Anda di halaman 1dari 15

KONSEP AL-FANA, AL-BAQA’, AL-ITTIHAD DAN

WAHDATUL WUJUD

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu : Abdul Khamid, M.Pd

Disusun oleh :

Aria Indra Jaya (63030220085)

Rif’an Nur Fauzi (63030220092)

Satria Bagus Pratama (63030220103)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARI’AH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SALATIGA

TAHUN 2022
KATA PENANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Alhamdulillah, Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


kesehatan, kenikmatan serta memberikan taufiq dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat dan salam tetap tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang teleh mengajar, mendidik serta membimbing
kita semua. Sehingga kita memiliki berbagai macam pengetahuan untuk
memberantas kebodohan. Dan mudah-mudahan ini memberikan jalan sekelaigus
lantaran kita semua menjadi salah satu umat yang diakui oleh Nabi Muhammad
SAW.

Kami berterima kasih banyak terhadap dosen kami Bapak Abdul Khamid
M.Pd.I., yang telah memberikan tugas makalah berkelompok ini yang berjudul
“Konsep Al Fana, Al Baqa’, Al Ittihad Dan Wahdatul Wujud”. Diharapkan
dengan adanya penulisan makalah ini bisa dijadikan pembelajaran serta
menambah ilmu dan wawasan baru bagi para pembaca. Kami mohon maaf apabila
masih terdapat banyak kekuarangan dalam makalah kami ini, untuk itu kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca sangatlah kami apresiasi dan kami
ucapkan terima kasih.

Wassalamualakum Wr.Wb

Salatiga, 02 Oktober 2022

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................

A. Latar Belakang.......................................................................................................
B. Rumusan Masalah..................................................................................................
C. Tujuan....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................

A. Pengertian Al Fana, Al Baqa’, Ittihajd, dan Widatul Wujud.................................


B. Tokoh Sufi Al Fana, Al Baqa’, Ittihad, dan Wahdatul Wujud..............................

BAB III PENUTUP.........................................................................................................

Kesipulan...............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep Fana ', Baqa' dan Ittihad Abu Yazid al Busthomi, perlu
dieksplorasi tidak hanya untuk menjadi teori belaka, tetapi juga untuk
memunculkan konsep moral mereka. Tulisan ini akan mencoba menganalisis
dengan hermeneutika/interpretasi/interpretasi dan analisis isi, sehingga
ditemukan maknanya secara implisit atau eksplisit. Konsep Fana, Baqa',
Ittihad, dan Wahdatul Wujud ternyata membawa akhlak mudah seperti:
tawadhu, wara', zuhud, pasrah, keikhlasan, kesabaran, iman dan lain
sebagainya. Sehingga memiliki kebaikan, kestabilan dan pengawasan secara
keseluruhan untuk menerapkan akhlak yang mudah kepada Allah, Rasulullah,
orang tua, sesama manusia dan lingkungan alam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Al Fana, Al Baqa’, Al Ittihad, dan Wahdatul Wujud?
2. Siapa Tokoh Sufi Al Fana, Al Baqa’, Al Ittihad, dan Wahdatul Wujud?

C. Tujun
1. Memberikan Pengetahuan dan juga menambah wawasan baru mengenai
Al Fana, Al Baqa’, Ittihajd, Dan Widatul Wujud.
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh dalam Al Fana, Al Baqa, Al Ittihad, dan
Wahdatul Wujud

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al Fana, Al Baqa’, Ittihad, dan Wahdatul Wujud
1. Pengertian Al Fana
Fana’ menurut Bahasa artinya hancur, hilang 1. Fana’ berasal dari
kata faniya-yafna-fana’an yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur.
Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral
yang luhur.
Beberapa pendapat ulama mengenai fana’ antara lain :
a. Menurut Abu Bakar al-Kaladzabi, fana’ adalah hilangnya semua
keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih atas segala
perbuatan manusia, sehingga kehilangan segala perasaan dan dapat
membedakan sesuatu secara sadar, dan telah menghilangkan semua
kepentingan ketika berbuat sesuatu.
b. Menurut Al-Qusyairi, fana’ terdiri dari tiga tingkatan maknanya.
Pertama, yaitu terlepasnya manusia dari jiwa dan sifat-sifatnya dengan
kekalnya dirinya dengan sifat-sifat al-Haqq (Allah). Kedua,
terlepasnya diri dari sifat-sifat al-Haqq dengan menyaksikan al-Haqq.
Ketiga, adalah terlepasnya diri dari menyaksikan al-Haqq dengan
tenggelam dalam wujud al-Haqq.
c. Menurut para sufi, fana’ juga diartikan menjadi dua hal, yaitu :
1) Istilah bagi penyerahan hamba secara sempurna dihadapan
perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, serta
pengakuan yang kaffah atau lengkap terhadap segala sesuatu yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
2) Keluarnya segala sesuatu selain Allah dari kalbu seorang hamba,
tak ada sedikitpun selain Allah dalam hatinya, hanya Allah yang di
hati dan Dialah yang patut selalu diingat.
d. Menurut Ibn Arabi, fana’ diartikan menjadi dua pengertian, yaitu :

1
Harun Nasution, Islam dan Mistisme, Jakarta, Bulan Bintang, 1979. hlm.79

2
1) Fana’ dalam pengertian mistis, yaitu lenyapnya ketidaktahuan dan
hanya tinggallah pengetahuan sejati yang dihasilkan melalui intuisi
tentang keasatuan esensial keseluruhan. Seorang sufi tidak
melenyapkan keberadaan dirinya, tetapi ia menyadari noneksistensi
esensial sebagai bentuk.
2) Fana’ dalam pengertian metafisika yang berarti hilangnya bentuk-
bentuk dunia fenomena dan berlangsungnya substansi universal
yang satu.
Jadi, menurutnya, fana’ yang benar adalah hilangnya diri dalam
keadaan pengetahuan intuitif dimana kesatuan esensial dari
keseluruhan itu diungkapkan. Dari beberapa pendapat yang telah
disebutkan di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan
bahwasanya fana’ adalah keadaan manusia atau seseorang yang
terlepas bebas dari sifat-sifat diri dan hawa nafsunya serta dia hanya
menginginkan Allah selalu ada dalam tiap langkah dan perbuatannya.
e. Menurut al-Kaladzabi, orang yang mengalami fana’ adalah orang yang
melihat segala sesuatu sebagai hal yang satu dan semua gerakannya
sesuai dengan kehendak Allah, tidak ada satupun perbuatan yang
bertentangan dengan kehendak dan sifat-sifat-Nya.
Jadi, Al Fana’ merupakan proses menghancurkan diri bagi seorang
sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.
2. Pengertian Al Baqa’
Baqa’ berasal dari kata baqiya-yabqa-baqa’an yang berarti kekal.
Sedangkan berdasarkan pada istilah tasawuf, baqa’ adalah kekalnya sifat
terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia, kekalnya sifat-sifat
ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari
dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha
seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak
yang terpuji.
Hubungan Antara Fana’ dengan Baqa’ berkenaan dengan
keterkaitan antara fana’ dan baqa’, rupanya tidak dapat dipisahkan dan

3
selalu sambung-menyambung. Fana’ merupakan permulaannya,
sedangkan baqa’ akhir perjalanannya. Maksudnya adalah apabila telah
terjadi proses penghilangan sifat manusia dari hasil pengahancuran
tersebut, maka yang muncul kemudian adalah sifat-sifat seperti halnya
yang dimiliki oleh Allah. Oleh karena itu, Sufi mengibaratkan fana’
dengan baqa’ seperti dua sisi mata uang logam, yaitu di sisi satu adalah
fana’ dan di sisi lainnya adalah baqa’. Dalam menerangkan kaitan antara
fana` dan baqa` Al Qusyairi menyatakan: “Barangsiapa meninggalkan
perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana’ dari syahwatnya.
Tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan
ibadahnya. Barangsiapa yang zuhud dari keduniaan, maka ia sedang
fana’ dari keinginannya yang berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan
inabah (kembali) kepada Allah. Barangsiapa yang menumbuhkan akhlak
mulia, kemudian dia menghilangkan hasad, dendam, bakhil, pelit, marah,
sombong dan lain-lain dari kekotoran jiwa, dia dapat dikatakan fana’
(menghilangkan) budi pekerti yang buruk. Dan apabila dia telah
menghilangkan (fana’) budi pekerti yang buruk maka tetap (baqa’)-lah
dalam kebaikan dan kebenaran”.2
Jadi, baqa’ adalah kekalnya sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan
dalam diri manusia, kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji,
ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Hubungan
Antara Fana’ dengan Baqa’ adalah apabila telah terjadi proses
penghilangan sifat manusia dari hasil pengahancuran tersebut, maka yang
muncul kemudian adalah sifat-sifat seperti halnya yang dimiliki oleh
Allah.
3. Pengertian Ittihad
Ittihad adalah salah satu tingkatan dimana seorang sufi telah
merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, dimana yang mencintai dan yang
dicintai telah menjadi satu. A.R. Al-Badawi berpendapat bahwa di dalam
ittihad yang dilihat hanya satu wujud. Walaupun sebenarnya ada dua

2
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2009, h. 154

4
wujud yang berpisah satu dari yang lain. Hal ini terjadi karena yang dilihat
dan dirasakan hanya satu wujud. Dalam ittihad, “identitas telah hilang,
identitas telah menjadi satu”. Hal ini bisa terjadi karena sufi telah
memasuki fana’ yang tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara
dengan nama Tuhan. Sebagaimana dalam ucapan Abu Yazid berikut ini:
“Suatu ketika seseorang lewat di depan rumah Abu Yazid lalu
mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Maka
menjawab seseorang itu, “Abu Yazid”. Abu Yazid menjawab, “Pergilah,
di rumah ini tidak ada Abu Yazid, kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan
Maha Tinggi”.3
Fana’, baqa’ dan ittihad merupakan jalan menuju perjumpaan
dengan Allah. Hal ini sejalan dengan firman Allah pada Q.S al-Kahfi 110

‫اح ۚ ٌد فَ َمنْ َكانَ يَ ْر ُج ْوا لِقَ ۤا َء َربِّ ٖه فَ ْليَ ْع َم ْل َع َماًل‬


ِ ‫ش ٌر ِّم ْثلُ ُك ْم يُ ْو ٰ ٓحى اِلَ َّي اَنَّ َمٓا اِ ٰل ُه ُك ْم اِ ٰلهٌ َّو‬
َ َ‫قُ ْل اِنَّ َمٓا اَنَ ۠ا ب‬
‫ش ِركْ بِ ِعبَا َد ِة َربِّ ٖ ٓه اَ َحدًا‬
ْ ُ‫صالِ ًحا َّواَل ي‬
َ ࣖ
“Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti
kamu, yang telah menerima wahyu ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu
adalah Tuhan Yang Esa.’ Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan kebajikan dan janganlah ia
mempersekutukan sesuataupun dalam beribadat kepada Tuhannya”.

Jadi ittihad adalah salah satu tingkatan dimana seorang sufi telah
merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, dimana yang mencintai dan yang
dicintai telah menjadi satu.
4. Wahdatul Wujud dan Konsepnya
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu
wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal, atau kesatuan,
sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud
berarti kesatuan wujud. Selanjutnya paham ini juga mengambil pendirian
bahwa dari kedua aspek batin atau al-haqq yang merupakan hakikat, esensi
atau subtansi. Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham

3
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf, (Surabaya,IAIN
Sunan Ampel Press, 2012)

5
bahwa antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu
kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan
itu, sedangkan wujud makhluk hanya foto copy dari Tuhan. Makhluk
sebagai yang diciptakannya hanya mempunyai wujud yang bergantung
kepada Wujud yang berada pada dirinya, yaitu Tuhan. Dengan kata lain
yang mempunyai wujud sebenarnya Tuhan dan wujud yang dijadikan ini
sebenarnya tidak mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud
sesungguhnya hanyalah Allah. Paham Wahdatul Wujud tersebut
mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsur lahir dan batin, dan pada
Tuhan pun ada unsur lahir dan batin. Dalam wahdatul wujud ini yang
terjadi adalah bersatunya wujud batin manusia dengan wujud lahir Tuhan.
Dengan cara demikian maka paham wahdatul wujud ini tidak mengganggu
zat Tuhan dan dengan demikian tidak akan membawa keluar dari Islam.4
Selanjutnya jika kita buka Al-qur’an, didalamnya akan dijumpai
ayat-ayat yang memberikan petunjuk bahwa Tuhan memiliki unsur zahir
dan batin. Misalnya kita membaca ayat 3 dalam surah Al-Hadid:

‫اط ۚنُ َو ُه َو بِ ُك ِّل ش َْي ٍء َعلِ ْي ٌم‬


ِ َ‫ُه َو ااْل َ َّو ُل َوااْل ٰ ِخ ُر َوالظَّا ِه ُر َوا ْلب‬
“Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Jadi Wahdatul Wujud mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsur


lahir dan batin, dan pada Tuhan pun ada unsur lahir dan batin. Dalam
wahdatul wujud ini yang terjadi adalah bersatunya wujud batin manusia
dengan wujud lahir Tuhan.
Contoh mengenai Al-Fana, Al-Baqa yang dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari adalah Menjalankan Perintah Allah dan menjauhi
larangannya, Meningkatkan keimanan, Menjaga shalat, Memperbanyak
berdzikir, Memperbanyak shalawat,dan Berusaha menghindari hal hal
yang kurang baik.
B. Tokoh Sufi Al Fana, Al Baqa’, Ittihad, dan Wahdatul Wujud

4
Jumantoro,Dkk. (2005). Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo. Amzah

6
1. Tokoh Sufi Fana’, Baqa’ dan Ittihad

Dalam tasawuf, yang dipandang sebagai tokoh sufi pertama yang


memunculkan persoalan fana’, baqa’ dan ittihad adalah Abu Yazid Al-
Bustami Abu yazid al-Bustami yang bernama lengkap Abu Yazid Thaifur
bin ‘Isa bin Surusyan al-Bustami, lahir di daerah Bustam (persia) pada
tahun 874-947M. Nama kecilnya Taifur. Kakeknya bernama Surusyan,
seorang penganut agama zoroaster, kemudia memeluk agama Islam
sebagai keyakinan terakhirnya di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk
golongan orang yang berada didaerahnya, namun dia memilih hidup yang
sederhana.

Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu yazid telah


mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya,
abu yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap
makanan yang diragukan kehalalannya.

Sewaktu Abu Yazid remaja, dia dikenal sebagai murid yang pandai
dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti
kepada orang tuanya. Suatu ketika gurunya menerangkan suatu ayat dari
surat luqman yang berbunyi; “berterima kasihlah kepada Aku dan kepada
kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid, ia
kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini
menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan
Allah SWT.5

Beberapa paham yang dapat dianggap sebagai timbulnya fana’ dan


baqa’ adalah:
a. “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur kemudian
aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”
b. “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati kemudian ia
membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup… aku berkata: gila

5
Fariduddin Al-Aththar, Warisan Para Auliya’, Bandung: Pustaka, 1983

7
pada diriku adalah kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan
hidup”.
Walaupun orang tuanya adalah salah satu pemuka masyarakat yang
berada di Bistam, Abu Yazid memilih kehidupan sederhana dan menaruh
sayang serta kasih pada fakir miskin. Ia jarang keluar Bistam dan ketika
kepadanya dikatakan bahwa orang yang mencari hakekat selalu berpindah
dari satu tempat ke tempat lain, ia menjawab: “Temanku (Tuhan) tidak
pernah bepergian dan oleh karena itu akupun tidak bergerak dari sini”.
Sebagian besar waktunya ia pergunakan untuk beribadah dan memuja
Tuhan. Dia senantiasa ingin dekat kepada Tuhan, yang dimulai dengan
timbulnya paham fana’ dan baqa’ dalam tasawuf. Ia memberi jalan
bagaimana supaya dapat dekat di hadirat Tuhan. Dia menjelaskan, suatu
malam ia bermimpi dengan berkata: “Tuhanku, apa jalannya untuk
sampai kepada-Mu? Dia menjawab: Tinggalkan dirimu dan datanglah”.6
Abu Yazid setelah mengetahui proses pendekatan diri kepada
Allah, melalui fana’ ia meninggalkan dirinya ke hadirat Tuhan.
Keberadaan ia dapat dilihat berada dekat atau belum pada Tuhan melalui
“Syatahat” yang diucapkan. Adapun Syatahat adalah ucapan-ucapan yang
dikeluarkan oleh seorang sufi pada permulaan ia berada di pintu gerbang
ittihad.7 seperti ucapan dia: “Aku tidak heran melihat cintaku pada-Mu
karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran melihat cinta-Mu
padaku karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa”.8
2. Tokoh Sufi Wahdatul Wujud
Paham wahdatul wujud dibawa oleh Muhyidin Ibn Arabi yang
lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. Setelah selesai studi di Seville,
beliau pindah ke Tunis di tahun1145, dan disana ia masuk aliran sufi. Di
tahun 1202 M. Ia pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus tahun1240
M.9 Selain sebagai sufi, beliau juga dikenal sebagai penulis yang

6
Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2009
7
Ibid
8
Ibid
9
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta, Rajawali Pers, 2008

8
produktif. Menurut Hamka, Ibn Ar abi dapat disebut sebagai orang yang
telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakan
pahamnya dengan berdasarkan renungan fikiran dan filsafat dan zauq
tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak
berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan
ancaman kaum awam. Baginya wujud (yang ada) itu hanya satu. Pada
hakikatnya tidaklah ada pemisah antara manusia dan Tuhan.

9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Al Fana’
merupakan proses menghancurkan diri seorang sufi agar dapat bersatu dengan
Tuhan sedangkan baqa’ adalah kekalnya sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan
dalam diri manusia. Ittihad adalah salah satu tingkatan dimana seorang sufi
telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, dimana yang mencintai dan yang
dicintai telah menjadi satu. Wahdatul Wujud mengisyaratkan bersatunya
wujud batin manusia dengan wujud lahir Tuhan.
Dalam sejarah tasawuf, Sufi yang pertama kali memperkenalkan paham
Fana, Baqa dan Ittihad adalah Abu Yazid al-Bustami yang lahir di Bustam
pada tahun 874 M. Dia merupakan salah satu tokoh sufi yang telah melewati
“ma’rifah”. Diapun telah mencapai fana’ dan baqa’ kemudian “ittihad” bersatu
dengan Tuhan. Paham wahdatul wujud dibawa oleh Muhyidin Ibn Arabi yang
lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. Dia disebut sebagai orang yang telah
sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakan pahamnya dengan
berdasarkan renungan fikiran dan filsafat dan zauq tasawuf.

10
DAFTAR PUSTAKA

Fariduddin Al-Aththar, (1983), Warisan Para Auliya’, Bandung: Pustaka.

Harun Nasution, (1979), Islam dan Mistisme, Jakarta, Bulan Bintang.

Jumantoro,Dkk. (2005). Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo. Amzah


Mustofa, A. (2009). Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Nata, A. (2008). Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.

Penyusun, T. (2012). Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.

Rahmawati. (2004). Memahami Ajaran Fana, Baqa Dan Ittihad Dalam Tasawuf.
Al-Muniz.

Rosihon, A. (2010). Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.

11
Mahasiswa yang bertanya saat Presentasi :

Nama : Asifa Putri Wardani


NIM : 63030220114
Pertanyaan : Bagaimana mengetahui diri kita telah mencapai Ittihad atau
belum?
Jawaban : Menurut kami untuk mengetahui kta sudah mencapai Ittihad
atau belum dengan cara kita mengetahui maqam atau
tingkatan. Kita harus muhasabah, kita sudah melewati Al-
Fana’ dan Al-Baqa. Al-Fana’ adalah mencoba menolak
hawa nafsu (hal Munkar). Al-Baqa adalah memunculkan
sifat-sifat terpuji dan membersihkan diri dari dosa dan
maksiat. Sedangkan Ittihad adalah usaha seorang makhluk
yang ingin mendekatkan dirinya kepada Allah Subhnahu Wa
Ta’ala.

Nama : Nur Awaliyatun Hasanah


NIM : 63030220084
Pertanyaan : Bagaimana mengimani dengan contoh penerapannya?
Jawaban : Menurut kami untuk mengimani Al-Fana, Al-Baqa, Ittihad,
dan Wahdatul wujud bisa dengan cara :
 Menjalankan Perintah Allah dan menjauhi larangannya
 Meningkatkan keimanan
 Menjaga shalat
 Memperbanyak berdzikir
 Memperbanyak shalawat
 Berusaha menghindari hal hal yang kurang baik

12

Anda mungkin juga menyukai