Oleh: Shofa Qosidatul Ghautsiyyah, Dwi Nur Rahma, Mei Monika Putri
ABSTRAK
Tasawuf merupakan perpindahan sikap mental, keadaan jiwa dari suatu keadaan
kepada suatu keadaan yang lain yang lebih tinggi dan lebih sempurna, pindah dari
ilmu kebendaan (bersifat keduniawian) ke alam rohani( akhirat). Ahlussunnah wal
Jamaah atau aswaja adalah faham atau aliran yang bersumber dari Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya. Dalam hal tasawuf, para penganut paham
islam Ahlussunna Wal Jamaah mengikuti tasawuf aswaja yang diajarkan oleh imam
Junaid, Imam Ghazali, Imam Qusyairi dan imam-imam mu’tabar lainnya, terutama
imam Ghazali. Untuk ajaran tasawuf Ahlussunnah Wal Jamaah sendiri mengikuti
Imam Abul Qosim Junaidi Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali. Dalam paham Ahlu
Sunnah Wal Jamaah tradisi berpikir aswaja dalam melihat segala sesuatu adalah
secara seimbang dan harmonis. Aswaja mencakup aspek akidah, syariat, dan
tasawuf. Mengambil salah satu aspek saja dan mengabaikan aspek lainnya justru
akan merusak tatanan keseimbangan.
Abu Bakar Al Kattani berkata tasawuf adalah budi pekerti “Barangsiapa yang
menyampaikan bekal budi pekerti atasmu, berarti dia menyampaikan bekal bagimu
atas dirimu pada tasawuf”. Selanjutnya Muhammad Amin Kurdi mendefinisikan
tasawuf ialah “Suatu yang dengannya diketahui hal perihal kebaikan serta keburukan
jiwa, cara membersihkannya dari yang tercela dan mengisinya dengan sifat-
sifatterpuji, cara melaksanakan suluk dan perjalanan menuju keridhaan Allah dan
meninggalkan larangannya” (Desi Fitri dkk, 2019: 6).
Dalam paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah tradisi berpikir aswaja dalam melihat
segala sesuatu adalah secara seimbang dan harmonis. Aswaja mencakup aspek akidah,
syariat, dan tasawuf. Mengambil salah satu aspek saja dan mengabaikan aspek lainnya
justru akan merusak tatanan keseimbangan (Siroj, 2006: 16).
Secara keseluruhan, Inilah yang diklaim oleh Ibnu Taimiyah. Oleh karena itu,
yang dikejar dan dikembangkan Aswaja dan Nahdliyah adalah tasawuf moderat.
Penerimaan tasawuf ini memungkinkan individu Muslim untuk memiliki hubungan
langsung dengan Tuhan dan bekerja sama untuk kepentingan umat. Tasawuf semacam
itu memungkinkan Aswaja an Nahdliyah menjadi orang-orang yang memiliki
pengabdian pribadi dan sosial (jama'ah). Karena tasawuf Al Ghazali dan Junaid al-
Baghdadi, maka Aswaja dan Nahaldiya selalu dinamis, mampu memecahkan masalah
di hadapan manusia, sementara itu kontras dengan sukacita bertemu Tuhan.
Kedua, konsistensi terhadap syari’ah. Para ulama mengakui bahwa belum pernah
ditemukan di antara isyarat-isyarat al-Junaid dalam bidang tasawuf yang
bertentangan dengan syari’ah. Syariah adalah rel yang jika seorang sufi keluar dari
jalurnya maka pintu kebaikan akan tertutup baginya.
Keempat, ajaran tasawuf yang moderat. Ajaran tasawuf yang moderat merupakan
ciri-ciri tasawuf Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Junaid memandang bahwa orang
yang baik bukanlah orang yang berkonsentrasi melakukan ibadah saja, sementara
ia tidak ikut berperan aktif dalam memberikan kemanfaatan kepada manusia.
Pandangan tasawuf yang demikian mematahkan tasawuf ekstrem yang
beranggapan bahwa jika seseorang sudah sampai pada derajat makrifat atau wali,
maka pengamalan terhadap ajaran-ajaran agama tidak diperlukan lagi baginya.
Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW dan para pewarisnya,
pemikiran tasawuf ahlssunnah wal jamaah adalah jalan yang berpegang teguh pada
syariat sebagaimana yang diajarkan Imam alGhazali dan Imam al-Junaidi al-
Baghdadi. Tasawuf model ini diharapkan umat akan dinamis dan dapat mengawinkan
antara kenikmatan bertemu (liqa’) dengan Allah dan sekaligus menyelesaikan
problem-problem umat. Doktrin tasawuf moderat, adalah secara individu seseorang
memiliki hubungan langsung dengan Allah SWT. sedang secara bersama-sama bisa
menciptakan sebuah aktivitas yang menuju pada khaira ummah (kebaikan umat).
Bisa dipahami lebih jauh bahwa ajaran tasawuf al-Ghazâlî adalah menolak
paham hulûl dan ittihâd. Untuk itu dalam persoalan bertemu (liqa’) dengan Allah, ia
menyodorkan paham tentang ma’rifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah (taqarrub
ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju ma’rifat adalah
perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas. Ma’rifat menurut
versi al-Ghazâlî diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh
fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatantingkatan (maqâmat) dan keadaan
(ahwâl). Ia adalah orang yang mampu memadukan ketiga kubu keilmuan Islam, yakni
tasawuf, fikih, dan ilmu kalam, yang sebelumnya terjadi ketegangan (M. Abdul
Mujieb dkk, 2009: 119). Ia menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan
berolah jiwa sehingga sampai kepada ma’rifat yang membantu menciptakan sa’adah
(Rosihon Anwar, 2009: 132).
KESIMPULAN
Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya adalah
jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syariat. Karena itu, kaum Aswaja an-
Nahdliyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban
syariat, seperti yang terdapat dalam tasawuf al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya “ana
ala-Haqq” atau Tasawuf ibn A’rabi (ittihad; manung-galing kawula-Gusti).
Chalim, A. (2017). Agama Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi. Qolamuna jurnal islam.
Siroj, D. K. (2006). Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. (A. Baso, Ed.) Bandung: PT Mizan Pustaka.
Subaidi. (2019). PENDIDIKAN ISLAM RISALAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH AN-NAHDLIYAH. Jepara:
Unisnu Press.
Tim PWNU Jawa Timur,(2007 ). Ajaran Ahlussunnah Wal jamaah yang berlaku di lingkungan
Nahdatul Ulama. Surabaya: Khalista.
Anwar, Rosibon dan Solihin, Mukhtar, 2004, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia.