Anda di halaman 1dari 12

TASAWUF DALAM PERSPEKTIF AHLUSUNNAH WALJAMAAH

Pembimbing : Sugeng Ali Mansur, SS, M. Pd.

Oleh: Shofa Qosidatul Ghautsiyyah, Dwi Nur Rahma, Mei Monika Putri

Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

sugenghamalatut@gmail.com shofaghautsiyyah@gmail.com , rahmazakkiyah30@gmail.com


, meimonikaputri25@gmail.com ,

ABSTRAK

Tasawuf merupakan perpindahan sikap mental, keadaan jiwa dari suatu keadaan
kepada suatu keadaan yang lain yang lebih tinggi dan lebih sempurna, pindah dari
ilmu kebendaan (bersifat keduniawian) ke alam rohani( akhirat). Ahlussunnah wal
Jamaah atau aswaja adalah faham atau aliran yang bersumber dari Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya. Dalam hal tasawuf, para penganut paham
islam Ahlussunna Wal Jamaah mengikuti tasawuf aswaja yang diajarkan oleh imam
Junaid, Imam Ghazali, Imam Qusyairi dan imam-imam mu’tabar lainnya, terutama
imam Ghazali. Untuk ajaran tasawuf Ahlussunnah Wal Jamaah sendiri mengikuti
Imam Abul Qosim Junaidi Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali. Dalam paham Ahlu
Sunnah Wal Jamaah tradisi berpikir aswaja dalam melihat segala sesuatu adalah
secara seimbang dan harmonis. Aswaja mencakup aspek akidah, syariat, dan
tasawuf. Mengambil salah satu aspek saja dan mengabaikan aspek lainnya justru
akan merusak tatanan keseimbangan.

Kata kunci: Tasawuf, Ahlussunnah Wal Jamaah, Ajaran Tasawuf Ahlussunnah


Wal Jamaah
A. PENDAHULUAN
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja) masih menjadi tema pembahasan yang
unik pada perspektif kajian akademik, sehingga tetap menarik untuk dikaji secara
mendalam. Keunikan itu setidaknya ditimbulkan oleh beberapa kenyataan: (1) Aswaja
sebagai sebuah ciri-ciri teologis yang diperebutkan oleh berbagai aliran maupun
organisasi Islam, namun pada sisi lain beliau acapkali dituduh sebagai penyebab
kemunduran umat Islam; (2) substansi Aswaja masih sebagai pemahaman yang
kontroversial di kalangan pemikir-pemikir Muslim; serta (3) pemahaman Aswaja
ternyata belum tuntas di kalangan tokoh-tokoh Islam (Mujamil, 2014: 163)
Tasawuf dari aspek terminologis (istilah) didefinisikan secara beragam, serta
dari berbagai sudut pandang. Hal ini dikarenakan berbeda cara memandang aktifitas
para kaum sufi. Ma’ruf al Karkhimendefinisikan mengatakan bahwa tasawuf
merupakan “mengambil hakikat serta meninggalkanyang ada pada tangan mahkluk”.

Abu Bakar Al Kattani berkata tasawuf adalah budi pekerti “Barangsiapa yang
menyampaikan bekal budi pekerti atasmu, berarti dia menyampaikan bekal bagimu
atas dirimu pada tasawuf”. Selanjutnya Muhammad Amin Kurdi mendefinisikan
tasawuf ialah “Suatu yang dengannya diketahui hal perihal kebaikan serta keburukan
jiwa, cara membersihkannya dari yang tercela dan mengisinya dengan sifat-
sifatterpuji, cara melaksanakan suluk dan perjalanan menuju keridhaan Allah dan
meninggalkan larangannya” (Desi Fitri dkk, 2019: 6).

Dalam paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah tradisi berpikir aswaja dalam melihat
segala sesuatu adalah secara seimbang dan harmonis. Aswaja mencakup aspek akidah,
syariat, dan tasawuf. Mengambil salah satu aspek saja dan mengabaikan aspek lainnya
justru akan merusak tatanan keseimbangan (Siroj, 2006: 16).

Tasawuf merupakan misi kemanusiaan yang melengkapi bagian-bagian pokok


ajaran islam lainnya. Dalam hal ini tasawuf menempati posisinya sebagai aktualisasi
dari dimensi ihsan. Dalam praktik umat islam sehari-hari, ihsan diwujudkan dengan
bentuk dan pola beragama yang moderat dan sudah banyak dunia islam mengamal-
kanya (Siroj, 2006: 16).
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Tasawuf dalam perspektif Aswaja
Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja), Ahl ialah keluarga, golongan atau
pengikut. AS-Sunnah secara bahasa merupakan jalan yang ditempuh atau cara
pelaksanaan suatu amalan, baik dalam masalah kebaikan maupun kejelekan.
Sedangan pengertian Sunnah secara terminlogi yaitu nama suatu jalan yang
mendapakan ridlo yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW, para khulafa‟ al
Rosyidin serta Salaf Al Sholihin. Al-Jama’ah, secara bahasa, berasal dari istilah “Al-
Jam‟u” dengan arti mengumpulkan yang bercerai- berai.Adapun secara istilah
syari‟ah berarti orang-orang terdahulu asal kalangan shahabat Nabi SAW. Maka
Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah orang-orang yang konsisten berpegang teguh dengan
Sunnah Nabi shallallahu „alaihi wasallam. Mereka ialah asal kalangan sahabat Nabi
SAW (Adzanzie dkk, 2019: 2)

Aswaja memiliki prinsip bahwa hakikat tujuan hidup adalah mencapai


keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat serta mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Kemampuan untuk mendekati Tuhan dicapai melalui perjalanan spiritual
yang bertujuan untuk mencapai esensi dan kesempurnaan hidup manusia. Namun
esensi yang diterima tidak boleh meninggalkan garis syariat yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Syariat harus
menjadi dasar untuk mencapai realitas. Inilah prinsip tasawuf (tasawuf) aswaja. Bagi
pengikut Aswaja, rujukan tertinggi adalah Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Tasawuf sejati
berpedoman pada Wahyu, Alquran, dan Sunnah (Tariqa al-Raslurra SAW). Sufi harus
selalu memahami dan menghayati pengalaman seumur hidup Nabi Muhammad. Hal
yang sama berlaku untuk pengalaman teman sebaya, yang sejak itu diturunkan kepada
ulama sufi oleh tabi, tabi, dan tabi hingga hari ini. Pemahaman ulama Warijura
tentang kisah hidup Nabi dapat dilihat dalam kehidupan pribadi dan sosialnya.
Kehidupan pribadi berarti Kezhudan (kesederhanaan sekuler), jerami (pantang dari
kesalahan), dan Dzikir yang mereka mainkan. Begitu juga perilaku mereka di
masyarakat

Secara jamaah, Nahdliyin dapat memasuki kehidupan sufi melalui cara-cara


yang dianut oleh para sufi tertentu dalam bentuk Tariqa (Tariqa). Tidak semua Tariqa
yang ada akan diterima. Aswaja AnNahdliyah menerima Tarekat dengan rantai
sampai kepada Nabi Muhammad SAW, karena beliau adalah pemimpin dalam semua
tindakan kehidupan Islam. Sufi terkait dengan Nabi dan harus diteladani. Jika ada
Tarekat yang mata rantainya tidak sampai kepada Nabi Muhammad, maka Aswajaan
Nahdliyah tidak bisa menerimanya sebagai Tariqa Tabara. Jalan sufi yang
diilustrasikan oleh Nabi Muhammad SAW dan para penerusnya merupakan jalan
yang berpegang teguh pada ajaran Syariah. Oleh karena itu, Aswaja an Nahdliyah,
seperti yang diungkapkan oleh kalimat "anaala Haqq" dalam tasawuf oleh alHallaj
(alhulul), atau seperti yang diungkapkan oleh tasawuf ibn A'rabi (ittihad; hamba dari
Tuhan), dari Syariah, saya tidak dapat menerima sufi jalan untuk menghindari
kewajiban. Oleh karena itu, Aswaja an Nahdliyah hanya menerima ajaran tasawuf
yang tidak meninggalkan syariah dan keyakinan yang terkandung dalam tasawuf
Algazaly dan Junaid Al-Baghdad. Penerimaan model sufi bertujuan untuk
menciptakan tawassuth antara dua kelompok yang berbeda. Artinya, ketika seseorang
mencapai tingkat esensi, kelompok yang mengatakan: Syariah tidak diperlukan lagi,
dan kelompok yang mengatakan: tasawuf dapat menyebabkan kepunahan Islam. Oleh
karena itu, mereka menolak kehidupan tasawuf

Secara keseluruhan, Inilah yang diklaim oleh Ibnu Taimiyah. Oleh karena itu,
yang dikejar dan dikembangkan Aswaja dan Nahdliyah adalah tasawuf moderat.
Penerimaan tasawuf ini memungkinkan individu Muslim untuk memiliki hubungan
langsung dengan Tuhan dan bekerja sama untuk kepentingan umat. Tasawuf semacam
itu memungkinkan Aswaja an Nahdliyah menjadi orang-orang yang memiliki
pengabdian pribadi dan sosial (jama'ah). Karena tasawuf Al Ghazali dan Junaid al-
Baghdadi, maka Aswaja dan Nahaldiya selalu dinamis, mampu memecahkan masalah
di hadapan manusia, sementara itu kontras dengan sukacita bertemu Tuhan.

Hal ini ditunjukkan oleh Walisongo, seorang penyebar agama Islam di


Indonesia. Masing-masing wali ini memiliki hubungan yang erat dengan Allah, dan
pada saat yang sama, dengan penuh hikmah, mereka selalu menentukan akhlak
masyarakat. Akhirnya, ajaran Islam dapat diterima dengan jujur dan ditaati oleh
seluruh tahapan kehidupan

2. Tokoh aswaja Dalam Bidang Tasawuf


Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-
pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama kehidupannya.
Demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteruskan oleh
tabi’in, tabi’ut tabi’in sampai pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami
sejarah kehidupan (suluk) Nabi Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat
dilihat dari kehidupan pribadi dan sosial mereka. Kehidupan individu artinya, ke-
zuhud-an (kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela)
dan dzikir yang dilakukan mereka. Kehidupan sosial, yakni bagaimana mereka
bergaul dan berhubungan dengan sesama manusia. Sebab tasawuf tercermin dalam
akhlak; bukan semata hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan
manusia dengan manusia lainnya.
Kaum Aswaja An-Nahdliyah hanya menerima ajaran-ajaran tasawuf yang moderat,
yakni tasawuf yang tidak meninggalkan syari’at dan aqidah sebagaimana sudah
dicontohkan al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, juga Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

1. Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali


Imam al-Ghazali sebagai pelopor sufi mengembangkan tasawuf kepada dasar
aslinya seperti yang diamalkan oleh para sahabat Rasulullah Saw. Ia telah menulis
puluhan kitab, dan yang paling terkenal adalah Ihya Ulumiddin (Menghidupkan
kembali ajaran Islam). Melalui kitab tersebut al-Ghazali memberikan pegangan
dan pedoman perkembangan tasawuf Islam, dan menjadi rujukan bagi mereka
dalam mengembangkan paham positifisme yang sesusi dengan akidah dan
syariah.Dengan tasawuf al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dan Junaid al-
Baghdadi, kaum Aswaja An-Nahdliyah diharapkan menjadi umat yang selalu
dinamis dan dapat menyandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan bertemu
dengan Tuhan dan sekaligus dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh umat. Hal semacam ini pernah ditunjukkan oleh para penyebar
Islam di Indonesia, Walisongo. Secara individu, para wali itu memiliki kedekatan
hubungan dengan Allah dan pada saat yang sama mereka selalu membenahi
akhlaq masyarakat dengan penuh kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam dapat
diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh kaikhlasan dan
ketertundukan.
2. Abu al-Qosim Al-Junaidi Al-Baghdadi
Abdul Wahhab al-Sya’rani, sebagaimana dikutip Dr. K.H Saefuddin Chalim,
mengungkapkan paling tidak ada empat faktor yang mengantarkan al-Junaid
menjadi satu-satunya figur yang berhak menyandang gelar tersebut sehingga
diakui sebagai acuan dan standar dalam tasawuf Ahlussnah wal Jama’ah.

Pertama, konsistensi terhadap al-Kitab dan Sunnah. Penguasaan al-Junaid


terhadap al-Qur’an dan Sunnah membawa pengaruh positif terhadapnya dalam
membangun madzhabnya di atas fondasi Islam yang kuat dan shahih. Beribadah
tanpa adanya pengetahuan yang memadai dianggap bisa membawa seseorang ke
dalam kesesatan. Oleh karenanya, al-Junaid begitu mengedepankan ilmu agama
sebagai pegangan kaum sufi dalam menempuh jalan suluk.

Kedua, konsistensi terhadap syari’ah. Para ulama mengakui bahwa belum pernah
ditemukan di antara isyarat-isyarat al-Junaid dalam bidang tasawuf yang
bertentangan dengan syari’ah. Syariah adalah rel yang jika seorang sufi keluar dari
jalurnya maka pintu kebaikan akan tertutup baginya.

Ketiga, kebersihan dalam akidah. Al-Junaid membangun madzhabnya di atas


fondasi akidah yang bersih, yaitu akidah Ahlussunah wal Jama’ah.

Keempat, ajaran tasawuf yang moderat. Ajaran tasawuf yang moderat merupakan
ciri-ciri tasawuf Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Junaid memandang bahwa orang
yang baik bukanlah orang yang berkonsentrasi melakukan ibadah saja, sementara
ia tidak ikut berperan aktif dalam memberikan kemanfaatan kepada manusia.
Pandangan tasawuf yang demikian mematahkan tasawuf ekstrem yang
beranggapan bahwa jika seseorang sudah sampai pada derajat makrifat atau wali,
maka pengamalan terhadap ajaran-ajaran agama tidak diperlukan lagi baginya.

3. Abdul Qadir al-Jailani


Syeikh Abdul Qadir al-Jailani lahir pada 470 H. (1077-1078) di al-Jil (disebut
juga Jailan dan Kilan). Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai pendiri
Tarekat Qodiriyah, sebuah istilah yang tidak lain berasal dari namanya. Tarekat
ini terus berkembang dan banyak diminati oleh kaum muslimin. Meski Irak dan
Syiria disebut sebagai pusat dari pergerakan Tarekat tersebut, namun pengikutnya
berasal dari belahan negara muslim lainnya, seperti Yaman, Turki, Mesir, India,
hingga sebagian Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.

3. Ajaran Aswaja Dalam Dalam Bidang Tasawuf

Pada dasarnyya, Ahlussunnah wal jama’ah mempunyai prinsip yaitu hakikat


tujuan hidup adalah tercapainya keseimbangan kepentingan dunia dan akhirat, serta
selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Untuk dapat mendekatkan diri kepada
Allah Ahlussunnah wal jama’ah, memerlukan perjalanan spiritual, yang bertujuan
untuk memperoleh hakikat dan kesempurnaan hidup, namun hakikat tidak boleh
dicapai dengan meninggalkan ramburambu syariat yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT. dalam Al-Qur’an dan sunnah. Kajian seperti ini merupakan prinsip dasar dari
ajaran tasawuf yang dikembangkan ahlussunnah wal jama’ah (Subaidi, 2019: 68).

Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW dan para pewarisnya,
pemikiran tasawuf ahlssunnah wal jamaah adalah jalan yang berpegang teguh pada
syariat sebagaimana yang diajarkan Imam alGhazali dan Imam al-Junaidi al-
Baghdadi. Tasawuf model ini diharapkan umat akan dinamis dan dapat mengawinkan
antara kenikmatan bertemu (liqa’) dengan Allah dan sekaligus menyelesaikan
problem-problem umat. Doktrin tasawuf moderat, adalah secara individu seseorang
memiliki hubungan langsung dengan Allah SWT. sedang secara bersama-sama bisa
menciptakan sebuah aktivitas yang menuju pada khaira ummah (kebaikan umat).

Bisa dipahami lebih jauh bahwa ajaran tasawuf al-Ghazâlî adalah menolak
paham hulûl dan ittihâd. Untuk itu dalam persoalan bertemu (liqa’) dengan Allah, ia
menyodorkan paham tentang ma’rifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah (taqarrub
ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju ma’rifat adalah
perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas. Ma’rifat menurut
versi al-Ghazâlî diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh
fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatantingkatan (maqâmat) dan keadaan
(ahwâl). Ia adalah orang yang mampu memadukan ketiga kubu keilmuan Islam, yakni
tasawuf, fikih, dan ilmu kalam, yang sebelumnya terjadi ketegangan (M. Abdul
Mujieb dkk, 2009: 119). Ia menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan
berolah jiwa sehingga sampai kepada ma’rifat yang membantu menciptakan sa’adah
(Rosihon Anwar, 2009: 132).

Untuk mempertegas doktrin tasawuf yang moderat, adalah secara individual


seseorang memiliki hubungan langsung dengan Allah SWT. sedang secara bersama-
sama bisa menciptakan aktivitas yang menuju pada kebaikan umat. Dalam konteks
ini, Amin Syukur dan Masyharuddin mengistilahkan dengan tasawuf akhlaqi. Artinya,
ia merupakan ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian
jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah
laku yang ketat (Subaidi, 2019: 71).

Guna mencapai kebahagiaan yang optimal, manusia harus lebih dahulu


mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri keAllahan melalui pensucian
jiwa-raga, bermula dari pembentukan pribadi bermoral dan berakhlak, yang dalam
ilmu tasawuf dikenal sebagai takhalli (artinya: pengosongan diri dari sikap tercela).
Tahalli (artinya: menghias diri dengan sifat yang terpuji), dan tajalli (artinya:
terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap
cahaya keAllahan (S, Masyharudin, 2002: 45)

Akhlak erat hubungannya dengan perilaku dan kegiatan manusia dalam


interaksi sosial pada lingkungan tempat tinggalnya. Tasawuf akhlak i dapat terealisasi
secara utuh, jika pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah dibuktikan dalam
kehidupan sosial. Tasawuf jenis ini juga dikenal dengan istilah tasawuf sunni, yaitu
bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan sunnah secara ketat,
serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan ruhaniah) mereka kepada
kedua sumber tersebut (Anwar, 2009: 135)

Tasawuf sunni memberikan istilah bersatu dan berbeda (bersama-sama tetapi


berbeda); artinya ketika hamba merasakan bersatu dengan Allah-Nya, hamba tetap
posisinya sebagai hamba dan Allah posisinya sebagai Allah (Mahjuddin, 2010: 269).
Dapat dipahami bahwa tasawuf sunni merupakan aliran tasawuf yang ajarannya
berusaha memadukan aspek syari’ah dan hakikat namun diberi interpretasi dan
metode baru yang belum dikenal pada masa salaf as-Shalihin dan lebih mementingkan
cara-cara mendekatkan diri (al-qurbu) kepada Allah serta bagaimana cara menjauhkan
diri (al-bu’du) dari semua hal yang dapat mengganggu kekhusyu’an jalannya ibadah
yang mereka lakukan. Ciri utamanya ialah kekuatan dan kekhusyu’an beribadah
(ta’abbud) kepada Allah, zikrullah serta konsekuen dan juga konsisten dalam sikap,
walaupun mereka diserang dengan segala godaan kehidupan duniawi.

4. Pendapat Aswaja Tentang Bertasawuf Dalam Hidup


Ahlussunah wal Jamaah merupakan paham Islam yang dianut oleh mayoritas
umat Islam di seluruh dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Aswaja sendiri
merupakan tradisi pemikiran dan amalan yang dilakukan umat Islam secara turun
temurun sejak zaman Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya. Islam adalah agama
moderat (proposional) dan pembawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil'alamin),
sehingga Aswaja sebagai duta agama islam tentu berkarakter moderat (Suharto,
2021).
Ahlussunnah wal Jamaah (aswaja) memilih menjadi mediator atau mengambil
jalan tengah dalam menyikapi dilema permasalahan agama dengan silih berganti
perkembangan zaman. Dalam mengemban amanahnya Aswaja memenuhi misinya
sebagai pembawa perdamaian bagi seluruh dunia. Di antara perilaku damai yang
diwujudkan adalah tidak melakukan sikap berlebihan atau mudah merespon segala
sesuatu dengan sikap negatif destruktif atau menyikapi berbagai persoalan dengan
kaku (Suharto, 2021).
Islam selama ini dilekatkan dengan anarkisme dan kekerasan, banyak
segolongan kelompok islam di luar sana yang mengangkat tinggi panji-panji islam,
berjuang dengan dalih membela agama islam namun nyatanya merusak kekokohan
umat islam sendiri. Padahal Rasulullah Saw saat melepaskan prajurit untuk pergi
berperang selalu berpesan agar selalu memerhatikan etika (Siroj, 2006: 15). Lalu
dengan anarkisme dan kejahatan yang terjadi apakah itu sesuai dengan tuntunan yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Islam dipandang telah kehilangan jati dirinya,
dunia islam dipenuhi dengan maraknya sejumlah intimidasi, pemaksaan, dan
kekerasan mengukuhkan keyataan bahwa etika dan moralitas sudah terlepas jauh dari
pengamalan keagamaan umat.
Dalam konteks inilah pentingnya tasawuf ditinjau kembali dari dimensi
partikularnya, yang semula hanya bersifat ritual atau sudut pandang bagi segolongan
personal. Tasawuf merupakan misi kemanusiaan yang melengkapi bagian-bagian
pokok ajaran islam lainnya. Dalam hal ini tasawuf menempati posisinya sebagai
aktualisasi dari dimensi ihsan. Dalam praktik umat islam sehari-hari, ihsan
diwujudkan dengan bentuk dan pola beragama yang moderat dan sudah banyak dunia
islam mengamalkannya (Siroj, 2006: 16).
Di Indonesia sendiri, organisasi-organisasi kemasyarakatan islam semacam
Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyah yang merupakan dua ormas islam terbesar di
Nusantara juga menjadikan prinsip moderat atau tawassuth sebagai landasan etika
sosialnya dengan demikian apapun persoalan yang dihadapi selalu didasarkan pada
landasan etis. Lantas mengapa tasawuf termasuk dalam ajaran yang ditekankan dalam
paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Tradisi berpikir aswaja dalam melihat segala
sesuatu adalah secara seimbang dan harmonis. Aswaja mencakup aspek akidah,
syariat, dan tasawuf. Mengambil satu aspek saja dan mengabaikan aspek lainnya
justru akan merusak tatanan keseimbangan. Tuntutan sekelompok umat islam yang
menghendaki penerapan syariat islam seringkali mengabaikan dimensi batiniah dan
etis dari islam sendiri, yakni penerapan tasawuf. Pengabaian ini dalam paham aswaja
dinilai melanggar Sunnatullah, yang menghendaki kehidupan umat islam di dunia
berjalan dengan harmonis dan seimbang (Siroj, 2006: 16).
Dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa dipungkiri manusia akan selalu
menemukan perbedaan, entah perbedaan dari orang yang tidak dikenal maupun dari
orang terdekat sekalipun akan dijumpai berbagai perbedaan. "Al - Ikhtilaafu Ummati
Rahmah" (perbedaan di antara umatku adalah rahmat), begitulah bunyi sabda
Rasulullah SAW yang tertuang dalam haditsnya. Hadits ini sangar masyhur di
kalangan umat muslim, terutama di kalangan para penggerak dakwah, yang digunakan
sebagai alat pemersatu (Buya Yahya, 2021).
Adanya perbedaan dalam kehidupan tentunya sebagai wujud ujian bagi umat
manusia, apakah dengan segala perbedaan yang ada manusia masih bisa memegang
kokoh tuntunan ajaran agama islam sebagai pembawa rahmat dan kedamaian bagi
seluruh alam atau malah justru sebaliknya. Tasawuf mengajarkan dalam hidup untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt, yang mana sang pencipta tidak mau didekati
kecuali dengan hati yang suci. Bagaimana cara menyucikan hati tentunya dengan
memperbaiki perilaku baik itu sikap manusia terhadap Allah Swt (hablun min Allah)
maupun dengan sesama makhluq-Nya (hablun min An-nas).
Saat hati seorang hamba dekat dengan sang penciptanya tentu akan merasa
damai dan tentram, serta akan cenderung melakukan kebaikan dan menjauhi larangan.
Jika ada sesuatu permasalahan tentunya seorang hamba akan meminta petunjuk dari
Allah Swt dan lebih memilih jalan damai untuk menyelesaikannya. Lalu jika seorang
hamba menyadari makna penting dari tasawuf dan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari tentunya dalam menyikapi permasalahan dan dilema perbedaan dengan
benar dan bermoral tanpa mengikutsertakan antimidasi, kekerasan atau tindakan tidak
etis lainnya. Jika umat islam dapat mengamalkan hal tersebut dan mulai menasihati
saudara-saudaranya maka lambat laun umat islam akan hidup dalam kedamaian tanpa
adanya pertikaian yang menyebabkan kekerasan. Cap islam yang meyebutkan bahwa
etika dan moralitas sudah terlepas jauh dari pengamalan keagamaan umat bisa
diperbaiki dan dibenahi. Realita bahwa umat islam berjuang dengan kekerasan bisa
dipadamkan. Pemuda-pemudi islam perlu menumbuhkan semangat juang perdamaian.
Menjadikan islam sebagai agama yang membawa kedamaian sesuai dengan perintah
Allah Swt dan sebagai penerus dari misi perjuangan Nabi Muhammad Saw yakni
menjaga kerukunan umat islam.
Saat umat islam di seluruh penjuru menyadari makna penting dari tasawuf
sebagai moralitas dan memilih menyikapi permasalahan perbedaan secara moderat
tidak akan ada lagi saudara kita sesama umat islam yang mengalami kekerasan, umat
islam bisa menjadi tauladan bagi umat manusia seluruh agama, mewujudkan agama
islam sebagai inspirasi dan bukan hanya sekedar aspirasi (Abdul Chalim, 2017).

KESIMPULAN

Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya adalah
jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syariat. Karena itu, kaum Aswaja an-
Nahdliyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban
syariat, seperti yang terdapat dalam tasawuf al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya “ana
ala-Haqq” atau Tasawuf ibn A’rabi (ittihad; manung-galing kawula-Gusti).

Kaum Aswaja an-Nahdliyah hanya menerima aja-ran-ajaran tasawuf yang tidak


meninggalkan syariat dan aqidah seperti yang terdapat dalam Tasawuf al-Ghazali dan Junaid
al-Baghdad.Yaitu kelompok yang menya-takan: setelah seseorang mencapai tingkat hakikat,
tidak lagi diperlukan syaria’t, dan kelompok yang menyatakan : Tasawuf dapat menyebabkan
kehancuran umat islam.Dengan demikian, yang diikuti dan dikembangkan oleh kaum Aswaja
an-Nahdliyah adalah tasawuf yang moderat.
DAFTAR PUSTAKA

Chalim, A. (2017). Agama Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi. Qolamuna jurnal islam.

Siroj, D. K. (2006). Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. (A. Baso, Ed.) Bandung: PT Mizan Pustaka.

Subaidi. (2019). PENDIDIKAN ISLAM RISALAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH AN-NAHDLIYAH. Jepara:
Unisnu Press.

Tim PWNU Jawa Timur,(2007 ). Ajaran Ahlussunnah Wal jamaah yang berlaku di lingkungan
Nahdatul Ulama. Surabaya: Khalista.

Asmaran, 2002, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Anwar, Rosibon dan Solihin, Mukhtar, 2004, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai