Anda di halaman 1dari 20

KALAM SUNNI (Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan Dan Perkembangannya)

Pendahuluan Ilmu kalam1 adalah salah satu sumber dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya yaitu Fiqh, Falsafah, dan Tasawwuf. Jika ilmu Fiqh menerangkan masalah peribadatan dan hukum, dan ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, serta ilmu Tasawwuf untuk penghayatan dan pengamalan keagamaan yang bersifat pribadi. Maka ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya pada hal-hal mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Tumbuhnya ilmu Kalam sebenarnya sudah muncul sejak masa Khulafaurrasyidin, tetapi belum menjadi suatu disiplin ilmu yang mandiri. Yaitu pada peristiwa pembunuhan Khalifah Usman bin Affan, yang terjadi pada peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering disebut al-Fitnah al-Kubra (Fitnah Besar).2 Maka ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu. Para pembunuh Usman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada Ali karena Beliau menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Muawiyyah ibn Abu Sufyan, dalam Perang Shiffin. Sebab itulah mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij. Kaum yang paling banyak mewarisi
1 Sebelum pembahasan tentang proses petumbuhan ilmu Kalam Sunni ini dilanjutkan, penulis menguraikan sedikit keterangan tentang definisi ilmu kalam (Ilm al-Kalam). Secara harfiah, Kalam berasal dari bahasa Arab yang artinya perkataan, tetapi menurut istilah, Kalam adalah pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Kata-kata Kalam sendiri adalah terjemahan dari kata dan istilah Yunani Logos yang secara harfiah juga berarti pembicaraan, dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Para Mutakallimun (ahli Kalam) menganggap Kalam identik dengan Teologi dalam Islam dan ilmu Kalm disebut juga ilmu Tauhid (Madjid, 2000: 203-204). Bandingkan dengan pengertian Kalam menurut al-Ghozali, dalam al-Risalat al-Laduniyyah Beliau berpendapat bahwa Kalam tidak identik dengan ilmu Tauhid, tetapi hanya sebagian daripadanya. Al-Ghazali memasukkan ilmu Tauhid sebagai salah satu dari dua macam ilmu Syariat yang berkaitan dengan pokok-pokok agama (ushul). (al-Ghazali, Juz I, 1970: 106). Lebih lanjut lagi, al-Ghazali menerangkan bahwa ilmu Kalam adalah Ilmu yang mengandung perdebatan tentang aqidah keimanan dengan dalil-dalil rasional, dan penolakan terhadap ahli bidah, yang menyeleweng dari paham Salaf dan Ahlussunnah. (al-Ghazali, tt: 338-339). 2 Awalnya ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pe.mbunuhan Usman bin Affan atau yang menyetujui pembunuhan itu. Menurut Madjid, Penalaran itu disederhanakan sebagai berikut: Mengapa Usman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran, dan orang Kafir harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia yang berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Allah. Maka harus dibunuh! (Madjid, 2000: 204).

tradisi pemikiran Khawarij adalah kaum Mutazilah (Taymiyyah, Juz 4, 1903: 237). Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mutazilah. Abu al-Hasan Ali al-Asyari3 (260-324 H/ 873-935 M), seorang sarjana dari kota Basrah di Irak yang terdidik dalam paham Mutazilah. Beliau lah yang kelak mempelopori berdirinya paham Asyariyah, yang sering dikenal sebagai Kaum Sunni4.

Pembahasan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah Dalam kitab Al-Mausuah al-Arabiyah al-Muyassarah sebuah Ensiklopedi ringkas, memberikan definisi Ahlussunnah sebagai berikut: Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammas SAW. dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental (ushul) maupun divisional (furu). Sebagai bandingan Syiah. Diantara mereka ada yang disebut Salaf, yaitu generasi awal mulai dari para Sahabat, Tabiin dan Tabiut Tabiin. Dan ada juga yang disebut Kholaf, yakni generasi yang datang kemudian. Diantara mereka ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara ketat. Diantara mereka juga ada yang bersikap reformatif (mujadiddun) dan diantaranya lagi bersikap konservatif (muhafidhun). Golongan ini merupakan mayoritas umat Islam. (Ghorbal et.al., 1965: 278). Dari definisi ini, jelas bahwa Ahlussunnah wal Jamaah itu tidak hanya terdiri dari satu kelompok aliran, tetapi ada beberapa sub-aliran. Karena itu, Dr. Jalal M. Musa yang dikutip oleh M. Tholhah Hasan mengatakan bahwa istilah Ahlussunnah wal Jamaah ini menjadi rebutan banyak kelompok, masing-masing membuat klaim bahwa dialah Ahlussunnah wal Jamaah. Dan dimasukkannya kata al-Jamaah dalam istilah ini karena mereka menggunakan Ijma dan Qiyas sebagai dalil dalil syariah yang fundamental, disamping al-Quran dan Sunnah Rasul.5 (Hasan, 2005: 3-4).
3 Dalam pembahasan selanjutnya, penulis menyebutnya sebagai Imam Asyari. 4 Penganut paham Sunni dikenal sebagai pengikut mazhab Ahl al-Sunnah atau Ahl al-Sunnah wa alJamaah, untuk dibedakan dari pengikut aliran lain dalam Islam yang pandangan-pandangannya dianggap menyimpang dari apa yang telah disepakati oleh mayoritas Islam. (Marmura, tt: 140). 5 Dengan merujuk kepada al-Syatibi, Saleh menjelaskan bahwa para penulis Muslim merumuskan lima definisi tentang jamaah sebagai berikut: (1) Mayoritas umat Islam; (2) para Ulama terkemuka dari umat Islam; (3) para Sahabat Nabi; (4) semua umat Islam selama mereka sepakat dalam satu masalah; dan (5) semua umat Islam ketika mereka sepakat untuk mengikuti seorang Imam atau pemimpin. (Saleh, 2004: 100).

Dalam kajian Ilmu Kalam, istilah Ahlussunnah wal Jamaah ini sudah banyak dipakai sejak masa Sahabat sampai generasi-generasi berikutnya. Istilah ini biasanya digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, dan Mutazilah. Dan para Imam Mazhab Fiqh; seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam as-Syafii dan Imam Ibnu Hambal dikenal sebagai tokoh-tokoh Ahlussunnah, sebelum munculnya Imam Asyari dan Imam al-Maturidi sebagai tokoh Mutakallimin (ahli Ilmu Kalam) dari kalangan Ahlussunnah pada abad ke3 H. Sebagai tambahan dari penjelasan diatas, penggunaan istilah Ahlussunnah wal Jamaah juga didasarkan pada beberapa hadis yang menyatakan bahwa umat Islam setelah masa Nabi akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Satu golongan yang selamat, menurut sabda Nabi tersebut, terdiri atas mereka yang melaksanakan Sunnah Nabi dan para Sahabatnya. Pada uraian diatas tentang definisi Ahlussunnah, mereka terbagi menjadi dua generasi, yaitu Salaf dan Kholaf. Diantara generasi tersebut memang terdapat banyak persamaan, tetapi juga ada pandangan yang berbeda. Perbedaan pandangan tersebut antara lain dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat, utamanya yang berkaitan dengan sifat Allah, seperti kata yad (tangan), ain (mata),istawa (bersemayam). Generasi Salaf, mempercayai kebenaran kata-kata tersebut dan membenarkannya tanpa mau banyak mendiskusikan dan memperdebatkan arti sebenarnya. Diriwayatkan bahwa Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, Imam Sofyan al-Tsuri, dan Imam Laits bin Saad, tentang ayat-ayat yang berisi sifat-sifat Allah. Mereka menjawab: Artikan seperti apa adanya, dan jangan tanya bagaimana!. Imam Malik pernah ditanya tentang arti kata istawa bagi Allah. Dan Beliau menjawab: Duduk itu sudah jelas, tetapi bagaimana duduknya itu tidak diketahui; mengimaninya adalah wajib, sedangkan mempertanyakan hal itu adalah bidah. (Hasan, 2005: 10). Generasi Kholaf, yang muncul pada abad ke-3 H, ditengah-tengah maraknya pergolakan kehidupan intelektual umat Islam, yaitu pada masa pemerintahan Bani Abasiyyah. Umat Islam pada waktu itu mendapatkan fasilitas yang memadai sehingga lahir ilmu-ilmu baru dalam studi keislaman yang menjadi disiplin ilmu yang mandiri, seperti Ilmu Kalam, Ilmu Tasawwuf dan lain sebagainya. Dan lahir pula tokoh-tokoh ahli dalam bidang Ilmu Kalam seperti Abu Abdillah bin Said Al-Kullab (w. 240 H) yang
3

dikenal sebagai Ibnu Kullab dan Abu al-Abbas Al-Qolanisi (w. 255 H), mereka dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah yang muncul sebelum al-Asyari dan al-Maturidi. Berbeda dengan generasi Salaf, generasi Kholaf menerima penggunaan dalil-dalil aqli sebagai penyeimbang dalil naqli. Dan itu yang menjadi kajian sentral Ilmu Kalam. (Hasan, 2005: 11). Generasi Kholaf dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat menggunakan penafsiran yang dipandang lebih sesuai dengan ke-Maha Sucian dan ke-Maha Agungan Allah. Penafsiran itu disebut Tawil, seperti kata Yadullah diartikan dengan kekuasaan Allah, Ainullah diartikan pengawasan Allah, kata Istawa diartikan mengatur. Sejarah Perkembangan Kalam Sunni Matoritas umat Islam dewasa ini menganut Islam Sunni. Penganut doktrin ini dikenal sebagai kaum ortodoks atau Muslim Sunni. Meskipun demikian, secara historis, oposisi ini mencuat akibat dari ketegangan politik pada masa awal Islam. Keteganganketegangan ini diekspresikan dalam istilah teologis dan terutama sekali berkaitan dengan persoalan imamah atau kepemimpinan umat yang membelah identitas umat Islam. Sejak saat itulah sebagian umat Islam mulai mengidentifikasikan diri mereka sebagai penganut Sunni sebagai lawan dari pendukung Syiah. (Saleh, 2004: 97). Meskipun Islam Sunni biasanya dikaitkan dengan aliran teologi Asyari, terdapat buku yang cukup jelas bahwa istilah Sunni ini telah dipergunakan jauh sebelum masa alAsyari.6 Istilah ini telah dipergunakan berkaitan dengan orang-orang yang ingin mendapatkan rujukan langsung dari al-Quran dan Sunnah dalam soal-soal agama. Orangorang tersebut, pada masanya lebih dikenal dengan Ahli Hadits dan terutama terdiri atas para Sahabat Nabi dan Tabiin. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, dalam pertumbuhannya, Kalam Sunni sudah ada sejak masa para Sahabat Nabi, tetapi baru berkembang pada abad ke-3 H. Pada awal mula perkembangannya banyak memiliki aliran, ada beberapa Sahabat, Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in yang dikenal memiliki aliran masing-masing, sampai kemudian terdapat empat mazhab fiqh yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. di dalam keyakinan
6 Ibn Taimiyah, misalnya, menegaskan bahwa mazhab Ahl al-Sunnah adalah mazhab lama dan telah dikenal sejak sebelum munculnya empat mazhab Fiqh. Ia merupakan mazhab para Sahabat Nabi yang mengambil ajaran agama mereka langsung dari Nabi. (Taimiyah, 1903: 256).

Sunni, empat mazhab yang mereka miliki valid untuk diikuti, perbedaan yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat fundamental. Dalam masalah aqidah (teologi), mayoritas Kaum Sunni mengikuti Imam Asyari (yang kemudian disebut Asyariyah) dan alMaturidi (disebut Mauridiyah). Berikut sedikit ulasan tentang kedua tokoh tersebut, pemikiran mereka, dan siapa saja tokoh yang ikut berperan dalam mengembangkan ajaran-ajaran kedua tokoh tersebut: Abu al-Hasan Ali al-Asyari Lahir di kota Basrah pada tahun 260 H / 873 M dan wafat pada tahun 324 H / 935 M di kota Baghdad. Beliau mempunyai hubungan nasab dengan Sahabat Nabi SAW., yaitu Abu Musa al-Asyari. Imam Asyari semula menjadi pengikut dan murid dari Abu Ali al-Jubbai (seorang tokoh besar Mutazilah). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mutazilah, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mutazilah. Menurut Tolhah Hasan (Hasan, 2005: 14-17), faktor-faktor yang mejadikan Imam Asyari memisahkan diri dari paham Mutazilah antara lain: Pertama, ketidakpuasan Imam Asyari pola pikir dan metodologi yang terlalu mengandalkan kemampuan nalar (akal), tanpa dukungan wahyu atau nash. Kedua, terjadinya tragedi Mihnah yang dilakukan para pejabat pemerintahan atas dukungan elite Mutazilah, yang melakukan pemaksaan faham Mutazilah kepada umat Islam terutama tokoh-tokoh dan ulama yang berpengaruh. Ketiga, dalam pengasingan Imam Asyari selama lima belas hari (ada yang mengatakan selama empat puluh hari) melakukan perenungan dan istikharah. Konon beliau mendapatkan isyarat mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. dan memerintahkannya untuk meninggalkan faham Mutazilah dan membela as-Sunnah. Pemikiran-pemikiran Imam Asyari antara lain: beliau menolak ajaran Mutazilah yang tidak mengakui adanya sifat-sifat Allah yang berbeda dengan Dzat-Nya. Imam Asyari juga menentang faham Keadilan yang wajib bagi Allah seperti kata Mutazilah (al-wadu wa al-waid). Menurutnya Allah berkuasa mutlak dan tidak ada sesuatupun yang wajib bagi-Nya (Hasan, 2005: 17-18). Aliran Asyariyah ini memperoleh pengikut terbanyak dilingkungan umat Islam,
5

antara lain karena diikuti oleh para pengikut dua mazhab terbesar dalam fiqh, yaitu mazhab Syafii dan Maliki. Mengingat Imam Asyari sendiri dalam hal fiqh menjadi pengikut mazhab Syafii, sedangkan dukungan dari mazhab Maliki karena diantara sebagian tokoh-tokoh besar Asyariyah menganut mazhab Maliki, diantaranya alBaqillani dan Ibnu Taumart (Hasan, 2005: 23). Ilmu Kalam Imam Asyari yang sering juga disebut sebagai paham Asyariyah, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar Kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa jalan keselamatan hanya terdapat pada seseorang yang dalam masalah Kalam menganut paham Asyariyah. Mengenai hal ini, terdapat pendapat yang sangat ilustratif dari Haji Muhammad Shalih ibn Umar Samarani (tokoh ulama dari semarang yang terkenal dengan sebutan Kyai Saleh Darat) yang menafsirkan Sabda Nabi yang sangat populer tentang perpecahan umat. Beliau mengatakan: ...Wus dadi prenca2 umat ingkang dihin2 ingatas pitung puluh loro pontho, lan bsuk bakal pada prenca2 sira kabh dadi pitung puluh telu pontho, setengah sangking pitung puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabh ing dalem neraka. Ana dn ingkang sewiji ingkang selamet iku iyaiku kelakuan ingkang wus dn lakoni Gusti Rasulullah s.a.w., lan iyaiku aqid Ahl al-Sunnah wa al-Jamah Asyariyyah lan Mturdiyyah (Samarani, tt: 27-28).

Imam Asyari mendapatkan kehormatan besar karena solusi yang ditawarkannya mengenai permasalahan klasik dibidang Ketuhanan antara kaum liberal dari golongan Mutazilah dan kaum konservatif dari golongan Ahl al-Hadits (yang dipelopori empat Imam Mazhab Fiqh). Salah satu solusi itu adalah tentang masalah manusia dan perbuatannya, Imam Asyari tidak bebas seperti paham Qadariyyah dan juga tidak terpaksa layaknya paham Jabariyyah, tetapi diantara keduanya. Imam Asyari mengajukan teori Kasb (al-Kasb, acquisition, perolehan). Menurutnya perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keadaan terpaksa. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan oleh Allah, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggungjawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan Kasb, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, meskipun ia tidak menguasai dan tidak bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan yang diinginkan, dipilih dan diputuskan sendiri. (Madjid, 2000: 210).

Ajaran-ajaran Imam Asyari dapat diketahui dari kitab-kitab yang ditulisnya setelah keluar dari Mutazilah, terutama dari kitab Al-luma fi ar-Raddi ala Ahli azZaighi wa al-Bida dan kitab al-Ibanah an Ushul ad-Diyanah, serta kitab Maqalat alIslamiyin. Al-Baqillani Dia adalah salah satu tokoh yang mempunyai andil penting dalam penyebaran Asyariyah. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Thayyib bin Muhammad Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H / 1013 M). Ia mempelajari ajaran-ajaran Asyariyah melalui Ibnu Mujahhid dan Abu Hasan al-bahili, keduanya adalah murid langsung Imam Asyari. Tetapi dalam beberapa hal, terdapat perbedaan antara Imam Asyari dan alBaqillani, diantaranya masalah perbuatan Manusia. Menurut Imam Asyari, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah. Manusia diberi daya untuk mewujudkan perbuatan, namun daya tersebut tidak efektif jika tanpa kehendak Allah. Imam Asyari menyebutnya sebagai Kasab. Sedangkan menurut al-Baqillani manusia diberi oleh Allah daya dalam dirinya dan manusia dengan daya tersebut mempunyai peran yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. (Hasan, 2005: 19). Al-Juwaini Tokoh penting selanjutnya adalah al-Juwaini, yang dikenal dengan Imam alHaramain. Nama lengkapnya adalah Abdul Maali al-Juwaini (w. 478 H / 1085 M). Walaupun al-Juwaini dikenal sebagai pendukung dan pembela Asyariyah, namun dalam pandangan-pandangan Kalamnya tidak semua sama dengan Imam Asyari, antara lain: masalah antropomorfisme (hal yang bersifat jasmaniyah), ia berpendapat bahwa semua gambaran tentang Tuhan yang bersifat jasmaniyah harus ditawilkan. Adapun soal perbuatan manusia, al-Juwaini sedikit berbeda dengan al-Baqillani, menurutnya manusia diberi daya oleh Allah untuk mewujudkan perbuatannya dan daya itu mempunyai efek yang serupa dengan yang terdapat dalam proses kausalitas. Dengan kata lain, manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannnya setelah mendapat daya dari Allah (Hasan, 2005: 20). Al-Ghazali Pada awal abad ke-6 Hijriah, Kaum Sunni khususnya kalangan Asyariyah
7

mendapat tokoh besar, yakni Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi7 (451-505 H / 1059-1111 M). Lahir di Thus Khurasan, persia utara, propinsi yang telah banyak melahirkan orang-orang Islam yang jenius dalam berbagai macam disiplin ilmu (Jahja, 1996: 64). Al-Ghazali pertama kali belajar logika dari seorang ahli Kalam Asyariyah terbesar pada masanya, yaitu al-Juwaini. Tak heran jika dikemudian hari dia menjadi pengikut aliran Asyariyah. Dengan modal logika yang diperolehnya, al-Ghazali merangkak menjadi seorang dialektikus di bidang agama, sampai dia menjadi seorang tokoh besar dan berpengaruh. Meskipun al-Ghazali selalu memberikan kritik kepada pihak yang berlebihan dalam menggunakan peranan akal, yang berkaitan dengan ajaran aqidah Syariah maupun Tasawwuf8, tapi al-Ghazali dengan cerdas membela ajaran Asyariyah yang dinilainya moderat (tawassuth) dalam menempatkan dalil-dalil aqliyah berdampingan dengan dalil-dalil naqliyah dan secara proporsional. Al-Ghazali kurang setuju tentang debat teologi melalui mujadalah kalamiyah dilingkungan masyarakat awam, karena keuntungan dan kerugiannya tidak sebanding. Salah satu alasannya masalah sosiologis, karena kondisi obyektif masyarakat Islam tidak memerlukan lagi debat-debat itu karena hanya menambah pertentangan dan konflik yang sia-sia (Jahja, 1996: 163). Sikap al-Ghazali ini didukung oleh Ibnu Khaldun pada abad ke-9 Hijriyah (Hasan, 2005: 21). Jasa al-Ghazali yang sangat besar adalah keberhasilannya mempertemukan tiga dimensi kajian Islam, yakni Fiqih, Kalam dan Tasawwuf, dan mendamaikan para tokoh dan ahlinya (Fuqaha, Mutakallimun dan Mutashawifun) yang selama berabad-abad saling berbenturan. Secara teoritis visi al-Ghazali diabadikan dalam karya agungnya Ihya Ulumiddin, dan secara praktis figur al-Ghazali merupakan teladan dan panutan. Dikalangan Kaum Sunni, karya-karya al-Ghazali dalam masalah Ilmu Kalam
7 Disebut al-Ghazali karena pekerjaan ayahnya adalah al-Ghazali, pemintal wol. 8 Mayoritas para ahli menganggap bahwa al-Ghazali adalah pengikut Asyariyah. Tetapi Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh al-Madzahib al-islamiyyah, memberikan kesimpulan yang kontradiktif dengan mengatakan: Sebenarnya, al-Ghazali bukan seorang pengikut Abu al-Hasan al-Asyari atau Abu Manshur al-Maturidi, tetapi dia seorang pemikir bebas, yang pemikirannya tak terikat dengan aliran apapun; karena dia banyak berbeda pendapat dengan kedua tokoh teolog tersebut, walaupun tetap sependapat dalam halhal yang dianggapnya sebagai agama yang harus diikuti. Sayangnya, Zahrah pun tidak memberikan penjelasan bagaimana metode pemikiran yang digunakan al-Ghazali sebagai seorang pemikir bebas tersebut. (Zahrah, tt: 202).

yang banyak dipakai adalah al-Iqtishad fi al-Itiqad dan sebagai induknya adalah Ihya Ulumiddin. Tetapi umumnya, Kaum Sunni lebih menempatkan al-Ghazali sebagai Imam Tasawwuf daripada sebagai Imam Fiqih maupun Kalam. Mungkin karena dalam dua disiplin ilmu tersebut (fiqh dan Kalam) lebih banyak bersifat analisa-analisa kritis daripada berupa paparan-paparan diskriptif yang lebih gampang dicerna (Jahja. 1996: 260-261). As-Sanusi Pada abad ke-9 H lahir tokoh Asyariyah yang bernama Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi, yang kemudian dikenal dengan Imam Sanusi (833-895 H / 1427-1490 M) (Hasan, 2005: 22). Penyebaran konsep kalamnya tentang sifat Allah dan Rasul-Nya sangat populer di Indonesia. Ia membaginya kedalam tiga macam, yaitu: Sifat Wajib, Mustahil dan Jaiz. Sifat-sifat wajib bagi Allah yang dua puluh itu dikelompokkan menjadi: Sifat Nafsiyah: Wujud Sifat Salbiyah: Qidam, Baqa, Mukhalafah lil Hawadits, Qiyamuhu Binafsihi, dan Wahdaniyat. Sifat Maani: Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama, Bashor dan Kalam. Sifat Manawiyah: Kaunuhu Qodiran, Muridan, Aliman, Hayyan, Samian, Bashiran dan Mutakalliman. Karya-karyanya yang terkenal dalam sistematika tauhid antara lain: Syarah Tijan ad-Darari, Kifayatu al-Awam, Aqidah al-Awam, Ummi al-Barahim dan lain-lain. Al-Maturidi Nama lengkapnya adalah Imam Muhammad bin Muhammad Abu Manshur alMaturidi9. Dialah pendiri aliran yang dikenal oleh kaum Sunni dengan Maturidiyah. Ia adalah seorang ahli fiqih mazhab Hanafi yang belajar pada dua ulama mazhab Hanafi, yakni Muhammad bin Muqatil ar-Razi (w. 248 H) dan Nushair bin Yahya al-Balkhi (w. 228 H). Al-Maturidi mempunyai hubungan nasab dengan Sahabat Nabi, yaitu Abu Ayub al-Anshori (Hasan, 2005: 24).
9 Lahir di Maturid Samarkand, tanggal kelahirannya sulit dilacak, diperkirakan pada pertengahan abad ke-3 H. Namun sebagian referensi menyebut pada tahun 333 Hijriyah.

Sebagaimana Imam Asyari, sebagai Kaum Sunni al-Maturidi juga menggunakan metode dan sikap at-tawassuth (moderat dan jalan tengah). Namun apabila dibandingkan antara al-Maturidi dan Imam Asyari dalam penggunaan akal sebagai dasar untuk menemukan kebenaran, maka al-Maturidi lebih luas penggunaan akalnya. Hal itu dipengaruhi oleh visi dan wacana al-Maturidi yang bermazhab Hanafi yang dikenal sebagai Mazhab Ahlu ar-Rayi. Para pengikut al-Maturidi lazim disebut aliran Maturidiyah. Para pendukung Maturidiyah ini sebagian besar dari pengikut mazhab Hanafi (dalam masalah fiqh). Al-Maturidi memberikan dua argumen mengapa kita perlu menggunakan dalildalil aqli, yaitu: Pertama, al-Quran banyak sekali menganjurkan manusia menggunakan akal dan nalarnya secara kritis untuk memahami fenomena yang ada di alam ini atau pada diri mereka sendiri, untuk menuju marifatullah. Sebagai contoh, pada surat anNahl yang berturut-turut disebut dalam ayat 11, 12, 13, 14 dan 15 diakhiri dengan kalimat:


. bagi kaum yang berfikir.


. bagi kaum yang memahami


. bagi kaum yang dapat mengambil pelajaran


. supaya kamu bersyukur


. supaya kamu mendapat petunjuk

Menurut al-Maturidi, yang dikutip oleh Tolhah Hasan, ia berkata bahwa sesungguhnya Allah mengulang-ulang peranan ayat-ayat dalam tersebut dengan berbagai macam tingkatan, yakni mulai berfikir sampai mendapat petunjuk adalah karena dengan berfikir, orang dapat belajar dan memahami, dengan pemahaman tersebut orang dapat memperluas wawasan dan mengetahui semua itu sebagai anugerah yang harus

disyukuri. Sebagai hamba Allah yang mau bersyukur, memberikannya jalan untuk memperoleh petunjuk dari Allah SWT (Hasan, 2005: 27). Kedua, kondisi lingkungan yang dihadapi al-Maturidi, merupakan tempat dan waktu dimana masalah teologi menjadi isu kajian keagamaan yang sentral. Al-Maturidi mengatakan bahwa peranan akal untuk melengkapi dalil / hujjah agama, membuat analisa kemudian menkonstruksikan dalil-dalil tersebut untuk membuktikan kebenaran dan membela keyakinan agama dari orang-orang mengingkari atau menyalahfahami keyakinan-keyakinan tersebut (Hasan, 2005: 28). Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi Salah seorang pengikut al-Maturidi yang berpengaruh besar adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Neneknya adalah murid al-Maturidi dan ia mengenal ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Walaupun al-Bazdawi adalah pengikut al-Maturidi, namun ia tidak selalu sepaham dengan al-Maturidi, sehingga boleh dikatakan aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yakni Golongan Samarkand (pengikut al-Maturidi sendiri) dan Golongan Bukhara (pengikut al-Bazdawi). Jika Golongan Samarkand mempunyai paham yang lebih dekat dengan Mutazilah, maka Golongan Bukhara mempunyai pendapat yang lebih dekat dengan Asyariyah (Hasan, 2005: 29). Dalam hal keterbukaan terhadap peranan akal antara Golongan Samarkand dan Golongan Bukhara, jika digambarkan dalam diagram maka perbedaan itu akan seperti berikut: Keterbukaan Terhadap Peranan Akal

Samarkand

Bukhara

11

Pemikiran Kalam Sunni Sepanjang perjalanan aliran Asyariyah maupun Maturidiyah, mereka selalu meletakkan sikap rasional, tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran), karena menyadari bahwa yang memegang kebenaran absolut hanyalah Allah saja, sedangkan kebenaran yang diklaim manusia hanya kebenaran relatif sebatas kemampuan akalnya dalam memahami dan menafsirkan kebenaran absolut tersebut, manusia harus tetap menyadari keterbatasan dirinya, temasuk keterbatasannya dalam memahami suatu kebenaran. Dalam membahas tentang pemikiran Kalam Sunni, penulis hanya menagkap dan

memproritaskan pada masalah-masalah yang banyak menjadi pembicaraan dikalangan Ahli Kalam tetapi hanya dipahami secara samar-samar dikalangan masyarkat awam, antara lain (Hasan, 2005: 33-57., al-Baghdadi, 1987: 300-303): Tentang ke-Maha Esaan Allah Dalam kajian teologi Islam, ke-Maha Esaan Allah diakui oleh semua golongan dan hampir tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Yang kemudian ada perbedaan justruhubungan ke-maha Esaan Allah itu dengan persoalan lain seperti hubungannya dengan manusia dan lain-lain. Dalam istilah Ilmu Kalam, ke-Maha Esaan Allah mencakup tiga macam, yaitu: Wahdaniyat adz-Dzat, Wahdaniyat as-Shifat, Wahdaniyat al-Afal. Nama dan Sifat Allah Dalam Asyariyah maupun Maturidiyah, bahwa Allah itu mempunyai sifat-sifat. Dan sifat-sifat Allah bukan Dzat-Nya, tetapi berada pada Dzat-Nya. Hanya saja menurut Asyariyah sifat-sifat Allah itu dibagi menjadi Sifat Dzatiyah yang Qadim, Sifat Filiyah yang tidak Qadim atau tidak Azali. Sedangkan Maturidiyah menganggap semua sifat Allah itu Qadim atau Azali. Al-Quran Firman Allah Dalam pemahaman Ahlussunnah, Firman Allah dibedakan dalam dua pengertian, yaitu: Kalam Nafsiy (Firman Allah yang abstrak tidak berbentuk) dan Kalam Lafdhiy (Firman Allah yang diturunkan kepada para Rasul, sudah dalam bentuk

huruf atau kata-kata). Melihat Allah di Akhirat Baik Asyariyah maupun Maturidiyah, sepakat bahwa oarang-orang Mukmin mendapat kesempatan melihat Allah di Akhirat. Dasar Naqlinya adalah Surat alQiyamah ayat 22-23:

nq_r

7tBqt

ou$R

4n<)

$pkh5u

Wajah-wajah orang Mukmin pada hari itu berseri-seri, karena melihat kepada Tuhannya.

Tentang Perbuatan Manusia Asyariyah maupun Maturidiyah berpendapat, bahwa perbuatan manusia itu tidak lebih dari perbuatan yang diciptakan Allah dan dilimpahkan pada manusia sebagai tempat perbuatan tersebut. Teori Asyariyah dikenal dengan al-Kasb, sedangkan menurut konsep Maturidiyah, perbuatan manusia terdiri dari dua macam, yakni perbuatan Tuhan dalam bentuk penciptaan daya kemampuan pada diri manusia (kholqu al-istithoati) dan perbuatan menusia dalam bentuk pemakaian daya tersebut (istimalu al-istithoati). Tentang Orang Mukmin yang Berbuat Dosa Besar Kaum Sunni berpendapat bahwa orang Mulmin yang melakukan dosa besar kemudian meninggal sebelum melakukan tobat, maka hukumnya terserah kepada Allah. Tetapi orang tersebut termasuk fasiq, tapi tidak kekal didalam neraka karena masih memiliki iman. Pendapat ini berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 48 dan 116 :

b) !$# w t br& x8u m/ tur $tB tbr y79s `yJ9 !$to


Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya...

Tentang Kenabian dan Kewalian


13

Dikalangan Kaum Sunni, meyakini bahwa setelah Nabi Muhammad tidak ada Nabi lagi, karena Beliau adalah Nabi Terakhir. Seperti Firman Allah dalam Surat alAhzab ayat 40 :

B tb%x. JptC !$t/r& 7tnr& `iB N39%y`h `3s9ur$ tAq !$# zOs?$yzur z`h;Y9$# 3
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi". Termasuk sifat para Nabi adalah Ishmat al-Anbiya (keterjagaan para Nabi dari dosa). Dalam teologi Ahlussunnah wa al-Jamaah, yang memperoleh hak ishmah atau mashum itu hanya para Nabi atau Rasul saja, dan manusia lain tidak ada yang mashum, termasuk para wali, paa Imam dan ulama maupun para Sahabat. Tetapi ada perbedaan pendat antara Asyariyah dan Maturidiyah, yaitu tentang kemungkinan seorang Nabi atau Rasul pernah berbuat dosa kecil (maksiat ringan). Asyariyah memndang hal tersebut bisa saja terjadi, tetapi Maturidiyah menolak pendapat tersebut, andai ada seorang Nabi yang pernah melakukan dosa kecil, maka itu terjadi sebelum menjadi Nabi atau Rasul. Selain para Nabi, menurut Kaum Sunni ada sekelompok orang yang mendapat perlindungan dari Allah dari berbuat maksiat meskipun tidak seperti para Nabi, mereka adalah Auliya. Para Wali itu tidak mashum seperti para Nabi atau Rasul, tetapi mereka itu dijaga (mahfudh) dari perbuatan maksiat secara sengaja dan terus-menerus (tanpa melakukan tobat dengan segera), meskipun mereka itu dapat saja melakukan kekeliruan atau kesalahan ringan. Tentang Mukjizat dan Karomah Ahlussunnah wa al-Jamaah meyakini bahwa semua peristiwa dan kejadian yang ada di dunia ini karena Kehendak dan Kekuasaan Allah. Tetapi secara prosedural tidak selalu sama, ada yang biasa berjalan sesuai dengan Sunnatullah, berlaku kapan dan dimana saja. Dan ada yang tidak biasa atau luar biasa, menyimpang dari jalur kebiasaan (khariqul aadah), berdasarkan Dekrit Allah atau degan kata lain Amrullah. Singkat kata, menurut penulis, mukjizat Nabi dan karomah Wali, yang dianggap sebagian orang sebagai khariqul aadah, adalah merupakan Amrullah, bukan

Sunnatullah. Peristiwa itu tentu tidak berlaku umum, tetapi sangat khusus sesuai dengan Kehendak Allah sendiri, karena ada tujuan-tujuan khusus pula. Fungsi mukjizat bagi para Nabi adalah untuk membuktikan kebenaran dawahnya. Oleh karena itu, harus ditampilkan dihadapan publik (masyarakat luas). Sedangkan fungsi karomah bagi para Wali yaitu untuk menunjukkan kebenaran sikap dan peilaku mereka. Namun para Wali tidak harus menampilakn karomahnya kepada publik, selain itu karomah bukan untuk menantang pihak lain yang tidak mempercayainya, malah banyak para Wali yang berusaha menutupi karomahnya, karena khawatir menimbulkan fitnah. Tentang Kepemimpinan Umat Secara terang-terangan Kaum Sunni mengakui dan membenarkan

kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, yakni Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan,dan Ali bin Abi Thalib r. anhum. Meskipun model dan proses pengangkatannya berbeda-beda, tetapi masih dalam bingkai konsep ikhtiar atau ijtihad. Tentang Metafisika dan Keakhiratan Dalam teologi Ahlussunnah, banyak masalah ghoib (metafisika) ini yang wajib diimani dan diyakini kebeadaannya, seperti masalah : Ruh yang mempunyai sifat keabadian, dalam arti tidak ikut mati bersama jasadnya, Alam Barzakh (alam transisi). Pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, Siksa Kubur, Nikmat Kubur, Hari Kiamat, Hari Baats, Hari Mahsyar, adanya Hisab, Suhuf atau Kitab (catatan amal), Mizan (neraca), Shirat, Syafaat, Surga dan Neraka. Dan masih ada hal-hal lain, seperti Malaikat, Bidadari dan Haudl (telaga kehidupan surga) dan lain sebagainya yang wajib bagi kita mengimani dan meyakini adanya itu semua.

Penutup Kaum Sunni dikenal sebagai pengikut mazhab Ahl al-Sunnah atau Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, untuk dibedakan dari pengikut aliran lain dalam Islam yang pandanganpandangannya dianggap menyimpang dari apa yang telah disepakati oleh mayoritas Islam. Relevansinya ialah bahwa sebagian besar Kaum Sunni, dalan masalah teologi (aqidah) menganut paham Asyariyah dan Maturidiyah.
15

Perkembangan Kalam Sunni sebenarnya sudah ada sejak masa para Sahabat, namun pada waktu itu Ilmu Kalam belum berdiri sendiri. Dalam kajian Ilmu Kalam, istilah Ahlussunnah wal Jamaah ini sudah banyak dipakai sejak masa Sahabat sampai generasi-generasi berikutnya. Istilah ini biasanya digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, dan Mutazilah. Dan para Imam Mazhab Fiqh; seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam as-Syafii dan Imam Ibnu Hambal dikenal sebagai tokoh-tokoh Ahlussunnah, sebelum munculnya Imam Asyari dan Imam al-Maturidi sebagai tokoh Mutakallimin (ahli Ilmu Kalam) dari kalangan Ahlussunnah pada abad ke-3 H. Adalah Imam Asyari, seorang pengikut dan murid dari Abu Ali al-Jubbai (seorang tokoh besar Mutazilah). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mutazilah, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mutazilah, yaitu Kalam Sunni. Beberapa tokoh Mutakallimun dari Kaum Sunni lainnya yang berpengaruh antara lain: al-Maturidi, al-Baqillani, al-Juwaini, al-Ghazali, as-Sanusi dan al-Bazdawi. Beberapa pemikiran Kalam Sunni yang banyak menjadi pembicaraan dikalangan Ahli Kalam tetapi hanya dipahami secara samar-samar dikalangan masyarkat awam antara lain: Tentang Ke-Maha Esaan Allah Nama dan Sifat Allah Al-Quran Firman Allah Melihat Allah di Akhirat Tentang perbuatan Manusia Orang Mukmin yang Berbuat Dosa Besar Tentang Kenabian dan Kewalian Tentang Mukjizat dan Karomah Tentang Kepemimpinan Umat Tentang Metafisika dan Keakhiratan

Demikian sedikit penjelasan tentang sejarah pemikiran Kalam Sunni serta pemikirannya. Tentunya tak ada gading yang tak retak, karena keterbatasan penulis dan kebenaran yang absolut hanya milik Allah saja. Dan akhirnya, semoga bermanfaat. Amin.

17

KALAM SUNNI (Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan Dan Perkembangannya)


Makalah disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pemikiran Islam Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Suparman Syukur, M. A.

Maulana Malikuddin 115 112 038

PRORAM MAGISTER INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO

2011

19

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim. Asyari, Imam Abu al-Hasan al-, 1987, Ushul Ahlissunnah Wal Jamaah (Risalah Ahli alTsaghr), Edisi Dr. Muhammad Sayid al-Hulainid, Kairo: Matbaat at-Taqaddum. Baghdadi, Ibn Thahir al-, 1987, Kitab al-Farq Bayn al-Firaq wa Bayan al-Firqah al-Najiyah (Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah), Beirut: Dar al-Jayl. Ghazali, al-, 1970, al-Risalat al-Laduniyyah, Muhammad Musthafa Abu al-Ala (ed.), Juz I, Maktabat al-Jundi. Ghorbal, Syafiq et.al. (ed.), 1965, Encyclopedies, al-Mausuah al-Arabiyah al-Muyassarah, Kairo: Dar al-Qolam. Hasan, Muhammad Tholhah, 2005, Ahlussunah Wal-Jamaah Dalam Persepsi dan Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press. Jahja, Zukani, 1996, Teologi al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Madjid, Nurcholish, 2000, Islam: Doktrin dan Peradaban,-Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina. Marmura, Michael, Sunni Islam: The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, vol. 4. Nasution, Harun, 1986, Teologi Islam, Jakarta: UI Press. Saleh, Fauzan, 2004, Teologi Pembaruan: pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Samarani, Haji Muhammad Shalih ibn Umar,tt, Tarjamat Sabil alAbid ala Jawharut alTauhid. Syahrastani, Al-, 1968, Kitab al-Milal wa al-Nihal, Kairo: al-Halabi. Taimiyah, Ibn, 1903, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqd Kalam al-Syiah wa alQadariyyah, vol. 1, Kairo: Matbaat al-Kubra al-Amiriyah. Zahrah, Muhammad Abu, tt, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Juz I, Kairo: Dar al-Fikr alAraby. www.wikipedia.com, Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedi Bebas.

Anda mungkin juga menyukai