Disusun Oleh:
Afif Rizky Noviandhi 1621030336
1
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam dalam Sejarah (Cet. IV; Jakarta: Paramadina, 1995), h. 91.
2
Ibid., h.91
3
Said Aqil Siradj, Tasawuf dan Revitalisasi Masyarakat (Malang, t.p., t.th.), h. 1.
ekonomi, sosial politik, teknologi, moral agama, keluarga, bahkan khusus
kemanusiaan secara keseluruhan.
Ajaran Islam mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, karena Islam
merupakan ajaran akidah dan syariat. Kalau akidah mengenai keyakinan dan
kepercayaan, maka syariat mengenai selainnya. Syariat dalam artian ini mencakup
ibadah danan muamalat (kehidupan) dan akhlak. Jadi, agama Islam bukanlah agama
ruhani dan aqidah saja, akan tetapi Islam adalah agama yang juga menyangkut
masalah berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta ideologi
kehidupan dan konstitusi sosial.
Ayatullah Khomeini menyatakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah
dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus.
Untuk satu ayat ibadah seratus ayat muamalah. Sebagaimana firman Allah dalam QS.
Al-Mu’minun (23): 1 – 9.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
Tasawuf sebagai salah satu tipe mistisisme 4 yang dalam bahasa Inggris
disebut sufisme. Kata tasawuf mulai dipercakapkan sebagai suatu istilah sekitar akhir
abad kedua hijriah yang dikaitkan dari pada salah satu jenis pakaian kasar yang
disebut shuff atau wool kasar. Kain sejenis itu sampai digemari oleh para zahid,
sehingga menjadi simbol kesederhanaan pada masa itu. Menghubungkan sufi atau
tasawuf dengan shuff, tampaknya cukup beralasan yakni antara jenis pakaian yang
sederhana dengan kebersahajaan hidup para sufi. Kebiasaan memakai wool kasar juga
sudah merupakan karakteristik kehidupan orang saleh sebelum datangnya Islam,
sehingga mereka dikatakan dengan sufi atau orang-orang yang memakai shuff.
Sementara tasawuf diberikan legitimasi terhadap orang yang hidup pada masa
nabi sebagai ahli shuffah, di mana mereka itu selalu berkumpul di serambi masjid
nabi (ahli shuffah). Cara hidup saleh dalam kesederhanaan yang dipaparkan oleh
kelompok itu, kemudian menjadi pola panutan bagi sebagian umat Islam yang
kemudian disebut sufi.dan ajarannya dinamai tasawuf. Ada pula yang berpendapat
bahwa kata tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yakni sophos yang berarti hikmah
dan keutamaan. Menurut pendapat ini, para sufi adalah pencari hikmah atau ilmu
hakikat pendapat lain memperkirakan kata sufi berasal dari shafa atau shafwun yang
berarti bening karena hati sufi yang selalu bening sementara lainnya mengatakan,
kata sufi berasal dari shaff atau barisan karena para sufi selalu berada pada barisan
terdepan dalam mencari keridhaan Ilahi.
Dari serangkaian defenisi yang ditawarkan para ahli ada satu asas yang
disepakati terkait dengan ajaran tasawuf, yakni tasawuf adalah moralitas yang
berasaskan Islam. Dengan kata lain, bahwa pada prinsipnya tasawuf bermakna moral
dan semangat Islam, karena seluruh ajaran Islam dari berbagai aspeknya adalah
prinsip moral.
4
H. A. Rivai Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme (Cet. I; Jakarta: Raja
Grafinndo Persada, 1999), h. 31
1. Kebanyakan angkatan pertama para sufi berasal bukan dari Arab. Misalnya,
Ibrahim ibn Adham, Syaqiq al-Balakhi, Abu Yazid al-Bustami dan Yahya ibn
Maaz al-Razi.
2. Kemunculan dan penyebaran tasawuf untuk pertama kalinya adalah di
khurazhan.
3. Pada masa sebelum Islam, Turkistan merupakan pusat pertama berbagai
agama dan kebudayaan Timur dan Barat. Dan ketika para penduduk itu
memeluk agama Islam, mereka mewarnainya dengan corak mistisisme lama
4. Kaum muslim sendiri mengakui adanya pengaruh India tersebut.
5. Islam yang pertama adalah corak India baik dalam kecenderungannya maupun
metode-metodenya, keluasan batin, pemakaian tasbih, misalnya merupakan
gagasan dan praktik yang berasal dari India.5
Plotinus, sebagai tokoh aliran filsafat sebagai aliran filsafat Neo Platonisme,
dikenal sebagai pembawa filsafat emanasi yang mengatakan bahwa wujud ini
memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali
kepada-Nya tetapi dengan masuknya ke alam materi roh menjadi kotor dan untuk
dapat kembali ketempat asalnya roh terlebih dahulu harus dibersihkan. Penyucian roh
adalah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kalau
bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatakan pula bahwa filsafat ini mempunyai pengaruh
terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.6 al-Taftazani mengatakan'"
cukup banyak orientalis yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari tradisi
pemikiran Yunani. Para orientalis ini lebih menaruh perhatian terhadap tasawuf yang
ditimba dari sumber Yunani yaitu tasawuf falsafi (teosofis), suatu jenis tasawuf yang
mulai muncul pada abad ke tiga hijriyah lewat Zu al-Nun al-Misri yang berasal dari
Mesir yang dikenal sebagai filosof dan ahli kimia sekaligus pengikut sains
Hellenistik. Dari analisa sejarah dapat diketahui, adanya akulturasi kebudayaan Islam
dan Yunani terutama dalam gerakan filsafat yang sangat berpengaruh dalam dunia
Islam. Pada saat dinasti Umayyah dan puncak perkembangannya, pada masa dinasti
Abbasiyah, lewat penerjemahan buku-buku Yunani dalam berbagai disiplin ilmu
termasuk filsafat kedalam bahasa Arab. Metode berpikir orang Yunani ini
mempengaruhi cara berpikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan
Tuhan. Kalau dulu ajaran tasawuf baru bersifat akhlak, amaliyah, maka dengan
pengaruh filsafat Yunani ini, uraian-uraiannya berkembang menjadi bersifat falsafah. 7
Hal ini dapat dilihat dari pikiran para filosof seperti al-Farabi, al-Kindi dan Ibnu Sina
terutama urusan mereka tentang filsafat jiwa.
Sedangkan R.A. Nicholson berkata bahwa jelas kecenderungan-
kecenderungan asketisisme dan kontemplasi bersesuaian dengan ide Kristen banyak
5
Abdul Kadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf (Cet. I; Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), h.10
6
Asmaran AS, Pengantar Study Tasawuf (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo,1994), h. 182
7
Ibid., h.91
yang dapat dijadikan sebagai rujukan yakni, banyak teks Injil dan ungkapan-
ungkapan yang diatributkan sebagai ucapan al-Masih yang terukir dalam biografi
para sufi angkatan pertama. Bahkan seringkali muncul para biarawan Kristen dalam
kedudukannya sebagai guru yang menasehati dan memberi arahan pada asketis
muslim.8 Kita pun dapat melihat bagaimana baju bulu domba ini berasal dari umat
Kristen nazar untuk tidak berbicara, zikir dan latihan-latihan rohaniah lainnya
mungkin berasal dari sumber yang sama juga.
Pengaruh dari ajaran Kristen tersebut dengan faham menjauhi dunia dan hidup
mengasingkan diri di dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat
tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia,
lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi petunjuk jalan bagi kafilah-kafilah
yang lewat, kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang
yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan
bagi musafir yang kelaparan.
Tetapi dalam perjalanan sejarah, sebagian orientalis berpendapat bahwa
tasawuf berasal dari Persia, Thoulk, misalnya seorang orientalis abad ke-19,
menganggap bahwa tasawuf bersumber dari Majusi dengan argumen bahwa orang-
orang Majusi di Iran Utara setelah penaklukan Islam, tetap memeluk agama mereka
dan ada beberapa tokoh sufi yang berasal dari sebelah utara kawasan Khurasan. Di
samping sebagian aliran-aliran tasawuf angkatan pertama berasal dari kelompok
orang-orang Majusi.
Meskipun terdapat kemiripan di antara bentuk asketisisme atau tasawuf Islam
dengan asketisisme atau mistisisme Kristen, akan tetapi hal tersebut tidak cukup
untuk dijadikan bukti bahwa tasawuf Islam berasal dari sumber Kristen. Memang,
orang Arab sangat akrab dengan cara hidup orang Nasrani karena ini berpengaruh
pada cara-cara mereka menjalani latihan (riyadah) dan ibadah. Goldziher
menganalisir tentang pakaian wool kasar (suff) bersumber pada ajaran Nasrani yang
kebanyakan dipakai oleh para zahid/sufi adalah pakaian agama Nasrani, sehingga
tasawuf lebih identik dengan kenasranian pada zaman jahiliah.
Selain itu perlu pula dikemukakan bahwa tasawuf berasal dari Persia karena
sebagian tokohnya berasal dari Persia seperti: Ma’ruf al-Karakhi dan Abu Yazid al-
Bustami. Di samping tokoh sufi juga mempunyai filosof yang berpengaruh dan
pujangga-pujangga Persia lebih kaya daripada pujangga-pujangga Arab dalam hal
memahamkan Islam, sebab mereka dapat menguasai dua bahasa, Arab dan Persia.
Seiring dengan munculnya kritik-kritik tajam nampaknya tasawuf yang
menimbulkan ketegangan dalam dunia pemikiran Islam tampaknya asal muasal
tasawuf merupakan masalah yang sangat kompleks karena banyak argumen yang
memberikan tipologi kesamaan terhadap pendapatnya. Sehingga hampir tidak
8
Abdul Kadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, h. 18.
diberikan jawaban yang dapat memuaskan semua pihak. Mereka mengatakan bahwa
tasawuf bersumber dari luar Islam yakni, Persia, Hindu, Nasrani, filsafat Yunani atau
dari sumber lainnya.
Pendapat yang demikian nampaknya tidak objektif sebab dasar ajaran tasawuf
sudah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat diketahui dari kehidupan nabi
Muhammad saw cara hidupnya yang kemudian diteladani dan diteruskan oleh para
sahabat. Selama periode Makkiyah kesadaran spiritual Rasulullah saw adalah
berdasarkan dari pengalaman-pengalaman mistik jelas dan pasti.
Kemudian ayat-ayat yang menyangkut aspek moralitas dan asketisme, sebagai
salah satu masalah prinsipil dalam tasawuf, para sufi merujuk kepada Alquran
sebagai landasan utama karena manusia-manusia memiliki sifat baik dan sifat jahat.
Meskipun nama tasawuf baru dipakai setelah dua atau tiga generasi Islam, dalam
kenyataan ia telah ada sejak generasi pertama, dan salah satu akarnya dapat ditemui
pada praktek-praktek spiritual di masa sebelum Islam yang dikenal dengan Hunafa
tersebar di tanah Arab, dan berkat praktek itu beliau sudah mengemban risalah
Islamiah, menjadi wakil dari praktek mistisisme peninggalan leluhurnya, yaitu Nabi
Ibrahim dan Ismail. Dalam salah satu penyendiriannya di sebuah gua Hira di pinggir
kota Mekah, ketika berusia sekitar empat puluh tahun, Rasulullah menerima wahyu
Alquran yang pertama.
Tetapi sekalipun sufisme mendasarkan ajarannya pada Alquran dan as-Sunnah
khususnya dalam soal-soal doktrin, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
perkembangannya, esoterisme Islam ini menerima atau barangkali lebih tepat
memasukkan unsur-unsur asing dari luar. Hal ini terjadi karena adanya kontak antara
kaum muslim dengan bangsa-bangsa taklukannya di Syiria dan Persia yang dalam
beberapa hal khususnya di bidang filsafat, lebih dulu maju daripada kaum muslim
sendiri. Unsur asing yang banyak disebut sangat mempengaruhi dunia sufisme adalah
Neoplatonisme, Gnotisisme, Moohisme, faham inkarnasi dan bahkan animisme,
Panteisme dan Politeisme. Keberadaan unsur-unsur asing dalam tasawuf ini membuat
para orientalis dalam membahas tentang tasawuf sering mengesankan ketidakaslian
sufisme berasal dari Islam.
10
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial
Abad 21, h. 31.
11
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 82.
12
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial
Abad 21, h. 33.
muncul generasi baru dari sufi Persia yakni Abu al-Muqlis al-Husein bin Mansur bin
Muhammad al-Badawi atau al-Hallaj.
Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat, yakni sifat kemanusiaan
(nasut) dan sifat ke Tuhanan (lahut) sesuai dengan Q.S. Shaad (38):72. Hal lain dari
dampak tasawuf pada abad III hijriyah yakni orang-orang berusaha mempertajam
pemikirannya terhadap kesatuan penyaksian (wahdat al- syuhud), kesatuan wujud
(wahdat al-wujud) kesatuan agama-agama (wahdat al-adyan), berhubungan dengan
Tuhan (ittisal) keindahan dan kesempurnaan Tuhan (jamal dan kamal) manusia
sempurna (insan kamil) yang kesemuanya itu tak mungkin dicapai oleh para sufi
kecuali dengan latihan.
Bertolak dari uraian di atas dapat dipahami, tasawuf pada abad III dan IV
hijriyah sudah sedemikian berkembang sehingga sudah merupakan mazhab bahkan
seolah-olah agama yang berdiri sendiri. Lebih jauh Abu al- Wafa menegaskan bahwa
tasawuf pada abad III dan IV hijriyah lebih mengarah kepada ciri psikomoral, dan
perhatiannya diarahkan kepada moral serta tingkah laku. Sementara kecenderungan
metafisis yang muncul tidak secara jelas. Meskipun terdapat ungkapan tentang
kefanaan dan penyaksian serta adanya ungkapan “syathahiyat."
Meskipun demikian pada abad III dan IV hijriyah juga diakui adanya dua
aliran tasawuf yakni tasawuf sunni yaitu tasawuf yang dibingkai dalil al-Quran dan
hadis sebagai rujukan serta mengaitkan aktual (keadaan) dan magamat (tingkatan
ruhaniah) mereka kepada kedua sumber tersebut, kedua aliran tasawuf “non sunni”
dimana para pengikutnya cenderung pada ungkapan “ganjil“ serta bertolak kepada
keadaan fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan (ittihad atau hulul)
Selanjutnya fase ke IV, secara paradigmatik gerakan tasawuf pada fase ke IV,
mendapat hambatan dari tasawuf sunni, maka pada IV Hijriyah tampillah tasawuf
falsafi, yaitu tasawuf yang mencari format baru, dengan bercampurnya tasawuf
dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian terma filsafat yang maknanya
disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak
sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf, dan juga tidak bisa dikatakan sebagai filsafat
sebuah paradigma baru dari tasawuf tersebut adalah tasawuf falsafi, karena disatu
pihak memakai term filsafat, namun secara epistimologis memakai dzauq, intuisi/
wujdan (rasa).
Untuk memahami ajaran tasawuf pada abad IV Hijriyah ini, Ibnu Khaldun
menyimpulkan bahwa tasawuf falsafi mempunyai empat obyek:
1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta instropeksi yang timbul darinya.
2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib
3. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap
berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan
4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar
(syathahiyat). 13
Adapun metode pencapaian tujuan tasawuf sama dengan tasawuf sebelumnya
baik mengenai maqamat, ahwal, riyadah, mujahadah, zikir, mematikan kekuatan
syahwat maupun yang lainnya.Tokoh-tokohnya ialah Ibnu Araby dengan teori wahdat
al-wujud, Suhrawardi al-maqtul( yang terbunuh )dengan teori Isyraqiyah (pancaran),
Ibnu Sabi'in dengan teori ittihad, ibnu Faridh dengan teori cinta, fana dan wahdat al-
syuhudnya.
A.J. Arberry menyatakan, bahwa masa ibnu Araby, Ibnu Faridh, dan al-Rumy
adalah masa keemasan gerakan tasawuf, secara teoritis ataupun praktis. Pengaruh dan
praktek-praktek tasawuf semakin tersebar luas melalui thariqah-thariqah dan para
sultan serta pangeran tak segan-segan pula mengeluarkan perlindungan dan kesetiaan
pribadi mereka, contoh paling menonjol ialah figur terhormat Dharma Syekh, putra
kaisar Mogul, Syekh Johan yang menulis sejumlah kitab, diantaranya al-Majma al-
Bahrain, didalamnya dia mencoba merujukkan teori tasawuf Vedenta.
Pada masa ini, terlihat tanda-tanda keruntuhan kian jelas, penyelewengan dan
skandal melanda. Tak terelak lagi, legenda-legenda tentang keajaiban dikaitkan
dengan tokoh-tokoh sufi dikembangkan, dan bahkan terjadi pengkultusan terhadap
wali-wali sebagaimana diungkapkan A.J. Arberry tadi, bahwa tasawuf pada waktu
itu, ditandai bid’ah, khurafat, mengabaikan syariat dan hukum-hukum moral dan
penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, dan menghindarkan diri dari rasionalitas
dengan menampilkan amalan yang irrasional, azimat dan ramalan serta kekuatan gaib
ditonjolkan.14
Melihat fenomena ini, muncullah Ibnu Taimiyah dengan keras menyerang
penyelewemgan-penyelewengan para sufi tersebut. Dia terkenal kritis, peka terhadap
lingkungan sosialnya, polemis dan tandas berusaha meluruskan ajaran Islam yang
telah diselewengkan para sufi tersebut, untuk kembali kepada sumber ajaran Islam,
Alquran dan al-Sunnah. Kepercayaan yang menyimpang diluruskan, seperti
kepercayaan kepada wali, khurafat dan bentuk-bentuk bid’ah pada umumnya.
Menurut Ibnu Taimiyah yang disebut wali (kekasih Allah) ialah orang yang
berprilaku baik, konsisten dengan Syariah Islamiyah sebutan yang tepat diberikan
kepada orang tersebut ialah muttaqin.
Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran ittihad, hulul dan wahdat
al-wujud sebagai ajaran yang menuju kekufuran (atheisme), meskipun keluar dari
orang-orang yang terkenal arif (orang yang telah mencapai tingkatan ma'rifat), ahli
tahqiq (ahli hakikat) dan ahli tauhid (yang mengesakan Tuhan). Pendapat tersebut
13
Ibid., h.40
14
Ibid., h.41
layak keluar dari mulut orang Yahudi dan Nasrani. Mengikuti pendapat tersebut
hukumnya sama dengan menyatakan kufur.
Ibnu Taimiyah lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah
diajarkan Rasulullah saw, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti aliran
tariqah tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan sosial sebagaimana manusia
pada umumnya. Tasawuf ini sangat kondisional untuk dikembangkan di masa modern
seperti sekarang
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari deskripsi yang dipaparkan pada pembahasan, dapat dikemukakan
beberapa poin penting sebagai kesimpulan, yaitu:
1. Terdapat satu asas yang disepakati terkait dengan ajaran tasawuf, yakni tasawuf
adalah moralitas yang berasaskan Islam. Dengan kata lain, bahwa pada prinsipnya,
tasawuf bermakna moral dan semangat Islam karena seluruh ajaran Islam dari
berbagai aspeknya adalah prinsip moral.
2. Terdapat perbedaan pendapat tentang latar belakang lahirnya tasawuf. Ada yang
menyatakan bahwa tasawuf bersumber dari luar Islam yakni, Persia, Hindu, Nasrani,
filsafat Yunani atau dari sumber lainnya. Meskipun demikian, ada yang menyatakan
bahwa dasar ajaran tasawuf sudah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat
diketahui dari kehidupan nabi Muhammad saw cara hidupnya yang kemudian
diteladani dan diteruskan oleh para sahabat. Selama periode Makkiyah kesadaran
spiritual Rasulullah saw adalah berdasarkan dari pengalaman-pengalaman mistik jelas
dan pasti.
3. Term tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam pada abad pertama dan kedua
hijriyah. Pada fase pertama perkembangan tasawuf, terdapat individu-individu yang
lebih memusatkan dirinya pada ibadah sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan
asketis atau para zahid yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Tasawuf pada
abad III dan IV hijriyah sudah bercorak kefanaan (ekstase) yang menjurus ke
persatuan hamba dengan khaliq, orang sudah ramai membahas tentang lenyap dalam
kecintaan (fana fi' al-Mahbub), menyaksikan Tuhan (musyahadah), bertemu dengan-
Nya (liqa’) dan menjadi satu dengan-Nya. Sementara itu, Ibnu Taimiyah lebih
cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan Rasulullah saw, yakni
menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti aliran tariqah tertentu, dan tetap
melibatkan diri dalam kegiatan sosial sebagaimana manusia pada umumnya sehingga
ajarannya selalu selaras dengan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abubakar. Sejarah Filsafat Islam. Cet. IV; Bandung: Ramadani, 1991.
Al-Alawi, Syaikh Ahmad. Sufi of The Twentieeh Century, diterjemahkan Abdul
Hadi, Wali Sufi Abad 20. Cet. IV; Bandung: 1994.
Amin, Ahmad. Islam dari Masa ke Masa. Cet. III; Bandung: Rosdakarya, 1987.
AS, Asmaran. Pengantar Study Tasawuf. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo, 1994
Cawidu, Harifuddin. Sufisme dan Fenomena Spritualitas Masyarakat Industri : Suatu
Telaah Terhadap Trend Religiusitas di Akhir Abad ke 20, dalam Uswah No 7 Tahun
IV / 1995.
Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahnya. Semarang: CV. Toha Putra, 1989.
Djaelani, Abdul Kadir. Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf. Cet. I; Jakarta: Gema
Insani Press , 1996.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Hasmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Madjid, Nurcholish. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah. Cet. IV; Jakarta: Paramadina, 1995.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,
1993.
Nicholson, R. A. The Mistic of Islam, diterjemahkan dengan judul, Mistisisme Islam.
Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ensiklopedia Islam di Indonesia. Jakarta:
Anda Utami, 1992.
Rahman, Jalaluddin. Islam dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer. Cet. I;
Ujungpandang: Umi Toha Ukhuwah Grafika, 1997.
Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. Cet. IX; Bandung: Mizan, 1998.
Siradj, Said Aqil. Tasawuf dan Revitalisasi Masyarakat. Malang, t.p., t.th.
Siregar, H. A. Rivai. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme. Cet. I; Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1999.
Subhy, Ahmad Mahmud. al-Falsafah al-Akhlaqiyah fi- Fikr al-Islam. Kairo; Dar' al-
Ma'rif 1992.
Syukur, Amin. Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21.
Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Madkhal Ila al- Tashawuf al-Islam,
diterjemahkan oleh Ahmad Rofi Ustmani, Sufi dari Zaman ke Zaman. Cet. IV;
Bandung: Pustaka, 1989.
Al-Wakil, Sayyid. Lamhatun min Tarikhid Da'wati Asbabudh dha'fi fil-Ummatil
Islamiyyah diterjemahkan Fadhli Bahri dengan judul, Wajah Dunia Islam: Dari
Dinasty Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern. Cet. I; Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1989.