Anda di halaman 1dari 4

METODE BERPIKIR DAN PRINSIP AHLISSUNAH WAL JAMA’AH

A. Metode berpikir Ahlissunah Wal Jama’ah


Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw., telah melalui perjalanan yang panjang.
Pasca wafatnya Rasulullah Saw., bermunculan firqah-firqah (golongan-golongan) dalam
umat Islam, yang satu dan lainnya sulit didamaikan, apalagi dipersatukan.

Ahlissunah Wal Jama’ah mendasarkan paham keagamaannya pada Al-Qur’an, hadist, ijma’
dan qiyas. Pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadist sendiri tentu berbeda-beda antara satu
paham dan lainnya. Jadi, meskipun paham-paham dalam Islam mendasarkan sikap
keagamaan terhadap Al-Qur’an dan Hadist, namun pemahaman dan tafsir atas dasar tersebut
berbeda.

Metode berpikir paham Ahlissunah Wal Jama’ah terdiri dalam beberapa bidang, yaitu:

1. Bidang Aqidah
Permasalahan-permasalahan keagamaan sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah
Saw., masih hidup. Namun, waktu itu, setiap kali persoalan muncul, para sahabat dapat
segera memecahkannya dengan jalan Rasulullah Muhammad Saw. Apabila ada ayat-ayat
yang kurang bisa dipahami, Sahabat akan menanyakannya langsung kepada Rasul, dan
segera mendapatkan jawabannya. Apabila terjadi perbedaan pendapat, Rasulullah Saw.
akan menengahi dan selesailah masalah. Namun begitu, setelah wafatnya Baginda
Rasulullah Muhammad Saw., seiring dengan berjalannya waktu, berbagai permasalahan
keagamaan terus bermunculan. Al-Qur’an dan Hadist yang menjadi pondasi utama umat
Islam dalam berakidah dan beribadah ditafsirkan secara berbeda-beda, sehingga niscaya
menimbulkan pemahaman yang berbeda.

Sesungguhnya persengketaan akidah pada mulanya diakibatkan oleh pertentangan


masalah imamah. Dari persoalan tersebut, kemudian merambah ke wilayah agama,
terutama seputar hukum seorang muslim yang berdosa besar dan bagaimana statusnya
ketika ia meninggal; mukmin ataukah sudah kafir.[3] Dari situ, pembicaraan tentang
akidah kemudian meluas ke persoalan-persoalan Tuhan dan manusia baik menyangkut
perbuatan dan kekuasaan Tuhan, juga sifat keadilan Tuhan, sampai pada persoalan
apakah Al-Qur'an termasuk makhluk atau bukan.
Sampai kemudian lahirlah paham-paham akidah, seperti Qadariyah, Jabbariyah,
Mu’tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah. Dua kelompok terakhir itulah yang mengambil
sikap moderat yang kemudian dikenal dengan pahamnya Ahlusunnah wal Jamaah.
Disebut Asy‘ariyah karena madzhab tersebut didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-
Asy'ari, dan Maturidiyah karena pendirinya adalah Imam Abu Manshur al-Maturidi.

2. Bidang Fiqih
Sumber hukum Islam (Fiqih) yang utama adalah Al-Qur’an dan hadist. Sementara kita
tahu bahwa ayat-ayat al-Qur’an tidak bertambah dan tidak berkurang. Sedangkan
permasalahan-permasalahan baru terus muncul seiring perkembangan zaman. Maka,
dibutuhkan upaya penggalian hukum, atau yang lebih sering disebut dengan istilah
ijtihad.

Ijtihad sendiri sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw., ketika Sahabat
menjumpai suatu persoalan yang harus segera diputuskan sementara mereka tidak
sedang bersama Rasulullah. Pada masa Khulafarurrashidin, khalifah kerap
mengumpulkan para Sahabat untuk membahas suatu masalah dan menentukan
hukumnya, lalu lahirlah ijma’ atau kesepakatan.

Di antara tokoh yang mampu berijtihad sejak generasi sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in,
terdapat banyak tokoh yang ijtihadnya kuat (disebut mujtahid mustaqil). Bukan hanya
mampu berijtihad sendiri tetapi juga mampu menciptakan pola pemahaman (manhaj)
tersendiri terhadap sumber pokok hukum Islam, yakni al-Qur'an dan Hadis. Hal tersebut
dibuktikan dengan metode ijtihad yang mereka rumuskan sendiri, menggunakan kaidah-
kaidah ushul fiqh, qawa'idul ahkam, qawa'idul fiqhiyyah dan sebagainya. Proses dan
prosedur ijtihad yang mereka hasilkan dilakukan sendiri tersbut mendandakan bahwa
secara keilmuan dan pemahaman keagamaan serta ilmu penunjang dalam berijtihad
lainnya telah mereka miliki dan kuasai.

Perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam masalah fiqih memang tidak bisa dicegah, tetapi
bukan berarti setiap orang bebas untuk berijtihad (menjadi mujtahid). Bagi orang awam,
mengikuti para imam madzhab adalah wajib, demikian pendapat ulama Nahdhiyyin.
Madzhab sendiri berarti jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan dalam masalah
keagamaan. Pada hakikatnya, semua orang pasti bermadzhab. Kalau tidak bermadzhab
pada madzhab-madzhab lama, mereka bermadzhab kepada madzhab yang baru. Taqlid
(mengikuti) pada imam madzhab bukanlah suatu kemunduran, tetapi justru sebagai
sarana melestarikan dan mengembangkan ajaran Islam. Dengan bermadzhab, pewarisan
dan pengamalan ajaran Islam menjadi terpelihara, ajaran Islam terjamin kemurniannya.

Para imam madzhab adalah orang-orang yang sudah terkenal kealimannya dan sangat
menguasai ilmu-ilmu al-Qur'an dan hadist. Jadi, apabila dikatakan bahwa bermadzhab
bukanlah jalan yang diajarkan oleh Rasulullah, sesungguhnya hal tersebut tidak
berdasar. Sebab para Imam madzhab adalah orang-orang yang ketaatannya pada al-
Qur'an dan sunnah sudah teruji. Bermadzhab berarti mengikuti apa yang sudah menjadi
pegangan imam madzhab.

Dalam ranah fiqh, Ahlissunah Wal Jama’ah bermadzhab kepada madzhab empat yang
masyhur, yakni, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
3. Bidang Tasawuf
Dalam bidang tasawuf Ahlissunah Wal Jama’ah memiliki prinsip untuk dijadikan
pedoman bagi kaumnya. Sebagaimana dalam masalah akidah dan fiqih, dimana Aswaja
mengambil posisi yang moderat, tasawuf Aswaja juga demikian adanya.

Manusia diciptakan Allah semata-mata untuk beribadah, tetapi bukan berarti


meninggalkan urusan dunia sepenuhnya. Akhirat memang wajib diutamakan ketimbang
kepentingan dunia, namun kehidupan dunia juga tidak boleh disepelekan. Dalam
emenuhi urusan dunia dan akhirat mesti seimbang dan proporsional.

Dasar utama tasawuf Aswaja tidak lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu,
jika ada orang yang mengaku telah mencapai derajat Makrifat namun meninggalkan al-
Qur’an dan sunnah, maka ia bukan termasuk golongan Aswaja. Meski Aswaja mengakui
tingkatan-tingkatan kehidupan rohani para sufi, tetapi Aswaja menentang jalan rohani
yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Imam Malik pernah mengatakan, “Orang yang bertasawuf tanpa mempelajari fikih telah
merusak imannya, sedangkan orang yang memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf
telah merusak dirinya sendiri. Hanya orang yang memadukan keduanyalah yang akan
menemukan kebenaran.”

Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-
pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama kehidupannya. Demikian
juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteruskan oleh tabi’in,
tabi’ut tabi’in sampai pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami sejarah
kehidupan (suluk) Nabi Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat dilihat dari
kehidupan pribadi dan sosial mereka. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-an
(kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela) dan dzikir yang
dilakukan mereka.
Kehidupan sosial, yakni bagaimana mereka bergaul dan berhubungan dengan sesama
manusia. Sebab tasawuf tercermin dalam akhlak; bukan semata hubungan manusia
dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan manusia lainnya.

B. Prinsip-prinsip Ahlissunah Wal Jama’ah


Adapun prinsip-prinsip Ahlissunah Wal Jama’ah sebagai berikut:

1. Tawassuth
Tawassuth berasal dari kata Wasatho artinya tengah. Hal ini berarti dalam memahami
segala bentuk ajaran Islam senantiasa berpedoman dengan nilai-nilai kemoderatan. Nilai
kemoderatan inilah nantinya membawa pemahaman menuju Islam yang benar tanpa
harus mengklaim saudara-saudaranya kafir, murtad dan sejenisnya hanya semata-mata
tidak setuju dengan apa yang diusungnya. Tawassut merupakan landasan dan bingkai
yang mengatur bagaimana seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita agar tidak
terjebak pada pemikiran sendiri. Dengan menggali dan meelaborasi dari berbagai
metodologi dari berbagai disiplin ilmu baik dari Islam dan Barat serta mendialogkan
dengan agama, filsafat dan sains.

2. Tawazun
Tawazun mempunyai makna seimbang. Hal ini berarti setiap jengkal langkah dalam
sendi kehidupan beragama senantiasa menggunakan prinsip keseimbangan dalam
pemecahan setiap permasalahan yang muncul. Seimbang dalam menjalin hubungan
dengan Allah, seimbang dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia, seimbang
dalam menjalin hubungan dengan alam. Dengan sikap seimbang inilah nantinya akan
menemukan esensi Islam yang sebenarnya. Dalam konteks tawazzun ini bisa di
implementasikan ke dalam ranah negara dan bangsa. Bagaimana kita bergaul dan
berhubungan dengan individu, masyarakat dengan masyarakat, negara dengan rakyatnya
maupun manusia dengan alam.

3. Tasamuh
Tasamuh mempunyai makna toleransi. Artinya, Allah telah menciptakan manusia
bermacam-macam suku, agama, ras sehingga dalam menyikapi persoalan kita senantiasa
menggunakan prinsip toleransi. Dengan menggunakan prinsip inilah kita mampu
memahami perbedaan sebagai Sunnatullah dan tidak terpecah belah dalam perbedaan.
Yakinlah bahwa menghormati terhadap perbedaan terhadap sesama manusia walaupun
berbeda agama tidak akan berdosa dan yakinlah bahwa mengejek, menghina dan
mengucilkan manusia walaupun itu non Islam tetaplah berdosa. Dan dalam point ini
cenderung untuk mengedepankan sifat pluralis dalam beragama.

Anda mungkin juga menyukai