yang diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdady dalam Kitab Al-Jami‬‬

‫إذا ظهر الفنت والبدع وسب أصاحايب فلينظر العامل علموهلوقل ‪ ،‬فمن مل يفعل ذلك فعليو لعنة هللا وادلالئكة والناس أمجعني‬

‫‪Adapun perkatan Sahabat yang dikutip dalam Muqaddimah Qanun Asasi adalah‬‬
‫‪sebagai berikut‬‬
‫‪a.‬‬ ‫‪Perkataan Sayyidina Ali Ra(ada 3 perkataan beliau yang dikutip).‬‬

‫‪ .1‬إن احلق يضعف ابإلختالف واإلفًتاقهلوقل ‪ ،‬وإن الباطال قد يقوى ابالحتاد واالتفاق‪.‬‬

‫‪ .2‬إن هللا مل يؤت أحدا ابلفرقة خريا ال من األولني وال من األخرينهلوقل ‪ ،‬ألن القوم إذا تفرقت قلوهبم ولعبت هبم‬

‫أىواءىم فال يرون للمنفعة العامة حمال وال مقاماهلوقل ‪ ،‬وال يكون أمة متحدة بل أحادا جمتمعني أجسادا متفرقني‬

‫قلواب وأىواءهلوقل ‪ ،‬حنسبهم مجيعا وقلوهبم شىت‪.‬‬

‫‪ .3‬فليس أحد وإن اشتد على حرصوهلوقل ‪ ،‬وطال يف العمل اجتهادههلوقل ‪ ،‬ببالغ حقيقة ما هللا أىلو من الطاعةهلوقل ‪ ،‬ولكن من‬

‫واجب حقوق هللا على العباد النصيحة مببلغ جهدىمهلوقل ‪ ،‬والتعاون على إقامة احلق بينهمهلوقل ‪ ،‬وليس أمرؤ من عظمت‬

‫يف احلق منزلتوهلوقل ‪ ،‬وتقدمت يف الدين فضيلتوهلوقل ‪ ،‬بفوق أن يعاون على ما محلو هللا من حقوهلوقل ‪ ،‬وال امرؤ وإن ضغرتو‬

‫النفوس واقتحمتو العيونهلوقل ‪ ،‬بفوق أن يعني على ذلك أن يعاون عليو‪.‬‬

‫‪b. Perkataan Sayyidina Umar Ra.‬‬

‫يهدم اإلسالم جدال ادلنافق ابلكتاب‬

‫‪Adapun sya’ir yang dikutip dalam Muqaddimah Qanun Asasi adalah sebagai berikut‬‬
‫‪a.‬‬ ‫‪Sya’ir dari Sayyidina Ali Ra‬‬

‫‪ #‬خطب وال تتفرقوا أحادا‬ ‫كونوا مجيعا اي بين إذا ع ـ ـرا‬


‫ وإذا افًتقن تكسرت أفرادا‬# ‫أتيب القداح إذا اجتمعني تكسرا‬

b. Syair yang tidak disebutkan siapa pengarangnya

‫ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــم وأفرادىا كاألعضاء‬# ‫إمنا األمة الوحيدة كاجلسـ ـ ـ ـ ـ‬

‫ ال ترى اجلسم عنو يف استغناء‬# ‫كل عضو لو وظيفة صنع‬

Adapun pendapat ulama’ yang dikutip dalam Muqaddimah Qanun Asasi adalah
pendapat Sayyid Ahmad bin Abdullah As-Segaff:

‫ كونوا من‬، ‫ أيها ادلعرضونهلوقل‬، ‫ فأين تذىبون عنهاهلوقل‬، ‫ واجتمعت دوائرىاهلوقل‬، ‫إهنا (أي هنضة العلماء) قد سطعت بشائرىاهلوقل‬

‫اخل‬.... ‫ فيناديكم لسان التقريع بقوارع‬، ‫ وإايكم أن تكونوا من اخلالفنيهلوقل‬، ‫ أوال فمن الالحقنيهلوقل‬، ‫السابقنيهلوقل‬

Dari berbagai Ayat-ayat al-Qur’an, Hadis Nabawi, Pendapat sahabat, Perkataan


serta Syair para ulama, oleh Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary meraciknya menjadi
sebuah tulisan yang sangat epik. Dalam tulisan tersebut sangat banyak sekali dimuat
berbagai hal yang menjadi landasan NU dalam berjam’iyyah. Dalam melaksanakan
program kerja serta penyusunan berbagai rancangan yang dilakukan tidak boleh keluar
dari Khittah Muqaddimah Asasi ini.
Dari analisa yang penulis lakukan, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi
pokok inti dari Muqaddimah Qanun Asasi tersebut, yaitu:
a. Ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip dalam Muqaddimah Qanun Asasi tersebut berisi
tentang berbagai aturan serta etika yang sangat berkaitan erat dengan masyarakat
umum dalam kehidupan mereka beragama, berbangsa, dan bernegara. Dalam ayat-
ayat tersebut juga dijelaskan bahwa trah manusia ketika diciptakan adalah sebagai
mahluk sosial yang antara satu dengan lainnya harus saling mengenal, berinteraksi,
saling membantu, menjaga perasaan, menepati janji, larangan berpecah belah, saling
menyakiti, dan melanggar batas orang lain yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.
Selain itu juga dijelaskan tentang kewajiban untuk mengikuti ulama’, serta orang-
orang berilmu yang mendapatkan petunjuk dari Allah Swt.
b. Dalam hadis-hadis yang dikutip berisi tentang pentingnya untuk hidup berkelompok
dan berorganisasi (ber-jam’iyyah). Vox Populi Vox Day (Suara Rakyat adalah Suara
Tuhan). Dalam setiap kelompok mempunyai tugas dan fungsi masing-masing yang
saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya. Ketika keluar dari sebuah
kelompok atau kelompok itu pecah, maka akan lebih mudah bagi setan untuk
menyesatkan dan menghancurkan. Karena itu persatuan dan ikatan batin antara yang
satu dengan yang lain merupakan penyebab terpenting timbulnya kebahagiaan serta
faktor paling kuat untuk menciptakan persatuan dan kasih sayang.
c. Peringatan akan timbulnya perpecahan yang terjadi dalam agama dan bangsa. Sudah
banyak contoh umat dan bangsa terdahulu yang binasa karena terjadinya
perpecahan. Beliau mengatakan bahwa “Perpecahan adalah penyebab kelemahan,
kekalahan, dan kegagalan di sepanjang zaman. Bahkan pangkal kehancuran dan
kebangkrutan, sumber keruntuhan dan kebinasaan, serta penyebab kehinaan dan
kenistaan”.
d. Pentingnya menjaga sanad keilmuan dalam Ahlussunnah Wal Jamaah.
Ketersambungan sanad seseorang dengan gurunya sampai kepada Nabi Muhammad
Saw, menunjukkan kualitas ilmu yang dimiliki, serta kualitas ibadah yang dilakukan.
Timbulnya para pelaku bid’ah, atau kelompok yang sering kali menuduh bid’ah
kepada orang lain dengan mengaku-ngaku kembali kepada Kitabullah, semuanya
tersebut disebabkan karena mereka tidak mempunyai sanad keilmuan.
e. Dalam Muqaddimah tersebut, kutipan beliau dari hanya satu orang ulama’ yaitu
Sayyid Ahmad bin Abdullah As-Segaff yang memberikan komentar tentang pengakuan
kepada NU sebagai sebuah organisasi yang menggemberikan, menyatukan bangunan
yang tegak, menyatukan berbagai daerah, serta larangan untuk berpaling dari NU.
Dengan demikian NU telah menjadi sebuah organisasi yang menyatukan berbagai

pemahaman Aswaja yang telah ada pada era-era sebelumnya di Indonesia ( ‫قد سطعت‬

‫)بشائرىا‬, serta berkeinginan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, serta

mempertahankannya(‫)واجتمعت دوائرىا‬.

Fikrah Nahdliyyah
Fikrah Nahdliyyah adalah kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran
Ahlussunnah Wal Jamaah yang dijadikan landasan berfikir Nahdlatul Ulama (Khittah
Nahdliyyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka islahul ummah
(memperbaiki ummat). Fikrah Nahdliiyah dibuat untuk menjaga nilai-nilai historis dan
meneguhkan Nahdlatul Ulama pada garis-garis perjuangannya (khittah), serta menjaga
konsistensi warga Nahdliyyin agar tetap pada koridor yang telah ditetapkan. Fikrah
Nahdliyyah ini diputuskan dalam Musyawarah Nasional Ulama Nomor 02/Munas/VII/2006
di Surabaya tentang Bahtsul Masail Maudluiyyah Fikrah Nahdliyyah.14

14
Tim Aswaja NU Center. Op.Cit. Hlm:166-167.
Manhaj Fikroh Nahdliyyah (metode berfikir ke-NU-an) digunakan untuk merespon
persoalan, baik persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan. Dalam hal ini NU memiliki
manhaj Ahlussunnah wal Jamaah sebagai berikut:
a. Dalam bidang Aqidah atau Teologi, NU mengikuti manhaj dan pemikiran Abu Hasan
Al-Asy’ary dan Abu Mansur Al-Maturidy.
b. Dalam bidang Fiqih atau Hukum Islam, NU bermadzhab secara qauli dan manhaji
kepada salah satu al-Madzahib al-Arba’ah, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan hanbali.
c. Dalam bidang Tasawuf, NU mengikuti Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid
Al-Ghazali.
Selain Manhaj, Fikrah Nahdliyyah juga memiliki Khashaish (ciri-ciri). Adapun
Khashaish Fikrah Nahdliyyah tersebut adalah:
a. Fikrah Tawashutiyyah (Pola Pikir Moderat). Artinya, NU senantiasa bersikap tawazun
(seimbang), dan i’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. NU tidak
tafrith atau ifrath.
b. Fikrah Tasamuhiyyah (Pola Pikir Toleran). Artinya, NU dapat hidup berdampingan
secara damai dengan pihak lain walaupun akidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.
c. Fikrah Islahiyyah (Pola Pikir Reformatif). Artinya, NU senantiasa mengupayakan

perbaikan menuju arah yang lebih baik (‫)االصالح إىل ما ىو األصلح‬.

d. Fikrah Tathowwuriyah (Pola Pikir Dinamis). Artinya, NU selalu melakukan


konstektualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
e. Fikrah Manhajiyyah (Pola Pikir Metodologis). Artinya, NU senantiasa menggunakan
kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh NU.15
Selain Fikrah Nahdliyyah di atas yang telah ditetapkan dalam Munas, KH. Said Aqil
Siradj menambahkan bahwa ciri utama manhaj atau paham Aswaja adalah sangatlah
lentur, dan fleksibel. Kelenturan ini sering dirumuskan sebagai tawasuth (berada di
tengah-tengah), tawazun (seimbang), I’tidal (tegak lurus), dan tasamuh (toleran). Dan
perlu diingat, ciri ini meliputi semua aspek kehidupan, yaitu akidah, syariat, muamalah,
akhlak’tasawuf, dan sosial-politik. Sedangkan KH. Afifudin Muhajir mengatakan bahwa
sebenarnya al-wasathiyyah mempunyai arti lain, yakni al-waqiiyyah atau realistis. Ini
bukan sikap pasrah atau menyerah pada keadaan, melainkan mempertimbangkan
kenyataan yang ada dan tidak bersikap mutlak-mutlakan, tapi sambil tetap berusaha
untuk menggapai keadaan ideal. 16

15
Ibid. Hlm: 169-170.
16
KH. Abdurrhaman Wahid, Dkk. Op.Cit. Hlm:150.
Ijtihad Dalam Perspektif Ulama’ Nahdliyyin
Sikap dasar bermadzhab telah menjadi pegangan nahdliyyin sejak berdirinya.
Secara konsekuen sikap ini ditindak lanjuti dengan pengembalian hukum fiqih yang pada
umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: ibadah,
mu’amalah, munakahah, jinayat dan qadha’. Selain mempertimbangkan qaul yang diambil
itu berdasarkan kekuatan qaul tersebut, tetapi juga dipertimbangkan pengambilan sikap
untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan dzaruriyyah (primer), hajiyah
(sekunder), dan tahsiniyyah (tersier).
Pengertian istinbath al-ahkam di kalangan ulama’ nahdliyyin bukan mengambil
hukum secara langsung dari sumber aslinya yaitu, al-Qur’an dan al-Hadis. Akan tetepi
penggalian hukum dilakukan dengan men-tahqiq-kan secara dinamis nash-nash fuqaha’
dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Istinbath langsung dari sumber
primer (al-Qur’an dan al-Hadis) yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi
ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari,
terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang
mujtahid. Sementara itu istinbath dalam batas madzhab disamping lebih praktis dapat
dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat (uraian teks) kitab-
kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku.17
Menurut Jaih Mubarak18, secara garis besar pengambilan keputusan hukum Islam
di kalangan nahdliyyin dapat dibagi menjadi 3 macam prosedur, yaitu:
1. Mengambil jawaban dari kitab-kitab yang sudah ada. Jika terdapat beberapa qaul
atau wajah, maka yang dilakukan adalah taqrir jama’i untuk menentukan pilihan
terhadap salah satu pendapat. Dan metode ini juga mempunyai prosedur tersendiri.

2. Ilhaqul Masail Binadzairiha (‫)إحلاق ادلسائل بنظائرىا‬, yaitu mempersamakan hukum suatu

kasus atau masalah yang dijawab oleh ulama’ terhadap masalah atau kasus serupa
yang telah dijawab oleh ulama’ lain. Dengan kata lain, pendapat ulama’ yang sudah
jadi menjadi ushul atau pokok, dan kasus atau masalah yang belum ada hukumnya
disebut furu’ atau cabang. Metode ini merupakan salah satu cara yang digunakan
dalam berijtihad.
3. Istinbath Hukum sebagai alternatif terakhir, yaitu dapat dilakukan apabila suatu
masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standard
sehingga tidak ada peluang untuk melakukan pemilihan pendapat dan tidak

17
KH. Sahal Mahfudz, Sahal. 1994. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LkiS. Hlm:26-28.
18
Jaih Mubarok. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press. Hlm:179-181.
memungkinkan para ulama untuk melakukan ilhaq karena tidak ada mulhaq bih dan
wajh ilhaq. Istinbath dilakukan secara jama’i (kolektif) dengan mempraktekkan kaidah
ushul dan kaidah fikih.
Rumusan hukum hasil produk ijtihad nahdliyyin bukan merupakan keputusan
akhir. Masih dimungkinkan adanya koreksi dan peninjauan ulang bila diperlukan. Bila di
kemudian hari ada salah seorang ulama’ (meskipun bukan peserta forum bahtsul masail
syuriyah) menemukan nash/qaul atau ibarat lain dari salah satu kitab dan ternyata
bertentangan dengan keputusan tersebut, maka keputusan itu bisa ditinjau kembali dalam
forum yang sama. Tidak ada perbedaan antara ulama’ senior maupun junior, antara yang
sepuh dan yang muda dan antara kiyai dan santri. Karena dalam dialog hukum ini yang
paling mendasar adalah benar atau tepatnya pengambilan hukum sesuai dengan subtansi
masalah dan latar belakangnya.19
Menurut KH. Sahal Mahfudz, dalam terminologi ushul fiqih modern sering kali
ditemukan istilah Ijtihad Jama’i. dalam aplikasinya ijtihad jama’i meliputi dua hal.
Pertama, ijtihad dalam upaya memecahkan status hukum permasalahan baru yang belum
di singgung oleh al-Qur’an, al-Sunnah, dan pembahasan ulama-ulama terdahulu. Jadi
masalah ini dapat dikatakan masalah yang benar-benar baru (al-masail al-mahaddatsah),
karena bukan hanya al-Alqur’an dan al-Sunnah tidak membicarakannya, juga hal ini belum
pernah dibahas oleh ulama terdahulu. Kedua, ijtihad untuk memilih pendapat yang paling
sesuai dengan cita kemaslahatan kemanusiaan universal sebagai spirit ajaran Islam.
Hukum masalah yang akan diijtihadi itu telah dibahas oleh imam-imam mujtahid
terdahulu, tapi karena ada beragam pandangan yang saling menampik antara yang satu
terhadap lain, maka tugas kita secara kolektif adalah memilih pendapat yang paling tepat
dan paling sesuai dengan ruh agama, yaitu kemaslahatan.
Dalam kalangan nahdliyyin juga dikenal istilah yang hampir mirip dengan ijtihad
jama’i atau ijtihad kolektif. Istilah tersebut adalah taqrir jama’i, yaitu “upaya secara
kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajah”. Selain
itu juga dikenal istilah ilhaqul masail bi nadzairiha, yaitu “menyamakan hukum suatu
kasus/masalah serupa yang belum dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang
telah dijawab oleh kitab”.20
Dalam ijtihad individu kadangkala seseorang itu menyentuh suatu aspek hukum
dalam obyek pembahasan tertentu, sementara dia tidak menaruh perhatian pada aspek

19
KH. Sahal Mahfudz. Op.Cit. Hlm:37
20
LTN NU. 2007. Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas
Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004). Surabaya: LTN NU Jawa Timur & Khalista. Hlm:446.
lainnya. Terkadang seseorang menghafal segala sesuatu yang orang lain tidak
menghafalnya. Sedangkan diskusi kelompok semacam ijtihad kolektif dapat menemukan
point-point yang tersembunyi atau dapat memunculkan secara jelas perkara-perkara yang
sulit, atau mengingatkan beberapa masalah yang terlupakan, dan ini merupakan berkat
dari musyawarah. Diantara produk kolektif adalah adanya usaha yang ditangani oleh
sekelompok orang, atau usaha yang dilakukan oleh sebuah lembaga sebagai sebuah ganti
dari usaha individu.
Dasar tentang ijtihad kolektif menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi adalah kisah
Sayyidina Ali yang bertanya kepada Nabi Muhammad tentang apa yang harus dilakukan
jika dihadapakan pada sebuah perkara yang belum pernah ada keputusan hukumnya dari
al-Qur’an dan hadis. Kemudian Nabi Muhammad Saw menjawab, “Engkau
musyawarahkan perkara itu dikalangan para pakar fiqih dan orang-orang ahli ibadat dari
kaum Mukmin, dan janganlah engkau sekali-kali menetapkan hukum masalah ini menurut
pendapatmu sendiri”. Demikian inilah yang disebut dengan ijtihad kolektif.21
Metode ijtihad kolektif seperti inilah yang pernah ditempuh oleh Sayyidina Abu
Bakar dan Sayyidina Umar. Abu Bakar ketika menghadapi suatu perkara dan tidak
mendapatkan dasar hukumnya dari al-Qur’an dan hadis, maka beliau mengundang para
tokoh diantara kaum muslimin dan para ulama mereka untuk diajak musyawarah. Apabila
pendapat mereka atas suatu perkara itu disepakati, maka beliau memutuskan perkara itu
dengan pendapat tersebut. Begitu pula dengan Sayyidina Umar, apabila tidak menemukan
keputusan al-Qur’an dan hadis serta tidak pula menemukan keputusan dari Abu Bakar
maka beliau mengundang para tokoh-tokoh kaum Muslim dan ulama-ulama mereka untuk
diajak bermusyawarah. Apabila pendapat mereka atas masalah tersebut disepakati, maka
beliau memutuskan perkara itu dengan pendapat tersebut.
Dengan adanya ijtihad kolektif ini bukan berarti membunuh (meniadakan) dan
tidak memerlukan ijtihad individu. Sebab yang menerangi jalan menuju kepada ijtihad
kolektif adalah hasil penelitian orisinil yang diajukan oleh setiap mujtahid untuk
didiskusikan secara kolektif. Setelah diteliti dan didiskusikan, maka keluarlah suatu
keputusan dari lembaga tersebut, baik berdasarkan ijma’ maupun pendapat mayoritas.
Apabila tidak melewati jalur penelitian, maka hasil ijtihad individu ini dapat berakibat
bahwa sebagian besar keputusan secara kolektif itu nanti di dalamnya terdapat celah yang
dapat dijadikan bahan kritikan dan keraguan. Karenanya, hak individu dalam berijtihad itu

21
Dr. Yusuf Al-Qardhawi. 2000. Ijtihad Kontemporer; Kode Etik Dan Berbagai Penyimpangan. Surabaya:
Penerbit Risalah Gusti. Hlm:139.
masih ada pada setiap keadaan. Bahkan, sebenarnya proses ijtihad itu pada dasarnya
adalah proses ijtihad individu. Sedangkan ijtihad kolektif merupakan permusyawaratan
terhadap hasil-hasil yang telah dicapai oleh setiap individu sebagaimana yang telah kita
ketahui.22
Di kalangan NU, pelaksanaan ijtihad atau taqrir jama’i tadi adalah melalui Bahtsul
Masail. Sedangkan bahtsul masail secara istilah seperti yang diterminologokan dalam
sambutan buku Ahkamul Fuqoha oleh KH. Sahal Mahfudz adalah “salah satu forum diskusi
keagamaan untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual yang
muncul dalam kehidupan masyarakat”.23 Dari definisi tersebut maka bisa difahami bahwa
yang dinamakan bahtsul masail haruslah sebuah forum diskusi yang disitu setidaknya
terdapat tiga orang atau lebih. Kemudian yang menjadi obyek diskusi adalah
permasalahan keagamaan yang sedang berkembang dimasyarakat dan harus segera
direspon dan dicarikan solusinya.
Bahtsul masail dapat disebut sebagai salah satu metode ijtihad kolektif karena
dalam forum atau lembaga tersebut para ulama’, cendikiawan dan santri selalu aktif
mengagendakan pembahasan tentang problematika aktual dengan berusaha secara
optimal untuk memecahkan kebuntuan hukum islam akibat perkembangan sosial
masyarakat yang terus menerus tanpa mengenal batas. Sementara secara tekstual tidak
terdapat landasannya dalam al-Qur’an dan al-Hadis, atau ada landasannya namun
pengungkapannya secara tidak jelas. Kompetensi para ulama’, santri dan cendikiawan
yang mengikuti bahtsul masail diharapkan dapat menemukan sebuah solusi dan
pemecahan terhadap problematika umat Islam.
Keputusan bahtsul masail dalam komunitas nahdliyyin yaitu dibuat dalam kerangka
bermadzhab secara qouli. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam
urutan yang telah ditentukan seuai dengan ketetapan Nahdlatul Ulama’ yang disusun
dalam Munas Alim Ulama NU di Lampung pada tahun 1992. Adapun ketentuan tersebut
adalah sebagai berikut: ketika terjadi dalam suatu kasus masalah dan di sana terdapat
lebih dari satu qoul pendapat, maka dilakukan taqrir jam’i untuk memilih satu qoul atau
wajah. Sedangkan apabila dalam sebuah kasus tidak ada satu pun qoul pendapat atau
wajah sama sekali yang memberikan penjelasan, maka dilakukan prosedur ilhaqul-masail
bi nazha’iriha secara jama’i oleh para peserta bahtsul masail. Apabila dalam sebuah kasus
tidak ada satu qoul atau wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa

22
Ibid.
23
LTN NU. Op.Cit. Hlm:XVII.
dilakukan istinbath jama’i atau ijtihad secara kolektif dengan prosedur bermazhab secara
manhaji oleh para ahlinya
Dalam sebuah permasalahan apabila ditemukan dua qaul atau lebih maka harus
mengikuti prosedur pemilihan qaul atau pendapat para ulama’. Prosedur tersebut adalah
ketika dijumpai beberapa qaul dalam satu masalah yang sama, maka dilakukan usaha
memilih salah satu pendapat. Pemilihan salah satu pendapat dapat dilakukan dengan cara
mengambil dan mempertimbangkan pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih
kuat. Selain dengan pertimbangan tersebut juga diusahakan untuk mengambil pendapat
yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Imam Rafi’I, serta pendapat yang didukung oleh
mayoritas ulama’.24
Ketentuan-ketentuan di atas kemudian dipraktekkan oleh para mubahitsin
(peserta bahtsul masail) untuk menganalisa permasalahan yang disodorkan kepada
mereka. Ibarat dari berbagai kitab yang dibawa oleh para mubahitsin kemudian dibahas
satu persatu untuk dicari ibarat manakah yang lebih tepat untuk menghukumi
permasalahan tersebut. Pencarian ibarat ini adalah dengan cara memperhatikan illatul
hukmi atau wajhul ilhaq yang mempunyai kesamaan dengan permasalahan yang dibahas.
Ketika memang tidak memungkinkan melaui metode ilhaq maka dilakukan istinbath jama’i
atau ijtihad secara kolektif oleh para mubahitsin dengan tetap memperhatikan kaedah
fiqhiyyah dan kaedah ushuliyyah. Adanya istinbath jama’i tadi juga dapat dilaksanakan
setelah mendapatkan arahan dari muharrir atau musohhih.

Ikhtitam
Perkembangan aqidah dan manhaj Aswaja An-Nahdliyyah seperti yang penulis
sampaikan di atas dari hari ke hari memang semakin menunjukkan kepada kualitas yang
lebih baik. Akan tetapi perkembangan teori tersebut tidak sejalan dengan pemahamannya
di kalangan masyarakat yang menunjukkan kepada tren yang negatif. Banyak masyarakat
yang masih belum memahami akan arti fikrah nahdliyyah yang berisikan landasan berfikir
yang berfaham Aswaja. Buruknya pemahaman tersebut ternyata juga masih ditambahi lagi
dengan pelaksanaan dalam ritual-ritual keseharian kalangan nahdliyyin yang semakin hari
semakin berkurang. Maka ada perlunya apabila lebih dikonkritkan pemahaman Aswaja
agar bisa difahamai dan dilaksanakan oleh khalayak nahdliyyin.

24
Ibid. Hlm:446-447.
Daftar Pustaka

Abdurrhaman Wahid, Dkk. 2016. Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih Sampai Madzhab
Kebangsaan. Jakarta: PT. Mizan Pustaka.

Forum Kajian Ilmiah Jimat ’16. 2016. Menghayati Agama, Islam & Aswaja. Kediri. Lirboyo
Press.

Hasyim Asy’ary. 1998. Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Jombang: Maktabah Al-
Masruriyyah.

Hasyim Asy’ary. tt. Ziyadatu Ta’liqat ‘Ala Mandzumati Syekh Abdullah bin Yasin Al-
Pasuruani. Jombang: Maktabah At-Turats Al-Islami.

Jaih Mubarok. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press.

LTN NU. 2007. Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan
Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004). Surabaya: LTN NU
Jawa Timur & Khalista. Hlm:446.

Marzuqi Mustamar. Tt. Al-Muqtathofat li Ahlil Bidaayat. Malang: Penerbit Ma’had Sabilur
Rosyad As-Salafi.

M. Daniel Royan. Tt. Haqiqatu Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Menara
Jogjakarta.

NU Online. 2015. AD-ART NU. (Online). Diakses 20 Mei 2017.

PCNU Kabupaten Semarang. 2012. AD ART NU. Ungaran: PCNU Kabupaten Seamarang.

Purna Siswa Aliyah MHM Lirboyo Kota Kediri. 2007. Polaritas Sektarian: Rekonstruksi
Doktrin Pinggiran. Kediri: Lirboyo Press.

Sahal Mahfudz, Sahal. 1994. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LkiS.

STAINU Kebumen. 2013. Teks dan Kontekstualisasi Amaliyah Ahlussunnah Wal jamaah.
Kebumen: STAINU Press.

Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. 2015. Risalah Ahlussunnah wal Jamaah: Dari
Pembiasaan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah NU. Surabaya: Khalista.

Yusuf Al-Qardhawi. 2000. Ijtihad Kontemporer; Kode Etik Dan Berbagai Penyimpangan.
Surabaya: Penerbit Risalah Gusti.

Anda mungkin juga menyukai