Anda di halaman 1dari 28

ALIRAN ALIRAN DALAM HUKUM ISLAM

Eli Suryani
Dosen IAIN Bukittinggi

Abstract: Islamic history has noted, that the embryo of dissent after the death of the
Prophet in turn gave birth to the ideology or sect, which originated in race differences in
political issues. It becomes the problems that developed into a theological problem, where
there are differences from one another. No doubt, this phenomenon also has an impact
and provide a tremendous influence, namely the emergence of streams in the field of
Islamic law. When Prophet Muhammad died, Muslims lost a leader who can solve all the
problems that they face. To overcome this situation, the companions tried to break
through to hold a meeting between the Ansar (the Mecca) and immigrants (the Medina).
This gathering efforts geared towards the emergence of theological issues, which
triggered the emergence of Sunny and Shi'ite groups, and Khawarij. The fragmentation of
Muslims to some sect or the ideology is caused by several factors. Among them is the fact
the Qur'an in Arabic. Language, has encouraged the emergence of a variety of different
interpretations from one to another. In addition to the language factor of the difference of
transmission has also encouraged the emergence of firqah in Islamic law.

Key words: ideology, schools, Islamic law

A. PENDAHULUAN
Berawal dari peristiwa wafatnya Rasulullah SAW pada tahun 623 H.1 umat Islam pada waktu
itu masih sangat terbatas dan sedikit jumlahnya. Mereka terdiri dari masyarakat semenanjung
Arabia, terutama dari kota Mekkah dan Madinah. Masalah krusial yang mereka hadapi ketika
itu adalah siapa yang akan menggantikan Rasulullah sebagai pemimpin agama dan kepala
negara, sementara al-Quran tidak memberikan petunjuk tentang hal itu. Tidak ada pesan Nabi
tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai kepala negara. Kondisi ini telah
membuat umat Islam kehilangan pemimpin yang dapat menyelesaikan segala persoalan yang
mereka hadapi. Adapun Rasulullah sendiri semasa hidupnya tidak pernah menyinggung
apalagi menunjuk seseorang untuk menggantikan kedudukan Rasul bila kelak dikemudian
hari telah wafat. Kondisi ini menimbulkan dua teka teki besar yang ikut andil dalam
mengantarkan umat Islam ke dalam rentangan sejarah yang tak berujung.
Persoalan pertama adalah siapa yang akan menggantikan kepemimpinan Rasulullah.
Persoalan kedua adalah bagaimanakah teknis atau cara memilih pemimpin atau kepala
nagara. Ini artinya, suksesi kepemimpinan pasca wafatnya rasulullah telah menjebak umat

1
Rasulullah pada periode Madinah tidak hanya berfungsi sebagai Nabi, akan tetapi sekaligus berfungsi
sebagi kepala negara. Hal ini dicermati pada Muhammad S.Elwa, On The Political System of Islam, 1983, hlm.
33-34

1
Islam berada dalam ruang pertikaian dan perbedaan. Sejarah telah mencatat, bahwa suksesi
kepemimpinan atau pertarungan politik ini,2 telah menjadi cikal bakal atau telah membidani
lahirnya aliran atau mazhab, yang bermuara kepada persoalan teologi, yang pada gilirannya
juga telah ikut menggiring pada munculnya aliran-aliran dalam bidang hukum.

B. PEMBAHASAN
1. Sejarah timbulnya mazhab hukum
Perkataan mazhab berarti jalan yang dilalui atau jalan yang ditempuh.3 Dapat juga berarti
pokok-pokok pikiran yang diikuti, seperti perkataan Imam asy-Syafi‟i; ٍ‫ارا صح اىحذَث فهى ٍزهت‬
Wahbah az-zuhaily4 dalam kitabnya Fiqh Islamy wa adillatuhu, menjelaskan bahwa mazhab
adalah hukum-hukum yang terdiri atas kumpulan permasalahan. Dengan kata lain, mazhab
diartikan dengan jalan yang mengantarkan seseorang kepada suatu tujuan tertentu pada
kehidupan dunia, begitu juga dengan hukum-hukum dapat mengantarkan seseorang kepada
satu tujuan di akhirat.
Ketika dilakukan penelusuran terhadap al-Quran dan Sunnah, tidak ditemukan satu
perkataan pun yang memberikan petunjuk atau isyarat akan adanya istilah mazhab, tidak
ditemukan suatu ungkapan yang mengisyaratkan bahwa mazhab tersebut ada dalam ajaran
Islam. Demikian juga pada Rasulullah SAW, yang tidak mengajarkan adanya pengkultusan
suatu pendapat. Semua umat Islam adalah satu, satu pendapat, yaitu mengikuti pendapat dan
ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Tidak jauh berbeda dengan Rasulullah, para
sahabat pun tidak mengenal adanya mazhab, meskipun di antara mereka ada yang ahli dalam
berijtihad, seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khatab, Ustman bin „Affan, Ali bin
muthalib, dan lain-lainnya. Bahkan Rasulullah Saw menegaskan agar umat Islam mengikuti
Abu Bakar dan Umar bin Khatab dalam sebuah sabdaNya;

‫اقزذّا ثبلز ىي هي ثعذي اثْ ثكش ّعوش‬


Artinya: Ikutilah olehmu sekalian dua orang sesudahku, yaitu Abu Bakar dan Umar ibn
Khathab.

2
Syi,ah beranggapan bahwa khalifah harus dari keturunan Fathimah, sedangkan ahl al-Sunnah
berpendapat bahwa khalifah tidak harus dari keturunan Fathimah. Adapun khawarij memperbolehkan khalifah
lebih dari satu. Diadaptasi dari, Muhammad al-Khudhari,Alih bahasa, Pakih Sati, Taryikh al-Tasyri’ al-
Islamy.(Bandung:Nuansa Aulia)hlm.149-150
3
Wahbah az-Zuhaily, Fiqh Islam wa Adillatuhu, alih bahasa, Abd Hayye al Kattani,( Kuala Lumpur:Dar
alfikri,2011) hlm.39
4
Wahbah az-Zuhaily, ibid,

2
Pada kesempatan yang lain, Rasulullah memerintahkan umatnya untuk mengikuti
khalifah yang empat, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib. Untuk maksud ini, Rasulullah bersabda;

ٌ‫"عيُنٌ ةسْثٍ وسْة اىخيفاء اسشذَِ اىَهذىِ ٍِ ةعذ‬


Artinya; Hendaklah kamu sekalian mengikuti Sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin
yang mendapat petunjuk sesudahku. (HR. Ahmad dan Turmuzi).

Munculnya istilah mazhab berawal pada zaman sahabat Rasulullah. Umpamanya adalah
pada masa itu ada mazhab Aisyah, mazhab Abdullah bin Umar, mazhab Abdullah bin
Mas‟ud, dan lain-lainnya.5 Suksesi pemerintahan, pasca wafatnya Rasulullah SAW.
menggiring para sahabat terjebak dalam ranah politik (siapa yang layak menjadi kepala
Negara), dan ranah teologi ( apakah akal dapat mengetahui wahyu, dan bagaimanakah
hubungan akal dengan wahyu),dan bahkan lebih jauh dari itu, umat Islam mulai merumuskan
metode penggalian hukum (dalam persoalan fikih dan Ushul Fikih). Tren ini berkembang
seiring dengan berkembang dan meluasnya pemerintahan Islam. Dengan demikian, suksesi
pemerintahan juga telah ikut ambil bagian dalam sejarah pembentukan dan perkembangan
hukum Islam. Keadaan ini telah membentuk tiga aliran atau mazhab besar dalam Hukum
Islam, yaitu mazhab Ahl Al-Sunnah, Mazhab Syi‟ah, dan Mazhab Khawarij.

a. Mazhab Ahl al-Sunnah


Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, para sahabat banyak yang pergi
meninggalkan kota Madinah, menuju kota-kota yang baru dibangun seperti Kufah, Mekkah,
Basrah, Mesir dan Syam. Di ibu kota tersebut mereka mengajarkan fikih, meriwayatkan
hadist, dan mengembangkan ajaran agama. Umat Islam di daerah tersebut pun berlomba-
lomba untuk mempelajari dan mendalami ilmu agama berupa fikih dan Hadist, sehingga
banyak melahirkan generasi yang mumpuni. Di antara mereka adalah Sa‟id ibnu Musayyab
(13 H- 94 H), Ibrahim An-Nakhai (46 H- 96 H), Amir ibn Surahbi (19 H- 103 H)l, Thaus ibn
Kaisan al-Yamani (W 106 H), Al-Hasan ibn Jasar al-Bhisr i (W 11 H), dan Atha‟ ibn Abi
Rabah (27 H-11 H).6

5
Wahbah az-Zuhaily,op.cit.
6
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Islamy,(Maktabah wa Mathbaah Muhammad Ali Shobih wa auladuhu),
hlm.72-73

3
Pada periode ini, fikih mulai dipandang sebagai ilmu yang berdiri sendiri, dan para
ulama pun mulai saling berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang lebih dominan dalam
menggunakan wahyu di samping akal atau rakyi. Sebahagiannya lagi mereka lebih dominan
menggunakan rakyi atau logika ketimbang wahyu. Untuk itu, para ulama fikih pada masa ini
terbagi kepada dua golongan, yaitu; golongan Ahlur Rakyi dan golongan Ahlul Hadist.7
1) Ahlul Hadist
Ulama golongan ini, dalam menyelesaikan persoalan fikih, lebih mengkedepankan
atau lebih dominan menggunakan hadist ketimbang akal atau rakyi. Karenanya mereka
menjauhi penggunaan rakyi dan baru akan menggunakannya bila dalam keadaan yang sangat
mendesak. Untuk itu kegiatan mereka banyak dicurahkan untuk menghafal hadist-hadust dan
fatwa para shahabat. Aliran ini berkembang di daerah Hejaz. Di antara tokohnya adalah;
Sa‟id ibn Musayyab (W 94 H), Amir bin Syurahel asy-Sya‟by (W 104 H), dan lain-lain.

Adapun faktor penyebab aliran ini berkembang di Hejaz adalah;


1) Pengahruh dari para sahabt yang mengajarkan fikih di hejaz, yang notabene sebagai
alul hadist. Umpamanya „Abdullah ibn Abbbas, „Abdullah ibn Umar.
2) Banyaknya jumlah sahabat yang berdomisili di daerah Hejaz, serta merta Sunnah dan
fatwa sahabat beredar dengan jumlah yang besar.
3) Di daerah Hejaz, jarang sekali terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak di dapati
hukumnya di dalam al-Quran dan Hadist, serta fatwa-fatwa sahabat , dikarenakan
kehidupan masyarakat Hejaz pada saat itu hampir tidak berbeda dengan masa
sebelumnya.

2) Ahlul Rakyi
Kelompok yang berorientasi kepada rakyu (pendapat akal) dalam menetapkan
hukum dan meneliti berbagai mashlahat untuk dijadikan landasan hukum. Aliran ini muncul
disebabkan oleh karena sedikitnya jumlah hadis yang beredar di tempat fuqaha berada.
Keadaan ini mendorong mereka untuk meneliti dan mengkaji secara mendalam maksud-
maksud syara‟ dalam menetapkan hukum. Aliran ini berkembang di daerah Irak. Adapun
tokohnya yang termasyhur adalah; Al-Qamah bin Qeys (W. 62 H), Ibrahim bin Yazid an-
Nakha‟I (W. 95H).

7
Lihat Moh. Ali as-Sayis,h.72. Lihat juga Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa.Drs. Moh
Said dkk.(Clarendom Pres.1`977).hlm.40-50

4
Adapun faktor penyebab aliran ini berkembang di Irak adalah:
1) Pengaruh dari sahabat yang pertama mengajarkan fikih, umpamanya Abdullah bin
Mas‟ud, yang notabene bercorak rakyi.
2) Sedikitnya jumlah hadist dan fatwa sahabat yang beredar di Irak.
3) Banyaknya persoalan fikih yang muncul di daerah Irak.
4) Daerak Irak merupakan pusat kegiatan politik, dan daerah tempat berkembangnya
aliran Khawarij dan Syi‟ah, yang memicu munculnya hadist-hadist palsu

Pada pemerintahan Bani Abbasiyah, lahirlah imam-imam mujtahid yang professional


dari golongan Ahlul Hadist dan Ahlur Rakyi. Di antaranya yang popular dan masih eksis
sampai sekarang adalah Mazhab Hanafy, Mazhab Malik, Mazhab asy-Syafi‟I, Mazhab
Hanbali, dan mazhab Zhahiry.8

b. Mazhab Hanafi
Mazhab ini dibangun oleh Imam Abu Hanifah, merupakan ulama besar yang telah
mewarnai dunia dengan khazanah ilmu pengetahuan, terutama di bidang ilmu fiqih. Keluasan
ilmu, pengalaman, kezuhudan, keberanian seolah menyatu dalam diri sang Imam. Nama asli
dari Imam Hanafi adalah Abu Hanifah Nu‟man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Kufah pada tahun
80 Hijriah (699 M).9 Pada masa remajanya, beliau telah menunjukkan kecintaannya kepada
ilmu, walaupun beliau anak seorang saudagar kaya namun beliau menjauhi hidup.
Di samping menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu tafsir, hadits, Bahasa Arab
dan ilmu hikmah. Imam Hanafi adalah seorang hamba Allah yang bertakwa dan soleh,
seluruh waktunya lebih banyak diisi dengan amal ibadah. Jika beliau berdoa matanya
bercucuran air mata demi mengharapkan keridhaan Allah SWT
Gubernur di Iraq pada waktu itu adalah Yazid bin Hurairah Al-Fazzari. Pada suatu ketika
Imam Hanafi akan diangkat menjadi ketua urusan Baitul mal, tetapi pengangkatan itu
ditolaknya. Ia tidak mau menerima kedudukan tinggi tersebut. Sampai berulang kali Gabenor
Yazid menawarkan pangkat itu kepadanya, namun tetap ditolaknya.
Pada saat yang lain Yazid menawarkan pangkat Hakim tetapi imam Hanafi juga
menolaknya. Oleh kerana itu ia diselidiki dan diancam akan dihukum dengan hukum dera.

8
Lihat Joseph Schacht.hlm.51-112. Lihat juga, Moh Ali as-Sayis. hlm.91-110. Lihat juga Dr. Sya’bah
Muhammad Ismail.Al-Tasyri’a al-Islamy Mashadiruhu wa Athwaruhu,(Mesir:Maktabah an-
Nadhah,934).hlm.212-348
9
Lihat al-Syekh Muhammad al-Khudary , Tarekh al-Tasyri’al-Islamy, (Indonesia dar al-Kutub l-
Arabiyah, 1998)hlm.229

5
Ketika Imam Hanafi mendengar kata ancaman hukum dera itu Imam Hanafi menjawab:
“Demi Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku
akan dibunuh oleh pihak kerajaan.” Demikian beraninya Imam Hanafi dalam menegakkan
pendirian hidupnya
Akhirnya Imam Hanafi ditangkap oleh gubernur dan dimasukkan ke dalam penjara
selama dua minggu dan lima belas hari kemudian baru dipukul sebanyak 14 kali pukulan,
setelah itu baru dibebaskan. Beberapa hari sesudah itu gubernur menawarkan menjadi kadi,
juga ditolaknya. Kemudian ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman dera sebanyak 110 kali.
Namun demikian Imam Hanafi tetap dengan pendiriannya hingga ia dilepaskan kembali.
Imam Hanafi menolak semua tawaran yang diberikan oleh Kerajaan Daulah Umayyah
dan Abbasiyah adalah karena beliau tidak sesuai dengan corak pemerintahan yang mereka
kendalikan. Oleh sebab itu mereka berusaha mengajak Imam Hanafi untuk bekerjasama
mengikut gerak langkah mereka, dan akhirnya mereka siksa hingga meninggal pada usia 70
tahun.
Madzab Hanafi disebarluaskan oleh murid-murid beliau dan fatwa-fatwa beliau
dituliskan dalam kitab-kitab fikih oleh para muridnya sehingga tersebar luas dan dikenal
sebagai salah satu madzab yang empat. Di antara murid beliau yang terkenal adalah
Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, yang merupakan guru dari Imam Syafi‟i.
Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam Hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al „Alim Walmutam
dan Musnad Fiqh Akhbar. Dalam menetapkan hukum, Imam Hanafi menggunakan metode
berdasarkan Al Quran, Sunnah Rasul, Fatwa sahabat, Qiyas, Istihsan, Ijma‟ dan „Urf.
Sedangkan 'Urf maksudnya adalah adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah
tertentu yang tidak ada nashnya dalam Al Quran, Sunnah dan belum ada prakteknya pada
masa sahabat.10

c. Mazhab Malik
Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik, merupakan salah satu imam ahli fikih yang
masyhur dan termasuk dari 4 Imam Madzhab. Keluasan ilmu, kedermawanan, keshalehan
pada diri beliau banyak dituliskan dalam kitab-kitab sejarah Islam. Profil biografi imam
malik penuh dengan semangat mencari ilmu yang akan kita bahas secara ringkas dalam
artikel ini.

10
Lihat Moh. Ali as-Sayis h.94 lihat juga Syekh Muhammad al-Khudhary, hlm.231

6
Imam malik dilahirkan di kota Madinah al Munawwarah pada tahun 93 H, dengan nama
lengkapnya Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Haris bin
Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah.11
Imam Malik menerima hadist dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi‟in dan 600
dari tabi‟i tabi‟in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu‟man al Mujmir, Zaib bin Aslam,
Nafi‟, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa‟id al Maqburi dan Humaid ath
Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzaifah as Sahmi al Anshari.
Guru Imam Malik diantaranya adalah Nafi‟ bin Abi Nu‟aim, Nafi‟ al Muqbiri, Na‟imul
Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar,
dan lain-lain.
Sedangkan murid-murid beliau diantaranya adalah Ibnul Mubarak, Imam Syafi‟i, Al
Qathan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qasim, Al Qa‟nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa‟id bin
Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush‟ab, Al
Auza‟i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Abu Hudzaifah as Sahmi, Az Zubairi, dan
lain-lain.
Ahmad bin Hanbal berkata: "Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam
malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid'ah". Seseorang bertanya kepada
Imam Syafi'i "apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?" as-
Syafi'i menjawab "aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku,
mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka
bagaimana kami (orang sekarang) menemui yang seperti Malik?"
Al Muwaththa' merupakan kitab yang disusun oleh Imam Malik, yang beliau susun
selama 40 tahun, dan telah ditunjukan kepada 70 ahli fiqh kota Madinah. Kitab Al
Muwaththa‟ berisi 100.000 hadits, yang diriwayatkan oleh lebih dari seribu orang dan yang
paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Kitab Al-Muwaththa berisikan hadits-hadits serta pendapat para sahabat dan ulama-
ulama tabiin yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Imam Malik
menyeleksi dari 100.000 hadits yang beliau hafal, kemudian hanya 10.000 saja yang diakui
sah dan dari 10.000 hadits tersebut, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih oleh beliau setelah
diteliti dengan seksama.

11
Syekh Muhammad al-Khudhary,op.cit.hlm.239

7
Imam malik jatuh sakit pada hari ahad dan menderita sakit selama 22 hari kemudian 10
hari setelah itu ia wafat. Sebagian meriwayatkan imam Malik wafat pada 14 Rabiul awwal
179 H pada usia 87 tahun.
Adapun metode istimbat hukum mazhab Maliki adalah al-Kuran, Sunnah, Ijmak ahli
Madinah, Qiyas, Istishlah atau al-mashalih al-Murshalah.

d. Mazhab Syafi'i
Mazhab ini didirikan oleh Imam asy-Syafi‟i12 merupakan ulama besar yang memiliki
pengetahuan yang mendalam di berbagai disiplin ilmu terutama di bidang fiqh. Termasyhur
bukan hanya karena kejeniusannya tapi juga karena sifat dermawan, wara‟ dan kezuhudan
beliau.
Imam Syafi'i lahir di Ghaza, Palestina pada tahun 150 H, Imam Syafi'i merupakan
keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib dan nasabnya
bertemu Rasulullah di Abdul Manaf.
Perjalanan hidup Imam Syafi'i dimulai sejak wafat ayahnya, sang ibu membawanya ke
Mekah. Sejak kecil Imam Syafi‟i cepat menghafal syair, pandai Bahasa Arab dan sastra.
Kemudian beliau berguru fiqh kepada Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia
mengizinkannya memberi fatwa ketika masih berusia 15 tahun. Kemudian beliau juga belajar
dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, Muhammad bin Ali bin Syafi‟, Sufyan bin Uyainah,
Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa‟id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih
banyak lagi yang lainnya.
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia
belajar kitab Muwattha‟ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam.
Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Imam Syafi‟i kemudian pergi ke
Yaman dan bekerja sebentar di sana. Ulama‟ Yaman yang didatangi oleh beliau ialah
Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman,
beliau meneruskan ke kota Baghdad, Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari
Muhammad bin Al-Hasan, Isma‟il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih
banyak lagi yang lainnya.

12
Nama lengkapnya Abu Abdillahf Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Al-Syafi’I adalah murid dari Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik. Dengan belajar kepada dua tokoh ini asy-Syafi’I menjadi lebih sempurna
keilmuannya, terutama dalam bidang Fikih. Lihat Ahmad Syailabi.op.cit hlm.154

8
Salah satu karangannya adalah “Al-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab
“Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi‟i adalah seorang mujtahid
mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz.
Pertemuan Imam Syafi‟i dengan Imam Ahmad bin Hanbal terjadi di Mekah pada tahun
187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi‟i banyak
belajar tentang ilmu fiqh, ushul madzhab, penjelasan nasikh dan mansukh. Di Baghdad,
Imam Syafi‟i menulis madzhab lamanya. Kemudian beliau pindah ke Mesir tahun 200 H dan
menuliskan madzhab baru.13 Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab
204 H. Adapun metode penetapan hukum mazhab asy-Syafi‟I adalah al-Quran, Sunnah,
Ijmak, Fatwa sahabat yang disepakati, fatwa sahabat yang diperseliesihkan, Qiyas dan
Istidlal.

e. Mazhab Ahmad bin Hambal


Mazhab Ahmad bin Hanbal di bangun oleh Imam Ahmad ibn Hanbal (164
14
H) .Riwayat tentang sejarah kehidupan Imam Ahmad bin Hambal banyak ditulis oleh
banyak 'ulama di berbagai kitab mereka. Keutamaan ilmu, kekuatan hafalan dan akhlak
beliau menyinari perjuangan Islam di sepanjang sejarah. Profil biografi Imam Ahmad bin
Hambal merupakan mutiara pelajaran besar yang dapat kita ambil hikmahnya.
Nama lengkap Imam Ahmad bin Hambal adalah Ahmad bin Muhammad bin Hambal
bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi. Beliau lahir pada bulan Rabi‟ul Awwal tahun
164 Hijriyah di Baghdad. Imam Ahmad bin Hambal menghafal Al Qur‟an pada usia 15
tahun, beliau juga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya.
Imam Ahmad bin Hambal mempunyai hafalan yang kuat, bahkan beliau hafal satu juta
hadits. Banyak pujian dari para ulama terhadap Imam Ahmad bin Hambal, seperti yang
dikatakan Imam Asy-Syafi‟i bahwa “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam
dalam hadits, Fiqih, bahasa, Al Qur‟an, kefaqiran, kezuhudan, wara‟ dan Sunnah”.Kezuhudan
beliau pun sangat terkenal, seperti yang diceritakan oleh Al Maimuni bahwa rumah Abu
Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil. Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan
kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya.

13
Perbedaan dua qaul (pendapat) ini disebabkan oleh fakta-fakta baru yang ditemukan oleh asy-Syafi’I
ketika melakukan penelitian, sehingga tidak pelak lagi kalau dia melakukan revisi ulang terhadap pendapatnya
yang lama. Di samping itu, perbedaan ini juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang ada baik di daerah
Mesir maupun Iraq, dan juga lebih karena tingkat kebutuhan masyarakat Mesir maupun Iraq. Lihat Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam,(Semarang:Pustaka Rizki Putra,2001),hlm.88-91
14
Lihat Muhammad Hasbi ash Shiddieqy,ibid..h.91-92. Lihat juga Syeckh Muhammad al-Khudhary,op.cit.
hlm.263-264

9
Sifat tawadhu' seolah telah melekat pada diri beliau, sehingga banyak riwayat yang
menceritakan ketawadu'an beliau. Yahya bin Ma‟in berkata, “Saya tidak pernah melihat
orang yang seperti Imam Ahmad bin Hanbal, saya berteman dengannya selama lima puluh
tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikit pun kebaikan yang ada
padanya kepada kami”. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di
lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”.
Ada kisah lain tentang sifat tawadhu'nya, bahwa beliau pernah bermuka masam karena
ada seseorang yang memujinya, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu
kepada Islam?” lalu beliau mengatakan, “Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah
membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”
Guru-guru Imam Ahmad bin Hambal jumlahnya lebih dari 280 ulama yang berasal dari
berbagai tempat seperti Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan lainnya. Guru beliau
diantaranya Ismail bin Ja‟far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid,
Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Syafi‟i, Waki‟ bin Jarrah, Ismail
bin Ulayyah, Sufyan bin „Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin Ma‟qil.15
Murid Ahmad bin Hambal banyak dari kalangan 'ulama besar di antaranya Imam
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-Syafi‟i, Shalih bin
Imam Ahmad bin Hambal, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal, Hambal bin Ishaq dan
lainnya.
Kitab beliau sangat banyak, di antaranya adalah Kitab Al Musnad yang berisi lebih dari
dua puluh tujuh ribu hadits, Az-Zuhud, Fadhail Ahlil Bait, Jawabatul Qur‟an, Al Imaan, Ar-
Radd „alal Jahmiyyah, Al Asyribah dan Al Faraidh.
Setelah menderita sakit selama 9 hari, Imam Ahmad bin Hambal menghembuskan
nafas terakhirnya pada umur 77 tahun. Pada saat itu pagi hari Jum‟at tanggal 12 Rabi‟ul
Awwal 241 H, jenazah beliau dimakamkan.

Adapun sandaran hukum mazhab Hanbali adalah;16


a. An-Nushus. Ia memberikan fatwa berdasarkan nash, sebagai rujukan utama.
b. Fatwa sahabat. Ketika tidak ditemukan nash, maka imam Ahmad merujuk kapada
fatwa sahabat, sebatas ia tidak mengetahui bahwa fatwa tersebut ada yang
menentangnya atau masih dalam perselisihan.

15
Lihat Muhammad Ali as-Sayis, op.cit..hlm.107-108
16
Ibid.,108-109

10
c. Fatwa yang paling dekat dengan nash.Ahmad lebih memilih pendapat sahabat yang
mendekati al-Quran dan Sunnah bila ada beberapa pendapat yang berlainan dan saling
bertentangan tentang suatu hukum. Kadang ia tidak memberikan fatwa jika tidak ada
yang menguatkan pendapat saahabat tersebut, dan kadang kala mengambil salah satu
pendapat yang masih diperselisihkan tersebut.
d. Hadis mursal dan dha‟if yang dianggapnya lebih kuat dari Qiyas. Penggunaan hadist
mursal dan dha‟if tersebut dipilihnya selama tidak ada dalil lain yang menentangnya,
seumpama pendapat sahabat dan ijmak.Adapun hadist dha‟if yang diambilnya adalah
hadist dha‟if yang tidak sampai pada derajat hasan dan shahih.
e. Qiyas. Jika keempat dalil di atas tidak dapat diterapkan, barulah dia mengambil
metode qiyas.

f. Mazhab Zhahiri
Pendiri dari mazhab Zhahiry adalah Daud ibn Ali al-Ashfahaniy yang dilahirkan pada
tahun 202 H. di Kufah dan wafat pada tahun 270 H di Baghdad.17
Pada awalnya Daud Zhahiry merupakan penganut mazhab asy-Syafi‟I yang baik,
termasuk ulama yang rajin mendalami dan mempelajari hadist-hadist Rasulullah.
Inti dari ajaran dan paham yang berkembang dalam mazhab az-zhahiri berkisar pada
persoalan hukum Islam dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami
sumber tersebut. Konsekuensi logis dari pendapat tersebut adalah adanya perbedaaan
pendapat dalam masalah fikihnya. Seperti telah disebutkan, Imam Daud az-Zhahiri menolak
al-qias dan mengajukan al-Dalil sebagai cara memahami nash. Dalam cara mempertegas
ijtihadnya, Imam Daud az-Zhahiri berkata:

ُ ‫سَّْنةُ َو ْا ِ ْ ََا‬
‫ا‬ ُ ‫ َ ْى ِن‬: ‫ص ْى َه‬
ُ ‫َاا َو اى‬ ُ ُ‫اُ ْاال‬
“Sumber hukum pokok hanyalah al-Qur‟an, Sunnah, Ijmak.”18
Bagi penganut az-Zhahiri keumuman nash al-Qur‟an sudah cukup menjawab semua
tantangan dan masalah. Pendirian tersebut berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nahl:
89: “ (dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi
atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi
atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk

17
Lihat DR. Sya’bah Muhammad Ismail,op.cit..hlm.346. Mazhab Zhahiry, merupakan satu satunya mazhab
hab yang eksistensinya mengambil namanya dari suatu teori hukum. Prinsip mereka adalah menyadari,
meyakini sepenuhnya arti zhahir dari al-Quran dan Hadist, dan menolak semua yang bertentangan dengan teks
nash, penggunaan opini bebas peribadi yang telah berkembang sebelum asy-Syafi’I, mupun penggunaan
analogi dan berfikir sistematis yang dipegang oleh asy-Syafi’i.Lihat Joseph Schachth, op.cit.hlm.85-86
18
Ibid,hlm.348

11
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-
orang yang berserah diri”.

Bagi Imam Daud Az-Zhahiri, makna yang digunakan dari al-Qur‟an dan sunnah adalah
makna zhahir atau makna tersurat; ia tidak menggunakan makna tersirat, apalagi mencari
„illat seperti yang dilakukan oleh ulama yang mengakui al-Qias sebagai cara ijtihad, seperti
Imam ibn Idris al-Syafi‟i. Menurut Imam Daud az-Zhahiri, Syariat Islam tidak boleh
diintervensi oleh akal.
Ulama yang mengakui al-Qias biasanya ingin mengetahui makna tersirat dari suatu
ketentuan al-Qur‟an dan sunnah. Dalam rangka mengetahui dalil dibalik teks, ulama
melakukan penelitian, sehingga diketaui „illat hukumnya, baik „illat yang terdapat dalam
Nash secara tekstual („illat manshusah) maupun „illat yang diperoleh setelah melalui
penelitian („illat mustanbathah). Bagi Imam Daud az-Zhahiri, tujuan penentuan syari‟ah
adalah Ta‟abbudi (bukan ta‟aquli).
Adapaun al-dalil yang merupakan langkah-langkah ijtihad yang ditempuh oleh Imam
Daud az-Zhahiri dibangun oleh Ibnu Hazm. Ad-dalil adalah suatu metode pemahaman suatu
nash yang menurut ulama mazhab az-Zhahiri, pada hahikatnya tidak keluar dari nas dan atau
ijmak itu sendiri. Dengan pendekatan ad-dalil dilakukan pendekatan kepada nash atau ijmak
melalui dilalah (petunjuknya) secara langsung tanpa harus mengeluarkan „illatnya terlebih
dahulu. Dengan demikian, konsep ad-Dalil tidak sama dengan qias, sebab untuk melakukan
qias diperlukannya kesamaan „illat secara kasus asal dan kasus baru. Sedangkan pada ad-
Dalil tidak diperlukan mengetahui „illat tersebut.

g. Mazhab Syia’h
1) Mazhab Syiah Zaidiyah
Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin19, seorang mufasir,
muhaddits, dan faqih di jamannya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu.
Dalam bidang fiqih ia menyusun kitab al-Majmu‟ yang menjadi rujukan utama fiqih
Zaidiyah. Namun ada di antara ulama fiqih yang menyatakan bahwa buku tersebut bukan
tulisan langsung dari Imam Zaid. Namun Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqih Mesir)
menyatakan bahwa pernyataan tersebut tidak didukung oleh alasan yang kuat.
Menurutnya, Imam Zaid di jamannya dikenal sebagai seorang faqih yang hidup sezaman

19
Lihat Sekh Muhammad al-Khudhary, op.cit..hlm.264 Lihat juga Rasyad Hasan Khalil, Tarikh
Tasyri’,Sejarah Legislasi hukum Islam,(Jakarta:Amzah,2009),hlm,81-82

12
dengan Imam Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan apabila Imam Zaid menulis
sebuah kitab fiqih. Kitab al-Majmu‟ ini kemudian disyarah oleh Syarifuddin al-Husein bin
Haimi al-Yamani as-San‟ani dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-
Kabir.
Para pengembang Mazhab Zaidiyah yang populer diantaranya adalah Imam al-Hadi
Yahya bin Husein bin Qasim, yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah.
Dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam al-Hadi menulis
beberapa kitab fiqih. Di antaranya Kitab al-Jami‟ fi al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-
Ahkam fi al-Halal wa al-Haram. Setelah itu terdapat imam Ahmad bin Yahya bin Murtada
yang menyusun buku al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami‟ li Mazahib ‟Ulama‟ al-Amsar.
Pada dasarnya fiqh Mazhab Zaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqh ahlusunnah.
Perbedaan yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudhu tidak perlu menyapu telinga,
haram memakan makanan yang disembelih non-muslim, dan haram mengawini wanita
ahlul kitab. Di samping itu, mereka tidak sependapat dengan Syiah Imamiyah yang
menghalalkan nikah mut‟ah. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqih Mazhab
Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqh ahlurra‟yi.
Adapun pokok-pokok pikiran dari mazhab zaidiyah ini adalah;20 Sanad hadist yang
diutamakan adalah yang berasal dari Ahlul bait, Khalifah bukanlah jabatan keturunan,
tetapi khalifah yang terbaik adalah khalifah yang diangkat dari golongan Fathimah.
Melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar adalah kewajiban setiap muslim. Oleh
sebab itulah dia mengangkat senjata untuk melawan Yazid pelaku dosa besar diletakkan
antara kufur dan iman, yang dinamakan fasiq. Manusia mempunyai ikhtiar dan bertindak
sesuai dengan kemampuannya. Para imam tidak mempunyai mukjizat.

2) Mazhab Syiah Imamiyah


Golongan Syiah Imamiah disebut juga dengan golongan itsna Asyiriah (imam yang
dua belas), karena menurut mereka hanya ada dua belas imam yang wajib diikuti, yaitu;
Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-
Baqir, Ja‟far ash-Shadiq, Musa bin Ja‟far, Ali al-Ridha bin Musa, Muhammad al-Jawad,
Al-Hadi, Hasan al-Asy‟Ari, dan Muhammad al-Mahdi.21
Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqih Syiah Imamiyah lebih dekat dengan fiqih
Mazhab Syafi‟i dengan beberapa perbedaan yang mendasar. Dalam berijtihad, apabila

20
Ibid. hlm. 82
21
Ibid. lihat juga Muhammad Ali As-Sayis,op.cit,hlm.64-65

13
mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur‟an, mereka merujuk pada
sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut mereka, yang juga dianut
oleh Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Berbeda dengan Syiah
Zaidiyah, Mazhab Syiah Imamiyah tidak menerima qiyas sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum syara‟. Alasannya, qiyas merupakan ijtihad dengan menggunakan
rasio semata. Hal ini dapat dipahami, karena penentu hukum di kalangan mereka adalah
imam, yang menurut keyakinan mereka terhindar dari kesalahan (maksum). Atas dasar
keyakinan tersebut, mereka juga menolak ijma‟ sebagai salah satu cara dalam menetapkan
hukum syara‟, kecuali ijma‟ bersama imam mereka.Untuk itu, yang menjadi pegangan
pokok dalam mazhab ini adalah al-Kitab, As-Sunnhah, Ijmak, dan Aqal.
Kitab fiqh pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa al-Kazim, diberi judul
al-Halal wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh Ali ar-
Ridla.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqih Syiah adalah Abu Ja‟far
Muhammad bin Hasan bin Farwaij as-Saffar al-A‟raj al-Qummi. Dasar pemikiran fiqih
Syiah Imamiyah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya‟ir ad-Darajat
fi ‟Ulum ‟Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah itu Mazhab Syiah
Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Ya‟qub bin Ishaq al-
Kulaini melalui kitabnya, al-Kafi fi ‟ilm .

h. Mazhab Khawarij.
Kaum Khawarij menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari kata Yasyriy yang
artinya menjual atau mengorbankan diri kepada Allah. Khawarij awalnya adalah kelompok
yang loyal terhadap Ali bin Abi Thalib namun kemudian berbalik arah, mereka kebanyakan
berasal dari Orang- orang Badui yang berfikir lurus dan keras, Ali dianggap bekas
pengikutnya ini telah salah, karena menghentikan peperangan, sedangkan Muawiyah adalah
gubernur pemberontak terhadap pemerintahan yang syah. Dalam pandangan kelompok ini,
kedua kubu politik yang disebutkan di atas adalah salah dan sesat22. Khawarij juga
melahirkan beberapa sekte, di antaranya Muhakkimah, Azzariqoh, Najdah, dan Ajaridah.
Adapun pemikiran fiqihnya antara lain :
Khalifah tidak harus orang Quraisy, tapi siapa saja yang mampu memimpin. Berbeda
dengan Sunni yang mengharuskan pemimpin dari suku Quraisy. Selain itu, orang yang

22
Muhammad Ali As-Sayis, hlm.61. Lihat juga Rasyad Hasan Khalil, hlm.80-81

14
melakukan dosa besar, seperti halnya Utsman, Ali, Abu Musa, Muawiyah, dan Amru bin Ash
tergolong kafir. Mereka pun berpendapat bahwa wajib hukumnya untuk menentang
pemerintahan dzalim, termasuk Ali dan Muawiyah.
Amalan ibadah berupa shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya termasuk dalam hukum
, sehingga iman tidak cukup dengan penetapan di dalam hati dan ikrar dilisan saja.
Hukuman zina cukup dipukul 100 kali sesuai dengan ajaran Al-Qur‟an, sedang rajam
adalah ajaran hadits sebagai tambahan dari Al-Qur‟an.Ayat “Banatukum” dalam ayat
larangan nikah, cukup diartikan anak perempuan, jadi cucu boleh dinikahi oleh
kakeknya. Selain kelompok Khawarij adalah kafir, dan kafir haram dinikahi. Yang disebut
Ghanimah adalah senjata, kuda dan perlengkapan lainnya, yang selain itu bukanlah disebut
Ghanimah. Ayat “Laa Washiyata Li warisin” tidak berlaku. Sehingga ahli waris boleh
mendapatkan warisan. “Radho‟ah” tidak menghalangi perkawinan sehingga saudara satu susu
boleh dinikahi. Thaharah adalah suci lahir dan bathin, konseksuensi logisnya adalah apabila
ketika akan shalat atau dalam shalat berpikir sesuatu yang kotor dan membuat bathin kotor
maka shalat itu batal.
Pemahaman Khawarij ini berimplikasi terhadap pemahaman fiqih. Beberapa pendapat
mereka yang dapat dikemukakan diantaranya adalah masalah thaharah, suci lahir dan bathin.
Sebagaimana disebutkan oleh Manna Al-Qatthan, kaum Khawarij salah satu kelompok Islam
yang paling ekstrim dalam melihat sesuatu, baik itu dalam iman atau kekafiran.
Khawarij hanya mengakui Al-Qur‟an sebagai satu-satunya sumber Tasyri‟ sehingga
mereka tak mengakui adanya sunnah, ijma‟ atau yang lainnya. Akibatnya adalah mereka
selalu menentang dan tidak sependapat ketika salah satu paham berbeda dengan Al-Qur‟an.
Hal ini terlihat ketika mereka menilai bagaimana para sahabat atau tabi‟in menggunakan
sunnah dan ijma‟.

2. Fator penyebab munculnya perbedaan mazhab dalam hukum Islam


Perbedaan mazhab dalam Hukum Islam lebih disebabkan oleh kedudukan Bahasa Arab
itu sendiri, yang terkadang lafaznya mengandung lebih dari satu pengertian atau makna.
Adakalanya perbedaan tersebut dipicu oleh periwayatan sebuah hadist, dan cara sampainya
hadist tersebut kepada mujtahid, baik dari segi kuat maupun lemahnya. Di samping itu, juga
disebabkan oleh sedikit atau banyaknya dalil syara‟ yang digunakan oleh mujtahid. Atau
karena adanya pertimbangan menjaga mashlahat ,keperluan dan adat, yang senantiasa
berkembang sewaktu menetapkan hukum.

15
Adanya tingkat perbedaan pemikiran dan akal manusia dalam memahami nash, cara
menyimpulkan hukum dari dalil-dalil syara‟, kemampuan mengetahui rahasia-rahasia di balik
aturan syara‟, dan juga dalam mengetahui illat hukum Syara‟, telah ikut mendorong ulama
dalam ranah perbedaan. Untuk lebih jelasnya, faktor penyebab timbulnya mazhab hukum
dalam hukum Islam adalah; 23
 Perbedaan Makna dalam kata-kata Bahasa Arab
Keadaan ini terjadi adakalanya karena lafat itu mujmal (tidak detail) atau musytarak
(lebih dari satu makna), atau mempunyai dua maksud, yaitu umum dan khusus atau makna
hakiki dan majazi, atau makna hakiki dan makna menurut adat („Urf). Kadang kala perbedaan
tersebut terjadi karena lafat tersebut kadang-kadang disebut secara muthlaq (tidak dibatasi)
dan kadang-kadang disebut secara muqayyad, atau perbedaan tersebut disebabkan oleh
perbedaan I‟arab.
Adapun contoh lafaz yang mempunyai makna lebih dari satu adalah lafaz “ al-Quru‟”
yang mempunyai arti suci dan juga mempunyai arti haidh. Contoh yang lain adalah lafaz
yang berbentuk perintah, apakah ia bermakna wajib atau sunnah saja. Demikian juga dengn
lafaz yang berbentuk larangan, apakah bermakna haram atau makruh saja.
Perbedaan makna dalam kata-kata Bahasa Arab ini juga terjadi dalam lafaz
murakkab umpamanya adalah firman Allah SWT. Setelah ayat tentang had qazhaf (kumnan
kepada oarng yang menuduh orang lain berbuat zina). Untuk lebih jelasnya, perbedaan
penggunaan makna dalam kata-kata Bahasa Arab ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1) Lafaz Muradif dan Musytaraq.
Lafal Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna. Jumhur ulama
menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat yang lain diperbolehkan
selama hal itu tidak dicegah oleh syara‟. Kaidah para Jumhur ulama sebagai berikut:
ٍ‫اَقاا مو ٍِ اىَشادفُِ ٍناُ االخش َجىص ارا ىٌ َقٌ عيُه طاىع ششع‬
Artinya: Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan
jika tidak ditetapkan oleh syara‟.

Dalam lafal ibadah seperti takbir shalat, Malikiyah berpendapat dan menyatakan
bahwa takbir dalam shalat tidak diperbolehkan kecuali kalimat “Allahu Akbar”, sedang
Imam Syafi‟i hanya memperbolehkan “Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan
Abu Hanifah memperbolekan semua lafal yang semisal dengannya, misalnya kalimat
”Allahul A‟djam”, “Allahul Ajal” dan sebagainya.
23
Lihat Joseph Schacht,op.cit hlm. 40-67 Lihat juga Wahbah Az-Zuhaily, op.cit, hlm.72-76. Lihat juga

16
(a) Hukum Muradhif
Menurut jumhur ulama meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya,
diperbolehkan apabila tidak ada halangan dari syara‟. Pendapat lain mengatakan bahwa
diperbolehkan asal masih satu bahasa.
(b)Musytarak
Kata Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja ‫ اش شك‬yang
berarti “bersekutu” seperti dalam ungkapan ً‫ اش شك اىقى‬yang berarti “kaum itu bersekutu”.
Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama ushul merumuskan pengertian
musytarak menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama‟ ushul
adalah anatara lain:
‫اىيفظ اىىاحذ اىذاه عيً ٍعُُِْ ٍخ يفُِ اوامثش دالىة عيً اىسى عْذاهي يل اهفظ‬
Artinya: “Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda,
dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”

‫ح‬Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh:


‫اهفظ َ ْاوه افشادا ٍخ يفة اىحذود عيً ستُو اىتذه‬
Artinya: “Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda
batasannya dengan jalan bergantian”

Maksud pergantian di sini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua
makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan
dengan arti salah satunya. Seperti kata ‫ قشء‬yang dalam pemakaian Bahasa Arab dapat berarti
masa suci dan bisa pula masa haidh, lafadz ‫ عٍي‬bisa berarti mata, sumber mata air, dzat,
harga, orang yang memata-matai dan emas, kata “‫ "ٌذ‬musytarak antara tangan kanan dan kiri,
kata ‫ عٌخ‬dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun masehi.
Berdasarkan ketentuan Hukum Lafadz Musytarak apabila dalam nash-nash Al-Qur‟an
dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka menurut kaidah yang telah dirumuskan
oleh para ulama‟ ushul adalah sebagai berikut:
 Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara
arti bahasa dan istilah syara‟, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara‟,
kecuali ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti
dalam istilah bahasa.

17
 Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang
ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan
dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun
qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang
menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu
masyarakat arab pada saat turunnya nash tersebut.
 Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut,
menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat
menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi‟iyah
membolehkan menggunakan salah satu artinya.

Dalam Al-Qur‟an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman


Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yaitu:
‫ط ُه ْشَُ ۖ فَإ ِ َرا تَطَ َّنه ْشَُ فَأْتُىهَُِّن‬ ْ ََ ً‫ض ۖ َو َال تَ ْق َشةُىهَُِّن َح َّٰن‬ َ ِّْ‫ض ۖ قُ ْو ُه َى َ ًري فَا ْع َ ِضىُىا اى‬
ِ ُ‫سا َء فٍِ ا ْى ََ ِح‬ ِ ُ‫سأَىُىَّ َل َع ِِ ا ْى ََ ِح‬
ْ ََ‫َو‬
َ َِ‫ط ِّه ِش‬ َ َ َُ ‫َّللاَ َُ ِح ُّب اى َّن َّنىاةَُِِ َوَُ ِح ُّب ا ْى‬ ‫ث َ ٍَ َش ُم ٌُ َّن‬
‫َّللاُ ۚ إَُِّن َّن‬ ُ ُْ ‫ٍِِْ َح‬
Lafadz ‫الوحٍض‬ dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti
tempat keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama‟
diartikan tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa
orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam
waktu haidh. Sehingga yang dimaksud lafadz ‫ الوحٍض‬di atas adalah bukanlah waktu
haidh akan tetapi larangan untuk istimta‟ pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).

2) Mutlaq dan Muqayyad.


Para ulama ushul menyepakati bahwa mutlaq adalah suatu lafal tertentu yang
belum ada kaitan atau batasan dengan lafal lain yang mengurangi keseluruhan
jangkauannya. Yang dimaksud dengan mutlak adalah sesuatu lafal yang menunjukan
hakekat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.
Misal: kata “meja”, “rumah”, “jalan” , kata-kata ini memiliki makna mutlak karena
secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang
telah kita pahami dan tidak dibatasi oleh kata-kata lain. Contoh dalam al-Qur‟an adalah
pada kata Raqabah dalam surat al Mujadillah ayat: 3. ‫فتحش َش سقتة‬
Lafaz raqabah di atas termasuk mutlak karena tidak dibatasi dengan sifat tertentu.
Kafarat zhihar adalah memerdekakan budak/raqabah. Budak dalam ayat tersebut

18
bermakna mutlak (memiliki pengertian tertentu yang sudah kita pahami dan tidak
dibatasi pada makna yang spesifik). Lafal mutlak menunjukan hakekat suatu lafal tanpa
batasan apapun, baik dari segi sifat atau jumlahnya. Misalnya firman Allah yang
berbunyi sebagai berikut : ‫ فتحش َش سقتة‬Ayat tersebut menuntut memerdekakan budak,
tanpa memerhatikan jumlah budak, satu atau banyak dan tanpa megartikan sifat budak,
apakah beriman atau tidak yang penting adalah memerdekakaan budak. Sedang „Am
ialah lafal yang menunjukan pada hakekat lafal tersebut dengan memperhatikan
jumlahnya. Misalnya firman Allah dalam surat Muhammad ayat 4 yang berbunyi : ‫فضشة‬
‫الشقبة‬
Lafal „am(al-Riqob) di atas adalah meliputi semua orang-orang kafir yang ikut
berperang. Muqayyad adalah lafaz yang menunjuk pada hakikat lafaz tersebut dengan
dibatasi (diberi kayyid) oleh sifat, keadaan dan syarat tersebut. Dengan kata lain
muqayyad ialah lafal yang menunujukan pada hakikat lafal itu sendiri dengan dibatasi
oleh batasan-batasan, tanpa memandang pada jumlah, misalnya firman Allah Pada
Qur‟an surat Al-Nisa‟ ayat 4 :
‫فرحش ٌش سقجخ هؤهٌخ‬
Contoh di atas adalah lafal muqoyyad yang dibatasi dengan sifat. Adapun contoh
muqoyyad yang dibatasi dengan syarat, ialah firman Allah berkenaan dengan kafarat
sumpah dalah QS. Al-Maidah ayat 89 :
‫فوي لن يجد فصٍبم ثالثخ اٌبم‬
Kafarat puasa 3 hari tersebut disyaratkan bila orang yang melanggar sumpah tidak
mampu memerdekakan hamba sahaya atau memberi makanan ataupun pakaian.
Apabila ada satu lafadz disatu tempat berbentuk mutlaq, sedangkan pada tempat
yang lain berbentuk muqayyad, maka ada beberapa kemungkinan dari ketentuannya.
1. Sama sebab dan hukumnya
Apabila kedua lafadz itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka salah
satunya harus diikutkan pada yang lain, yakni yang muqyyad. Artinya lafadz
mutlaq tadi jiwanya sudah tidak mutlaq lagi, karena ia harus tunduk kepada
muqayyad, dan harus diartikan secara muqayyad. Oleh karena itu yang muqayyad
merupakan penjelasan yang mutlaq. Misal firman Allah QS. Al-Maidah ayat 3:

ُ‫ٍحخ‬ َّ ‫ٌش َّ َهب أُ ُِ َّل لِ َغٍ ِْش‬


َ ‫َّللاِ ثِ َِ َّ ْال ُو ٌْ َخٌِقَخُ َّ ْال َوْْ قُْ َرحُ َّ ْال ُوز ََش ِّدٌَخُ َّالٌَّ ِط‬ ِ ‫ذ َعلَ ٍْ ُك ُن ْال َو ٍْزَخُ َّال َّذ ُم َّلَحْ ُن ْال ِخ ٌْ ِض‬
ْ ‫ُح ِّش َه‬
َ‫ظ الَّ ِزٌي‬ ٌ ‫ت َّأَ ْى رَ ْغزَ ْق ِغ ُوْا ثِ ْبْلَ ْص ََّل ِم ۚ َٰ َرلِ ُك ْن فِ ْغ‬
َ ِ‫ق ۗ ْالٍَْْ َم ٌَئ‬ ُ ٌُّ‫َّ َهب أَ َك َل ال َّغجُ ُع إِ ََّّل َهب َر َّك ٍْزُ ْن َّ َهب ُرثِ َح َعلَى ال‬
ِ ‫ص‬

19
‫ٍذ لَ ُك ُن‬
ُ ‫ض‬ ُ ‫ذ لَ ُك ْن ِدٌٌَ ُك ْن َّأَ ْر َو ْو‬
ِ ‫ذ َعلَ ٍْ ُك ْن ًِ ْع َوزًِ َّ َس‬ ُ ‫اخ َشْْ ِى ۚ ْالٍَْْ َم أَ ْك َو ْل‬
ْ َّ ‫َكفَشُّا ِه ْي ِدٌٌِ ُك ْن فَ َال ر َْخ َشْْ ُُ ْن‬
‫َّللاَ َ فُْ ٌس َس ِحٍ ٌن‬ َّ ‫ص ٍةخ َ ٍ َْش ُهزَ َ بًِ ٍة ِ ِا ْث ٍةن ۙ فَئ ِ َّى‬ َ ‫ااع َْال َم ِدًٌٌنب ۚ فَ َو ِي اضْ طُ َّش فًِ َه ْخ َو‬ ِْ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)


yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang
jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan
anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa
untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka
dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa
sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.

Darah yang disebutkan di atas adalah bersifat mutlaq oleh karena itu pengertian darah yang
bersifat mutlaq tersebut disesuaikan dengan pengertian darah yang bersifat muqayyad dal
dalam firman Allah QS. Al-An‟am ayat 145

Berhubung objek kedua lafal tersebut adalah sama yakni darah dan hukum
keduanya juga sama yaitu diharamkan, maka pengertian lafal yang mutlaq tersebut
disesuaikan dengan lafal yang muqayyad dengan demikian darah yang diharamkan
adalah darah yang mengalir.

2. Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama


Apabila dua lafadz itu berbeda dalam sebab, tetapi sama dalam hukum, maka
bagian ini diperselisikan antara ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlaq
harus diikutkan kepada yang muqayyad, sedang ulama yang lain mengatakan
bahwa yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya.
Contohnya pada perkataan “Raqabatin” yang artinya “budak”. Lafadz ini
bentuknya mutlaq dalam ayat yang artinya: “dan orang-orang yang bersumpah
zhihar kemudian menarik kembali apa yang dikatakannya, maka wajib
memerdekakan budak, sebelum keduanya berkumpul” (QS Al- Mujahadah 39)

20
Pada ayat lain berupa “rakabatin mukminatin” (budak yang muknin). Lafadz
ini berbentuk muqayyad dalam ayat yang artinya “Barang siapa yang membunuh
orang mukmin dengan bersakah maka wajib memerdekakan budak yang mukmin“
(QS An- Nisa 92).
Pada ayat pertama seorang harus memerdekakan budak, karena bersupah
zhihar, sedang pada ayat kedua karena membunuh tidak sengaja. Jadi, berbeda
dalam sebabnya.
Meskipun berlainan sebabnya, tetapi hukumnya sama yaitu sama- sama
memerdekakan budak. Namun, jika tidak diikutkan, berarti yang mutlaq tetap pada
kemutlaqnnya, maka dalam sumpah zhihar, budak yang dimerdekakan tidak harus
mukmin. Sedangkan dalam soal membunuh dengan tidak sengaja maka budak yang
dimerdekakan harus mukmin.

3. Perbedaan hukum dan sebab


Apabila terjadi perbedaan hukum dan sebab, maka yang mutlaq tidak boleh
diikutkan kepada yang muqayyad. Misalnya dalam hal saksi diharuskan adil,
sedangkan dalam hal membunuh dengan tidak sengaja diharuskan memerdekakan
budak. Keduanya berlainan hukum dan sebabnya, yang satu harus adil (muqayyad)
dan yang lainnya, diharuskan memerdekakan budak (mutlaq). Yang satu soal saksi
dan yang satu soal pembunuhan, maka sudah jelas persoalannya. Oleh karena itu,
tidak boleh diikutkan satu kepada yang lain, artinya dalam hal budak tidak harus
budak yang adil sebagaimana dalam hal saksi.

4. Perbedaan dalam hukummya saja.


Apabila terjadi perbedaan dalam hukumnya saja maka tidak ada perselisihan
antara ulama ushuk bahwa yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang
muqayyad. Karena keduanya ini berbeda dalam hukumnya, yang yang satu harus
membeli budak dan yang lainnya harus memerdekakan budak. Oleh karena itu,
yang satu tidak boleh diikutkan pada yang lain.

Secara etimologi, hakikat merupakan derivasi dari kata haqqa al-syai‟ yang berarti tetap.
Ia bisa bermakna subjek (fā‟il); sehingga memiliki arti „yang tetap‟ atau objek (maf‟ūl) yang
berarti „ditetapkan‟. Kata „hakikat‟ merupakan kata musytarak yang mempunyai dua
pengertian: esensi sesuatu di satu sisi dan inti perkataan di sisi lain. Apabila ditujukan kepada
lafaz atau kata, maka hakikat adalah kata yang digunakan pada tempatnya. Dengan redaksi
21
lain, hakikat adalah nama bagi sebuah kata yang dimaksudkan untuk makna aslinya yang
terambil dari hakikat sesuatu. Kata itu benar-benar menunjukkan kepada makna yang
sebenarnya.
Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu
ditentukan pada mulanya. Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan
untuk sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap
lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu. Menurut Amir Syarifuddin, semua
penjelasan tersebut mengandung makna terminologis tentang aqiqah, yaitu suatu lafaz yang
digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu.
Hakikat terbagi kepada tiga: lugawiyyah, syar‟iyyah, dan „urfiyyah. Klasifikasi ini
dikarenakan hakikat mesti menempuh jalan penetapan, dan setiap penetapan mesti
mempunyai subjek yang menetapkannya. Disebut lugawiyyah apabila subjek penetapannya
adalah bahasa. Sementara syar‟iyyah apabila ditetapkan oleh syari‟at, dan begitu juga dengan
„urfiyyah berarti subjeknya adalah kebiasaan. Lebih rinci lagi, haqiqah „urfiyyah dibagi lagi
menjadi haqiqah „urfiyyah khāssah dan haqiqah „urfiyyah „āmmah. Haqiqah „urfiyyah
khāssah adalah hakikat yang ditetapkan oleh kebiasaan masyarakat secara parsial, yaitu
terbatas pada kalangan tertentu, seperti kata ijma‟ yang hanya berlaku di kalangan fiqh.
Sementara haqiqah „urfiyyah „āmmah adalah yang ditetapkan kebiasaan yang berlaku secara
global, seperti kata dābbah yang dalam bahasa Arab berarti hewan berkaki empat.
a) Majaz
Para ulama terdahulu telah meneliti majaz ini, sehingga mereka telah
memberikan definisi terminologis yang berbeda-beda. Dalam kitab Kaysfu al-Asrār
dinyatakan bahwa majaz adalah kata yang difungsikan untuk pengertian lain di luar
pengertian aslinya yang biasa terjadi dalam percakapan dengan adanya „alaqah antara
pengertian baru yang dimaksudkan dengan pengertian aslinya. Sementara Abu Hamid
Al-Ghazali dalam Mustaṣfa mendefinisikan majaz sebagai kata yang dipakai oleh
orang Arab pada selain tempatnya. Kata-kata dengan makna majaz ini terjadi dalam
kata-kata mufrad (singular).
Pelitian lebih rinci lagi telah dilakukan oleh Amir Syarifuddin yang
dimanifestasikan dalam bukunya Ushul Fiqh. Di sana, ia mengemukakan beberapa
definisi. Pertama, As-Sarkhisi mendefinisikannya sebagai nama untuk setiap lafaz
yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan. Kedua, Ibnu
Qudamah: lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang
dibenarkan. Ketiga, Ibnu Subki berpendapat majaz adalah lafaz yang digunakan untuk
22
pembentukan kata kedua karena adanya keterkaitan. Dari ketiga definisi tersebut,
beliau menyimpulkan rumusan definitif majaz, yaitu:
 Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang
dikehendaki suatu bahasa.
 Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan
dalam memberikan arti kepada apa yang dimaksud
 Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam
dengan lafaz itu memang ada kaitannya

Dari segi pembentukannya, majaz bisa dibedakan menjadi:


 Kata yang dipinjamkan untuk suatu pengertian karena adanya keserupaan pada
khāssah (propria), seperti kata al-asad yang dipinjamkan untuk makna berani.
 Penambahan dalam tarkib yang sebenarnya tanpa penambahan tersebut,
maknanya tidak berubah, seperti ً‫لٍظ كوثلَ ش‬. Sebenarnya menghilangkan huruf
kaf tidaklah merubah makna, namun penambahan tersebut menjadikannya
bermakna majaz.
 Pengurangan yang tidak berimplikasi terhadap kekeliruan pemahaman. Seperti
‫ ّاعئل القشٌخ‬yang sebenarnya dimaksudkan penduduknya
 Mendahulukan dan membelakangkan (taqdīm dan ta‟khīr) seperti pada surat al-
Nisā‟ ayat 11 yang maksud sebenarnya adalah sesudah membayarkan hutang dan
mengeluarkan wasiat. Namun, redaksi ayatnya berbunyi: ّ‫هي ثعذ ّصٍخ ٌْصً ثِب ا‬
‫دٌي‬.

Dari segi „alaqah-nya, majaz terbagi kepada dua bagian:


 Isti‟arah, yaitu majaz yang „alaqah antara makna asli dan makna yang
dimaksudkan terdapat musyābahah seperti firman Allah; surat Ibrahim ayat
pertama:
o ‫كثبة أًضلٌبٍ إلٍك لزخشج الٌبط هي الظلوبد إلى الٌْس‬
 Mursal atau muthlaq, yaitu yang „alaqah antara makna asal dan makna yang
dituju bukanlah musyābahah. Majaz ini pun terbagi kepada beberapa pembagian
seperti sababiyyah, musababbiyah, i‟tibār juz „ala al-kulli, dan sebagainya.

23
3) Mutlaq dan muqayadh
Para ulama‟ usul menyepakati bahwa mutlaq adalah suatu lafal tertentu yang belum
ada kaitan atau batasan dengan lafal lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.
Definisi mutlak dengan beberapa definisi, namun semuanya bertemu pada suatu
pengertian bahwa yang dimaksud dengan mutlak adalah sesuatu lafal yang menunjukan
hakekat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersenpit keluasan artinya.
Misal: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, yang memiliki makna mutlak karena secara
makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita
pahami dan tidak dibatasi oleh kata-kata lain.
Contoh dalam al-Qur‟an adalah pada kata Raqabah dalam surat al Mujadalah ayat:
( ‫رحش ٌش سقجخ‬
‫ )ف‬Lafaz raqabah di atas termasuk mutlak karena tidak dibatasi dengan sifat
tertentu. Kafarat dhihar adalah memerdekakan budak/raqabah Budak dalam ayat tersebut
bermakna mutlak (memiliki pengertian tertentu yang sudah kita pahami dan tidak dibatasi
pada makna yang spesifik)
Lafal mutlak menunjukan hakekat suatu lafal tanpa batasan apapun, baik dari segi
sifat atau jumlahnya. Misalnya firman Allah yang berbunyi sebagai berikut :
‫رحش ٌش سقجخ‬Ayat tersebut menuntut memerdekakan budak, tanpa memerhatikan
jumlah budak, satu atau banyak dan tanpa mengartikan sifat budak, apakah beriman atau
tidak yang penting adalah memerdekakaan budak.
Sedang „Am ialah lafal yang menunjukan pada hakekat lafal tersebut dengan
memperhatikan jumlahnya. Misalnya firman Allah dalam surat Muhammad ayat 4 yang
berbunyi : ‫ فضشة الشقب ة‬Lafal „am(al-Riqob) di atas adalah meliputi semua orang-orang
kafir yang ikut berperang.
Sedangkan Muqayyad adalah lafaz yang menunjuk pada hakikat lafaz tersebut
dengan dibatasi (diberi koyyid) oleh sifat, keadaan dan syarat tersebut. Dengan kata lain
muqoyyad ialah lafal yang menunujukan pada hakikat lafal itu sendiri dengan dibatasi
oleh batasan-batasan, tanpa memandang pada jumlah, misalnya firman Allah Pada Qur‟an
surat Al-Nisa‟ ayat 4 :
‫فرحش ٌش سقجخ هؤهٌخ‬
Contoh di atas adalah lafal muqoyyad yang dibatasi dengan sifat. Adapun contoh
mukoyyad yang dibatasi dengan syarat, ialah firman Allah berkenaan dengan kafarat
sumpah dalam QS. Al-Maidah ayat 89 :
‫فوي لن يجذ فصٍبم ثالثخ اٌبم‬

24
Kafarat puasa 3 hari tersebut disyaratkan bila orang yang melanggar sumpah tidak
mampu memerdekakan hamba sahaya atau memberi makanan ataupun pakaian.

Hubungan Antara Mutlaq dan Muqayyad


Apabila ada satu lafadz di satu tempat berbentuk mutlaq, sedangkan pada tempat
yang lain berbentuk muqayyad, maka ada beberapa kemungkinan dari ketentuannya.
 Sama sebab dan hukumnya
Apabila kedua lafadz itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka salah
satunya harus diikutkan pada yang lain, yakni yang muqyyad. Artinya lafadz mutlaq
tadi jiwanya sudah tidak mutlaq lagi, karena ia harus tunduk kepada muqayyad, dan
harus diartikan secara muqayyad. Oleh karena itu yang muqayyad merupakan
penjelasan yang mutlaq.
 Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama.
Apabila dua lafadz itu berbeda dalam sebab, tetapi sama dalam hukum, maka
bagian ini diperselisikan antara ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlaq
harus diikutkan kepada yang muqayyad, sadang ulama yang lain mengatakan bahwa
yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya.
Contohnya pada perkataan “Roqobatin” yang artinya Budak. Lafadz ini
bentuknya mutlaq dalam ayat yang artinya: “dan orang- orang yang bersumpah zhihar
kemudian menarik kembali apa yang dikatakannya, maka wajib memerdekakan budak,
sebelum keduanya berkumpul” (QS Al- Mujahadah 39)
Pada ayat lain berupa “rokobatin mukminatin” (budak yang muknin). Lafadz ini
berbentuk muqayyad dalam ayat yang artinya “Barang siapa yang membunuh orang
mukmin dengan bersakah maka wajib memerdekakan budak yang mukmin. “(QS An-
Nisa 92).
Pada ayat pertama seorang harus memerdekakan budak, karena bersupah zhihar,
sedang pada ayat kedua karena membunuh tidak sengaja. Jadi, berbeda dalam
sebabnya.
Meskipun berlainan sebabnya, tetapi hukumnya sama yaitu sama-sama
memerdekakan budak. Namun, jika tidak diikutkan, berarti yang mutlaq tetap pada
kemutlaqannya, maka dalam sumpah zhihar, budak yang dimerdekakan tidak harus
mukmin. Sedangkan dalam soal membunuh dengan tidak sengaja maka budak yang
dimerdekakan harus mikmin.
 Perbedaan hukum dan sebab

25
Apabila terjadi perbedaan hukum dan sebab, maka yang mutlaq tidak boleh
diikutkan kepada yang muqayyad. Misalnya dalam hal saksi diharuskan adil, sedangkan
dalam hal membunuh dengan tidak sengaja diharuskan memerdekakan budak.
Keduanya berlainan hukum dan sebabnya, yang satu harus adil (muqayyad) dan yang
lainnya, diharuskan memerdekakan budak (mutlaq). Yang satu soal saksi dan yang satu
soal pembunuhan, maka sudah jelas persoalannya. Oleh karena itu, tidak boleh
diikutkan satu kepada yang lain, artinya dalam hal budak tidak harus budak yang adil
sebagai mana dalam hal saksi.
 Perbedaan dalam hukummya saja
Apabila terjadi perbedaan dalam hukumnya saja maka tidak ada perselisihan
antara ulama ushuk bahwa yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad,
contohnya lafadz:
‫اشزش سقجخ ّاعزق سقجخ هؤهٌخ‬
Artinya : belilah budak dan merdekakanlah budak mukmin.
Karena keduanya ini berbeda dalam hukumnya, yang yang satu harus membeli
budak dan yang lituasi dan kondisi
 Perbedaan periwayatan
Perbedaan riwayat terjadi karena beberapa sebab. Umpamanya sebuah hadist
telah sampai kepada seseorang, tetapi tidak sampi kepada yang lain. Suatu hadist
sampai kepada seseorang melalui sanad dhaif, tidak dapat dijadikan sebagai hujah,
tetapi ia juga sampai pada shahabt yang lain melalui jalur yang shahiah. Dan lain
sebagainya. Tingkat keoriginilan dan validitas suatu hadist ditentukan oleh sanad rawi
dan matan. Ini menjadi ladang perbedaan pandangan di kalangan ulama fikih.
Umpamanya, Iman Abu Hanifah menolak penggunaan hadis Ahad, dan memilih
menggunakan istihsan. Sementara itu, asy-Syafi‟i lebih memilih menggunakan qiyas
ketimbang hadist Mursal.
 Perbedaan Sumber
Ada beberapa beberapa sumber yang diperselisihkan oleh para ulama,
sejauhmanakah ia dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Contohnya adalah Istihsan,
Mashlahah Mursalah, Qaul Shahabi, Istishhab, dan lain sebagainya.
Antara satu mujtahid dengan yang lainnya tidak jarang saling berbeeda pendapat.
Umpaamanya, Imam Abu Hanifah popular dengan Istihsannya, Imam Malik terkenal

26
dengan Mashlahah al-Mursalah, Imam asy-Syafi‟I etrkenal dengan metode Qiyasnya,
sedangka Imam Ahmad bin Hanbal terkenal dengan Hadist Dha‟if.
 Tempat atau lingkungan.
Tempat atau lingkungan ikut andil dalam membidani lahirnya mazhab dalam
hukum . Daerah yang notabene jauh dari wahyu, seperti daerah Kufah; Irak ,telah
memnbentuk karakter berfikir kritis dan rasional dari masyarakatnya, dan melahirkan
mujtahid-mujtahi rasionalis, seperti Abu Hanifah, yang popular dengan panggilan
mujtahil fi al-Rakyi. Sebaliknya, dearah hejas, sebagai pusat wahyu, sumber wahyu,
juga telah membentuk karakter yang mumpuni, hati-hati, tidak mau terjebak dalam
keniscayaan akal, lebih selektif dan hati-hati dalam menggunakan nash., dan amat
sedikit dalam menggunakan rasio. Di daerah hejaz ini lahir mujatahi besar Imam Malik
bin Anas.
 Situasi dan Kondisi atau Politik
Kedaulatan penguasa, kebijakan dan arah politik yang di bangun oleh penguasa
juga ikut andil dalam member warna hukum Islam. Sejarah mencatat, jatuhnya dinasti
Umayyah dan tampilnya Dinasti Abbasityah ke panggung politik,telah membawa nafas
baru bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, tidak terkecuali ilmu
fikih. Adanya upaya penterjemahan buku-buku yang berbahsa asing (Parsi) ke dalam
bahasa Arab, membuat pergulatan ilmu tumbuh dengan subur. Pada masa ini
kemndirian dan kebebasan berfikir tumbuh dan berkembang dengan pesat.

C. SIMPULAN
Aliran atau mazhab hukum dalam hukum Islam, dapat dikelompokkan kepada tiga aliran
besar yaitu: pertama, mazhab ahl al-Sunnah yang terduiri dari mazhab Hanafy, mazhab asy-
Syafi‟I, mazhab Maliky, mazhab Ahmad, dan mazhab Zhahiry. Kedua, mazhab Syi‟ah, yang
terdiri dari, Syi‟ahZaidiyah, Syi‟ah Imamiyah, dan Syi‟ah. Ketiga, adalah Mazhab Khawarij.
Adapun faktor penyebab munculnya perbedaan mazhab dalam hukum Islam adalah,
pertama faktor bahasa, yaitu Bahasa Arab, seperti lafaz muradif dan musytarak, muthlaq dan
muqayyadh,hakikat dan majaz. Kedua, faktor perbedaan periwayatan, dan faktor sumber
hukum yang diperselisihkan oleh para ulama.

27
BIBLIOGRAFI

Muhammad S.Elwa. On The Political System of Islam. 1983


Muhammad al-Khudhari. Alih bahasa, Pakih Sati, Taryikh al-Tasyri‟ al- Islamy. Bandung:
Nuansa Aulia. 1998
Wahbah az-Zuhaily, Fiqh Islam wa Adillatuhu, alih bahasa, Abd Hayye al Kattani,( Kuala
Lumpur:Dar alfikri. 2011
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Islamy,(Maktabah wa Mathbaah Muhammad Ali Shobih
wa auladuhu.1977
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka
Rizki Putra. 2001

28

Anda mungkin juga menyukai