Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HADIST ARBAIN
MENOLAK KEMUNKARAN DAN BID’AH

DISUSUN OLEH :

NAMA : MUHAMMAD KHOERUL FIQI (14174436)

TAUFIK KUROHMAN S

KELOMPOK : 5

KELAS : E/KM/IV

KONSENTRASI MANAJEMEN RUMAH SAKIT

PRODI KESEHATAN MASYARAKAT

STIKES SURYA GLOBAL

YOGYAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala
rahmat, taufiq, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas
makalah hadist arbain yang mengenai menolak kemungkaran dan bid’ah.
Terselesainya makalah ini tidak lepas dari petunjuk dan bimbingan serta bantuan dari
berbagai pihak yang diberikan kepada penulis. Untuk itu selayaknya penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak terutama kepada teman-teman dan keluarga.
Penulis sangat menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak. Tentunya dalam
penulisan makalah ini masih ada kekurangan, demi kesempurnaan makalah ini, penulis bersedia
mendapat kritikan dan saran dari semua pihak. Akan tetapi, penulis berharap agar makalah ini
bermanfaat bagi pembaca yang membacanya.

Yogyakarta, 3 april 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ......................................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ..................................................................................................... 1
C. TUJUAN PEMBUATAN .................................................................................................... 1
BAB II............................................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 2
A. MENOLAK KEMUNKARAN DAN BID’AH ................................................................... 2
B. BIOGRAFI PERAWI HADITS ........................................................................................... 2
C. TAKHRIJUL-HADITS........................................................................................................ 3
D. AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS) ............................................................. 3
E. FIQHUL HADITS (KANDUNGAN HADITS) ..................................................................... 4
F. FAWAIDUL HADITS (MANFAAT HADITS)................................................................... 10
BAB III ......................................................................................................................................... 11
PENUTUP..................................................................................................................................... 11
A. KESIMPULAN .................................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 12

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hadits Arba’in Nawawiyah adalah kumpulan 42 hadits Nabi saw yang dikumpulkan oleh
Imam Nawawi ra. dan merupakan kitab yang tidak asing bagi kita umat Islam, bukan hanya di
Indonesia namun di seluruh dunia. Umat Islam mengenalnya dan akrab dengannya, karena
banyak dibahas oleh para ulama dan menjadi rujukan dalam menyebarkan ajaran Islam kepada
kaum muslimin berkaitan dengan kehidupan beragama, ibadah, muamalah dan syariah.

Mungkin Imam Nawawi dalam mengumpulkan hadits-hadits ini ter inspirasi dengan
hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Ali, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin
Jabal, Abi Darda, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Khudhri
–semoga Allah meridhai mereka semua- dari berbagai metode periwayatan- bahwa Rasulullah
saw bersabda, “Barangsiapa yang menghafal dari umatku 40 hadits –yang berisi di dalamnya-
akan perkara agamanya, maka Allah akan membangkitkannya di hari kiamat nanti bersama
golongan para fuqaha dan ulama”. Dalam riwayat lain disebutkan, “Allah akan
membangkitkannya sebagai seorang faqih dan alim”. Dan dalam riwayat Abu Darda, “Aku pada
hari kiamat akan menjadi pemberi syafaat dan saksi“. Dan dalam riwayat Ibnu Mas’ud,
“Dikatakan kepadanya: Masuklah kamu pada pintu mana yang kamu suka”. Dan dalam riwayat
Ibnu Umar, “Akan ditulis bersama golongan para ulama dan dibangkitkan bersama para
syuhada”.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Lafadz Hadist Arbain Ke 5 Beserta Artinya ?
2. Bagaimana Penjelasan Hadist Arbain Ke 5 ?
3. Apa Faedah Hadist Arbain Ke 5?
4. Apa Manfaat Hadist Arbain Ke 5?

C. TUJUAN PEMBUATAN
1. Mengetahui Penjelasan Hadist Arbain Ke 5
2. Mengetahui Manfaat Dari Hadist Arbain Ke 5
3. Meneyelesaikan Tugas Yang Telah Di Berikan

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. MENOLAK KEMUNKARAN DAN BID’AH

Diriwayatkan dari Ummul-Mu’minin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah x ia berkata: Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam
perkara (ibadah) yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia ditolak”. (HR al Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits riwayat Muslim: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
melakukan amalan, yang tidak didasari perintah kami, maka ia ditolak”.

B. BIOGRAFI PERAWI HADITS


Beliau adalah Ummul-Mu’minin, ‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhuma,
isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinikahi di Mekkah pada saat berusia enam tahun.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup bersamanya di Madinah ketika ia berusia sembilan tahun, yaitu
pada tahun kedua Hijriyyah dan beliau tidak menikah dengan gadis selainnya.
Dia adalah isteri yang paling dicintai di antara isteri-isteri beliau yang lainnya. Dia adalah
wanita yang dibebaskan oleh Allah dari berita bohong yang menimpanya dengan wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia banyak menghafal hadits, dan
termasuk wanita yang paling pandai. Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengabarkan kepadanya, bahwa Malaikat Jibril Alaihissallam menitip salam kepadanya.
Pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, ia berusia delapan
belas tahun. Dikabarkan bahwa ia adalah wanita termulia dan akan menjadi isteri Rasulullah

2
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. ‘Aisyah wafat pada tahun 58 Hijriyyah dalam usia 67
tahun, dan dikuburkan di pemakaman Baqi’.
C. TAKHRIJUL-HADITS

1. Shahih al Bukhari, kitab ash-Shulhi, bab Idzas Tholahu ‘ala Shulhi Jaurin, no. 2550.
2. Shahih Muslim, kitab al Aqhdiyah, bab Naqdhil-Ahkamil Bathilah wa Raddi Muhdatsatil-
Umur (no. 1718 (17, 18).
3. Sunan Abi Dawud, kitab as-Sunnah, bab Fi Luzumis-Sunnah, no. 4606.
4. Sunan Ibni Majah dalam al Muqaddimah, no. 14.
5. Musnad Imam Ahmad (VI/73, 146, 180, 240, 256, 270).
6. Shahih Ibni Hibban, no. 26 dan 27.

D. AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS)


Imam an-Nawawi (wafat tahun 676 H) t berkata,”Hadits ini perlu dihafal dan dijadikan
dalil untuk menolak segala kemunkaran.”
Ibnu Daqiqil-‘Id (wafat tahun 702 H) rahimahullah berkata,”Hadits ini adalah salah satu
pedoman penting dalam agama Islam, yang merupakan jawami’ul kalim (kalimat yang pendek
namun penuh arti) yang dikaruniakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hadits ini
dengan tegas menolak setiap perkara bid’ah, dan setiap perkara (dalam urusan agama) yang
direkayasa. Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini sebagai dasar kaidah, bahwa setiap
yang terlarang dinyatakan sebagai hal yang merusak.”
Ibnu Rajab al Hanbali (wafat tahun 795 H) rahimahullah berkata,”Hadits ini adalah salah
satu prinsip dasar yang agung dari prinsip-prinsip dasar Islam, dan menjadi barometer dari setiap
amal perbuatan yang zhahir (terlihat). Sebagaimana hadits,’Innamal-a’malu
binniyat…(sesungguhnya seluruh amal perbuatan tergantung dengan niatnya…)’. merupakan
barometer dari setiap perbuatan dari segi batin (niat)”.
Sesungguhnya setiap amal perbuatan yang tidak ditujukan untuk mencari ridha Allah,
maka amal tersebut tidak berpahala. Demikian pula halnya dengan segala amal perbuatan yang
tidak atas dasar perintah Allah dan Rasul-Nya juga tertolak dari pelakunya. Siapa saja yang
menciptakan hal-hal baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka
bukanlah termasuk perkara agama sedikit pun.

3
Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani rahimahullah berkata,”Hadits ini termasuk bagian dari
prinsip-prinsip dasar Islam dan merupakan satu kaidah dari kaidah-kaidah Islam.”

E. FIQHUL HADITS (KANDUNGAN HADITS)


1. Pelaksanaan Syari’at Islam Harus Dilakukan Dengan Cara Ittiba’ (Mengikuti), Bukan Ibtida’
(Mengada-ngada).
Melalui hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaga kemurnian Islam dari
tangan orang-orang yang melampaui batas. Hadits ini merupakan jawami’ul kalim (kalimat
singkat namun penuh makna), yang mengacu pada berbagai nash al Qur`an yang menyatakan,
bahwa keselamatan seseorang hanya akan diraih dengan mengikuti petunjuk Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tanpa menambah ataupun mengurangi, sebagaimana disebutkan
dalam firman Allah:
Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika kalian semua mencintai Allah, maka ikutilah aku;
tentu Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”. [Ali ‘Imran/3:31].
Juga firman-Nya:
Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali
‘Imran/3:85]
Juga dalam firman-Nya,
Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah, dan janganlah kalian
mengikuti jalan-jalan (yang sesat) karena dapat mencerai-beraikan kalian dari jalan-Ku. [al
An’am/6:153].
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa dalam khutbahnya,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah (al Qur`an) dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Seburuk-buruk perkara adalah yang
dibuat-buat, dan semua yang dibuat-buat adalah bid’ah, sedangkan semua bid’ah adalah sesat.

4
2. Berbagai Perbuatan Yang Tertolak.
Hadits ini merupakan dasar yang jelas, bahwa semua perbuatan yang tidak didasari oleh
perintah syari’at adalah tertolak. Hadits ini juga menunjukkan, bahwa semua perbuatan—baik
yang berhubungan dengan perintah maupun larangan—terikat dengan hukum syari’at.
Karenanya, sungguh sangat sesat perbuatan yang keluar dari ketentuan syari’at; seolah-olah
perbuatanlah yang menghukumi syari’at, dan bukan syari’at yang menghukumi perbuatan. Oleh
karena itu, setiap muslim wajib menyatakan, perbuatan-perbuatan yang ada di luar ketentuan
syari’at adalah bathil dan tertolak.
Perbuatan-perbuatan yang ada di luar ketentuan syari’at ini terbagi dua. Pertama, dalam
masalah ibadah. Kedua, dalam masalah mu’amalah.
Pertama : Dalam masalah ibadah.
Hukum asal ibadah, pada asalnya adalah dilarang, kecuali yang dicontohkan oleh syari’at.
Setiap orang yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan suatu ibadah, maka harus ada
dalil shahih yang menunjukkan disyari’atkannya ibadah tersebut. Jika ibadah yang dilakukan
seseorang keluar dari hukum syari’at, maka perbuatan tersebut tertolak. Ini masuk dalam firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Apakah mereka mempunyai sekutu selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi
mereka yang tidak diizinkan (diridhai) Allah? [asy-Syura/42:21].
Contohnya, mendekatkan diri kepada Allah dengan mendengar nyanyian, menari, melihat
wanita, atau berbagai perbuatan lainnya yang tidak berdasar pada syari’at. Mereka inilah orang-
orang yang dibutakan hatinya oleh Allah, sehingga tidak bisa melihat kebenaran; bahkan
kemudian selalu mengikuti langkah-langkah setan. Mereka mengklaim, bahwa mereka bisa
mendekatkan diri kepada Allah melalui kesesatan yang mereka ada-adakan.
Mereka ini, tidak jauh berbeda dengan orang-orang Arab Jahiliyah yang menciptakan
satu bentuk ibadah dan pendekatan diri kepada Allah, sedangkan Allah tidak menurunkan hujjah
(ilmu) atasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.
Maka rasakanlah adzab disebabkan karena kekafiranmu itu. [al Anfal/8:35].
Terkadang suatu perbuatan disyari’atkan dalam suatu ibadah, tetapi tidak menjadi ibadah
yang benar pada waktu dan tempat yang lain.

5
Sebagai contoh, berdiri dalam shalat adalah amal (perbuatan) ketaatan yang disyari’atkan.
Akan tetapi, sengaja berdiri di bawah sengatan terik matahari ketika melakukan puasa tidaklah
disyari’atkan. Pernah, pada masa Nabi Muhammad ada orang yang berpuasa sambil berdiri di
bawah sengatan terik matahari. Ia tidak duduk dan tidak berteduh. Lalu Rasulullah menyuruhnya
untuk duduk dan berteduh sambil terus menyempurnakan puasanya.
Para ulama telah sepakat, suatu ibadah tidaklah sah, kecuali apabila terkumpul dua syarat.
Yaitu ikhlas karena Allah dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ). Hendaknya diketahui, bahwasanya mutaba’ah (ittiba) tidak akan terwujud, melainkan
bila amal itu sesuai dengan syari’at Islam dalam enam perkara: (a) sebabnya, (b) jenisnya, (c)
kadar (bilangan/ukuran)nya, (d) kaifiyat (cara)nya, (e) waktunya, dan (f) tempatnya.
a. Sebabnya.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak
disyariatkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima. Misalnya, ada orang
yang melakukan shalat tahajud pada malam 27 bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam
itu adalah malam mi’raj Rasulullah (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah
ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut, maka ia menjadi bid’ah. Karena
ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini sangat
penting, karena dengan demikian akan dapat diketahui beberapa macam amal yang
dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid’ah.
b. Jenisnya.
Maksudnya, ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka
tidak diterima. Misalnya, seorang yang menyembelih kuda untuk kurban. Maka
penyembelihan ini tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang
boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi, dan kambing.
b. Kadar (bilangan/ukuran)nya.
Jika ada seseorang yang menambah bilangan raka’at shalat, yang menurutnya
penambahan itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima,
karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam hal jumlah bilangan raka’atnya. Jadi
apabila ada orang shalat Zhuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
d. Kaifiyat (cara)nya.

6
Seandainya ada orang yang shalat, dia sujud terlebih dahulu sebelum ruku, maka
shalatnya tidak sah dan tertolak, karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari’at.
e. Waktunya.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban atau hadyu pada hari
pertama bulan Dzulhijjah, maka sembelihan (kurban)nya tidak sah, karena waktu
pelaksanaannya di luar ketentuan ajaran Islam. Contoh lain, orang yang shalat sebelum
masuk waktunya, maka shalatnya tidak diterima.
f. Tempatnya.
Andaikata ada orang yang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka i’tikafnya.
tidak sah. Sebab, tempat i’tikaf hanyalah di masjid.[6]
Kedua : Dalam masalah mu’amalah.
Hukum asal dalam mu’amalah adalah dihalalkan, kecuali mu’amalah yang diada-adakan;
yang memang ada keterangan dari syari’at yang menunjukkan diharamkannya mu’amalah
tersebut.
Keterangannya sebagai berikut:
a. Berbagai akad yang dilakukan manusia yang dilakukan sebagai ganti dari akad syari’at
yang sah.
Contohnya, kejadian pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Suatu saat ada
orang yang bertanya kepada Rasulullah dan menginginkan agar hukuman zina diubah dengan
denda, maka Rasulullah menolaknya. Lebih lengkapnya, kejadian tersebut diriwayatkan oleh
Imam al Bukhari dan Imam Muslim dalam sebuah hadits yang menyatakan, bahwa Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seseorang. Orang itu berkata: “Anakku
bekerja pada si Fulan, lalu ia berzina dengan isterinya. Saya telah membayar denda sebanyak
seratus kambing dan seorang pembantu.” Mendengar penuturannya, maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Seratus kambing dan pembantu dikembalikan kepadamu, dan
hukuman bagi anakmu seratus kali cambukan dan diasingkan selama satu tahun”.
b. Akad yang dilarang menurut syari’at, seperti:
– Pernikahan yang haramkan oleh Allah dengan sebab kerabat, atau nasab, atau
menggabungkan dua saudara. Maka akadnya adalah bathil (tidak sah).
– Hilangnya salah satu syarat dalam akad, seperti nikah tanpa wali, baik gadis maupun
janda, maka akad nikahnya tidak sah.

7
– Akad yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, seperti jual-beli khamr (minuman keras),
bangkai, babi, patung, anjing, riba, dan semua jual-beli yang dilarang menurut syari’at,
maka akadnya bathil dan tertolak.
– Akad yang di dalamnya ada kezhaliman atau penipuan, maka dikembalikan kepada
yang dizhalimi, dan lainnya.
Demikian juga semua akad (transaksi) yang dilarang oleh syara’, atau dua orang yang
melakukan akad mengabaikan salah satu rukun atau syarat akad, maka akad tersebut bisa batal
dan tertolak. Permasalahan ini, tentang sah dan tidaknya serta tertolak dan tidaknya, secara lebih
rinci bisa dibaca di kitab-kitab fiqih.
3. Perbuatan Yang Diterima.
Dalam kehidupan, ada perkara-perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan
syari’at, bahkan sesuai atau cenderung didukung dasar-dasar syari’at. Maka perkara-perkara
tersebut diterima. Hal inilah yang disebut dengan maslahat mursalah. Para sahabat banyak
mencontohkan hal ini. Seperti menghimpun al Qur`an pada masa Abu Bakar, penyeragaman
(bacaan) al Qur`an pada masa ‘Utsman bin ‘Affan dengan mengirimkan salinan-salinan mushaf
ke berbagai penjuru disertai para qari’.
Contoh lainnya, penulisan ilmu nahwu, tafsir, sanad hadits dan berbagai ilmu lainnya,
baik teori maupun yang bersifat empiris yang sangat bermanfaat bagi manusia, dan dapat
mendorong terwujudnya pelaksanaan hukum Allah di muka bumi ini.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perkara-perkara yang sifatnya baru dan
bertentangan dengan syari’at, maka perkara tersebut tergolong bid’ah yang tercela dan sesat.
Namun perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syari’at, tetapi bahkan sesuai
dan didukung syari’at, maka perkara tersebut baik dan diterima.
Dari perkara-perkara itu ada yang sunnah, ada juga yang sifatnya fardhu kifayah. Bid’ah
yang sesat pun bervariasi; ada yang makruh dan ada yang haram, tergantung bahaya yang
ditimbulkan dan ketidaksesuaiannya dengan nilai-nilai Islam. Bahkan dalam melakukan
perbuatan bid’ah tersebut, seseorang bisa terjerumus pada kekufuran dan kesesatan. Misalnya,
orang yang bergabung dengan aliran sesat, yang mengingkari wahyu dan syari’at Allah,
mengajak untuk menerapkan hukum buatan manusia, menuduh penerapan hukum Allah
merupakan keterbelakangan. Atau orang yang bergabung dengan jama’ah-jama’ah sufi yang
meremehkan berbagai kewajiban, atau mempunyai paham wihdatul wujud ataupun hulul

8
(manunggaling kawulo gusti) dan berbagai perilaku sesat lainnya; maka perbuatan ini jelas-jelas
kufur, dan dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam; tentunya, setelah terpenuhi syarat dan tidak
ada penghalang yang membuat dia keluar dari Islam.
Yang juga termasuk bid’ah sayyi’ah atau sesat, yaitu pengagungan terhadap suatu benda
dan minta keberkahan kepada benda tersebut dengan keyakinan, bahwa benda yang ia agungkan
bisa memberi manfaat. Misalnya mengagungkan pohon, batu atau lainnya. Pernah, suatu saat
para sahabat lewat di samping pohon bidara yang diagung-agungkan orang-orang musyrik.
Diriwayatkan dari Abu Waqid al Laitsi Radhiyallahu anhu , ia berkata:
Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Hunain, dan kami
adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Ketika itu orang-orang musyrik memiliki sebatang
pohon bidara yang disebut dzatu anwath. Mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan
senjata-senjata perang mereka pada pohon itu. Kami pun berkata: “Ya, Rasulullah. Buatkanlah
kami dzatu anwath sebagaimana mereka orang musyrik mempunyai dzatu anwath.” Rasulullah
bersabda:
[Subhanallaah, hal ini seperti perkataan kaum Nabi Musa (Bani Israil kepada
Musa),‘Buatkanlah untuk kami sesembahan, sebagaimana mereka memiliki sesembahan’. –QS al
A’raf/7 ayat 138- Demi Rabb yang diriku berada di tangan-Nya, kamu benar-benar mengikuti
tradisi orang-orang sebelum kamu]. [HR at-Tirmidzi no. 2181. Beliau berkata,”Hadits ini hasan
shahih.”].
Dalam hal ini mereka tidak kafir, karena mereka baru masuk Islam. Dan perkataan
tersebut, mereka ucapkan karena ketidaktahuan.
Hadits kedua, “Barangsiapa melakukan amalan, yang tidak didasari perintah kami, maka
ia (amalan tersebut) ditolak”, karena sebagian ahli bid’ah membantah hadits pertama
“Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam perkara (ibadah) yang tidak ada dasar
hukumnya, maka ia ditolak”. Mereka berargumen, kami tidak pernah menciptakan hal baru. Apa
yang kami lakukan, telah kami dapatkan dari orang-orang sebelum kami.
Maka dengan penyebutan hadits kedua ini, argumentasi mereka tidak bernilai.
1. Dari hadits di atas bisa kita pahami, barangsiapa yang mereka-reka satu amalan, maka
dosanya, ia sendiri yang menanggung dan amalan tersebut tertolak.

9
2. Setiap orang yang mengadakan sesuatu yang baru dalam ibadah, seperti doa dan dzikir tertentu
yang tidak ada Sunnahnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia telah berdosa dari
empat segi.

a. Meninggalkan doa dan dzikir yang disyari’atkan.


b. Menambah-nambah syari’at Islam.
c. Mensunnahkan sesuatu yang tidak disyari’atkan.
d. Mengelabui orang awam, yang menurut mereka, bahwa hal itu boleh dikerjakan.

F. FAWAIDUL HADITS (MANFAAT HADITS)


1. Hadits ini sebagai barometer (timbangan) amal yang zhahir.
2. Perbuatan bid’ah adalah diharamkan dalam agama.
3. Amal perbuatan yang dibangun di atas bid’ah, maka ia tertolak.
4. Bahwasanya larangan terhadap sesuatu, cenderung karena adanya dampak kerusakan sesuatu
tersebut.
5. Semua perbuatan yang diada-adakan dalam Islam yang tidak ada tuntunan dari syari’at, maka
perbuatan itu tertolak, meskipun dilakukan dengan niat yang baik.
6. Amal shalih yang dilakukan tidak mengikuti ketentuan syari’at, seperti enam perkara di atas
(yaitu sebab, jenis, kadar, kaifiyat, waktu, dan tempat), maka amalnya bathil dan tidak sah.
7. Bahwasanya agama Islam adalah agama yang sempurna, dan tidak ada kekurangan padanya.
8.Kewajiban umat Islam adalah ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan ittiba’ kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
9. Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah).

10
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Wajib atas setiap penuntut ilmu untuk berhati-hati, dan tidak terburu-buru dalam
menghukumi suatu amal ditolak (tidak diterima) berdalil dengan hadits ini. Wajib atasnya untuk
melihat dan mencari pendapat ulama tentang hukum dalam suatu masalah. Dia harus memahami
kaidah dan prinsip yang dipakai oleh para ulama dalam menentukan suatu amal diterima atau
ditolak. Wallahu A’lam.

11
DAFTAR PUSTAKA

https://almanhaj.or.id/3378-menolak-kemunkaran-dan-bidah.html

https://abbymolana.wordpress.com/category/hadits-arbain-nawawi/

12

Anda mungkin juga menyukai