Anda di halaman 1dari 12

Kedelapan, Syariat, Tharikat, Hakikat Makrifat

Akhina, apakah hanya karna salah seorang ustad menyampaikan tentang syariat,
Hakikat, Makrifat – terus antum tak mau dengar dengan -membaca Al qur’an?
Oya, sedikit ana sampaikan lagi....Ana tidak pernah komplain dan menyimpan dihati
ketika antum membaca alqur’an pada saat ana ceramah di Taqwa, Ramadhan yang lalu.
Meskipun antum di shaf yang depan. Bahkan jika perlu ana bersumpah,
Wallahi...Bahkan tak ana ingat sama sekali, akhi...sampai CRA menyampaikan keluhan
itu kepada kami. Bahwa ternyata beberapa ustad yang didatangkan merasa ’ada yang
tidak tepat’ ketika mereka ceramah, antum dan beberapa yang lain membaca Alqur’an.
Tuli? Tentu tidak. Apakah Alqur’an tidak lebih mulia dari ceramah? Tentu tidak juga.
Yang salah adalah akhlak...karna antum tidak pernah mau berfikir dari sudut pandang
orang lain... bagaimana perasaan antum ketika antum memimpin rapat, ternyata salah
seorang peserta rapat sibuk baca Al qur’an karna mau khatam?......

Baiklah, sekarang waktunya bicara syariat, hakikat, ma’rifat.

Bicara tentang ini, sedikit banyaknya kita berbicara tentang tasauf. Dan Tasauf
sesungguhnya adalah pengembangan ilmu akhlak. Maka kalau antum belum memahami
bagaimana berakhlak, sebaiknya antum belajar dulu tasauf. Tapi kalau antum samakan
tasauf dan wihdatul wujud, sepertinya ilmu sejarah antum ’payah’.

Lho kok tasauf? Kan bid’ah? Tak dikenal jaman nabi dan Khulafaurrasyidin?
Akhina, kalo mau bid’ahkan ilmu tasauf (akhlak), sekali lagi -sekalian aja antum
bid’ahkan Ilmu tajwid, Nahwu , Sorof, Mustlaha Hadist, berikut istilah istilah
didalamnya...

Sekarang,, Antum mau tau cara memahami yang simple atau yang agak rumit?
Okey, kita mulai dari yang simple.

Simpel saja,
Syariat adalah pakaian kita,
sedang Hakikat adalah tubuh kita,
jadi hakikat tanpa syariat adalah porno,

thariqat adalah jalan untuk mencapai Ma'rifatullah, tentunya dengan menggunakan


syariat, dengan kata lain membalut tubuh kita dengan pakaian yg baik & sopan,

nah kalau ma'rifat adalah hasilnya


kalau tubuh kita (hakikat) sudah terbalut pakaian (syariat) tentunya dengan jalan
pakaiannya harus baik & sopan (thariqat), maka kita akan menjadi manusia yg
terhormat & memiliki derajat yg tinggi(ma'rifat), karna sudah gak bugil lagi, ga porno
lagi, bahkan rapih & enak dipandang.
Betul, betul, betul..... (upin dan Ipin)...

Akhina, berdamailah dengan diri sendiri. Janganlah risau sekali kalau mendengar orang
menyampaikan syariat, tahorikat, hakikat, makrifat. Jika perlu antum dalami dulu.

Sekarang, mau penjelasn yang lebih rumit?


Kan antum mau tau darimana ana mengambil ilmu. Berikut ini ana nukilkan tulisan
Prof. Ali Yafie mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), seorang ulama ahli
Fiqh (hukum Islam):

Kata syari'ah telah beredar luas di kalangan umat muslim. Bahkan, dalam al-Qur'an
sendiri, kata tersebut telah dipakai antara lain pada Surah al-Jatsiyah: 18. Pemakaian
kata tersebut mengacu kepada makna ajaran dan norma agama itu sendiri. Dalam
perkembangan Islam munculnya tiga kata thariqah, haqiqah dan ma'rifah, telah
mengakibatkan terbatasnya pengertian syari'ah sehingga lebih banyak
mengacu pada norma hukum. Sedangkan tiga kata lainnya menjadi terma yang
terkenal dalam tasawuf. Karena itu ada baiknya kita lebih dahulu berbicara tentang
tasawuf itu sendiri.
 
Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka adalah kelompok
spiritual dalam umat Islam yang berada di tengah-tengah dua kelompok lainnya yang
disebut kelompok formal dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual ini
terdiri dari ulama-ulama mutakallim (ahli teologi), sedangkan kelompok formal
terdiri dari ulama-ulama muhaddits dan fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah
suatu kecenderungan spiritual yang membentuk etika moral dan lingkungan sosial
khusus. Sehingga seharusnya kita katakan seorang muhadditsin sekaligus juga ulama
sufiyah, begitu pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.
 
Ajaran Tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dari prinsip-prinsip Islam sejak
awal. Ajaran ini tak ubahnya merupakan upaya mendidik diri dan keluarga untuk
hidup bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama dalam
kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun mengungkapkan, pola dasar tasawuf
adalah kedisiplinan beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk
mendapatkan ridla-Nya), dan upaya membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada
kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan
duniawi lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum
muslim angkatan pertama. Pada angkatan berikutnya (abad 2 H) dan
seterusnya, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi
kehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum
muslim yang mempertahankan pola hidup sederhananya lebih dikenal sebagai kaum
sufiyah.
 
Keadaan tersebut berkelanjutan hingga mencapai puncak perkembangannya pada
akhir abad 4 H. Dalam masa tiga abad itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang
melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah,
seperti kita dapat simak dalam karya sastra "cerita seribu satu malam" dimasa
kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami
perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi
mulai ditandai juga dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang
kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut ilmu Tasawuf.
 
Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma yang dulunya tidak lazim
dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha
dalam menjabarkan prinsip-prinsip ajaran Islam mengenai penataan kehidupan
pribadi dan masyarakat yang sudah berkembang selama tiga abad -dengan
munculnya disiplin ilmu Tasawuf- terjadilah pemisahan antara dua pola penalaran,
yaitu produk penalaran ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produk
penalaran ulama tasawuf yang disebut haqiqah. Selanjutnya para fuqaha pun disebut
ahli syari'ah dan para ulama tasawuf disebut ahli haqiqah.

Pada tahap perkembangannya, secara berangsur-angsur pola pikir dan pola


hubungan antara ahli syari'ah dan ahli haqiqah makin berbeda. Dan ini
menimbulkan banyak pertentangan antara kedua kelompok tersebut. Perbedaan
tersebut ditandai dengan beberapa hal berikut:
 
1. Ahli syari'ah menonjolkan -kadang-kadang secara berlebih-lebihan- soal pengalaman
agama dalam bentuk yang formalistik (syi'ar-syi'ar lahiriah). Sedang dilain pihak,
para ahli haqiqah menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran Islam.
 
2. Adanya teori-teori ahli haqiqah yang menyimpang dari tasauf yang murni yang
menggusarkan para ahli syari'ah, misalnya teori wihdatul wujudnya Al Hallaj.
 
3. Sebagian ahli haqiqah yang menyimpang dari tasauf yang asli -tidak merasa terikat
dengan syi'ar-syi'ar agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata, kalau seseorang
sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para
pendahulu mereka sangat disiplin dalam pengalaman syari'ah.
 
Jurang pemisah yang makin hari makin melebar antara ahli syari'ah dan ahli haqiqah
makin menjadi-jadi pada sekitar akhir abad kelima Hijrah, dan Imam Ghazali
berupaya memulihkannya. Dalam kaitan inilah beliau tampil dengan karya besarnya
Ihya 'Ulum al-Din (menurut antum banyak hadistdhoif kan?). Dalam buku ini beliau
mempertemukan teori-teori syari'ah dengan teori-teori haqiqah. Ternyata upaya al-
Ghazali ini sangat membantu dalam
merukunkan kembali antara para ahli syari'ah dengan ahli haqiqah.
 
Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga keagamaan
non-formal yang namanya "tarekat" asal kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita
jumpai Tarekat Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Tarekat
Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir
ini, kita melihat adanya langkah lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat
tersebut dengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu
lewat ikatan yang dikenal dengan nama Jam'iyah Ahlal-Thariqah al-Mu'tabarah.
Pada tahun lima puluhan, pemerintah Mesir menempatkan pembinaan dan
koordinasi tarekat-terekat tersebut di bawah Departemen Bimbingan Nasional
(Wizarah al-Irsyad al-Qaumi). Pertimbangannya ialah, bagaimanapun keberadaan
penganut-penganut tarekat itu merupakan bagian dari potensi bangsa/umat, yang
berhak mendapatkan perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan suatu negara.
 
Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kita mempertanyakan
kapankah munculnya tarekat (al-thuruq al-shufiyah) itu dalam sejarah
perkembangan gerakan tasawuf. Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang
gerakan tasawuf dan gerakan syi'ah mengungkapkan, tokoh pertama yang
memperkenalkan sistem thariqah (tarekat) itu Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561
H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia
Islam, yang mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghinia dan Jawa. Sedangkan di
Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat Rifa'iyyah yang dibangun Sayid Ahmad
al-Rifa'i. Dan tempat ketiga diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal al-
Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat tradisi baru dengan menggunakan
alat-alat musik sebagai sarana dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan
meluas.
Dalam periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang mendapat sambutan luas
di Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam bagian Timur pada umumnya. 
Yang juga perlu dicatat di sini ialah munculnya Tarekat Sanusiyah yang mempunyai
disiplin tinggi mirip disiplin militer. Di bawah syeikhnya yang terakhir, Sayyid Ahmad
al-Syarif al-Sanusi berhasil menggalang satu kekuatan perlawanan rakyat yang
mampu memerangi kolonialis Italia, Perancis dan Inggris secara berturut-turut, dan
akhirnya membebaskan wilayah Libya. Mungkin sifat keras dari iklim yang dibentuk
Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai Mu'ammar al-Qadafi mengambil alih
kekuasaan dan berkuasa sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.

Inilah jalan penghidup keyakinan syari’at, thariqat, haqiqat menuju kemuliaan dengarlah
yang tersirat dalam gambaran yang tersurat dalam bisikan. Inilah gambaran dari jalan
menuju akhirat, yakni melalui syari’at, thariqat dan haqiqat. Melalui jalan ini seseorang
akan mudah mengawasi ketakwaannya dan menjauhi hawa nafsu. Tiga jalan ini secara
bersama sama menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh
meninggalkan salah satu dari tiga jalan ini.
Haqiqat tanpa syari’at menjadi batal, dan syari’at tanpa haqiqat menjadi kosong. Dapat
dimisalkan di sini, bahwa apabila ada orang memerintahkan sahabatnya mendirikan
shalat, maka ia akan menjawab: Mengapa harus shalat? Bukankah sejak zaman azali dia
sudah ditetapkan takdirnya? Apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang beruntung,
tentu ia akan masuk surga walaupun tidak shalat. Sebaliknya, apabila ia telah ditetapkan
sebagai orang yang celaka maka, ia akan masuk neraka, walaupun mendirikan shalat.Ini
adalah contoh haqiqat tanpa syari’at. Sedangkan syari’at tanpa haqiqat, adalah sifat
orang yang beramal hanya untuk memperoleh surga. Ini adalah syari’at yang kosong,
walaupun ia yakin. Bagi orang ini ada atau tidak ada syari’at sama saja keadaannya,
karena masuk surga itu adalah semata-mata anugerah Allah. Syari’at adalah peraturan
Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan larangan. Thariqat
adalah pelaksanaan dari peraturan dan hukum Allah (syari’at). Haqiqat adalah
menyelami dan mendalami apa yang tersirat dan tersurat dalam syari’at, sebagai tugas
menjalankan firman Allah.

Mendalami syari’at sebagai peraturan dan hukum Allah menjadi kewajiban umat Islam
terutama yang berkaitan dengan ibadah mahdlah, ibadah yang berhubungan langsung
dengan Allah SWT. Seperti dalam firman: Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în yang
artinya: Hanya kepada Engkau (Allah), aku beribadah, dan hanya kepada engkau aku
memohon pertolongan." (QS. Al-Fâtihah: 4-5).

Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga haqiqat adalah usaha seorang hamba
melepaskan dirinya dari kekuatannya sendiri dengan kesadaran bahwa semua
kemampuan dari perbuatan yang ada padanya, hanya akan terlaksana dengan
pertolongan Allah semata.
Pada dasarnya kewajiban seorang mukmin adalah melaksanakan semua perintah Allah
dan meninggalkan larangan-Nya, dengan tidak memikirkan bahwa amal perbuatannya
itulah yang akan menyelamatkannya dari siksaan neraka, atau menjadikannya masuk
surga.

Atau ia beranggapan tanpa amal ia akan masuk neraka, atau beranggapan hanya dengan
amal ia akan masuk surga. Sebenarnya ia harus berpikir dan meyakini bahwa semua
amalannya hanya semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah dan mendapatkan
keridhaan-Nya. Seperti firman Allah: "Fa’budillâh Mukhlishan Lahuddîn".

Apabila Allah Ta’ala menganugerahkan pahala atas amal perbuatannya hanyalah


merupakan karunia Allah belaka. Demikian juga apabila menyiksanya, maka itu semua
merupakan keadilan Allah jua, yang tidak perlu dipertanyakan pertanggungjawabannya.
Hasan Basri mengatakan bahwasannya ilmu haqiqat tidak memikirkan adanya pahala
atau tidak dari suatu amal perbuatan. Akan tetapi tidak berarti meninggalkan amal
perbuatan atau tidak beramal. Sayyidina Ali RA, mengatakan: Barangsiapa beranggapan,
tanpa adanya perbuatan yang sungguh-sungguh, ia akan masuk surga, maka itu adalah
hayalan, sedangkan orang yang beranggapan bahwa dengan amal yang sungguh-
sungguh dan bersusah payah ia akan masuk surga, maka hal itu sangat sia-sia. Orang
pertama adalah mutamanni dan orang yang kedua adalah muta’ anni.
Pernah dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki Yahudi dari Bani Israil, ia telah beribadah
selama tujuh puluh tahun. Pada suatu saat ia memohon kepada Allah agar dia
ditetapkan berada bersama-sama para malaikat. Maka Allah SWT, mengutus malaikat
untuk menyampaikan kepadanya bahwa dengan ibadahnya yang sekian lama itu, tidak
pantas baginya untuk masuk surga. Laki-laki ini mengatakan pula kepada malaikat itu
setelah mendengar berita dari Allah SWT. "Kami diciptakan Allah di dunia ini hanya
untuk beribadah kepada Allah, maka sepantasnyalah kami berkewajiban beribadah
(tunduk) kepada-Nya."

Tatkala malaikat itu kembali melaporkan apa yang didengarnya dari hamba Allah
tersebut, ia berkata: "Ya Allah, Engkau lebih mengetahui apa yang diucapkan oleh laki
laki tersebut." Allah SWT pun berfirman. "Jika ia tidak berpaling dan tunduk beribadah
kepada-Ku, maka dengan karunia dan kasih sayang-Ku, Aku tidak akan
meninggalkannya. Saksikan lah olehmu, sesungguhnya Aku telah mengampuninya.

Syari’at Ibarat bahtera itulah syari’at Ibarat samudera itulah thariqat Ibarat mutiara
itulah haqiqat. Ungkapan dari syair di atas menjelaskan kedudukan tiga jalan menuju
akhirat. Syari’at ibarat kapal, yakni sebagai instrumen mencapai tujuan. Thariqat ibarat
lautan, yakni sebagai wadah yang mengantar ke tempat tujuan. Haqiqat ibarat mutiara
yang sangat berharga dan banyak manfaatnya.
Untuk memperoleh mutiara haqiqat, manusia harus mengarungi lautan dengan ombak
dan gelombang yang dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan itu, tidak ada jalan
lain kecuali dengan kapal.

Sebagian Ulama menerangkan tiga jalan ke akhirat itu ibarat buah pala atau buah
kelapa. Syari’at ibarat kulitnya, thariqat isinya dan haqiqat ibarat minyaknya.
Pengertiannya ialah, minyak tidak akan diperoleh tanpa memeras isinya, dan isi tidak
akan diperoleh sebelum menguliti kulit atau sabutnya.
Agama ditegakkan di atas syari’at, karena syari’at adalah peraturan dan undang-undang
yang bersumber kepada wahyu Allah. Perintah dan larangannya jelas dan dijalankan
untuk kesejahteraan seluruh manusia. Menurut Syaikh al-Hayyiny, syari’at dijalankan
berdasarkan taklif (beban dan tanggungjawab) yang dipikul kepada orang yang telah
mampu memikul beban atau tanggungjawab (mukallaf).

Haqiqat adalah apa yang telah diperoleh sebagai ma’rifat. Syari’at dikukuhkan oleh
haqiqat dibuktikan oleh syari’at. Adapun syari’at adalah bukti pengabdian manusia yang
diwujudkan berupa ibadah, melalui wahyu yang disampaikan kepada para Rasul.
Haqiqat itu sendiri merupakan bukti dari penghambaan (ibadah) manusia terhadap Allah
SWT, dengan tunduk kepada hukum syari’ at tanpa perantaraan apapun.

Thariqat Adalah thariqat itu suatu sikap hidup, Orang yang teguh pada pegangan yang
genap, Ia waspada dalam ibadah yang mantap, Bersikap wara’ berperilaku dan sikap.
Dengan riyadhah itulah jalan yang tetap. Para Ulama berpendapat thariqat adalah jalan
yang ditempuh dan sangat waspada dan berhati-hati ketika beramal ibadah. Seseorang
tidak begitu saja melakukan rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam menjalankan
macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan melakukan rukhshah, akan tetapi
sangat berhati-hati melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati itu adalah
bersifat wara’.

Menurut al-Qusyairy, wara’ artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang
bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara’ adalah suatu
pilihan bagi ahli thariqat.
Imam al-Ghazaly membagi sifat wara’ dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah
adalah wara’ul ‘adl (wara’ orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan sesuai
dengan ajaran fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang meragukan dan
amal yang dianggap bertentangan atau batal.

Tingkat agak ke atas adalah wara’ush shâlihîn (wara’ orang-orang saleh). Yakni
menjauhkan diri dari semua perkara subhat, seperti makanan yang tidak jelas asal
usulnya, atau ragu atas suatu yang ada di tangan atau sedang dikerjakan, atau disimpan.
Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara’ul muttaqqîn (wara’ orang-orang yang takwa).
Yakni meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir
kalau-kalau membahayakan, atau mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan
orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang suka bermaksiat, memakai pakaian
yang serupa dengan orang- orang yang berakhlak jelek, menyimpan barang-barang
berbahaya atau diragukan kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin Khattab
meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir
berasal dari perilaku haram.

Tingkat yang tertinggi adalah, wara’ush shiddiqqîn (wara’ orang-orang yang jujur). Yakni
menghindari sesuatu walaupun tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang
mubah yang terasa syubhat.
Kisah-kisah berikut ini menunjukkan sifat-sifat orang yang wara’.Pada masa Imam
Ahmad bin Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy. Ia mempunyai
saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun. Biasanya pekerjaan itu
dikerjakan di loteng rumahnya. Ia bertanya kepada Imam Ahmad, Pada suatu malam
ketika ia sedang memintal benang, cahaya obor lampu orang Thahiriyah (mungkin
tetangga) masuk memancar ke loteng kami. Apakah kami boleh memanfaatkan cahaya
lampu obor tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan kami?" Imam Ahmad menjawab
"Sungguh dari dalam rumahmu telah ada cahaya orang yang sangat wara’, maka
janganlah engkau memintal benang dengan memanfaatkan cahaya obor itu".

Abu Hurairah mengatakan: "Pada suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku.
Untuk menyajikan makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan
panggang. Setelah selesai menyantap makanan itu, saya ingin membersihkan tangannya
dari bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah tetangga, saya mengambil debu bersih untuk
membersihkan dan menghilangkan bau amis dari tangannya. Akan tetapi saya belum
minta izin tetangga tersebut untuk menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali
atas perbuatan saya itu empat puluh tahun lamanya".
Dikisahkan juga bahwa ada seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin
menghiasi ruangan rumah itu, lalu menuliskan khat-khat riq’i pada salah satu
dindingnya.

Ia berusaha menghilangkan debu-debu pada dinding rumah kontrakan itu. Karena ia


merasa bahwa perbuatan itu baik dan tidak ada salahnya. Ketika ia sedang
membersihkan debu-debu pada dinding rumah itu, didengarnya suara, "Hai orang yang
menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami perhitungan amal yang sangat
lama". Imam Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada
tukang sayur Makkah. Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur
mengeluarkan dua buah bejana lalu ia berkata: "Ambillah salah satu, mana yang jadi
milikmu". Imam Ahmad berkata, "Saya sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang
menjadi milikku.

Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu".
Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu
berkata: "Inilah milikmu". Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya aku hanya menguji
kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi," sambil berjalan meninggalkan
tukang sayur itu.
Diriwayatkan bahwasannya Ibnu al-Mubarak pulang pergi dari Marwan ke Syam untuk
mengembalikan setangkai pena, yang belum sempat dikembalikan kepada pemiliknya.

Hasan al-Bashry pernah menanyakan kepada seorang putera sahabat Ali bin Abi Thalib,
ketika itu sedang bersandar di Ka’bah sambil memberi pelajaran. Hasan al-Bashry
bertanya: "Apakah yang membuat agama menjadi kuat?" Dijawabnya: "yang
menguatkan agama adalah sifat wara’". "Apa yang merusak agama?" "yang merusak
agama adalah tamak". Jawaban itu mengagumkan Hasan al-Basry, lalu ia berkata
"Dengan sifat wara’ yang ikhlas lebih baik dari seribu kali shalat dan puasa". Itulah
beberapa kisah yang menghiasi akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang mengagumkan
yang melekat dalam hidup mereka. Demikian juga sifat mulia para sahabat tabi’in dan
tabi’it-tabi’in.

Haqiqat

Haqiqat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan, Menyaksikan cahaya nan gemerlapan,
Dari ma’rifatullah yang penuh harapan. Untuk menempuh jalan menuju akhirat haqiqat
adalah tonggak terakhir. Dalam haqiqat itulah manusia yang mencari dapat menemukan
ma’rifatullâh. Ia menemukan hakikat yang tajalli dari kebesaran Allah Penguasa langit
dan bumi. Menurut Imam al-Ghazaly, tajalli adalah rahasia Allah berupa cahaya yang
mampu membuka seluruh rahasia dan ilmu. Tajalli akan membuka rahasia yang tidak
dapat dipandang oleh mata kepala. Mata hati manusia menjadi terang, sehingga dapat
memandang dengan jelas semua yang tertutup rapat dari penglihatan lahiriah manusia.
Al-Qusyairi membedakan antara syari’at dan haqiqat sebagai berikut: Haqiqat adalah
penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya. Syari’at
adalah kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq.
Syari’at ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriyah antara manusia dengan Allah SWT .
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa, perumpamaan syari’at adalah ibarat kapal,
thariqat ibarat lautan, dan haqiqat ibarat mutiara.

Seperti pada bunyi syair, "Barangsiapa yang ingin mendapatkan mutiara di dalam lautan,
maka ia harus mengarungi lautan dengan menumpang kapal (ilmu syari’at), kemudian ia
harus pula menyelam untuk mendapatkan perbendaharaan yang berada di kedalaman
laut, yakni bernama mutiara (ilmu haqiqat)".
Para penuntut ilmu tasawuf tidak akan mencapai kehidupan yang hakiki, kecuali telah
menempuh tingkatan hidup ruhani yang tiga tersebut. Menuju kesempurnaan hidup
ruhani dan jasmani yang hakiki menuju hidup akhirat yang sempurna, tiga jalan itu
hendaklah ditempuh bersama-sama dan bertahap.

Apabila tahap-tahap itu tidak ditempuh maka penuntut tasawuf atau mereka yang
berminat mencari hidup ruhani yang tentram, tidak akan mendapatkan mutiara yang
sangat mahal harganya itu.

Wajib Bersyari’at

Thariqat dan haqiqat bergantung kepada syari’at. Dua tahapan itu tidak akan berhasil
ditempuh oleh para penuntut, kecuali melalui syari’at. Dasar pokok ilmu syari’at adalah
wahyu Allah yang tertulis jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Sebab ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah serta ibadah muamalah tercantum dengan
jelas dalam ilmu syari’at.
Siapa pun tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syari’at, walaupun ia ulama sufi
yang besar dan piawai, atau wali sekalipun. Orang yang menganggap dirinya tidak
memerlukan syari’at untuk mencapai thariqat sangat tersesat dan menyesatkan.

Karena syari’at itu seluruhnya bermuatan ibadah dan muamalah, maka menjadi satu
paduan dengan thariqat dan haqiqat. Ibadah seperti itu tidak gugur kewajibannya
walaupun seseorang telah mencapai tingkat wali. Bahkan ibadah syari’atnya wajib
melebihi tingkat ibadah manusia biasa. Umpamanya mutu ibadah seorang waliyullah
melebihi mutu ibadah orang-orang awam. Sebagaimana Rasulullah SAW, ketika
mendirikan shalat dengan penuh kekhusyuan dan begitu lama berdiri, ruku’ dan
sujudnya, sehingga dua kakinya menjadi membengkak, karena dikerjakan dengan penuh
kecintaan dan ketulusan.

Ketika Nabi SAW ditanya berkaitan dengan ibadahnya yang begitu hebat dan sungguh-
sungguh, beliau menjawab: "Mengapa saya tidak menjadi hamba yang bersyukur?"
Karena ibadah itu termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah dan semua
anugerah-Nya. Maka para shufiyah atau waliyullah sekalipun tetap berkewajiban
melaksanakan ibadah syari’at yang ditaklifkan kepada setiap muslimin dan muslimat.
Oleh karena itu wajib bagi penuntut kehidupan akhirat dan para penuntut ilmu-ilmu
Islam secara intensif mempelajari ilmu syari’at.

Sebab semua ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan dunia dan akhirat, bergantung
erat kepada ilmu syari’at. Ilmu tasawuf dengan pendekatan kebatinan (ruhaniyah) tetap
bergantung erat dengan syari’at. Tanpa syari’at semua ilmu dan keyakinan ruhaniyah
tidak ada artinya. Hati para shufiyah akan cemerlang sinarnya dalam menempuh
kehidupan ruhaniyah yang tinggi, hanya akan diperoleh dengan ilmu syari’at. Demikian
juga kemaksiatan batin dan pencegahannya sudah tercantum dari teladan Nabi SAW,
semuanya tercantum dalam ilmu syari’at.

Ilmu tasawuf, adalah bahagian dari akhlak mahmudah, hanya akan diperoleh dari uswah
hasanah-nya Nabi Muhammad SAW. Cahaya yang bersinar dari kehidupan Nabi SAW
adalah pokok dasar bagi pengembangan ilmu tasawuf atau dasar pribadi bagi para
penuntut ilmu tasawuf. Menurut tuntunan Nabi SAW, hati adalah ukuran pertama
penuntut ilmu tasawuf. Dengan kesucian hati dan ketulusannya melahirkan akhlak
mahmudah dan mencegah akhlak mazmumah, seperti yang diajarkan dalam sunnah
Nabi SAW, sebagian dari ilmu syari’at. Dengan pengertian lain, hati manusia tasawuf itu
akan ditempati oleh thariqat yang berdasarkan syari’at.

Demikian sedit ana nukilkan tulisan Prof Ali Yafie.

Ibuny, Kita tahu bahwa al-qur’an itu seumpama sebuah samudra yang tersangat
luas. Diperlukan alat yang banyak dan lengkap untuk mnyelami lautan yang luas tersebut.
Sungguh akan sangat fatal akibatnya, jika seseorang berani menyelami samudra yang luas
tanpa alat sama sekali. Demikian juga orang yang jahil, jika berani menggali sendiri
pemahaman dari al-qur’an dan hadits tanpa alat yang cukup (ilmu yang diisyaratkan bagi
seseorang yang mau menggali hukum dari al-qur’an dan hadits, pen). Maka sudah dapat
diapstikan dia akan tersesat dan celaka.

Bahwa tidaklah mungkin dapat mengetahui pembahasan istilah-istilah dalam ilmu


tasawwuf, jika seorang itu tidak pernah belajar dan berkecimpung didalamnya. Demikian
juga memahami ilmu tajwid tanpa belajar dan berkecimpung didalamnya. Dia akan
menjadi bingung bila bertemu istilah-istilah seperti; imalah, naqal, waqof, ibtida’, mad
lazim, jaiz apalagi bertemu dengan istilah; ghina’ seperti; ghamal, jawab, jawahul jawab,
syuri, dan lain-lain sebagainya.
Demikianlah juga belajar ilmu komputer tidaklah mungkin menguasainya tanpa
belajar dan berkmecimpung didalamnya, dia akan bingung bila bertemu dengan istilah-
istilah seperti; mouse, word, keybord, enter, insert, delet, paste, cut, dan lain-lain yang
sangat aneh dan tidak sesuai dengan kamus standar yang ada.

Memahami makrifat dengan benar.


Untuk lebih jelasnya bagi antum, ana contohkan sebuah ungkapan orang-orang
tasawuf; ”Ketika ku kenal Allah maka leburlah aku”. Antum yang Ahli zhahir akan
melihat kalimat ini sebagai ungkapan yang aneh dan sesat. Bagaimana mungkin Allah
menjadiakan hambanya lebur, bagaikan timah panas yang dibakar api....? memang Allah
itu panas ?! kalau begitu i’tiqadnya, ”telah kafirlah dia”. Sebab menuduh Allah memberi
mudharat. Demikian kira-kira pemahaman ahli zhahir yang buta ilmu Tasawwuf.
Para ahli Tasawwuf mengungkapkan ucapan diatas dengan jalan sebagai berikut;
”ketika kita belum kenal Allah, kurasakan aku orang hebat. Mampu beli ini, beli itu.
Berbuat ini, berbuat itu. Aku berkuasa menjalankan mau-ku dan menyetop maunya orang.
Tiba-tiba sakit kakiku, kena penyakit tetanus. Kata dokter kakiku harus dipotong, sebab
telah membusuk. Kukatakan pada sang dokter bahwa aku punya uang 5 milyar,
kesemuanya milikku. Ambil berapa engkau mau, asal kakiku jangan dipotong. Sang dokter
bilang, bila aku mau hidup kakiku harus dipotong. Kemudian... barulah aku sadar,
ternyata aku tak hebat, mempertahankan dan menjaga kakiku saja, aku tak mampu. Oh
Allah... Engkau menguasai seluruh semesta alam, mempertahankan dan menjaganya,
tidak tidur siang dan malam. Betapa kuasa-Nya Engkau... betapa hebat-Nya Engkau...
Ketika ku kenal Allah maka leburlah aku... hilanglah aku dan seluruh kehebatanku ketika
berhdapan dengan Allah.

Biar lebih jelas, ana kasi satu contoh lagi ya, tapi jangan marah..ibuny...
Sebuah ungkapan orang tasawuf lagi; ”ketika ku kenal Allah, musnahlah aku”.
Satu orang superintendent paper machine yang kaya raya, punya anak buah
puluhan ribu orang. Terpilih sebagai superintendent terbaik diperusahaannya, karena
mampu mengatur perusahaan dan seluruh pernik-pernik didalamnya. Terselip dihatinya
”Dalam hal mengatur aku memang hebat”. Suatu pagi sang superintendent bangun,
shalat subuh kemudian masuk kamar mandi, mandi, gosok gigi, untuk kemudian sarapan
pagi. Selesai berpakaian lengkap dengan sepatu, jas dan dasi, diapun bergegas masuk
kemobil inovanya. Pada saat sang superintendent hampir menjalankan kendaraannya,
tiba-tiba sang superintendent berkata, ”aduh...! Aku sakit perut”, katanya. Diapun turun
lagi dari inovanya kemudian membuka dasi, jas, pakaian dan sepatunya. Buru-buru dia
masuk kekamar mandi dan duduk diatas klosetnya yang mewah. Disitu Dia berfikir; ”Apa
yang hebat... ternyata aku hamba yang lemah. Mengatur buang air besarku saja aku
tak mampu. Kenapalah tidak tadi, ketika aku mandi kau keluar, hai kotoran!” Selesai
itu, dia berfikir betapa hebatnya Allah, Sang Maha Pengatur alam semesta dengan tanpa
cacat dan cela sama sekali. Berkatalah hati dan seluruh jiwanya ”ketika ku kenal Allah,
musnahlah aku...!”.

Faham antum yang menyamakan antara faham syi’ah dengan faham Tasawwuf
adalah keliru. Faham ”Wihdatul Wujud”, yaitu faham Hulul dan Ittihad dikatakannya
faham tasawwuf, padahal itu adalah faham adri fiqrah Syi’ah yang dipelopori oleh Ibnu
’Arabi, dan Al Hallaj. (wafat karena dihukum mati tahun 309 H).
Faham ”Wihdatul Wujud” adalah faham falsafah Ketuhanan bagi kaum syi’ah,
sedangkan tasawwuf adalah ajaran budi pekerti, akhlak yang luhur dan pengabdian
kepada Tuahan berdasrkan ”dzauq” (perasaan) dan ”hub” (kecintaan).
Ulama-ulama ahli shufi yang besar seperti Qusyairi, Juneid Baghdadi, Ibnu
’Athailah dan lain-lain tidak menganut dan tidak menyetujui faham wihdatul wujud itu.
Beliau-beliau ini menganut faham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam ’I’tikad. (Baca Risalah
Qusyairiyah halaman 3-7).
Dengan kata lain, dapat diketahui bahwa faham ’wihdatul wujud” termasuk dalam
golongi’tikad, sedang tasawwuf termasuk golongan akhlak (baca Mukhadimah Tafsir
Lathaif al Isyaraat, halaman 17).
Tasawwuf bukanlah ideologi suatu fiqrah dan ahli shufi bukanlah gembong-
gembong fiqrah. Fiqrah Syi’ah bukanlah fiqrah Tasawwuf karena faham pengajiannya
berputar sekitar politik, siasah dan imamah serta mempunyai fiqih berputar sekitar
I’tiqad.
Sehingga, bagaimana mungkin antum menyamakan Wihdatul wujud dengan
tasawuf? Belajar sejarah dong akhina.....

Mungkin ada baiknya ana ulang sekali lagi,

Jadi kalo Antum anggap tidak ada faedah yang bisa di ambil bila salah seorang ustad
bilang syariat, hakikat, makrifat sehingga antum tidak mau dengar ustad ceramah karna
antum anggap itu semua bid’ah dholalah, padahal itu adalah pengembangan ilmu
akhlak, lantas kenapa antum tidak sekalian aja bid’ahkan ilmu nahwu, ilmu shorof, ilmu
mustlaha hadist, istilah hadits shahih, hasan dan dhaif, dll yang tidak pernah kita dengar
di masa nabi masih hidup.

Bukankah Istilah itu baru kita kenal ratusan tahun kemudian setelah beliau SAW
meninggal dunia?

Apakah Rassulullah Shallallahu alaihi wa  Sallam mengajarkan demikian

Apakah khulafa’ur rasyidin dan para sahabat Radhiallahu Jamian mengajarkan demikian

Apakah l imamun arba’a ( dari Abu Hanifah sd Imam Ahmad ) mengajarkan demikian

Bukankah itu semua Bid’ah HASANAH, Ibuny?

Lantas, apakah antum akan mengatakan bahwa ilmu hadits dengan segala
musthalahatnya adalah bid''ah? Apakah Syiekh Al-Albani itu juga sesat dan masuk
neraka karena mengajarkan dan mengembangkan ilmu hadits yang di zaman nabi dan
khalifah belum ada?

Innalillahi wainnalillahi.....Rojiun..

Anda mungkin juga menyukai