Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ILMU KALAM

ILMU KALAM & ALIRAN SUNNI

Untuk memenuhi salah satu tugas

Mata kuliah Ilmu Kalam


Dosen pembimbing : Khusen

Disusun oleh :
Melisa Septiani & Riska

JURUSAN KOMUNIKASI BISNIS

SEKOLAH TINGGI ISLAM PUBLISISTIK THAWALIB INDONESIA


2018

Bab 1
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Dalam perkembangan agama islam banyak dipelajari berbagai ilmu-ilmu keagamaan,
misalnya ilmu fiqih, ilmu aqidah, dan ilmu tauhid. Ilmu-ilmu tersebut mempunyai peranan
tersendiri dalam mempelajari ilmu-ilmu tentang agama islam. Ilmu fiqih mempelajari tentang
hukum-hukum dalam agama islam. Ilmu aqidah mempelajari tentang tingkah laku baik buruk
manusia menurut agama islam. Dan ilmu tauhid mempelajari tentang keesaan Tuhan.Ilmu
tauhid juga disebut ilmu kalam, ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang
wujudnya Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada padaNya, sifat-sifat yang tidak ada
padaNya, dan sifat-sifat yang mungkin ada padaNya. Dan membicarakan tentang rasul-rasul
Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat
yang mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada dirinya.

Dalam sejarah agama Islam telah tercatat adanya firqah-firqah (golongan) di lingkungan
umat Islam, yang antara satu sama lain bertentangan pahamnya secara tajam yang sulit untuk
diperdamaikan, apalagi untuk dipersatukan.Hal ini sudah menjadi fakta dalam sejarah yang
tidak bisa dirubah lagi, dan sudah menjadi ilmu pengetahuan yang termasuk dalam kitab-
kitab agama, terutama dalam kitab-kitab ushuluddin.Barang siapa yang membaca kitab-kitab
ushuluddin akan menjumpai didalamnya perkataan-perkataan: Syiah, Khawarij, Qodariah,
Jabariah, Sunny (Ahlussunnah Wal Jamaaah), Asy-Ariah, Maturidiah, dan lainlain.

Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang aliran sunni,Sunni atau Ahlus Sunnah
Wal Jamaah adalah pemeluk Islam mayoritas di dunia. Jumlahnya mencapai 90% sedangkan
Syiah hanya 10% dan terfokus di Republik Islam Iran. Sesuai namanya, Sunni berarti “orang-
orang yang senantiasa menegakkan Islam sesuai dengan Al-Quran dan hadits, sesuai dengan
pemahaman sahabat nabi, tabi’in (sahabat dari sahabat nabi), dan tabi’ut tabi’in (sahabat dari
sahabat dari sahabat nabi).

Jika ditilik lebih dalam, Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan
berpegang teguh dengannya dalam seluruh perkara yang Rasulullah berada di atasnya dan
juga para sahabatnya. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah yang sebenarnya adalah para sahabat
rasul dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Berikut akan kami
paparkan lebih lanjut tentang pemikiran Ahl al-Sunnah wa-Jama'ah/Sunni beserta
perinciannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari aliran sunni ?
2. Bagaimana sejarah lahirnya aliran sunni ?
3. Bagaimana Pemikiran Kalam Sunni

Bab 2
Pembahasan

2.1 Pengertian Aliran Sunni


Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah atau Ahlus-Sunnah wal Jama'ah (Bahasa Arab: ‫السنة أهل‬
‫ )والجماعة‬atau lebih sering disingkat Ahlul-Sunnah (bahasa Arab: ‫ )السنة أهل‬atau Sunni adalah
mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadits yang shahih
dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Sekitar 90% umat Muslim
sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.

Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh
dengannya dalam seluruh perkara yang Rasulullah berada di atasnya dan juga para
sahabatnya. Oleh karena itu Ahlus Sunnah yang sebenarnya adalah para sahabat Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat.

2.2 Sejarah Lahirnya Aliran Sunni

Berawal dari Pertikaian

Perang yang dinamakan perang Shiffin. Dikotomi Syiah dan Sunni tidak pernah ada
sebelum peristiwa tahkim (arbitrase) pada abad ke-1 H, yaitu perundingan damai antara Ali
bin Abi Thalib, yang saat itu menjabat sebagai khalifah ketiga, dengan Muawiyah bin Abi
Sufyan yang mengklaim sebagai khalifah. Kedua sahabat tersebut bertikai, bahkan berperang,
dan menemui titik temu pada peristiwa tahkim itu. Sebagian pengikut Ali tidak sepakat
dengan arbitrase ini. Mereka lalu keluar dari barisan pendukung dan membuat kelompok
tersendiri yang kemudian dikenal dengan nama Khawarij, yang malah balik menentang Ali.

Kaum Khawarij berpandangan bahwa Ali dan Muawiyah telah melanggar hukum Allah
karena telah melakukan tahkim/arbitrase. Oleh karena itu mereka menggembar-gemborkan
semboyan “Laa Hukma illa lillah ,(tiada hukum kecuali hukum Allah)”, dan siapapun
melanggarnya maka mereka boleh untuk dibunuh. Sedangkan sebagian lagi bersikap
sebaliknya: mendukung penuh Ali. Kelompok ini lantas dinamai Syiah, yang artinya “para
pengikut.” Adapun umat Islam yang lain, yang tidak masuk dalam kelompok pendukung
maupun penentang, disebut kelompok Sunni. Khawarij punah seiring zaman, sementara dua
sekte yang lain tetap hidup.

Pada perkembangan selanjutnya, kedua sekte ini mengembangkan perbedaan-perbedaan


mereka kepada ranah teologi (keyakinan), fikih, dan sikap politik. Kaum Sunni sepakat
bahwa para Khalifah Yang Empat (khulafaur-rasyidin) adalah sah, yaitu Abu Bakar, Umar
bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Sementara, beberapa kelompok
Syiah hanya mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Menurut mereka, penerus sah
kepemimpinan Muhammad Saw adalah Ali, lalu diteruskan kepada para imam yang suci dari
kalangan Ahlul Bayt (keluarga Nabi Muhammad Saw). Dalam sejarah politik Islam, Syiah
menjadi oposan (penentang) utama kekhalifahan Dinasti Umayah (abad ke-1 -2 H) yang
Sunni, karena dianggap memusuhi ahlul bayt yang dalam Syiah disucikan dan diagungkan.
Ketika Dinasti Umayah runtuh, Syiah sempat mendapatkan kekuasaan ketika turut serta
mendirikan kekhalifahan Dinasti Abassiyah pada pertengahan abad ke-2 H. Namun, beberapa
lama kemudian, Syiah menjauh lagi dari kekuasaan.

Pada masa kekacauan pemerintahan Abassiyah, salah satu sekte Syiah, yaitu Ismailiyah
(yang paling banyak dipermasalahkan oleh Sunni akibat keyakinannnya yang menyimpang)
menguasai Mesir dan mendirikan kekhalifahan Dinasti Fathimiyah di sana pada 910 M.
Dinasti ini sempat mendirikan sebuah universitas yang terkenal hingga kini, yaitu Universitas
Al-Azhar di Kairo, Mesir. Setelah beberapa kurun, Fathimiyah runtuh dan Al-Azhar diambil
alih oleh Sunni.

Pada awal abad kedua Hijriah muncul pula paham Mu’tazilah yaitu kaum yang dipimpin
oleh Washil bin ‘Atha’ (80-113H) dan Umar bin Ubeid (wafat 145H). Kaum Mu’tazilah ini
mengeluarkan fatwa yang ganjil-ganjil, berlainan dengan i’tiqad Nabi dan sahabat-sahabat
beliau. Di antara fatwa yang ganjil tersebut adalah adanya “manzilah bainal manzilatein”
yaitu ada tempat di antara dua tempat neraka dan surga, bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat,
Al-Quran adalah makhluk, mi’raj Nabi hanya dengan roh saja, bahwa pertimbangan akal
lebih didahulukan dari hadits Nabi, bahwa surga dan neraka akan lenyap dsb.

Sebelum Ahlu as-Sunnah lahir, umat Islam hidup di bawah baying-bayang ekstrimitas
muktazilah sebagai pemuja akal dan ekstrimitas salaf yang sangat tekstualis (bahkan sebagian
dari mereka menolak akal). Kedua kelompok tersebut sempat membingungkan umat Islam.
Apa lagi berbagai pertentangan yang ada tidak sedikit memakan korban. Muktazilah yang
pada waktu itu diuntungkan menjadi mazhab resmi Negara seakan menjadi penguasa.
Sehingga banyak dari para pembesar salaf yang harus berakhir di penjara dengan tuduhan
kesesatan. Hal ini diawali dengan diberlakukannya inkuisisi pada masa al-Makmun yang kian
menambah kebingungan umat.

Pada waktu umat Islam dilanda dilema itulah al-Asy’ari datang mencoba mengakurkan
dengan jalan tengah yang diambilnya. Dari muktazilah, Asy’ari tidak menolak akal dan
menerima takwil. Dan dari Salafi, dia menerima nash-nash sebagai dalil naqli dan petunjuk
kebenaran. Namun, sebenarnya mereka lebih condong pada aliran salafi. Hal ini dapat dilihat
dari dinomer duakannya akal setelah naqal. Atau bisa dikatakan sebenarnya mereka adalah
salafi yang moderat. Aliran inilah nantinya yang akan dikenal dengan Ahlu as-Sunnah Wa
al-Jama’ah di samping pengikut maturidiyah. Karena dalam akidah sunni hanya mengakui
pengikut Asy’ari dan Maturidy.

Penamaan Ahlus Sunnah dikarenakan mereka (Asy’ari dan Maturidi beserta


pengikutnya) banyak memakai Alquran dan hadis dalam melandasi pemndapatnya. Adapun
tambahan Wal Jama’ah dikarenakan mereka yang masih mengakui Atsar sahabat, tabi’in dan
ijma’ para ulama’ sebagai landasan (pegangan) ketika dalam Alquran dan hadis tidak
ditemukan keterangan. Nama ini tidaklah muncul ketika Asy’ariyah dan Maturidiyah lahir.
Tetapi mulai terkenal dan banyak digunakan setelah kedatangan al-Ghazali sebagai salah satu
dari sekian tokoh besar yang mengembangkan paham Asy’ariyah.

Asy’ari yang merupakan salah satu tokoh awal dari Ahlussunnah wal jama’ah awalnya
menganut faham Mu’tazilah sampai berusia 40 tahun. Ia keluar dari Mu’tazilah karena
merasa ragu dengan ajaran Mu’tazilah. Bahkan sebelum akhirnya membentuk golongan
sendiri, Asy’ari sempat melakukan perdebatan dengan gurunya yakni Al Jubba’i tentang
kedudukan orang mukmin, kafir, dan anak kecil kelak di hari kiamat nanti. Dalam perdebatan
itu Al Jubba’i terpaksa diam karena tidak bisa menjawab pertanyaan Asy’ari. Oleh karena itu
kemudian Asy’ari ragu dan mengasingkan diri di rumah selama 15 hari sambil merenungkan
ajaran Mu’tazilah tersebut. Sampai akhirnya setelah melalui proses panjang, dia memutuskan
untuk keluar dari mu’tazilah dan mendirikan mazhab sendiri.

Keputusan Asy’ari untuk mendirikan mazhab sendiri mendapat sambutan baik dari umat
Islam yang pada waktu itu dilanda kebingungan. Asy’ari dengan sikap moderatnya
memberikan jalan keluar di tengah-tengah ekstrimitas muktazilah dan salafiyah. Jalan tengah
memang sering menguntungkan. Namun belum juga mesti diterima semua kalangan.
Buktinya Asy’ari bukannya meredam pertentangan dengan jalan tengahnya, tetapi justru
memperpanjang sejarah aliran-aliran dalam teologi Islam. Tetapi hal ini bukannya berarti
jelek, kedatangannya menjadi penyeimbang dua kubu ekstrim dan menjadi pilihan umat yang
kebingungan. Sehingga tak heran lagi kalau pada akhirnya Asy’ari yang tergabung dalam
aliran Sunni menjadi panutan mayoritas.

Sebenarnya kalau ditelisik lebih dalam, asy’ariyah lebih condong pada salafiyah. Hanya
saja mereka lebih moderat dengan mengakui kemampuan akal. Walaupun kelas akal berada
di bawah naqal (nash) atau di bawah batasan naqal. Dan sebagai aliran dalam masa yang
sama dengan latar belakang masyarakat yang sama, pengaruh muktazilah juga ditemukan.
Pentakwilan ayat dalam kategorinya juga dilakukan. Intinya mereka mencoba mengambil
posisi tengah walaupun sedikit condong ke kanan atau ke kiri dalam perkembangannya.
Dalam sejarahnya, Asy’ari dinyatakan condong pada pemikiran para fuqaha dan ahli hadis,
padahal ia sama sekali tidak mempelajari aqidah berdasarkan metodenya.

Sejarah Sunni dimulai ketika ricuhnya perpolitikan yang mengatasnamakanIslam. Nabi


Muhammad wafat sebelum menunjuk pengganti. Oleh karena itu, terjadikonflik tentang siapa
yang paling pantas menggantikan beliau sebagai khalifah. Setelah ketegangan dan tarik-ulur
selama dua hari sehingga menunda pemakaman jasad Nabi Muhammad, ditunjuklah Abu
Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah.72 Penunjukan initidak memuaskan beberapa kalangan.
Bahkan, kalangan yang mengklaim bahwa Alibin Abi Thalib lebih sah menjadi khalifah
kemudian memisahkan diri dan membentukSyiah.Sementara itu, golongan yang lebih umum,
kemudian disebut Sunni. Golonganini hingga saat ini terbagi dalam empat mahzab berbeda.
Yang perlu dicatat, empatmahzab tersebut tidak menandakan perpecahan. Perbedaan empat
mahzab hanyaterletak pada masalah-masalah yang bersifat “abu-abu”, tidak diterangkan
secara jelasoleh Al-Quran atau hadits seiring dengan kemajuan zaman dan kompleksitas
hidupmuslim.

Empat Imam utama Sunni yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Malik,dan Imam
Ahmad bin Hambal. Mereka sama-sama mengambil ijtihad (upaya) dalammenyelesaikan
masalah yang bersifat “abu-abu”tersebuta adapun empat mahzab Sunni adalah sebagai
berikut:
a. Mahzab Hanafi
Mahzab ini didirikan oleh Imam Abu Hanifah. Mahzab ini diikuti oleh 45%
muslim dunia; jumlah yang paling besar di dunia. Penganut mahzab Hanafi
kebanyakan terletak di Asia Selatan dan Asia Tengah. India, Libanon, dan Pakistan
termasuk negaranegarayang berkiblat pada Imam Abu Hanifah.

b. Mahzab Syafi’i
Mahzab ini didirikan oleh Imam Syafi’i. Jumlah pengikutnya mencapai 28%
muslim dunia. Umat Islam negara kita, Indonesia, dan beberapa negara Asia Tenggara
lainnya (Malaysia, Brunei, Thailand, Singapura) berbasis pada mahzab ini.

c. Mahzab Maliki
Mahzab ini didirikan oleh Imam Malik. Penganutnya tersebar luas di
daerah Afrika Barat dan Utara. Jumlah pengikutnya mencapai 20% muslim.

d. Mahzab Hanbali
Mahzab ini digagas oleh murid Imam Ahmad bin Hanbal. Meskipun hanya
dianut oleh 5% muslim dunia, mahzab inilah yang dipegang oleh negara Arab Saudi.
Yang menarik, Arab Saudi yang didirikan oleh Klan Saud termasuk dalam negara
yang juga berpegang teguh pada sikap eksklusif Wahhabiyah, yang kadang dikaitkan
dengan “terorisme Islam”.

Kemudian daripada itu, dalam peta politik Islam, Sunni adalah kelompok
mayoritas yang selalu memegang supremasi kekuasaan. Pemikiran politik Sunni sering
dijadikan sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan yang sedang berkembang di duniaIslam.
Beberapa tokoh Sunni merumuskan pemikiran politik mereka yang cenderungbersifat
akomodatif terhadap kekuasaan dan pro pada status quo. Pandangan merekayang bersifat
khalifah sentris adalah ciri umum paradigma politik Sunni. Kepala negaraatau khalifah
memegang peranan penting dan memiliki kekuasaan yang sangat luas.Rakyat dituntut untuk
mematuhi kepala negara, bahkan di kalangan sebagian pemikirSunni kadang-kadang sangat
berlebihan. Biasanya mereka mencari dasar legitimasikeistimewaan kepala negara atas
rakyatnya pada Al-Quran dan Hadis Nabi Saw.

Diantaranya yang mereka jadikan landasan adalah surat al-Nisa, 4:59


yangmemerintahkan umat Islam untuk patuh kepada Allah, Rasul-Nya dan ulu al-amr
diantara mereka. Selain itu juga surat al-An`am, 6:165 yang menyatakan bahwa
Allahmenjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di bumi dan melebihkan sebagian atas
yanglain.Keberadaan kelompok Sunni dimulai sejak berakhirnya pemerintahan alKhulafa`al-
Rasyidun. Selain dinamakan Sunni, kelompok ini juga dikenal dengan namaahl al-hadis wa
al-sunnah, ahl al-haqq wa al-sunnah dan ahl al-haqq wa al-din wa aljama`ah.Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa paham Sunni adalah paham yangberpegang teguh pada tradisi salah
satu mazhab dari mazhab yang empat (Hanafi,Maliki, Syafi`i dan Hanbali) dalam bidang
fikih.

Ajaran Abu al-Hasan al-Asy`ari danAbu Manshur al-Maturidi dalam bidang teologi;
ajaran al-Junaid dan al-Ghazali dalam bidang tasauf serta ajaran/pemikiran kelompok
mayoritas ulama seperti al-Mawardi,al-Ghazali serta Ibn Taimiyah dalam bidang politik
(siyasah). Istilah Sunni dikenalpemakaiannya dalam konteks politik dan untuk
membedakannya dengan kelompok-kelompok politik lain seperti Khawarij dan
Syi’ah.Setelah Nabi Saw. wafat terjadi perdebatan di kalangan umat Islam tentangsiapa yang
akan menggantikan beliau sebagai pemimpin umat Islam. Sebelum wafatNabi tidak memilih
dan menunjuk tentang siapa penggantinya kelak. Akhirnya, dalamsebuah pertemuan di
Saqifah Bani Sa`idah, terpilihlah Abu Bakar sebagai penggantiNabi. Setelah itu berturut-turut
terpilih Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan dan Aliibn Abi Thalib sebagai pemimpin
umat Islam. Mereka kemudian dikenal sebagaiKhulafa al-Rasyidin.

Setelah berakhir masa khalifah yang empat tersebut, naiklah Mu`awiyah yang
membangun Dinasti Bani Umaiyah. Namun naiknya Mu`awiyah mendapat tantangan
dari sebagian umat Islam yang mendukung Ali (Syi`ah) dan kelompok sempalan
Khawarij. Akhirnya pada periode awal umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok,
yaitu mayoritas pendukung Mu`awiyah yang kemudian dikenal dengan jamaah (Sunni),
pendukung Ali (Syi`ah dan Khawarij. Dalam perkembangan selanjutnyaSunnilah yang paling
mendominasi peraturan politik Islam.

Sebagai kelompok mayoritas, ciri umum pemikiran politik Sunni ditandai oleh
pandangan mereka tentang hubungan yang integral antara agama dan negara, khalifah
sentris atau kewajiban taat kepada kepala negara, pengutamaan suku Quraisy sebagai
khalifah, penolakan terhadap oposisi dan akomodatif terhadap kekuasaan. Pandangan-
pandangan demikian akhirnya melahirkan prinsip lebih mengutamakan keharmonisan
dalam politik Islam.

Dalam pandangan tentang hubungan yang integral antara agama dan negara,menurut
tokoh Sunni, al-Mawardi, negara dibentuk untuk menggantikan posisi kenabiandalam rangka
memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia. Pelembagaannegara merupakan fardhu
kifayah berdasarkan ijma` ulama. Pandangan al-Mawardi inididasarkan atas realitas sejarah
al-Khulafa’ al-Rasyidun dan khalifah-khalifah sesudahmereka, baik Bani Umaiyah maupun
Bani Abbas, yang merupakan lambang kesatuanpolitik umat Islam. Pandangan al-Mawardi
ini juga sejalan dengan kaidah ushul fiqh mala yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib (suatu
kewajiban tidak sempurna terpenuhikecuali melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat
tersebut juga wajib dipenuhi) artinya, menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah
wajib, maka mendirikannegara sebagai sarana menciptakan kemaslahatan tersebut juga
wajib.Pendapat al-Mawardi di atas juga sejalan dengan pemikiran al-Ghazali.

Menurut al-Ghazali, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup
tanpabantuan orang lain. Di sinilah perlunya mereka hidup bermasyarakat dan
bernegara.Namun demikian, lanjut al-Ghazali, pembentukan negara bukan hanya
untukmemenuhi kebutuhan praktis duniawi, melainkan juga untuk persiapan bagi
kehidupanakhirat kelak. Berdasarkan pandangan di atas al-Ghazali berpendapat
bahwakewajiban pembentukan negara dan pemilihan kepala negara bukanlah
berdasarkanpertimbanga rasio, melainkan berdasarkan kewajiban agama (Syar`i). Hal
inidikarenakan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan akhirat tidak tercapai tanpa
pengamalan dan penghayatan agama secara benar.

Berbeda dengan dua pemikir Sunni di atas, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa
mengatur urusan umat memang merupakan kewajiban agama yang terpenting, tetapi
hal ini tidak berarti pula bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara.80 Ibn Taimiyah
menolak landasan ijma` sebagai alasan pembentukan negara seperti dalam pandanganal-
Mawardi. Ia lebih menggunakan pendekatan sosiologis. Menurut Ibn Taimiyah,kesejahteraan
manusia tidak dapat tercapai kecuali hanya dalam satu tatanan sosial dimana setiap orang
saling bergantung dan membutuhkan antara satu dengan yanglainnya.
Bagi Ibn Taimiyah, penegakan institusi negara bukanlah atas dasar agama,melainkan hanya
kebutuhan praktis saja.Dalam masalah kedua, semua pemikir Sunni yang menjadi objek
penelitian inisepakat tentang pentingnya kepatuhan kepada kepala negara.
Mereka menganggapkepala negara sebagai sosok sentral dalam pemerintahan Islam.
Otoritasnya tidak bolehdigugat dan perintahnya tidak boleh dibantah. Dalam batas-batas
tertentu bahkankepatuhan ini bersifat mutlak.

Al-Mawardi memulai pendapatnya tentang kepatuhan kepada kepala negara


dengan proses pemilihan kepala negara. Menurut al-Mawardi, pemilihan kepala negara harus
memenuhi unsur ahl al-ikhtiyar (orang yang berhak memilih) dan ahl al-imamah(orang yang
berhak menduduki jabatan kepala negara). Unsur pertama harus memenuhikualifikasi adil,
mengetahui dengan baik kandidat kepala negara serta mempunyaiwawasan yang luas dan
kebijakan, sehingga dapat mempertimbangkan hal-hal yangterbaik untuk negara. Kemudian,
calon kepala negara harus memenuhi tujuhpersyaratan, yaitu adil, memiliki ilmu yang
memadai untuk berijtihad, sehat pancaindranya, punya kemampuan menjalankan perintah
agama demi kepentingan rakyat,berani melindungi wilayah kekuasaan Islam, berjuang
memerangi musuh serta berasaldari keturunan Quraisy.

Pemilihan kepala negara ini diawali dengan adanya kontrak antara ahl alikhtiyardan ahl
al-imamah ini. Dari kontrak ini lahirlah hak dan kewajiban secara
timbal balik antara kepala negara sebagai pemegang amanah dan rakyat sebagai
pemberi amanah. Kepala negara wajib menjalankan pemerintahannya dengan baik dan sesuai
dengan ajaran-ajaran agama. Sebagai balasannya, kepala negara berhak
mendapatkan kepatuhan dari rakyat. Di sisi lain, rakyat yang telah memberikan bai`at
mereka atas kepala negara wajib taat kepada kepala negara. Kewajiban taat ini tidak
terbatas hanya untuk kepala negara yang baik dan adil, tetapi juga untuk kepala negara yang
jahat.Al-Mawardi melandaskan pandangannya pada surat al-Nisa’ ayat 49 yangmewajibkan
umat Islam taat kepada Allah, Rasul-Nya dan ulul amri di antara mereka. Selain itu, al-
Mawardi juga mengutip hadis Nabi dari Abu Hurairah, “Kelak akan adapemimpin-pemimpin
kamu sesudahku, baik yang adil maupun yang jahat. Dengarkandan taatilah mereka sesuai
denga kebenaran. Kalau mereka baik, maka kebaikan ituuntuk kamu dan mereka. Jika mereka
jahat, maka akibat baiknya untuk kalian dankejahatannya akan kembali kepada mereka.”
Ibn Taimiyah mengembangkan konsep ahl al-syaukah dalam teori politiknya.
Menurut Ibn Taimiyah, ahl al-syaukah ini merupakan orang-orang yang berasal
dariberbagai kalangan dan kedudukan yang dihormati dalam masyarakat. Ahl al-
syaukahinilah yang memilih kepala negara dan melakukan bai`at yang kemudian diikuti
olehrakyat. Seseorang tidak dapat menjadi kepala negara tanpa dukungan dari ahl
alsyaukah.Al-Ghazali juga merumuskan syarat-syarat kepala negara secara rinci.
Menurutnya, kepala negara harus memenuhi kualifikasi dewasa, otak yang sehat,
merdeka, laki-laki, keturunan Quraisy, memperoleh hidayah dan ilmu pengetahuan
serta wara’. Bagi al-Ghazali, karena kekuasaan kepala negara tidak datang dari rakyat,
seperti pendapat al-Mawardi, tetapi dari Tuhan, maka kekuasaan kepala negara adalah
suci dan tidak boleh dibantah. Kepala negara menempati posisi sentral dalam negara.
Berbeda dengan al-Mawardi dan al-Ghazali yang merumuskan kualifikasi kepala negara
secara rinci, Ibn Taimiyah hanya menetapkan syarat kejujuran (amanah)
dan kewibawaan atau kekuatan (quwwah) bagi seorang kandidat kepala negara dan
tidak memutlakkan suku Quraisy. Indikasi kejujuran seseorang dapat dilihat dari
ketakwaannya kepada Allah, ketidakbersediaannya menjual ayat-ayat Allah demi
kekayaan duniawi dan kepentingan politik praktis serta sikap tidak takutnya kepada manusia
selama ia berasa dalam kebenaran. Untuk mendukung pendapatnya, Ibn
Taimiyah mengutip ayat Al-Quran surat al-Nisa’, 4:58, yang memerintahkan umat
Islam untuk menyerahkan amanah kepada yang berhak menerimanya.
Sementara syarat quwwah memegang peranan penting dalam konsepsi politik
Ibn Taimiyah, karena seorang kepala negara adalah pembimbing dan pengayom
masyarakat. Tugas dan tanggung jawabnya sangat berat dengan otoritas tertinggi yang
diperolehnya dalam masyarakat. Menurutnya, kewajiban kepala negara adalah
menegakkan institusi amar ma`ruf nahy munkar, sehingga hal-hal yang dikehendaki
Allah dapat terwujud dalam kehidupan umat Islam dan hak-hak individu terjamin
dalam masyarakat.

Kelanjutan dari pendapat Ibn Taimyah ini adalah penekanannya terhadap


kepatuhan rakyat pada kepala negara. Memang, sebagaimana halnya al-Mawardi, Ibn
Taimiyah memandang figur kepala negara memegang posisi penting dalam negara.
Sebagai pemimpin umat Islam, kepala negara harus ditaati, bahkan sekalipun zalim.
Menurut Ibn Taimiyah, sebuah masyarakat yang enam puluh tahun dipimpin oleh
kepala negara yang zalim lebih baik daripada masyaralat tanpa negara dan pimpinan,
meskipun hanya semalam. Dari pemikiran tentang kekuasaan kepala negara di atas, ketiga
ulama Sunni inimerumuskan pemikiran bahwa tidak boleh ada oposisi atau perlawanan
terhadapkepala negara. Al-Mawardi menyatakan hadis Nabi, seperti dikutip di atas
untukmendukung pendapatnya bahwa kepala negara bersifat mutlak
kekuasaannya.Melakukan oposisi, meskipun al-Mawardi mengembangkan teori kontrak
sosial, adalahhal yang dilarang. Hal yang sama juga ditegaskan oleh al-Ghazali. Bagi Hujjah
al-Islamini, wajib hukumnya atas rakyat dari tingkat mana pun untuk taat mutlak
kepadakepala negara dan melaksanakan perintahnya.

Larangan oposisi dalam pemikiran politik Sunni klasik ini lebih didasarkan padaakibat
buruk yang mungkin terjadi dalam masyarakat. Sangat mungkin timbul suasanachaos dalam
negara bila rakyat melakukan oposisi terhadap kepela negara. Karena itu,bagi mereka,
menghindarkan kekacauan yang lebih besar merupakan hal yang perludiambil. Lebih baik
dalam suasana pemerintahan yang despotik, umpamanya, namunmasyarakat tidak bergolak,
daripada menolak kepemimpinannya sehingga menimbul gejolak dalam masyarakat. Bagi
ketiga pemikir Sunni ini, kepala negara adalahbayang-bayang Allah di muka bumi.

Pemikiran Kalam Sunni

Sepanjang perjalanan aliranAsy’ariyah maupun Maturidiyah,mereka selalu meletakkan si


kap rasional,tawassuth(moderat) dantasamuh(toleran), karena menyadari bahwa yang
memegang “kebenaranabsolut” hanyalah Allah saja, sedangkan
kebenaran yang diklaimmanusia hanya “kebenaran relatif” sebatas kemampuan akalnya
dalammemahami dan menafsirkan “kebenaran absolut” tersebut,
manusiaharus tetap menyadari keterbatasan dirinya, temasuk keterbatasannyadalam menagka
p dan memahami suatu kebenaran.Dalam membahas tentang pemikiran Kalam Sunni, penulis
hanya memproritaskan pada masalah-masalah
yang banyak menjadi pembicaraan dikalangan Ahli Kalam tetapi hanya
dipahami secara samar-samar dikalangan masyarkat awam, antara lain :

 Tentang ke-Maha Esaan Allah


Dalam kajian teologi Islam, ke-Maha Esaan Allah diakui oleh semuagolongan dan hampir
tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yanglainnya. Yang kemudian
ada perbedaan justruhubungan ke-maha EsaanAllah itu dengan persoalan lain seperti
hubungannya dengan manusia danlain-lain.Dalam istilah Ilmu Kalam, ke-Maha Esaan Allah
mencakup tigamacam, yaitu:

Wahdaniyat adz-Dzat, Wahdaniyat as-Shifat, Wahdaniyat al-Af’al


Nama dan Sifat Allah

Dalam Asy’ariyah maupun Maturidiyah, bahwa Allah itumempunyai sifat-


sifat. Dan sifat-sifat Allah bukan Dzat-Nya, tetapi berada pada Dzat-
Nya. Hanya saja menurut Asy’ariyah sifat-sifatAllah itu dibagi menjadiSifat
DzatiyahyangQadim, Sifat Fi’liyahyang tidak Qadimatau tidak Azali. Sedangkan
Maturidiyah menganggapsemua sifat Allah itu Qadim atau Azali.

Al-Quran Firman Allah

Dalam pemahaman Ahlussunnah, Firman Allah dibedakandalam dua pengertian,


yaitu Kalam Nafsiy(Firman Allah yangabstrak tidak berbentuk) dan Kalam Lafdhiy (Firman
Allah yangditurunkan kepada para Rasul, sudah dalam bentuk huruf atau kata-kata).

Melihat Allah di Akhirat


Baik Asy’ariyah maupun Maturidiyah, sepakat bahwa oarang-orangMukmin mendapat
kesempatan melihat Allah di Akhirat. Dasar Naqlinyaadalah Surat al- Qiyamah ayat 22-
23:“Wajah-wajah orang Mukmin pada hari itu berseri-seri, karenamelihat kepada Tuhannya”.

Tentang Perbuatan Manusia

Asy’ariyah maupun Maturidiyah berpendapat, bahwa perbuatanmanusia itu tidak lebih


dari perbuatan yang diciptakan Allah dandilimpahkan pada manusia sebagai “tempat
perbuatan” tersebut. Teori Asy’ariyah dikenal dengan
al Kasb, sedangkan menurut konsepMaturidiyah, perbuatan manusia terdiri dari dua macam,
yakni perbuatanTuhan dalam bentuk penciptaan daya kemampuan pada diri manusia(kholqu
al-istitho’ati) dan perbuatan menusia dalam bentuk pemakaiandaya tersebut (isti’malu al-
istitho’ati).

Tentang Orang Mukmin yang Berbuat Dosa Besar

Kaum Sunni berpendapat bahwa orang Mulmin yang melakukandosa


besar kemudian meninggal sebelum melakukan tobat, makahukumnya terserah
kepada Allah. Tetapi orang tersebut termasuk fasiq,tapi tidak kekal didalam neraka karena
masih memiliki iman. Pendapat ini berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 48
dan116 :“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan diamengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yangdikehendaki-Nya...”

Tentang Kenabian dan Kewalian

Dikalangan Kaum Sunni, meyakini bahwa setelah NabiMuhammad tidak ada Nabi lagi,
karena Beliau adalah Nabi Terakhir.Seperti Firman Allah dalam Surat al- Ahzab ayat 40
:"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi".Termasuk sifat para Nabi adalah ‘Ishmat al-
Anbiya’ (keterjagaan para Nabi dari dosa). Dalam teologi Ahlussunnah wa al-Jama’ah,
yangmemperoleh hak “ishmah” atau “ma’shum” itu hanya para Nabi atauRasul saja,
danmanusia lain tidak ada yang ma’shum, termasuk para wali, paa Imam dan ulama maupun
para Sahabat. Tetapi ada perbedaan pendatantara Asy’ariyah dan Maturidiyah, yaitu tentang
kemungkinan seorang Nabi atau Rasul pernah berbuat dosa kecil (maksiat ringan).
Asy’ariyahmemandang hal tersebut bisa saja terjadi, tetapi Maturidiyah menolak pendapat
tersebut, andai ada seorang Nabi yang pernah melakukan dosakecil, maka itu terjadi sebelum
menjadi Nabi atau Rasul.

Selain para Nabi, menurut Kaum Sunni ada sekelompok orang yangmendapat
perlindungan dari Allah dari berbuat maksiat meskipun tidak seperti para Nabi, mereka
adalah “Auliya”. Para Wali itu tidak ma’shumseperti para Nabi atau Rasul, tetapi mereka itu
dijaga (mahfudh) dari perbuatan maksiat secara sengaja dan terus-menerus (tanpa
melakukantobat dengan segera), meskipun mereka itu dapat saja melakukankekeliruan atau
kesalahan ringan.perbuatan maksiat secara sengaja dan terus-menerus (tanpa melakukantobat
dengan segera), meskipun mereka itu dapat saja melakukankekeliruan atau kesalahan ringan.

Tentang Mukjizat dan Karomah

Ahlussunnah wa al-Jama’ah meyakini bahwa semua peristiwa dankejadian yang ada di


dunia ini karena Kehendak dan Kekuasaan Allah.Tetapi secara prosedural tidak selalu sama,
ada yang biasa berjalan sesuaidengan “Sunnatullah”, berlaku kapan dan dimana saja. Dan ada
yang tidak biasa atau luar biasa, menyimpang dari jalur kebiasaan (khariqul‘aadah),
berdasarkan Dekrit Allah atau degan kata lain“Amrullah”.Singkat kata, menurut penulis,
mukjizat Nabi dan karomah Wali,yang dianggap sebagian orang sebagai khariqul‘aadah,
adalah Amrullah, bukanSunnatullah.

Peristiwa itu tentu tidak berlaku umum, tetapi sangat khusus sesuai dengan Kehendak
Allahsendiri, karena ada tujuan-tujuan khusus pula.Fungsi mukjizat bagi para Nabi adalah
untuk membuktikankebenaran da’wahnya. Oleh karena itu, harus
ditampilkan dihadapan publik (masyarakat luas). Sedangkan fungsi karomah bagi para Wali
yaituuntuk menunjukkan kebenaran sikap dan peilaku mereka. Namun paraWali tidak harus
menampilakn karomahnya kepada publik, selain itukaromah bukan untuk menantang pihak
lain yang tidak mempercayainya,malah banyak para Wali yang berusaha menutupi
karomahnya, karenakhawatir menimbulkan fitnah.

Tentang Kepemimpinan Umat

Secara terang-terangan Kaum Sunni mengakui danmembenarkan kepemimpinan


Khulafa’ur Rasyidin, yakni Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan,dan
Ali bin Abi Thalib r. anhum. Meskipun model dan proses pengangkatannya berbeda-
beda,tetapi masih dalam bingkai konsep ikhtiar atau ijtihad.

Tentang Metafisika dan Keakhiratan

Dalam teologi Ahlussunnah,banyak masalah ghoib (metafisika)ini yang wajib diimani


dan diyakini kebeadaannya, seperti masalah : Ruhyang mempunyai sifat keabadian, dalam
arti tidak ikut mati bersama jasadnya, Alam Barzakh(alam transisi). Pertanyaan malaikat
Munkar danNakir,Siksa Kubur,Nikmat Kubur,Hari Kiamat, Hari Ba’ats,Hari Mahsyar,
adanyaHisab,Suhuf atauKitab(catatan amal),Mizan(neraca),Shirat,Syafa’at,SurgadanNeraka.
Dan masih ada hal-hal lain,sepertiMalaikat,Bidadari dan Haudl (telaga kehidupan surga) dan
lainsebagainya yang wajib bagi kita mengimani dan meyakini adanya itusemua.

Tambahan Materi
Sejarah al-ahzab ayat 40 :
Menurut quran kita setelah nabi muhammad tidak ada lagi nabi lainnya, namun diajaran
ahmadiyah diyakini masih ada rasul setelah nabi muhammad namanya mirza ghulam ahmad.
Apakah benar atau salah hal tersebut ?
Jawab :

‫ّللاَّ ِ َر س ُ و َل َو َٰل َ ِك ن ِر َج ا لِ ك ُ م ِم ن أ َ َح د أ َب َ ا ُم َح َّم د كَ ا َن َم ا‬


ِ ُ ‫عَ لِ ي ًم ا شَي ء ب ِ ك‬
‫ل ّللاَّ ُ َو كَ ا َن ۗ ال ن َّ ب ِ ي ِ ي َن َو َخ ا ت َ َم‬
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Mirza terlahir dalam keluarga Ilam. Buku-buku pada wal ia menulis menganduk keyakinan yang sama
dengan sesama Islam Sunni. Namun dengan berjalannya waktu, kepercayaannya mengalami
perubahan dramatis dan tulisan-tulisannya menjadi semakin mengarah ke BID’AH dan sangat tidak
Islami. Namun demikian dalam usaha membuktikan bahwa Mirza Ghulam besrta jemaat Ahmadi
adalah juga Muslim Sunni, literatur-literatur propaganda Gerakan Ahmadiyyah biasanya mengutip
buku-buku yang diterbitkan terdahulu. Jemaat Ahmadi kebanyakan akan berbicara mengenai Kitab
suci Al Quran dan Hadist-hadist yang menaruh Mirza Ghulam Ahmad dalam posisi senagai latar
belakang dan biasanya mempresentasikannya sebagai Reformer atau Mujaddid atau Mahdi atau
Messiah, tergantung pada jenis dan masa orang yang menjadi sasaran dakwahnya. Klaim Mirza
Ghulam Ahmad tentang kenabian tidak dibicarakan.
JADI MENURUT SAYA INI ADALAH SALAH, KARENA TIDAK ADA LAGI
NABI PENUTUP LAIN SELAIN NABI MUHAMMAD SAW

Pertanyaan ke-2 :
Penjelasan bahwa siksa kubur itu tidak ada

‫اّللِ َو ُكنت ُ ْم أ َ ْم َواتا ً فَأ َ ْحيَا ُك ْم ث ُ َم‬


َ ‫ون ِب‬ َ ‫ْف ت َ ْكفُ ُر‬ َ ‫َكي‬
َ ُ‫يُ ِميت ُ ُك ْم ث ُ َم يُ ْح ِيي ُك ْم ث ُ َم ِإلَ ْي ِه ت ُ ْر َجع‬
‫ون‬
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan
kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepadaNya-lah
kamu dikembalikan?” (QS Al-Baqarah [2]: 28)

BUKTINYA ADALAH PERNYATAAN SURAT DIATAS, BAHWA “MATI 2 KALI HIDUP 2


KALI (MATI HIDUP MATI HIDUP) , Jika ada siksa kubur maka jadinya mati 3 kali dan
hidup 3 kali. Ini bertentangan dengan yang tertulis di quran
KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai