Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH Studi Agama Kontemporer

“SEKULARISME”
Dosen Pengampu :
Arif Firman Sth.I. ,MA.

Disusun Oleh:
Melisa Septiani

Mahasiswa Jurusan Komunikasi Bisnis


Sekolah Tinggi Islam Institut Publisistik Thawalib
Tahun Ajaran 2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Perkembangan Islam sejak di wahyukannya sampai saat sekarang ini, telah


memunculkan berbagai istilah termasuk sekularisme. Istilah ini sebelumnya tidak di kenal
dalam Islam, karena Islam tidak mengenal polarisasi dalam kehidupan. Islam adalah ajaran
agama yang multi dimensi dengan ijtihad sebagai prinsip gerakannya.

Istilah ”sekular, sekularisme, sekularis” untuk mengkaji orientasi ideologi gerakan


Islam merupakan istilah yang masih kabur. Penggunaan masih kurang sesuai dengan
maknanya, telah membuat para ilmuan Islam menolak untuk menggunakan konsep ini terkait
dengan agama Islam. Mereka yang menolak penggunaan konsep ini mendasarkan pada
perbedaan pengalaman sejarah dan budaya Eropa (asal istilah ini muncul) dengan dunia
Islam. Banyak ilmuan politik dan sosiologi mengatakan bahwa istilah sekularisme dan
sekularisasi hanya bisa dipakai untuk menjelaskan keunikan sejarah Barat, dan karena itu
seharusnya tidak diperluas ke kawasan non-Barat.

Hal ini karena masyarakat Muslim tidak memiliki pengalaman langsung berkaitan
dengan Renaissance, Reformasi, Revolusi industri, atau pencerahan. Dalam Islam tidak ada
gerakan yang mempersoalkan dasar-dasar ajaran pokok Islam dari dalam sebagaimana yang
dilakukan oleh Martin Luther dalam agama Kristen. akar sejarahnya sekularisme, semula
muncul di yunani, dan Romawi kuno serta agama-agama di timur jauh yang percaya adanya
kepada Dewa.

Pada waktu itu para ilmuwan tidak berkutik menghadapi pengaruh gereja yang cukup
dominan. Atas dasar itu, maka sekularisme dianggap sebagai ajaran yang tidak mempunyai
landasan yang kuat dalam Islam, baik dalam konsep maupun gerakannya. Pada
perkembangan selanjutnya sekularisme semakin rumit (rigit) bahkan menjadi perdebatan
(discourse) di kalangan kaum muslimin Karena itu pengetahuan tentang sekularisme baik
berkenaan latar belakang munculnya essensinya, perlu dipahami oleh kaum muslimin
khususnya para ilmuwan dan tokoh-tokohnya agar tidak terjebak dalam sekularisme atau
sekularisasi.
1.2 RUMUSAN MASALAH & TUJUAN PERMASALAHAN :

MENGETAHUI LEBIH DALAM MENGENAI SEKULARISME DAN


SEJARAHNYA

BAB II
PEMBAHASAN

Sekularisme, sekulerisme, atau sekuler saja dalam penggunaan masa kini secara
garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan
negara harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat
menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan
menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak
mengatasnamakan sebuah agama tertentu. Sekularisme juga merujuk ke pada anggapan
bahwa aktivitas dan penentuan manusia, terutamanya yang politis, harus didasarkan pada apa
yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan.

Sekularisme adalah aliran atau sistem doktrin dan praktik yang menolak segala bentuk
yang diimani dan diagungkan oleh agama; atau pandangan bahwa masalah keagamaan
(ukhrawi/surgawi) harus terpisah sama sekali dari masalah kenegaraan (urusan duniawi).
Secara etimologis istilah "sekuler" berasal dari bahasa Latin, saeculum, yang bermakna
ganda, yakni "ruang" dan "waktu". Istilah "ruang" menunjuk pada pengertian "dunia" atau
"duniawi", sedangkan "waktu" pada pengertian "sekarang" atau "kini". Kata "sekuler"
berkembang menjadi sebuah istilah yang diartikan sebagai bersifat duniawi atau kebendaan,
bukan bersifat keagamaan atau kerohanian. Bahasa Arab untuk "sekuler" adalah 'ilmaniyyah,
suatu kata yang berakar dari kata 'ilm yang berarti "ilmu pengetahuan" atau "sains".
Dari kata "sekuler" muncul istilah "sekularisasi" yang antara lain mengandung arti
"proses melepaskan diri dari ikatan keagamaan." Sekularisasi dapat juga diartikan sebagai
pemisahan antara urusan kenegaraan dan urusan keagamaan, atau pemisahan antara urusan
duniawi dan ukhrawi (akhirat). Dari kata "sekuler" juga muncul istilah "sekularisme", yang
diperkenalkan pertama kali oleh filsuf George Jacob Holyoake pada tahun 1846. Menurutnya,
sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah, terlepas
dari agama wahyu atau supernaturalisme. Definisi lain dari sekularisme dikemukakan oleh A
Hornby (ahli bahasa berkebangsaan Amerika). Menurutnya, sekularisme adalah suat
pandangan bahwa pengaruh lembaga keagamaan harus dikurangi sejauh mungkin dan bahwa
moral dan pendidikan harus dipisahkan dari agama.

Akar historis dari konsep sekularisme tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kristen di
dunia Barat. Di Barat pada abad modern telah terjadi proses pemisahan antara hal-hal yang
menyangkut masalah agama dan nonagama (bidang sekuler) yang diawali dengan
ketidakserasian antara hasil penemuan sains atau ilmu pengetahuan di satu pihak dan dogma
Kristen di pihak lain. Di dunia Islam, istilah "sekuler" pertama kali dipopulerkan oleh Zia
Gokalp (1875-1924), sosiolog terkemuka dan politikus nasionalis Turki. Dalam rangka
pemisahan antara kekuasaan spiritual khalifah dan kekuasaan duniawi sultan di Turki Usmani
(Kerajaan Ottoman) pada masa itu. Ia mengemukakan perlunya pemisahan
antara diyanet (masalah ibadah serta keyakinan) dan muamalah (hubungan sosial manusia).

Sebuah masa baru muncul di eropa yaitu renaissance. Renaissance mencapai masa
puncaknya kurang lebih pada tahun 1500-an di eropa. Pada masa ini eropa menjadi cerah
dengan pandangan-pandangan barunya. Bebas berpikir dan mengkritisi pandangan dogmatis
adalah cirinya. Terbukti dengan semakin pesat dan majunya berbagai bidang
kehidupan. Khusus pada ilmu pengetahuan ilmuwan kalangan barat melakukan penemuan-
penemuan yang membuka mata dunia. Dibalik kemajuan eropa yang pesat pada sifat materil,
tetapi mulai mengalami kemunduran pada sifat ukhrawi karena membelakangi wahyu Tuhan.
Pandangan Protagoras sepertinya menjadi ruh dalam pemikiran pembaharuan ini yaitu “man
is the measure of all things”. Segala sesuatu dinilai berdasarkan pada sudut pandang manusia,
termasuk didalamnya nilai kebenaran. Segala sesuatu dinilai kembali pada rasionalitas, bila
sesuatu masuk dalam logika dan tanpa adanya dogma, maka hal itu bisa diterima.
Pada zaman renaissance mulai berkembangan penafsiran bible di barat dengan metode
hermeneutika, dimana bible ditafsirkan dengan pendekatan ragu-ragu pada wahyu Tuhan
yang datang pada mereka. Wahyu tersebut dikritisi dan dilakukan tafsiran dengan perubahan
berkesinambungan pada setiap waktu menyesuaikan zaman, yang pada akhirnya akan
menghasilkan banyak sekali versi bible yang ada di masyarakat.

Seiring dengan majunya kehidupan dunia barat, nilai paham baru muncul ditengah-
tengah orang eropa, yang merupakan perkembangan dari kelanjutan kebebasan
berpikir renaissance, ialah sekularisme. Sekularisme merupakan jawaban atas mundurnya
kehidupan barat atas dogma yang mengikat. Sifat sekularisme yang memisahkan antara
kehidupan duniawi dengan ruhani membuat negara barat memisahkan sistem pemerintahan,
ilmu pengetahuan, dan entitas lainnya dengan dogma agama karena dianggap mengungkung
kebebasan berpikir. Agama dalam pandangan sekuler adalah milik kehidupan diri sendiri
saja, tidak perlu dibawa-bawa dalam interaksi di ruang publik.

Pengertian sekularisme dalam pandangan ulama dan ilmuwan Islam sangat beragam. Sayid
Qutub (filsuf Muslim dari Mesir, 1906-1966) mendefinisikannya sebagai pembangunan
struktur kehidupan tanpa dasar agama. Karena itu, sekularisme bertentangan dengan Islam,
bahkan merupakan musuh Islam yang paling berbahaya.

Pandangan Qutub didukung oleh Altaf Gauhar (filsuf Muslim kontemporer dari Mesir) yang
menyatakan bahwa sekularisme dan Islam tidak mempunyai tempat berpijak yang sama.
Esensi Islam berantitesis terhadap sekularisme.

Pandangan lain tentang sekularisme dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas,
yang menunjuk pada suatu ideologi atau paham yang menidakkeramatkan (desakralisasi)
alam dan politik. Ia menjelaskan bahwa Islam tidaklah sama dengan Kristen. Karena itu,
sekularisasi yang terjadi pada masyarakat Kristen Barat tidaklah sama dengan apa yang
terjadi pada masyarakat Muslim. Akan tetapi, Naquib mengingatkan bahwa kita harus
melihat sekularisasi tidak hanya terbatas pada dunia Barat. Pengalaman mereka atas hal itu
dan sikap mereka terhadapnya sangat berguna untuk dipelajari kaum Muslim di seluruh
dunia.
Tentang pandangan Islam terhadap sekularisme, Naquib al-Attas dengan tegas
menyatakan bahwa pada dasarnya Islam menolak segala bentuk sekularisme. Bahkan, Islam
secara total menolak penerapan apa pun mengenai konsep-konsep sekuler, sekularisasi,
maupun sekularisme, karena semuanya itu bukanlah milik Islam dan berlawanan dengannya
dalam segala hal. Naquib mengemukakan alasannya bahwa Islam adalah agama yang
lengkap, sempurna, dan sesuai dengan kondisi manusia sejak awal. Karena itu, agama Islam
tidak membutuhkan "perkembangan" atau "perubahan" lebih lanjut.

Menurutnya, sekularisasi adalah suatu proses penduniawian yang dalam pengertian ini
peletakan peranan utama pada ilmu pengtahuan. Karena itu, sekularisasi adalah pengakuan
wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi, dan
ilmu pengetahuan itu sendiri terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaannya.
Umat Islam hendaknya memberikan perhatian yang wajar kepada aspek duniawi kehidupan
ini. Meskipun demikian, sekularisasi bukanlah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme,
yang merupakan suatu ideologi yang bersifat tertutup, melainkan justru dimaksudkan sebagai
Islamisasi atau pentauhidan.

Jadi secara umum sekularisme adalah paham yang berpandangan bahwa agama tidak
berurusan dengan persoalan ke duniaan yaitu persoalan politik dan sosial budaya. Agama
cukup bergelut dengan ritual keagamaan. Dengan mendasarkan standar etika dan tingkah laku
pada referensi kehidupan sekarang dan kesejahteraan sosial tanpa merujuk pada agama. Atas
dasar itu islam menentang sekularisasi karena islam tidak memiliki potensi sama sekali
terjadinya proses sekularisasi. Pernyataan ini didukung oleh para ilmuwan islam yang
tergabung di dalamnya para teolog (mutakallim), mufassirin, muhaddisin, filosof islam,
sejarawan dan lain-lain, walaupun mereka cendrung (fokus) pada bidang-bidang tertentu
dalam kajian agama islam.

Fazlur Rahman mengatakan bahwa sekularisme dalam Islam adalah penerimaan


hukum dan institusi sosial serta politik selain Islam dalam kehidupan umum. Walaupun
karena itu, jatuhnya modrenisme kedalam sekularisme jauh lebih buruk dari pada
penyimpangan teologi kristen di abad pertengahan karena menghangcurkan nilai universalitas
seperti yang di pertontonkan masyarakat oleh masyarakat barat (eropa).
Alah hidup barat adalah positifis, pragmatis materialistik dan hedonis dengan menafikkan
hal-hal yang bersifat metafisik, abstrack, Keilahian.

Dari uraian/pembahasan yang dipaparkan di atas dapat dipahami bahwa ide


sekularisme pada mulanya muncul dari Eropa yang didorong oleh falsafat yang dianutnya
yaitu positifisme, eksistensialisme, pragmatisme serta fenomenologi yang merupakan bias
dari filsafat yunani kuno yang mereka maknai sebagai suatu metode impestigasi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan segala penerapannya. Walaupun
diantara mereka (pemikir Barat) cendrung mempercayai Tuhan, dan Tuhan tidak
dikonsepsikan sebagai ateisme, namun tuhan itu tidak terjangkau oleh akal dan Tuhan tidak
mempengaruhi prilaku manusia. Karena itu sekularisme dalam prakteknya hanya cendrung
terhadap masalahmasalah realitas kehidupan dunia dan mengeyampingkan persoalan
kerohanian spritual dan kehidupan akhirat yang merupakan bagian dari doktrin keagamaan.

Sekularisme dalam kehidupan bernegara

Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama
dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara
pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan
menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang
demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.
Sekularisme, seringkali dikaitkan dengan Era Pencerahan di Eropa, dan memainkan peranan
utama dalam perdaban barat. Prinsip utama Pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat,
dan Laisisme di Perancis, didasarkan dari sekularisme.

Kebanyakan agama menerima hukum-hukum utama dari masyarakat yang demokratis


namun mungkin masih akan mencoba untuk memengaruhi keputusan politik, meraih sebuah
keistimewaan khusus atau. Aliran agama yang lebih fundamentalis menentang sekularisme.
Penentangan yang paling kentara muncul dari Kristen Fundamentalis dan juga Islam
Fundamentalis. Pada saat yang sama dukungan akan sekularisme datang dari minoritas
keagamaan yang memandang sekularisme politik dalam pemerintahan sebagai hal yang
penting untuk menjaga persamaan hak.
Negara-negara yang umumnya dikenal sebagai sekuler di antaranya
adalah Kanada, India, Perancis, Turki, dan Korea Selatan, walaupun tidak ada dari negara ini
yang bentuk pemerintahannya sama satu dengan yang lainnya.

Masyarakat Sekuler

Dalam kajian keagamaan, masyarakat dunia barat pada umumnya dianggap sebagai
sekuler. Hal ini dikarenakan kebebasan beragama yang hampir penuh tanpa sanksi legal atau
sosial, dan juga karena kepercayaan umum bahwa agama tidak dapat menentukan keputusan
politis. Tentu saja, pandangan moral yang muncul dari tradisi keagamaan tetap penting di
dalam sebagian dari negara-negara ini. Sekularisme juga dapat berarti ideologi sosial. Di sini
kepercayaan keagamaan atau supranatural tidak dianggap sebagai kunci penting dalam
memahami dunia, dan oleh karena itu dipisahkan dari masalah-masalah pemerintahan dan
pengambilan keputusan.

Sekularisme tidak dengan sendirinya adalah Ateisme, banyak para Sekularis adalah
seorang yang religius dan para Ateis yang menerima pengaruh dari agama dalam
pemerintahan atau masyarakat. Sekularime adalah komponen penting dalam
ideologi Humanisme Sekuler. Beberapa masyarakat menjadi semakin sekuler secara alamiah
sebagai akibat dari proses sosial alih-alih karena pengaruh gerakan sekuler, hal seperti ini
dikenal sebagai Sekularisasi

Alasan-alasan pendukungan dan penentangan sekularisme

Pendukung sekularisme menyatakan bahwa meningkatnya pengaruh sekularisme dan


menurunnya pengaruh agama di dalam negara tersekularisasi adalah hasil yang tak terelakkan
dari Pencerahan yang karenanya orang-orang mulai beralih kepada ilmu
pengetahuan dan rasionalisme dan menjauhi takhayul. Namun hal tersebut juga menjaga
persamaan hak-hak sipil dalam kebebasan memeluk suatu kepercayaan dan berkeyakinan
baik individu ataupun kelompok, dengan kata lain sekularisme justru menjadi ideologi yang
mendukung kebebasan beragama tanpa ada agama superior yang dapat mefonis kepercayaan
lain adalah salah dan sesat dan mendaat konsekwensi hukum.

Penentang sekularisme melihat pandangan di atas sebagai arogan, mereka membantah


bahwa pemerintaan sekuler menciptakan lebih banyak masalah daripada menyelesaikannya,
dan bahwa pemerintahan dengan etos keagamaan adalah lebih baik. Penentang dari golongan
Kristiani juga menunjukkan bahwa negara Kristen dapat memberi lebih banyak kebebasan
beragama daripada yang sekuler. Seperti contohnya, mereka
menukil Norwegia, Islandia, Finlandia, dan Denmark, yang kesemuanya mempunyai
hubungan konstitusional antara gereja dengan negara namun mereka juga dikenal lebih
progresif dan liberal dibandingkan negara tanpa hubungan seperti itu. Seperti contohnya,
Islandia adalah termasuk dari negara-negara pertama yang melegal kan aborsi, dan
pemerintahan Finlandia menyediakan dana untuk pembangunan masjid.

Namun pendukung dari sekularisme juga menunjukkan bahwa negara-


negara Skandinavia di atas terlepas dari hubungan pemerintahannya dengan agama, secara
sosial adalah termasuk negara yang palng sekuler di dunia, ditunjukkan dengan rendahnya
persentase mereka yang menjunjung kepercayaan beragama.

Komentator modern mengkritik sekularisme dengan mengacaukannya sebagai sebuah


ideologi antiagama, ateis, atau bahkan satanis. Kata Sekularisme itu sendiri biasanya
dimengerti secara peyoratif oleh kalangan konservatif. Walaupun tujuan utama dari negara
sekuler adalah untuk mencapai kenetralan di dalam agama.

Beberapa filsafat politik seperti Marxisme, biasanya mendukung bahwasanya


pengaruh agama di dalam negara dan masyarakat adalah hal yang negatif. Di dalam negara
yang mempunyai kepercayaan seperti itu (seperti negara Blok Komunis), institusi keagamaan
menjadi subjek di bawah negara sekuler. Kebebasan untuk beribadah dihalang-halangi dan
dibatasi, dan ajaran gereja juga diawasi agar selalu sejalan dengan hukum sekuler atau
bahkan filsafat umum yang resmi. Dalam demokrasi barat, diakui bahwa kebijakan seperti ini
melanggar kebebasan beragama.
Beberapa sekularis menginginkan negara mendorong majunya agama (seperti
pembebasan dari pajak, atau menyediakan dana untuk pendidikan dan pendermaan) tetapi
bersikeras agar negara tidak menetapkan sebuah agama sebagai agama negara, mewajibkan
ketaatan beragama atau melegislasikan akaid. Pada masalah pajak Liberalisme
klasik menyatakan bahwa negara tidak dapat "membebaskan" institusi beragama dari pajak
karena pada dasarnya negara tidak mempunyai kewenangan untuk memajak atau mengatu
agama. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kewenangan duniawi dan kewenangan
beragama bekerja pada ranahnya sendiri-sendiri dan ketka mereka tumpang tindih seperti
dalam isu nilai moral, kedua- duanya tidak boleh mengambil kewenangan namun hendaknya
menawarkan sebuah kerangka yang dengannya masyarakat dapat bekerja tanpa menundukkan
agama di bawah negara atau sebaliknya.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Sesungguhnya esensi seluruh agama, khususnya agama wahyu tidak mengenal


polarisasi sistem kehidupan antara dunia dan akhirat, sebab essensinya adalah tauhid dan
moral, dalam arti moral yang merupakan implementasi dari tauhid (monoteisme) tersebut.
Akan tetapi interpretasi tauhid dan moral yang dipersepsi oleh manusia dalam berbagai
sistem kultur dan budaya manusia dalam batas-batas tertentu adalah beragam, Meskipun
diakui akan adanya nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, kebijakan, serta kearifan yang berlaku
universal. Kendala yang menghadang, berkaitan dengan isu sekulerisme ataupun
sekulerisasinya diera kontemporer, dapat diatasi jika pendekatan yang berbasis kearifan lokal
dengan kearifan universal dapat diintegrasikan sesuai dengan semangat Al-Qur’an dan Hadis
serta pendapat ulama-ulama muktabar yang di sesuaikan dengan semangat kemajuan zaman.

Dalam kaitan ini ijtihad sebagai prinsip gerakan Islam, mempunyai peranan penting
dalam mengimplementasikan ajaran agama Islam terhadap semua dimensi kehidupan
ummatnya, guna menghindari paham sekuler dan sekularisasi. Selama suatu gerakan Islam
mempunyai landasan ideologi yang benar berlandasan al-Qur’an dan Hadis, maka hal itu
dapat di maknai sebagai sebuah dinamika Islam dan tidak bisa distigma sebagai sekularisme
atau sekularisasi.

Dengan jalan itu, ide sekularisme dapat di atasi. Jika tidak imbasnya sangat fatal
dengan munculnya sekularisasi di berbagai bidang kehidupan yang serba liberal seperti
ekonomi liberal/kapitalis, demokrasi politik liberal yang bebas nilai dan menghalalkan segala
cara yang seterusnya meramba kesektor lain seperti pendidikan sekuler, sistem sosial budaya
sekuler yang semuanya lepas dari kendali nilai-nilai agama yang ujung-ujungnya membawa
ketimpangan dan menyengsarakan ummat manusia. Sementara agama sebagai kebenaran
yang absolute, multi aspek, sesuai fitrah manusia, sesuai perkembangan zaman serta
membawa rahmat bagi alam semesta jusrtu di kesampingkan.

Anda mungkin juga menyukai