Anda di halaman 1dari 15

PERANAN SOSIOLOGI DALAM PENETAPAN HUKUM PADA MASA IMAM

MAZHAB

Oleh
Edo Okta Abriyanto
Edookta769@gmail.com
Mahasiswa Pascasarjana hukum keluarga
UIN SUSKA RIAU

Abstrak : jurnal ini berjudul peranan sosiologi dalam penetapan hukum pada masa imam
mazhab. Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa Mazdhab merupakan sejumlah fatwa-fatwa dan
pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya.
Pada dasarnya, peran madzhab dalam sejarah hukum Islam adalah berawal dari semangat
para fuqaha melakukan ijtihad sebagai upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum
yang muncul di tengah masyarakat yang semakin kompleks.

Kata kunci : sosiologi, mazhab

PENDAHULUAN
Penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak,
karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika
pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah
usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang
sedang mengalami modernisasi. Perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah
melahirkan pemikiran Islam bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut Islam, dan bahkan secara amat
dominan abad pertengahan mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari
masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan
fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan
kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya
Setelah Nabi wafat, pertanyaan tentang hukum dan agama secara umum
ditanyakan kepada para khalifah dan sahabat Nabi. Kemudian, persoalan hukum
masyarakat setelah masa tersebut ditanyakan kepada hakim pengadilan dan adapun di
daerah-daerah yang jauh dari pengadilan, pertanyaan hukum dijawab oleh orang alim
yang berfungsi sebagai mufti. Mufti terkenal dari kalangan tâbiîn adalah Ibrahim an-
Nakh’î (wafat 96 H), Atha’ bin Abi Rabah (w. 115 H) dan Abdullah bin Abi Nujaih. Di
berbagai negara, jabatan mufti menjadi jabatan resmi. Misalnya, Mufti Utsmani, Mufti
Mesir, Mufti Suria, Mufti Palestina, Mufti Malaysia, Mufti Brunei, Mufti Singapura dan
lain-lain. Menurut asy-Syathibi, mufti di tengah-tengah ummat berperan seperti Nabi
Muhammad s.a.w. Pertama, mufti adalah penerus Nabi sesuai sabda beliau bahwa ulama
adalah pewaris para nabi. Kedua, mufti adalah wakil Nabi dalam menyampaikan
ketentuan hukum agama. Mufti dari satu sisi sebenarnya pembuat hukum (syari’) yang
mengutip langsung hukum dari syariah dan di sisi lain pembuat hukum dari hasil
ijtihadnya sendiri yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip syariah. Al-Qirafi melihat
mufti sebagai penerjemah Allah Taala dan Ibnu al-Qayyim mengumpamakan mufti
sebagai penandatangan (muwaqqi’) mewakili Allah terhadap apa yang ia fatwakan.
Karena itu, Ibnu al-Qayyim menamakan kitabnya sebagai A’lam al-Muwaqqi’in ‘An
Rabbi al-‘Alamin (Notifikasi atau Nasehat Mewakili Tuhan Seluruh Alam).
Karena itu, fatwa adalah “pemberitaan tentang hukum syar’i (sah secara syariah) tanpa
mengikat” (al-ikhbar ‘an al-hukm asy-syar’i min ghair al-ilzam). Hukum Islam dalam hal
ini berciri qadha’i dan diyani.

PEMBAHASAN

1. Pengertian Madzhab

Menurut bahasa Arab, “madzhab” (‫ )مذهب‬berasal dari shighah masdar mimy (kata
sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan keterangan tempat) dari akar kata fiil
madhy “dzahaba” (‫ )ذهب‬yang bermakna pergi. 1 Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya,
“tempat pergi”, yaitu jalan (ath-thariq).2. Kata-kata yang semakna ialah: maslak, thariiqah
dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Demikian pengertian madzhab menurut
bahasa. Sedangkan menurut istilah ada beberapa rumusan:
1
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), hal 71

2
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Darul Bayariq, 1995), hal 196
1. Menurut M. Husain Abdullah, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa
hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah
(qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu
sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.3
2. Menurut A. Hasan, mazhab adalah mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum
suatu masalah atau tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah
istinbathnya.4

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam
memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Disini bisa disimpulkan pula
bahwa mazhab mencakup;(1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam
mujtahid; (2) ushul fiqh yang menjadi jalan (thariq) yang ditempuh mujtahid itu untuk
menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.

Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum syariat


(fiqh), yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang
rinci harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fiqh yang menjadi
metode penggalian (thariqah al-istinbath) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya,
jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fiqh dan ushul fiqh menurut Imam
Syafi’i.

Pengertian madzhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah: “Sejumlah fatwa-
fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun
lainnya.” Setiap madzhab memiliki guru dan tokoh-tokoh yang mengembangkannya. Biasanya
mereka mempunyai lembaga pendididikan yang mengajarkan ilmu-ilmu kepada ribuan
muridnya. Berkembangnya suatu madzhab di sebuah wilayah sangat bergantung dari banyak hal.
Salah satunya dari keberadaan pusat-pusat pengajaran madzhab itu sendiri. .
Selain itu sedikit banyak dipengaruhi juga oleh madzhab yang dianut oleh penguasa,
dimana penguasa biasanya mendirikan universitas keagamaan dan mengajarkan madzhab

3
Ibid, h. 200
4
Ahmad Hasan, Nasyatul Fiqh al_Islamiy, ( Damaskus : Dar al Hijroh,1996) hal 79
tertentu di dalamnya. Nanti para mahasiswa yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia akan
membuka perguruan tinggi dan akan menyebarkan madzhab trsebut di negeri masing-masing.

Bila pengelolaan perguruan itu berjalan baik dan berhasil, biasanya akan mempengaruhi
ragam madzhab penduduk suatu negeri. Di Mesir misalnya, madzhab As-Syafi’i di sana berhasil
mengajarkan dan mendirikan perguruan tinggi, lalu punya banyak murid di antaranya dari
Indonesia. Maka di kemudian hari, madzhab As-Syafi’i pun berkembang banyak di Indonesia

2. Peranan Sosiologi dalam Penetapan Hukum pada masa Imam Mazhab


Ada beberapa contoh dalam penetapan hukum para ulama mazhab di kalangan
masyarakat, di antaranta ara ulama berbeda pendapat tentang wanita hamil atau wanita
menyusui apakah wajib puasa atau tidak ? Jika tidak wajb, apakah mengqodho puasanya atau
membayar fidyah.
1. Imam Syafii berpendapat bahwa Wanita Hamil dan Menyusui boleh tidak berpuasa akan
tetapi keduanya wajib membayar qodho dan membayar fidyah
2. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Wanita hamil dan Menyusui boleh tidak berpuasa,
akan tetapi keduanya hanya wajib membayar qodho saja
3. Imam Malik berpendapat bahwa Wanita hamil dan menyusui boleh tdak berpuasa, akan
tetapi keduanya hanya membayar fidyah
4. Imam Ahmad berpendapat bahwa Wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa, akan
tetapi wanita hamil wajib mengqodho puasa sedangkan wanita menyusui wajib membayar
Fidyah
5. Sebagian ulama lain seperti Imam Daud dari kalangan mazhab zhohiriyyah berpendapat
bahwa wanita hamil dan menyusui wajib berpuasa

Para ulama berbeda pendapat karena tidak ada Nash yang shorih yang menjelaskan hal
tersebut, sehingga mereka mengqiyaskan dengan orang yang sakit atau orang yang tidak
mampu sama sekali berpuasa. Ada beberapa masa penetapan hukum pada masa imam
Mazahib, yakni :

1. Pada Masa Imam Abu Hanifah


Pendiri madzhab Hanafi ialah: Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Dilahirkan pada masa
sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan
lahirnya Imam Syafi’i R.A. Imam Abu Hanifah, yang dikenal dengan sebutan Imam Hanafi,
mempunyai nama lengkap: Abu Hanifah Al-Nu’man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi. lahir di
Irak pada tahun 80 Hijriah/699 M, bertepatan dengan masa khalifah Bani Umayyah Abdul
Malik bin Marwan. Beliau digelari dengan nama Abu Hanifah yang berarti suci dan lurus,
karena sejak kecil beliau dikenal dengan kesungguhannya dalam beribadah, berakhlak mulia,
serta menjauhi perbuatan-perbuatan dosa dan keji. 5Dan mazhab fiqihnya dinamakan Mazhab
Hanafi. Beliau lebih dikenal dengan sebutan: Abu Hanifah An Nu’man. Abu Hanifah adalah
seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu
Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama Tabi’in, seperti
Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar.Madzhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari
nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi madzhab Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpulan
pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-
pendapat yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran
yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode
ijtihad ulama-ulama Irak (Ahlu Ra’yi). Maka disebut juga madzhab Ahlur Ra’yi masa Tsabi’it
Tabi’in.

Dasar-dasar Madzhab Hanafi

Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri dari tujuh pokok, yaitu: Al Qur’an, As
Sunnah, Perkataan para Sahabat, Al Qiyas, Al Istihsan, Ijma’ dan Uruf.

Murid-murid Abu Hanifah adalah sebagai berikut :

a. Abu Yusuf bin Ibrahim Al Anshari (113-183 H)


b. Zufar bin Hujail bin Qais al Kufi (110-158 H)
c. Muhammad bin Hasn bin Farqad as Syaibani (132-189 H)
d. Hasan bin Ziyad Al Lu’lu Al Kufi Maulana Al Anshari (204 H).

Daerah-daerah Penganut Madzhab Hanafi

5
Muniroh Mukhtar, Madzhab dan Sejarahnya, ( Pustaka Mghfiroh : 2008) hal 57
Madzhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak),kemudian tersebar ke negara-negara Islam
bagian Timur dan sekarang ini madzhab Hanafi merupakan madzhab resmi di Mesir, Turki,
Syiria dan libanon.
Mazhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan,Pakistan,Turkistan,Muslimin
India dan Tiongkok.
2. Pada masa Imam Malik
Madzhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam
Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia. Nama lengkap dari
pendiri madzhab ini ialah: Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M = 712 M di
Madinah. Selanjutnya dalam kalangan umat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam
Malik. Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis Rasulullah SAW.
Malik bin Anas bin Malik, Imam maliki di lahirkan di Madinah al Munawwaroh.
sedangkan mengenai masalah tahun kelahirannya terdapat perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam
kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan pada 94 H. ibn
Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam Malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan.
imam al-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Ia menyusun kitab Al
Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu,
ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600
dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin
Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath
Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar,
Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-
lain. Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu
Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al
Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan
bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-lain.6

6
Mahmud Sirojuddin, Hukum Islam Sejarah perkembangannya, ( Jakarta : Pustaka Lentera Iman, 2013),
hal 85
Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah
Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu
Syihab Az Zuhri. Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur
Rahman. Imam Malik adalah imam (tokoh) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh
dan hadits.

Dasar-dasar Madzhab Maliki

Dasar-dasar madzhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai sepuluh pokok (dasar) yaitu :

• Nashul Kitab

• Dzaahirul Kitab (umum)

• Dalilul Kitab (mafhum mukhalafah)

• Mafhum muwafaqah

• Tanbihul Kitab, terhadap illat

• Nash-nash Sunnah

• Dzahirus Sunnah

• Dalilus Sunnah

• Mafhum Sunnah

• Tanbihus Sunnah

Daerah-daerah yang Menganut Madzhab Maliki

Awal mulanya tersebar di daerah Medinah, kemudian tersebar sampai saat ini di
Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.

3. Pada Masa Imam Syafi’i


Madzhab ini dibangun oleh Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i seorang keturunan
Hasyim bin Abdul Muthalib. Beliau lahir di Guzah (Siria) tahun 150 H bersamaan dengan
tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi Madzhab yang pertama. Selama hidup
Beliau pernah tinggal di Baghdad, Madinah, dan terakhir di Mesir. Corak pemikirannya
adalah konvergensi atau pertemuan antara rasionalis dan tradisionalis. Imam Syafi`i
mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim
dan Qaulun Jadid.7
Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah.
Imam Syafi’i sanggup hafal Al Qur-an pada usia sembilan tahun. Setelah beliau hafal Al Qur-
an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir; kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Madzhab Syafi’i terdiri dari dua macam; berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukim.
Yang pertama ialah Qaul Qadim; yaitu madzhab yang dibentuk sewaktu hidup di Irak. Dan
yang kedua ialah Qaul Jadid; yaitu madzhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir
pindah dari Irak.
Keistimewaan Imam Syafi’i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau
merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Dan kitabnya
dalam bidang fiqh yang menjadi induk dari madzhabnya ialah: Al-Um.

Dasar – dasar Mazhab syafi’i

Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum
syara’ adalah:

1. Al Quran.
2. Sunnah Mutawatirah.
3. Al Ijma’.
4. Khabar Ahad
5. Al Qiyas.
6. Al Istishab.

Daerah-daerah yang Menganut Madzhab Syafi’i

Madzhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di : Libia, Mesir, Indonesia,
Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz,
Pakistan, India, Jazirah Indo China, Sunni-Rusia dan Yaman.

7
Ahmad Hasan, Nasyatul Fiqh al_Islamiy, ( Damaskus : Dar al Hijroh,1996) hal 104
4. Pada Masa Imam Madzhab Hanbali
Pendiri Madzhab Hambali ialah: Al Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal
Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk
mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau
dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.
Adapun muridnya adalah Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal Abdullah bin Imam
Ahmad bin Hambal Keponakannya, Hambal bin Ishaq.8

Dasar-dasar Madzhabnya

Adapun dasar-dasar madzhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah :

1. Nash Al Qur-an atau nash hadits.


2. Fatwa sebagian Sahabat.
3. Pendapat sebagian Sahabat.
4. Hadits Mursal atau Hadits Doif.
5. Qiyas.
5. Beberapa Madzhab Yang Lain
a. Sunni
Sunni atau lebih dikenal dengan Ahlus-Sunnah wal Jama’ah pada awal mula
perkembangannya banyak memiliki aliran, ada beberapa sahabat, tabi’in dan tabi’it
tabi’in yang dikenal memiliki aliran masing-masing. Sampai kemudian terdapat empat
madzhab yang paling banyak diikuti oleh Muslim
b. Ja’fari
Madzhab Ja’fari atau Madzhab Dua Belas Imam (Itsna ‘Asyariah) adalah madzhab
dengan penganut yang terbesar dalam Muslim Syi’ah. Dinisbatkan kepada Imam ke-6,
yaitu Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Keimaman kemudian berlanjut yaitu sampai Muhammad al-Mahdi bin Hasan al-
Asykari bin Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-

M. Ali Al-Sayis, Fiqih ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya,(Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa


8

Athwaruhu) terj. M.Muzamil, (Solo: Pustaka Mantiq, 1997), 146


Kadzim bin Ja’far ash-Shadiq. Madzhab ini menjadi madzhab resmi dari Negara
Republik Islam Iran.
c. Ismailiyah
Madzhab Ismaili atau Madzhab Tujuh Imam berpendapat bahwa Ismail bin Ja’far
adalah Imam pengganti ayahnya Jafar as-Sadiq, bukan saudaranya Musa al-Kadzim.
Dinisbatkan kepada Ismail bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain
bin Ali bin Abi Thalib. Garis Imam Ismailiyah sampai ke Imam-imam Aga Khan,
yang mengklaim sebagai keturunannya.
d. Zaidiyah
Madzhab Zaidi atau Madzhab Lima Imam berpendapat bahwa Zaid bin Ali
merupakan pengganti yang berhak atas keimaman dari ayahnya Ali Zainal Abidin,
ketimbang saudara tirinya, Muhammad al-Baqir. Dinisbatkan kepada Zaid bin Ali bin
Husain bin Ali bin Abi Thalib. Setelah kematian imam ke-4, Ali Zainal Abidin, yang
ditunjuk sebagai imam selanjutnya adalah anak sulung beliau yang bernama
Muhammad al-Baqir, yang kemudian diteruskan oleh Ja’far ash-Shadiq. Zaid bin Ali
menyatakan bahwa imam itu harus melawan penguasa yang zalim dengan pedang.
Setelah Zaid bin Ali syahid pada masa Bani Umayyah, ia digantikan anaknya Yahya
bin Zaid.
e. Khawarij
Madzhab Khawarij mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya
mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya karena melakukan takhrif
(perdamaian} dengan Muawiyah bin Abu Sufyan yang mereka anggap zalim.
Awalnya madzhab ini berpusat di daerah Irak bagian selatan. Kaum Khawarij
umumnya fanatik dan keras dalam membela madzhabnya, serta memiliki pemahaman
tekstual Al-Quran yang berbeda dari Sunni dan Syi’ah.

3. Peran Madzhab dalam Sejarah Perkembangan Hukum Islam

Pada masa Muhammad SAW kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan
Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW.
Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu
masalah seluruhnya dikembalikan kepada Rasulullah SAW.
Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang
tampuk pemerintahan Islam (Tahun 41 H./661 M) sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-
Qur’an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat.
Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara
jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13
H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan
hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin
kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya
masing-masing.

Awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Semangat para fuqaha
melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya madzhab-madzhab fiqh, yaitu
Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk
keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan
terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).

Mulai pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H tahrir, takhrij, dan tarjih
adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing madzhab dalam mengomentari,
memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan
melemahnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang
pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam madzhab mereka masing-masing, sehingga
mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad,
maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip madzhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh
tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-madzhab (mujtahid ). yang melakukan ijtihad
berdasarkan prinsip yang ada dalam madzhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang
berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta’assub al-madzhabi (sikap
fanatik buta terhadap satu madzhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan
madzhab imamnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern, ulama fiqh mempunyai


kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai madzhab fiqh sebagai satu
kesatuan yang tidak dipisahkan.
4 . Sebab-Sebab Perbedaan antar Madzhab

Hasan Al-Banna dalam risalahnya berjudul Da’watuna menyebutkan sebab-sebab yang


paling esensial penyebab perbedaan antar madzhab yaitu:

1. Perbedaan kekuatan akal dalam melakukan istinbath ‘deduksi hukum’, dalam


memahami dalil-dalil, menyelami kandungan makna, dan dalam menghubungkan
antara hakikat yang satu dengan hakikat yang lain. Agama merupakan gabungan dari
ayat-ayat, hadist-hadist, dan nash-nash yang ditafsirkan oleh akal pikiran melalui
batasan-batasan bahasa dan kaidahnya.Dalam hal ini, setiap orng pasti saling berbeda.
Karena itu, perbedaan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari.

2. Adanya kenyataan perbedaan banyak dan sedikitnya ilmu seseorang. Dalam artian,
ada ilmu yang telah sampai kepada seseorang, namun tidak sampai kepada orang lain,
orang ini keilmuannya begini dan orang itu keilmuannya begitu. Karena itu, Imam
Malik pernah berkata kepada Abu Ja’far al-Manshuri ketika ingin memaksa semua
orang untuk menggunakan kitab al-Muwaththa’, “Adalah para sahabat Rasulullah
tersebar di berbagai penjuru negeri, dan pada setiap kaum mempunyai corak
keilmuan sendiri. Jika kau mambawa semua orang kepada satu pendapat, maka hal itu
akan menimbulkan fitnah.”
3. Perbedaan kondisi dan lingkungan. Karenanya, kita melihat fikih penduduk Irak
berbeda dengan fikih penduduk orang2 Hijaz. Bahkan kita menyaksikan bahwa
pendapat seorang ahli fikih yang sama pada kondisi dan lingkungan tertentu, dapat
berbeda pendapatnya pada kondisi dan lingkungan yang lain. Kita bisa melihat
bagaimana Imam Syafi’i berfatwa dengan menggunakan qaul qadiim (hasil ijtihadnya
sebelum masuk mesir di Irak) dan berfatwa dengan menggunakan qaul jadiid (hasil
ijtihad setelah masuk mesir). Padahal, pada kedua pendapat tersebut sama-sama ia
ambil dari konsep dan pandangan yang jelas dan benar menurutnya. Hal ini tidak
berarti ia menyimpangkan kebenaran di dalam dua pendapatnya tersebut.
4. Perbedaan kemantapan hati terhadap suatu riwayat ketika menerimanya. Kita
menemukan seorang perawi menurut seorang imam adalah tsiqah (terpercaya).
Karenanya, imam tersebut jiwanya merasa tenang, dan dirinya merasa baik. Maka,ia
merasa baik mengambil riwayat darinya. Dan menurut imam yang lain perawi itu
cacat, setelah diketahui dari keadaanya (yang membuat cacat)
5. Perbedaan dalam menentukan kualitas indikasi dalil. Misalnya, imam ini berpendapat
bahwa praktek yang dilakukan orang-orang didahulukan atas hadist ahad, namun
imam yang lain tidak setuju dengan hal tersebut. Atau imam ini mengambil dan
mengamalkan hadist mursal, tapi imam yang lain tidak.

KESIMPULAN

Berdasarkan kajian tentang cara madzhab dan perannya dalam pembentukan


hukum Islam dapat disimpulkan:
1. Pengertian madzhab menurut bahasa, merupakan sighat isim makan dari fi’il madli
dzahaba. Dzahaba artinya pergi; oleh karena itu madzhab artinya: tempat pergi atau
jalan. Kata-kata yang semakna ialah: maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya
berarti jalan atau cara. Mazdhab menurut istilah, merupakan sejumlah fatwa-fatwa dan
pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun
lainnya.
2. Macam-macam madzhab antara lain:

• Madzhab Hanafi

• Madzhab Maliki

• Madzhab Syafi’i

• Madzhab Hambali

Dan, beberapa madzhab yang lain:

• Sunni

• Jafari

• Ismailiyah

• Zaidiyah
• Khawarij

3. Pada dasarnya, peran madzhab dalam sejarah hukum Islam adalah berawal dari
semangat para fuqaha melakukan ijtihad sebagai upaya dalam memecahkan berbagai
persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat yang semakin kompleks.
4. Sebab-sebab perbedaan antar madzhab:

• Adanya perbedaan akal melakukan istinbath.

• Adanya kenyataan perbedaan banyak dan sedikitnya ilmu seseorang Dalam artian.

• Perbedaan kondisi dan lingkungan.

• Perbedaan kemantapan hati terhadap suatu riwayat ketika menerimanya.

• Perbedaan dalam menentukan kualitas indikasi dalil.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas Ubaidillah, Sejarah Perkembangan Imam Mazhab, ( Jakarta : Pustaka al-Bunyan, 2009 )

Abdullah Haikal, Sejarah Fikih Islam, ( Semarang : Pustaka Hidayatullah, 2007)

Abu Daud, Sunan Abu Daud, ( Bairut : Maktabah al-Isyriyyah) Cetakan kedua

Ahmad Hasan, Nasyatul Fiqh al_Islamiy, ( Damaskus : Dar al Hijroh,1996)

Ahmad Hasan, Nasyatul Fiqh al_Islamiy, ( Damaskus : Dar al Hijroh,1996)

Ahmad Izzuddin, Sejarah Tarikh Tasyri, ( Jakarta : Pustaka al-Bayyinah, 2015)

Ahmad Nahrawi, Al-Imam asy-Syafi’i fi Mazhabayhi al-Qadim wa al-Jadid, (Kairo: Darul


Kutub,1994)

Ahmad Ridho, Hukum Islam dalam Sorotan, ( Jakarta : Pustakan Bina karya Utama, 2015)

Al-Bukhori, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhori, (Bairut : Maktabah al-
Isyriyyah ) Cetakan kedua

Ali Al-Sayis, Fiqih ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya,(Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa


Athwaruhu) terj. M.Muzamil, (Solo: Pustaka Mantiq, 1997)

Al-Qordhowi, Yusuf, Fikih Ikhtilaf, ( Kairo : Dar al Fikr al- Islamiy, 1997)
An Nawawi, Majmu ala Syarhil muhazzab, ( Damaskus : Maktabah al-Iman, 1996)

Ayang Utriza Yakin, Sejarah hukum Islam, (Bandung : Grafika Intermedia,2014)

Hasan Mahmud, Pengantar Hukum Islam, ( Bandung : Pustaka al-Iman, 2009 )

Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997)

Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid, ( Damaskus : Dar an Nasr al Ilmiyyah, 1997)

M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Darul Bayariq, 1995)

Mahmud Sholah, Hukum Islam dan Perkembangannya, ( Jakarta: Pustaka Iman jama,2004)

Mahmud Sirojuddin, Hukum Islam Sejarah perkembangannya, ( Jakarta : Pustaka Lentera Iman,
2013)

Muhammad Fairuz Abadi, Sejarah Perkembangan Mazhab dalam Sorotan, ( Bandung : Pustaka
al-Inabah, 2013)

Anda mungkin juga menyukai