Anda di halaman 1dari 3

BAB V

KESIMPULAN DAN CATATAN

A. Kesimpulan
Tasawuf merupakan bagian dari ajaran agama Islam, yaitu
wujud dari ihsan. Dalam proses perjalanannya, tasawuf terpecah
menjadi dua: tasawuf falsafi dan tasawuf sunni. Secara epistimologi,
tasawuf falsafi adalah suatu bentuk tasawuf yang menggunakan
dzauq atau wujdan (intuisi), namun dalam mengekspresikannya
melalui ungkapan filosofis.
Karena itu, tasawuf falsafi menampilkan ungkapan-ungkapan
ganjil (sathahat; sathahiyat) yang, seakan-akan, menyamakan
antara manusia (alam) dengan Tuhan. Ini pula yang menimbulkan
kontroversi di kalangan ulama sufi, maupun ulama-ulama lain.
Adapun tasawuf sunni adalah tasawuf yang secara
epistimologis menggunakan metode yang sama seperti tasawuf
falsafi, namun dalam pengungkapannya mendasarkan pada al
Qur’an dan Hadis. Tasawuf jenis ini membedakan antara ‘abid dan
ma’bud (penyembah dan yang disembah); membedakan antara
manusia (alam) dengan Khalik.
Perwujudan tasawuf sunni adalah tasawuf akhlaki, yakni
tasawuf yang membidik hati sebagai pusat aktifitas seseorang
(psiko-moral), agar berperilaku baik (benar) sesuai syari’at Islam.
Tasawuf ini sangat berpengaruh di Indonesia, khususnya tasawuf al
Ghazali.
Selain tasawuf akhlaki, juga ada tasawuf amali, yaitu tasawuf
yang berupaya membentuk akhlak manusia melalui amalan-amalan
lahir, seperti wirid, dzikir, dan lain sebagainya. Tasawuf ini
mengambil bentuk tarekat. Karena begitu banyaknya tarekat yang
ada, maka ulama sunni membatasi hanya tarekat yang mu’tabarah
yang dianggap sah, baik dari segi dasarnya: al Qur’an dan Hadis,
maupun dari sisi cara memperolehnya.
Nahdlatul Ulama atau NU—organisasi sosial keagamaan
terbesar di Indonesia, yang didirikan oleh para ulama dan jaringan
pengusaha di pulau Jawa, pada tanggal 31 Januari 1926 dan
bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1344 H, di kampung
Kertopaten, Surabaya, sangat kental dengan nuansa ketasawufan.
NU yang berbasis di pesantren-pesantren dan pedesaan itu
mempunyai ciri khusus dalam pendekatan: kultural.
Di dunia pondok pesantren, kitab-kitab tasawuf (khususnya
kitab al Ghazali) sangat berpengaruh. Para santri umumnya adalah
para kader NU. Dengan demikian, tasawuf sangat berpengaruh
terhadap warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyyin).

Halaman 66
Jalur yang menghubungkan intelektual (spiritual) al Ghazali
ke Indonesia, khususnya ke Jawa dan lebih khusus lagi kepada
warga NU, sangat dimungkinkan melalui mahasiswa Nidhamiyah,
Baghdad, Irak, dan murid spiritual al Ghazali di Thus. Murid al
Ghazali tersebar di tanah suci Makkah al Mukarramah. Kemudian
masuk ke wilayah Nusantara melalui jalur tarekat Qadiriyyah-
Naqsyabandiyyah yang dibawa oleh Ahmad Khathib al Sanbasi.
Hal ini terbukti dengan sangat digemarinya tarekat Ahmad
Khathib al Sanbasi di negeri ini. Selain itu, ada dugaan bahwa
pengaruh itu melalui Syaikh Kholil, Bangkalan, Madura. Ulama
kharismatik yang semasa hidupnya bermukim di pulau Madura ini
mempunyai murid bernama Hasyim Asy’ari (kelak membidani
kelahiran Nahdlatul Ulama). Hasyim Asy’ari kemudian memiliki dua
murid yang tersohor, yaitu Wahab Hasbullah dan Bisri Syamsuri.
Karena tasawuf sunni begitu berpengaruh dalam pemikiran
keagamaan warga NU, sampai-sampai mereka (Nahdliyyin)
mengklaim sebagai Ahlus sunnah wal jama’ah yang menganut
tasawuf al Junaidi al Baghdadi dan al Ghazali. NU juga membentuk
lembaga yang khusus menaungi bidang tasawuf, yaitu Jam’iyyah
ahl al thariqah al mu’tabarah al nahdliyyah.
Sebagai organisasi yang mengklaim sebagai Ahlus sunnah
wal jama’ah, maka segala perilaku keagamaan maupun politik
Nahdlatul Ulama selalu beroreintasi kepada kebijakan umum dari
paham tersebut, yakni tawazun, tawasuth dan i’tidal.

B. Catatan
Sebagai wujud kepedulian terhadap peningkatan kualitas
Nahdlatul Ulama di masa-masa yang akan datang, maka penulis
membuat semacam catatan kecil sebagai bahan renungan
bersama. Pertama, setelah kembali ke khithah, yang berarti NU
secara kelembagaan meninggalkan politik praktis; politik praktis
hanya dilakukan oleh perorangan, maka hendaknya NU komitmen
dengan mengonsentrasikan diri dalam bidang sosial keagamaan.
Hal ini akan lebih bermanfaat untuk membangun sumber daya
manusia warga NU. Mengingat, sebenarnya pekerjaan rumah yang
harus diselesaikan NU sangat berat, terutama terkait dengan
pengentasan kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan bagi warga
NU.
Kedua, oreintasi sosial keagamaan, sebagai lapangan
pengabdian kepada masyarakat, harus diimbangi dengan oreintasi
kepada masalah sosial ekonomi. Karena oreintasi pada yang satu ini
bisa dijadikan sarana penunjang tercapainya program
pembangunan, khususnya di kalangan Nahdliyyin sendiri.

Halaman 67
Ketiga, NU yang menaungi lembaga tarekat hendaknya
mampu membina anggotanya dalam ibadah dan fikih, terutama
yang berkaitan dengan masalah shalat dengan segala
rangkaiannya, serta tidak mempermudah dalam masalah ibadah.
Dari sini, pengakuan sunni sebagai dapat benar-benar diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, yang memadukan antara tasawuf dan
syari’at (fikih).
Dan keempat, diberlakukannnya ijtihad manhaji
(metodologis) dalam mencapai keputusan hukum: baik hukum fikih,
akidah maupun tasawuf, sangat baik. Hal ini layak didukung oleh
berbagai pihak dari elemen NU. Sehingga ke depan aplikasinya bisa
luwes, serta mampu menjawab persoalan umat Islam khususnya,
dan bangsa Indonesia pada umumnya.

Halaman 68

Anda mungkin juga menyukai