Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perbedaan adalah fakta yang tak terbantahkan dalam sejarah manusia.
Perbedaan seringkali dibutuhkan sebagai bahan pertimbangan dalam
menyelesaikan sebuah masalah, tetapi juga seringkali perbedaan justru menjadi
sumber masalah baru. Maka dalam membahas persoalan in, Bukan untuk semakin
mempertajam perbedaan itu, bukan pula untuk menghilangkan perbedaan itu di
masyarakat, tapi agar umat Islam mampu menyikapi perbedaan itu dengan sebijak
mungkin. Nabi SAW juga pernah bersabda “Perbedaan diantara umatku adalah
anugrah dari Allah”. Artinya, perbedaan yang disikapi dengan bijak dan objektif akan
membawa kemudahan dan rahmat bagi umat manusia.1
Pada masa Nabi Muhammad Saw semua permasalahan syari’ah diserahkan
sepenuhnya kepada Nabi saw, dengan berpedoman kepada al-Qur’an. Periode
Khulafaur Rasyidin sumber hukum didasari pada al-Qur’an dan Sunah dan ijtihad
para Sahabat. Ijtihad dilakukan pada saat muncul permasalahan yang tidak
ditemukan dalilnya dalam al-Qur’an maupun Hadis.2 Para Sahabat ketika menerima
al-Qu’ran dan Hadis mengamalkan menurut teks zahir, kecuali beberapa Sahabat,
seperti Umar bin Khattab. Umar kadang kala mengusulkan pendapatnya kepada
Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq untuk dijadikan sumber kebijakan, seperti upaya
pengumpulan al-Qur’an dan sebagainya.3
Setelah Rosulullah SAW wafat ,di sinilah saat para sahabat, tabi’in, dan tabi’it
tabi’in dihadapkan pada permasalahan-permasalahan dengan berbagai macam dan
kondisi. Untuk itu para sahabat berpegangan pada pandangan dan perbedaan antar
masalah yang terjadi di masa setelahnya dan masa Rasulullah, serta
mengidentifikasi persamaan yang terjadi antara kedua masa tersebut. Oleh karena
itu munculah pendapat tentang hukum-hukum Islam dari para sahabat, tabi’in, dan
juga ulama yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu fikih.
1
Jurnal Pusaka, “Harmoni Dalam Perbedaan Potret Perbedaan Dalam Tradisi Nabi Dan
Sahabat The Portrait.
2
Taha Jabir Fayyadl Al-Ulwani , Al Adab al-Ikhtilaf al-Islam, terj Abul Fahmi (Jakarta: Gema
Insani Press, 1991),
3
brahim Husen, “Sampai di Mana Ijtihad dapat Berperan” (Bandung: IAIN Gunung Jati, 15
Maret 1989), 75.

1
B. TUJUAN PENULISAN.
Mengkaji tentang sejarah lahirnya madzhab dan proses terbentuknya
hukum Islam.

C. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam menyusun karya tulis imiah ini, agar dalam pembahasan
terfokus pada pokok permasalahan dan tidak melebar kemasalah yang lain,
maka penulis membuat sistematika penulisan karya tulis ilmiah sebagai
berikut :

BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis membahas tentang Latar Belakang Masalah,
Tujuan Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Madzhab, sejarah lahirnya madzhab, Biografi singkat 4
imam madzhab, Sebab terjadinya perbedaan madzhab fiqih.

BAB III PENUTUP


Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MADZHAB
Mazhab ( ‫ ) َم ْذ َه ٌب‬berasal dari kata “shighah masdar mimy” ( kata sifat ) dan “isim makan”
( kata yang menunjukkan tempat ) yang diambil dari “fi’il madhy“ ( dzahaba ) yang berarti
“pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya pendapat. Sedangkan Menurut Syekh Said
Ramadhan Al-Buthy, mazhab adalah jalan fikiran (paham/pendapat) yang ditempuh oleh
seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari Al-qur’an dan Hadist.4
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Mazhab
adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam memecahkan
masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Munculnya mazhab, sebagai bagian dari
proses sejarah penetapan hukum islam tertata rapi dari generasi sahabat, tabi'in, hingga
mencapai masa keemasaan pada khilafah Abbasiyah, akan tetapi harus diakui madzhab telah
memberikan sumbangsih pemikiran besar dalam penetapan hukum fiqh Islam.5
Ada banyak sekali Madzhab dalam islam, semisal Mazhab Sunni ( ahlussunnah wal
jamaah ), Thaha Jabir Fayadl Al-‘Ulwani, beliau mengatakan mazhab fiqh yang muncul
setelah sahabat dan kibar al-tabi’in berjumlah 13 aliran. Tiga belas aliran itu beraliran (
ahlussunnah wal jamaah ) Akan tetapi, tidak semua aliran-aliran tersebut dapat diketahui
dasar-dasar metode istinbath hukum yang digunakan, kecuali Sembilan atau sepuluh dari
ketiga belas imam tersebut. Namun sekarang yang masyhur yang di anut oleh mayoritas
islam di seluruh dunia ada empat yaitu ; 1) Abu Hanifah Al-Nu’man Ibn Tsabit ( w. 150 H ),

2) Malik ibn Anas Al Bahi ( w. 179 H), 3) Muhammad Ibn Idris Al Syafi’i ( w. 204 H), 4)
Ahmad ibn Muhammad Ibn Hanbal. Mereka itulah yang kemudian dikenal dengan
para imam mazhab. Inilah mazhab fiqh yang dikenal dikalangan Sunni. Kemudian
Mazhab Syi’ah adalah salah satu mazhab yang dengan keyakinan mereka pada
prinsip dasar Imamah dan Keadilan Ilahi menjadikan perbedaan para pengikutnya
dengan pengikut Ahlusunah. Menurut keyakinan kaum Syiah, Allah SWT telah
menentukan pengganti dan suksesi kepemimpinan Nabi Muhammad SAW kepada
Ali bin Abi Thalib as. Selanjutnya, ada mazhab Fiqih yang telah hilang, mazhab
tersebut lenyap dikarenakan tidak ada jejak rekam dari pendiri mazhab tersebut dan
si murid dari pengikut mazhab tersebut telah berpindah mazhab.

4
(Yanggo, 1997). Sejarah lahirnya mazhab
5
Abdillah Nanang, “Mazhab Dan Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan,” n.d

3
B. SEJARAH LAHIRNYA MADZHAB
Jika kita melihat kebelakang, memang mahzab fiqih itu sudah ada sejak zaman
sahabat. Misalnya mazhab Aisyah ra, mazhab Ibn Mas’ud ra, mazhab Ibn Umar. Masing -
masing memiliki kaidah tersendiri dalam memahami nash Al-Qur’an Al-Karim dan
sunnah, sehinga terkadang pendapat Ibn Umar tidak selalu sejalan dengan pendapat Ibn
Mas’ud atau Ibn Abbas. Tapi semua itu tetap tidak bisa disalahkan karena masing-masing
sudah melakukan ijtihad.
Perkembangan hukum Islam pada masa periode Tabi’in dan Bani Umaiyah (661-750 M.)
dimulai pada awal abad ke-2 H dan berakhir pada abad ke-4 H. Perpindahan pusat kerajaan
Islam dari Madinah ke Kuffah mempengaruhi bentuk hukum Islam. Perbedaan kedua wilayah
tersebut mengakibatkan muncul dua aliran, yaitu aliran ahlu al-hadis yang berpusat di
Madinah dan aliran ahlu ra’yu berpusat di Kuffah,
Ulama yang digolongkan dalam aliran ahlu al-hadis membatasi kajian fikihnya kepada al-
Qur’an dan Hadis, serta tidak melangkah dalam penalaran. Mereka sangat berhati-hati ketika
mengemukakan fatwa suatu permasalahan. Sedangkan kalangan ulama aliran ahlu al-ra’yi
tidak hanya memahami makna nas, tetapi mendalami juga dilalah dari suatu lafaz serta
memahami tujuan syari’ah.
Perkembangan madzhab fikih masa khalifah Bani Abbas sangat pesat. Fase ini merupakan
fase keemasan bagi itjihad fiqh, yakni dalam rentang waktu 250 tahun di bawah Khilafah
Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H. Pada masa ini, muncul 13 mujtahid yang
madzhabnya dibukukan dan diikuti pendapatnya. Mereka adalah Sufyan ibn Uyainah
(w.198H) dari Mekah, Malik ibn Anas (w.179H) di Madinah, Hasan Al-Basri (w.110H) di
Basrah, Abu Hanifah (w.150H) dan Sufyan Ats Tsaury (w.160H) di Kufah, Al-Auza’i (157 H) di
Syam, asy-Syafi’I (w.204H), Laits ibn Sa’ad (w.175H) di Mesir, Ishaq ibn Rahawaih (w.238H) di
Naisabur, Abu Tsaur (w.240H), Ahmad ibn Hanbal (w.241H), Daud Adz Dzhahiri (w.270H)
dan Ibn Jarir At Thabary (w. 310 H)10, keempatnya di Baghdad.
Pada pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H semangat ijtihad menurun
di kalangan ulama fikih, bahkan mereka cukup puas dengan fikih yang telah disusun dalam
berbagai mazhab. Ulama lebih banyak mencurahkan perhatian dalam mengomentari,
memperluas atau meringkas masalah yang ada dalam kitab fikih madzhab masing-masing.

Di samping itu lahirnya suatu madzhab juga dipengaruhi oleh ulama yang hidup
sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong,
diantaranya :

4
1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islampun
menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
2. Muncunya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha
menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat studi tentang
fiqih, yang diberi nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh
bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-
muridnya.
3. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari
ulama-ulama madzhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah
(kholifah) merasa perlu menegakkan hukum islam dalam pemerintahannya.

Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal tentang masalah


politik seperti pengangkatan kholifah-kholifah dari suku apa, itu juga yang mempengaruhi
munculnya berbagai madzhab hukum.

C. BIOGRAFI SINGKAT 4 IMAM MADZHAB


1. Madzhab Hanafi (80-150 H/ 699-769 M)
Al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi berusia 70 tahun. Madzhab ini didirikan oleh Abu
Hanifah yang nama lengkapnya al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Ia
dilahirkan di kufah, ia lahir pada zaman dinasti Umayyah tepatnya pada zaman
kekuasaan Abdul malik ibn Marwan.
Berbicara tentang Mażhab Hanafi kita tidak akan bisa lepas dari nama imam
AbuHanifah, karena pemikiran beliau yang jenius dan cerdas dalam ilmu fiqh
menjadi cikal bakal lahir dan berdirinya Mażhab Hanafi. Bahkan sampai Imam Syafi’i
berkata “tidak ada seorang wanita dan laki-laki yang mengungguli akal Abu
Hanifah”.6
Pada awalnya Abu hanifah adalah seorang pedagang, atas anjuran al-Syabi ia
kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran
irak (ra’yu). Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al
‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar. Adapun ulama Hanafiyah menyusun
kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan
qawaid al-Fiqh, dan lain-lain.

6
Ali Fikri, Kisah kisah para imam Mazhab, (Yogyakarta, Mitra pustaka, t.th), h.45

5
Murid imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran -
pemikirannya adalah: Imam Abu Yusuf al-An Sharg, Imam Muhammad bin al - Hasan
al-Syaibani, dll.
Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke negara -
negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab
resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Mazhab ini dianut sebagian besar penduduk
Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.

2. Madzhab Maliki (93-179 H/ 712-798 M)


Maliki bin Annas bin Malik bin Abu Amr al-Asbahi berusia 86 tahun. Madzhab ini
dibangun oleh Maliki bin Annas. Ia dilahirkan di madinah pada tahun 93 H. Imam
Malik belajar qira’ah kepada Nafi’ bin Abi Ha’im. Ia belajar hadis kepada ulama
madinah seperti Ibn Syihab al-Zuhri. Karyanya yang terkenal adalah kitab al-
Muwatta’, sebuah kitab hadis bergaya fiqh. Dalam fatwa hukumnya ia bersandar
pada kitab Allah kemudian pada As -Sunnah. Tetapi beliau mendahulukan amalan
penduduk madinah dari pada hadis ahad, dalam ini disebabkan karena beliau
berpendirian pada penduduk madinah itu mewarisi dari sahabat.
Pembuatan undang-undang di mesir sudah memetik sebagian hukum dari
madzhab Maliki untuk menjadi standar mahkamah sejarah mesir. Daerah-daerah
yang Menganut Mazhab Maliki awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian
tersebar sampai saat ini di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.

3. Madzhab Syafi’i (150-204 H/769-823 M)


Mazhab Syafi’i didirikan oleh imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al -
abbas bin Syafi’i dari suku Quraisy bertemu nasabnya dengan Rasulullah saw pada
Abdul Manaf. Imam Al-Syafi’i lahir di Gaza pada tahun 150 H dan wafat di Mesir
tahun 204 H. usia nya 54 tahun. Ibunya keturunan Yaman dari Kabilah Azdi dan
memiliki jasa yang besar dalam mendidik imam Syafi’i. Madzhab fiqih as-Syafi’i
merupakan perpaduan antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Ia terdiri dari
dua pendapat, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di irak dan qauljadid di mesir.
Madzhab Syafi’i terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan
hukum.

6
Syafi’i pernah belajar Ilmu Fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al-
Haram dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Uyainah
sampai matang dalam ilmu fiqih. Di antara karya-karya Imam Syafi’i, yaitu :
 Ar-Risalah: merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali disusun.
 Al-Umm: isinya tentang berbagai macam masalah fiqih berdasarkan
pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam kitab ushul fiqih.
Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di: Libia, Mesir, Indonesia,
Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak,
Hijaz, Pakistan, India, Cina, Rusia dan Yaman.

4. Madzhab Hambali (164-241 H/ 783-860 M).


Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Asy-Syaibani.
Beliau lahir di Baghdad pada tahun 164 H berusia 77 tahun dan meninggal di tempat
yang sama pada tahun 241 H. Madzhab ini didirikan oleh Ahmad bin Hanbal bin Hilal
asy-Syaibani. Dikenal dengan nama imam almuhadditsin karena banyaknya hadis yang
dikumpulkan dan dihafalnya, kumpulan hadisnya ini dikenal dengan musnad Imam
Ahmad.
Awal perkembangannya, mazhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir
dalam waktu yang sangat lama. Pada masa sekarang ini menjadi mazhab resmi
pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah
Arab, Palestina, Siria dan Irak.

D. SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN MADZHAB FIQIH


Perbedaan pendapat sama maknanya dengan ikhtilaf. Secara bahasa ikhtilaf
berasal dari kata khalafa, yakhlifu khalfan. Adapun maknanya yaitu berbeda,

7
mengganti, dan lain-lainnya.7 Sedangkan makna ikhtilaf secara istilah adalah
perbedaan pendapat yang terjadi diantara beberapa pertentangan untuk menggali
kebenarannya dan sekaligus untuk menghilangkan kesalahannya.8
hukum Islam itu sangat beragam kalau kita ketahui para ulama itu berbeda pendapat
banyak sekali pendapatnya bukan karena mengikuti hawa nafsunya, karena ada sebab –
sebab yang sudah dirumuskan oleh para Ulama. Syekh Muhammad Mushtofa Said al – Khin
mengatakan dalam kitab nya yang berjudul ‘’Atsarul ikhtilaf fil Qawaidil Ushuliyah fi ikhtilafil
Fuqoha’’ setidaknya ada 7 penyebab Ulama berbeda pendapat diantaranya yaitu :

1) Perbedaan Qira’at

Kita tahu Al quran itu qiroah nya tidak satu macam, banyak qiroah yaitu ;1) qiraah
sab ah 2) Qiraah asrof. ternyata perbedaan qiroah tersebut itu turut serta
mempengaruhi perbedaan dalam mengambil hukum. Contoh Firman Allah SWT dalam
Surat Al – Maidah ayat 6
Artinya : “
perbedaan qiroah ini terjadi pada lafadz “wa arjulakum”. imam nafi' Ibnu Amir
dan Al-kisa'i atau Al-Kasai membacanya dengan nasob yaitu “wa arjulakum”, sedangkan
Ibnu Katsir Abu Amr dan hamzah membacanya dengan “wa arjulikum”. Perbedaan qiraah
itu juga mempengaruhi perbedaan dalam menetapkan hukum terkait kewajiban kaki,
ada yang mengatakan dibasuh ada yang mengatakan cukup diusap. Kalau dibacanya “wa
arjulakum” wajib membasuh kaki, Sedangkan jika dibaca “wa arjulikum” wajib mengusap
kaki.

2) Tidak mengetahui adanya hadits

Para sahabat Nabi SAW dalam menemani nabi itu berbeda-beda, Abu Hurairah,
Malik bin Anas, Abdullah bin Abbas, Aisyah dan ada yang jarang menemani Nabi
SAW. Sahabat yang sering bersama Nabi SAW maka otomatis dia akan banyak
mendapatkan hadits dari Nabi SAW, berbeda dengan sahabat yang jarang bertemu
Nabi SAW tentu dia akan sangat sedikit dalam meriwayatkan hadits dari Baginda
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. orang yang tahu akan adanya sebuah hadis
dia akan menghukumi seperti dalam hadits, sedangkan orang yang tidak tahu

7
Ahmad Muhammad ‘Ali al Faiyumi al- Muqri , Misbahul al Munir ( Beirut: Maktabah al- ‘Asriyah
1997), 95.
8
Ali Muhammad Al-Jurjani, At-Ta’rifat (Dar al Aqsa’ tt), 99.

8
adanya hadits bisa jadi dia akan menghukumi dengan hukum yang lain. Dalam
contoh

 Abu Hurairah radhiallahu Anhu itu pernah menyatakan

“Barangsiapa setelah terbitnya Fajar telah mulai puasa dalam keadaan junub
maka puasanya itu tidak sah”

Abu Hurairah Ra menyatakan hal itu karena dia tidak tahu ada hadis riwayat dari
Aisyah dan Umi Salamah, dari Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam “ Bahwa Nabi dahulu
pagi hari dalam kondisi junub, kemudian mandi dan berpuasa”.

Begitu Abu hurairoh tahu adanya hadits ini maka Kemudian beliau menarik
kembali fatwanya dan mengatakan “bahwa ketika terbitnya fajar masih dalam
keadaan junub maka puasanya tetap sah”.

3) Ragu – ragu akan hadits

Para sahabat ketika mendapatkan hadits tidak langsung diamalkan, akan tetapi
diteliti dahulu apakah hadits ini benar berasal dari Rasul SAW atau bukan.
Contohnya

 Seorang nenek datang kepada sahabat Abu Bakar Ra, bertanya tentang
bagian warisannya.

Kemudian Abu Bakar bermusyawarah kepada para sahabat, “ Adakah diantara


kalian mengetahui hukum terkait bagian nenek ini dari Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam. Kemudian Sahabat Al-mughirah bin syu'bah mengatakan “bahwa saya
tahu rasul itu memberi nenek itu seperenam”

lalu Abu Bakar tidak langsung menghukumi Sesuai dengan keputusan tersebut,
tetapi bertanya lagi kepada para sahabat “apakah ada orang lain yang juga
menyaksikan”, Kemudian ada sahabat Namanya Muhammad bin muslimah dia
menyatakan pendapat yang sama dengan pendapatnya Al – Muhghhirah bin syu'bah
tadi. Baru setelah ada dua orang yang bersaksi tentang hukum itu, lalu Abu bakar
menjalankan hukum tadi. Para ulama itu sangat berhati – hati dalam hadits dari
Baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Contoh yang kedua,

9
 Bagaimana hukum orang yang berpuasa disiang hari kemudian makan dan
minum karena lupa, apakah puasanya batal ?

mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Syafi'I, dan Hambali mengatakan, bahwa
puasanya tidak batal karena ada hadits bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam bersabda “ketika puasa dalam keadaan Lupa maka itu adalah Rizki dari
Allah”. Artinya tidak batal dia tidak perlu Qodho karena puasanya sah. Sedangkan
Imam Malik mengatakan puasanya tidak sah, Karena menurut Imam Malik hadits
tadi itu tidak shohih sehingga Imam Malik tidak menggunakan hadits tersebut.
menurut Imam Malik puasanya batal.

4) beda dalam memahami maksud dari Alquran maupun hadist Nabi SAW

Banyak ulama yang berbeda dalam memahami maksud dari Al Quran dan hadits
Nabi SAW, Contohnya dalam perintah untuk menjauhi istri ketika sedang haid.

 Imam Malik, Imam Abu Hanifah mengenai al mahid itu adalah waktunya haid
sehingga mengatakan bahwa seorang suami harus menjauhi istrinya yang
sedang menstruasi. antara pusar dengan lutut, sehingga pusar ke atas, lutut
ke bawah juga tidak masalah itu menurut Mazhab Maliki dan Abu Hanifah.
 Madzhab Syafi'i berbeda, beliau memahami al mahid itu adalah tempat
keluarnya haid yaitu kemaluan. karenanya menurut Imam Syafi'i yang
diharamkan dari istri ketika menstruasi yaitu hanya tempat keluarnya yaitu
kemaluan. Selain daripada itu tidak mengapa.

5) Adanya pertentangan dalil

10
Ada dua dalil yang bercerita tentang satu masalah, tetapi difahami seolah-olah
itu saling bertentangan, yang satu mengatakan A yang satu mengatakan B. Dari
pertentangan dalil itulah maka tentu terjadi perbedaan pendapat.

 Contoh masalah sperma, ada dua hadits yang tampaknya bertentangan. yang
satu riwayat Aisyah, bahwa Aisyah itu mengerikan pakaiannya nabi yang
ada mani kemudian nabi solat dengan pakaian tersebut. berarti sperma itu
tidak najis berdasarkan hadits ini maka Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin
hambal mengatakan bahwa sperma itu tidak najis.
 tetapi ada hadits lain yang berbunyi ini riwayatnya sama Aisyah “Aisyah itu
mencuci pakaiannya nabi yang disitu ada spermanya. Karena Aisyah
mencuci pakaian tersebut maka dapat difahami bahwa sperma itu najis.
Berdasarkan hadits kedua ini maka madzhab Hanafi dan mazhab Maliki
mengatakan bahwa sperma itu hukumnya adalah najis.

6) Tidak ada dalilnya dalam suatu masalah

Ketika ada suatu masalah begitu dicari dalilnya ternyata tidak ada, maka
terjadilah perbedaan pendapat para ulama. Misalkan seperti ada sekelompok orang
membunuh satu orang apakah seluruh pelaku ini hukum qisos ?.

 Dicari oleh para ulama ternyata dalilnya tidak ada maka kemudian
para ulama beda pendapat Imam Malik, Imam Syafi'I dan Imam Abu
Hanifah mengatakan bahwa semua itu harus dibunuh karena mereka
sekongkol untuk membunuh satu orang maka semuanya itu harus
harus di hukum qisos.
 Tetapi Imam Ahmad mengatakan tidak dibunuh semuanya, karena
dalam Al qur’an 1 orang membunuh 1 orang harus di qisos, tetapi
kalau banyak rorang tidak di qisos, hanya wajib membayar diah.

7) Perbedaan dalam kaedah Ushul fiqih

11
Contohnya, kalau ada orang akan Salat tapi tidak menemukan air lalu dia
bertayamum, kemudian melaksanakan salat di tengah-tengah salat dia melihat ada
air. apakah tayamumnya begitu juga shalatnya itu batal ataukah tidak.

 Maka menurut Imam Syafi'i dan Imam Malik tayamum dan salat nya itu sah,
mereka berpedoman kepada istishab (menghukumi keadaan sekarang
dengan keadaan yang pertama)

Artinya kalau tayamumnya sah maka tayamum dia ketika sedang shalat juga
dihukumi sah, sehingga dia tinggal melanjutkan shalatnya. begitu salatnya selesai
salat tersebut dihukumi sah tidak perlu qodho.

 Menurut Imam Abu Hanifah tayamumnya batal shalatnya juga batal, dia
harus wudhu kemudian memulai shalat lagi. Imam Abu Hanifah berpedoman
pada sebuah hadis “jika kalian menemukan air maka gunakanlah air itu
untuk bersuci” artinya kewajiban menggunakan air itu ada sekalipun di
tengah-tengah salat.

yang satu menggunakan istishab (menghukumi dengan hukum sebelumnya)


yang satu menggunakan Sunnah. maka adanya perbedaan dalam konsep Ushul fiqih
melahirkan perbedaan dalam hukum fiqih.

BAB III

12
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Bermadzhab artinya adalah mengikuti salah satu madzhab. “Madzhab” itu
sendiri artinya aliran/jalan. Bagi Kita orang NU, dasar beragama adalah Al-Qurá n
dan hadits, akan tetapi tidak sembarangan orang dapat merujuk langsung pada
kedua sumber tersebut.
Oleh karena itu perlu seseorang yang menjadi rujukan dan panutan dalam
menggali hukum Islam. Pentingnya bermadzhab yaitu dengan mengetahui
madzhab kita dapat memahami isi dari teks dari al-quran dan asunnah.

dan kalau tidak mengacu pada orang lain paling tidak ia mengacu pada
madzhab dirinya sendiri.

B. SARAN
Demikian penjelasan dari saya tentang sejarah perkembangan madhzab
dalam proses pembentukan hokum isam. jika ada kata yang kurang berkenan
tolong di maafkan.

13
14

Anda mungkin juga menyukai