Anda di halaman 1dari 18

ASWAJA SEBAGAI MANHAJUL FIKR WAL HAROKAH

Tujuan Materi
1. Peserta mampu mengetahui pengertian Aswaja
2. Peserta mampu memahami akar sejarah Aswaja
3. Peserta mampu memahami aswaja sebagai manhajul fikr wal harokah
4. Peserta mampu mengkontekstualisasikan aswaja dalam PMII

Pokok Bahasan
I. Latar Belakang
II. Pengertian Aswaja
III. Sejarah Ahlussunnah wal Jama‟ah
IV. Sejarah dan Perkembangan Aswaja di Indonesia
V. Impelementasi Aswaja sebagai Manhajul fikr
VI. Aswaja Sebagai Manhajul Harokah
VII. Aswaja dalam PMII
VIII. Kontekstualisasi Aswaja dalam PMII
I. Latar Belakang
“Theology is nothing, if not rooted in particular situation and transcends
it. It is the tension between its rootedness and transcendence that makes it
creative. Theology is both contextual and normative.” (Engineer, 1990, p. 138)
Demikian pernyataan Asghar Ali Engineer terkait teologi. Tidak ada produk
pemikiran yang berkembang di dunia ini yang dikemas dalam sebuah tatanan
kebahasaan yang bisa terlepas dari faktor-faktor sosial budaya, termasuk teologi.
Walaupun wacana teologi selalu identik dengan hal-hal yang bernuansa metafisik,
spekulatif, dan transenden, tetap saja dia tidak bisa hadir begitu saja dari ruang
hampa yang terlepas dari konteks ruang dan waktu saat pemikiran tersebut
diproduksi. Proses dialektis antara sesuatu yang transenden dan mengakarnya
pada situasi dan realitas seperti itulah yang memungkinkan teologi menjadi
dinamis dan kreatif.
Sebuah produk pemikiran (teologi) tidak bisa lepas dari pergulatan
iterpretasi, dan setiap iterpretasi sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang
membentuk sistem berpikir tertentu. Karenanya dalam mengkaji suatu produk
pemikiran harus menyertakan pemahaman terhadap realitas dimana sistem budaya
tersebut terbentuk. Dengan demikian, memahami kehidupan sosok yang
memproduksi pemikiran tertentu melalui pendekataan kebudayaan menjadi suatu
keharusan. Kendati demikian, sesungguhnya tidak ada satu pun yang memahami
secara persis apa yang dimaksudkan oleh allah sehingga semuanya hanya berupa
usaha pendekatan kepada yang paling sempurna saja.
Teologi Islam Ahlussunah Wal Jama’ah (ASWAJA) oleh PMII kemudian
diadopsi sebagai sebuah ideologi dalam beragama dan menjadi nafas pergerakan
organisasi. ASWAJA dijadikan sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) dan
metode bergerak (manhaj al-harakah) organisasi PMII karena paradigma
ASWAJA yang tidak ekstrim kanan atau pun ekstrim kiri dianggap lebih moderat
dan transformatif terhadap kehidupan sosial politik.

II. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah


Secara etimologi Ahlussunnah wal Jama’ah berasal dari tiga kata, pertama
“Ahl” yang secara bahasa berarti golongan, keluarga, sahabat dan tabi’in
(pengikut). Kedua, “As-Sunnah” yang berarti perilaku atau kebiasaan Rasulullah
SAW. Ketiga, “Al-Jama’ah” secara bahasa berarti jama'ah atau mayoritas umat
Islam seperti sahabat, tabi’in, dan ulama salaf. Sedangkan secara terminologi
Ahlussunah Wal Jama’ah adalah mereka yang berpegang teguh pada sunnah Nabi
Muhammad SAW, para sahabatnya dan orang-orang 60 yang mengikuti jejak dan
jalan mereka, baik dalam hal aqidah, perkataan maupun perbuatan, juga mereka
yang istiqomah (konsisten) dalam ber-ittiba' (mengikuti Sunnah Nabi SAW).
Selain pengertian diatas beberapa tokoh memberikan pengertian lain
terhadap ASWAJA. Menurut Syekh Abu al-Fadl Abdus Syakur As-Senori dalam
karyanya “Al-Kawakib alLaama’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli as-Sunnah wa
al-Jamaah” definisi Ahlussunnah wal jama’ah sebagai kelompok atau golongan
yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW dan thoriqoh para
sahabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf).
Adapun Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani dalam kitabnya “Al-Ghunyah li Thalibi
Thariq al-Haq” Juz I mendefinisikan Ahlussunnah wal jamaah sebagai berikut
“Yang dimaksud dengan assunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh
Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan Beliau). Sedangkan
yang dimaksud dengan pengertian jamaah adalah segala sesuatu yang telah
disepakati oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW pada masa empat
Khulafa’ur-Rosyidin dan telah diberi hidayah Allah.”

III. Sejarah Ahlussunnah wal Jama’ah


Sejarah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah sejarah pergaulatan tentang
doktrin agama dan kekuasan. Sejarah tersebut bisa dilacak sejak zaman
kepemimpinan khulafa’ al-rasyidun, pasca Nabi Muhammad SAW wafat. Karena
belum ada presiden historisnya, umat Islam pada masa itu dibawa pada ketidak
pastian dan kebimbangan atas kepemimpinan umat islam, siapa yang layak dan
pantas menggantikan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam. Sedangkan
nabi sendiri tidak memberikan keterangan 61 kepemimpinan Islam pasca beliau
wafat. Dari keributan-keributan tersebut banyak muncul pandangan-pandangan
teologis yang meligitimasi pandangan politik tertentu. Artinya, masifnya wacana-
wacana diskursus teologis dalam islam distimulus oleh persoalan-persoalan
politik, termasuk Sejarah Ahlussunnah wal Jama’ah pada saatnya.
Kegaduhan umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad menjadi hal yang
paling mendasar dari lahirnya pandangan teologis dari sekte-sekte Islam, dan
sebagai puncak gunung es nya adalah pada kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi
Thalib RA ketika peristiwa tahkim pada Perang Shiffin, begitu diplomasi politik
kubu Ali bin Abi Thalib yang diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari mengalami
kekalahan dari kubu Muawiyah yang diwakili oleh Amr bin Ash banyak pihak
yang tidak sepakat dan merasa tidak puas dari hasil keputusan tahkim yang
mengangkat Muawiyah menjadi Khalifah pada akhirnya, berkonflik dan
perpecahan pada tubuh Islam naik ke permukaan. Bersama kekalahan khalifah ke-
empat tersebut dalam arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, umat Islam makin
terpecah dalam berbagai golongan. Diantara mereka adalah golongan Syi‟ah yang
secara umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan
Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan
tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan
Muawiyah.
Selain tiga golongan tersebut terdapat golongan Murjiah dan Qadariah
yang berfaham bahwa segala sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan
Allah tidak turut campur (Af‟al al-Ibad min al-Ibad), hal ini berlawanan dengan
faham Jabariyah. Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas
yang dipelopori oleh Imam Abu Sa‟id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110
H/639-728 M) yang lebih dikenal dengan nama Imam Hasan al-Bashri. Imam
Hasan Al-Bashri cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat
kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih.
Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai fraksi politik
(firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem
keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat (tidak ekstrim). Dengan sistem
keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan
atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.
Sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi ulama
setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah al-Nu‟man (w. 150 H), Imam
Malik ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi‟i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H),
Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), hingga tiba pada generasi Abu Hasan al-Asy‟ari
(w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir
inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan, seperti pernyataan al-Zabidi
(1205 H) dalam Ithaff Sadat al-Muttaqin (syarah Ihya ulumu al-din) mengatakan
idza uthliqa ahlussunah fa al murad bihi alasya’irah wal maturidiyah ( jika
diungkapkan kata ahlussunah, maka yang dimaksud adalah penganut al-Asy’ari
dan al-Maturidi). Secara singkat momen sejarah dalam Islam digambarkan pada
tabel berikut:

No Periode Momen Sejarah


1. Abu Bakar Embrio perpecahan umat Islam dimulai Pasca Rasulullah
wafat, terbukti banyak umat Islam yang keluar dari agama
Islam, untungnya hal ini mampu di selesaikan oleh Abu
Bakar sehingga persatuan umat Islam tetap terjaga. Beliau
juga mampu menumpas gerakan Nabi Palsu dan Kaum
Murtad. Dalam hubungan luar negeri, penyerangan
terhadap basis-basis penting Romawi dan Persia dimulai.
2. Umar Bin Setelah Abu Bakar, benih perpecahan semakin menjadi
Khattab terutama dari Bani Umayah yang tidak senang terhadap
pemimpin baru mereka Umar ibn Khattab, mereka mulai
menghembuskan fitnah-fitnah terhadap Umar sampai
kemudian mampu membuat rekayasa sosial yang akhirnya
terbunuhlah Umar oleh seorang majusi yaitu Abu lu‟lu Al-
Majusi. Sebelum beliau wafat, Romawi berhasil diusir dari
tanah Arab. Terjadi pengelompokan antara Arab dan Non-
Arab, adapun wilayah Islam saat itu mencapai Cina dan
Afrika Utara.
3. Utsman Bin Al-qur‟an dikodifikasi dalam mushaf Utsmani, perpecahan
Affan mencapai puncaknya, dan pemerintahan labil karena
gejolak politik dan isu KKN. Pada masa ini juga armada
maritim dibangun.
4. Ali bin Abi Perang Jamal, pemberontakan Mua‟wiyah, arbitrase Shiffin
Thalib memecah belah umat menjadi tiga kelompok besar yaitu
Syi‟ah, Khawarij, dan Murjiah. Ibnu Abbas dan Abdullah
bin Umar mengkonsolidir gerakan awal Aswaja yang tidak
memihak kepada pihak manapun dan lebih memusatkan
perhatian pada penyelamat al-Qur‟an dan as-Sunnah. Masa
kepemimpinan Ali adalah akhir dari sistem Syura.
5. Bani Umayah Kembalinya negara Klan atau dinasti Islam mencapai
Andalusia dan Asia tengah, madzhab-madzhab teologis
bermunculan; terutama Qodariyah, Jabariyah, Murjiah
moderat dan Mu‟tazilah. Adapun Aswaja belum terkonsep
secara baku (Abu Hanifah).

Periode Momen Sejarah


6. Bani Abbasiyah Mu‟tazilah menjadi ideologi negara, mihnah dilancarkan
terhadap beberapa Imam Aswaja, termasuk Ahmad bin
Hambal. Fiqih dan Ushul Fiqih Aswaja disusun sistematis
oleh Imam Syafi‟i, teologi oleh al-Asy‟ari dan al-Maturidi,
Tasawuf oleh al-Junaid dan al-Ghazali. Terjadi pertarungan
antara doktrin Aswaja dengan kalangan filosof dan tasawuf
falsafi, kemajuan ilmu pengetahuan sebagai wujud dari
dialektika pemikiran dan Perang Salib dimulai .
Kehancuran Baghdad oleh Mongol menjadi awal
penyebarannya umat beraliran Aswaja sampai ke wilayah
Nusantara.
7. Umayah Aswaja menjadi madzhab dominan, kemajuan ilmu
Andalusia pengetahuan menjadi awal kebangkitan Eropa, Aswaja
berdialektika dengan fisafat dalam pemikiran Ibnu Rusyd
dan Ibnu „Arabi.
8. Turki Utsmani Aswaja menjadi ideologi negara dan sudah dianggap
mapan, kesinambungan pemikiran hanya terbatas pada
syarah dan hasyiyah. Romawi berhasil diruntuhkan dan
Perang Salib berakhir dengan kemenangan umat Islam.
Kekuatan Syi‟ah (safawi) berhasil dilumpuhkan dan
kerajaan Mughal berdiri di India.
9. Kolonialisme Masuknya paham sekularisme, pusat peradaban mulai
berpindah ke Eropa, Aswaja menjadi basis perlawanan
terhadap imperialisme dan kekuatan kekuatan umat Islam
kembali terkonsolidir.
10. Akhir Turki Lahirnya turki muda yang membawa misi restrukturisasi
Utsmani dan reinterpretasi Aswaja. Gerakan Wahabi lahir di Arab,
kekuatan Syi‟ah terkonsolidasi di Afrika Utara. Gagasan
pan-Islamisme dicetuskan oleh al-Afghani, dan Abduh
memperkenalkan neo-Mu‟tazilah. Ikhwanul Muslimin
muncul di Mesir sebagai perlawanan terhadap Barat. Pada
masa ini berakhir sistem kekhalifahan dan digantikan oleh
nasionalisme (nation-state), Aswaja tidak lagi menjadi
ideologi negara.
11. Pasca PD II Aswaja sebagai madzhab keislaman paling dominan,
diikuti usaha-usaha kontekstualisasi aswaja di negara-
negara Muslim. Lahirnya negara Muslim Pakistan yang
berhaluan Aswaja, kekuatan Syi‟ah menguasai Iran.

IV. Sejarah dan Perkembangan Aswaja di Indonesia


Sejarah perjalanan Aswaja dalam sejarah Nusantara dapat ditelusuri pada
awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Memang banyak perdebatan tentang
awal kedatangan Islam di Indonesia, ada yang berpendapat abad ke-8, ke-11, dan
ke-13 M. Namun yang pasti tonggak kehadiran Islam di Indonesia sangat
tergantung kepada dua hal: pertama, Kesultanan Pasai di Aceh yang berdiri
sekitar abad ke-13, dan kedua, Wali Songo di Jawa yang mulai hadir pada akhir
abad ke-15 bersamaan dengan runtuhnya Majapahit. Namun, dalam
perkembangan Islam selanjutnya, Wali Songo lebih berpengaruh dengan dakwah
Islamnya yang tidak hanya terbatas di wilayah Jawa, tetapi sampai ke pelosok
Nusantara. Sejarawan sepakat bahwa Wali Songo-lah yang berdakwah dengan
tepat melalui konstektualisasi Aswaja dengan kebudayaan masyarakat Indonesia,
sehingga lahirlah Aswaja yang khas Indonesia, yang sampai saat ini menjadi basis
bagi golongan tradisionalis, NU dan PMII.
Berbicara Aswaja di Indonesia tidak lepas sejarah Raja Ibnu Saud yan
hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak
menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam. Gagasan
kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di
Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan,
maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan
pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan
bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Karena dorongan
minat yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab, maka kalangan
pesantren membentuk delegasi yang dinamai dengan Komite Hijaz, diketuai oleh
KH. Wahab Hasbullah. Semangat perlawanan kalangan pesantren yang terhimpun
dalam Komite Hijaz, dan pergejolakan dari segala penjuru umat Islam di dunia,
akhirnya Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di
Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-
masing.
Setelah kejadian itu, para kyai merasa perlu untuk membentuk sebuah
organisasi yang sistematis dan membangun solidaritas persatuan untuk
mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah bermusyawarah dengan kyai-
kyai yang lain, akhirnya lahir sebuah mufakat untuk membentuk organisasi yang
bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31
Januari 1926) yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.

Nahdlatul Ulama dalam memahami dan menafsirkan Islam Ahlussunnah


wal Jamaah dengan menggunakan jalan pendekatan madzhab:
1. Dalam bidang akidah: Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah wal
Jamaah yang dipelopori oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu
Mansur Al-Maturidi
2. Dalam bidang fiqih: Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan madzhab yang
dipelopori oleh Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam As-Syafi’i, dan Imam
Ahmad bin Hanbal.
3. Dalam bidang tasawuf: Nahdlatul Ulama mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi dan
Imam Al-Ghazali.
Adapun momen sejarah Aswaja di Indonesia secara singkat bisa dipahami
dalam tabel berikut:

No Periode Momen sejarah


1. Islam Pra Wali Masyarakat muslim bercorak maritim, pedagang berbasis di
Songo wilayah pesisir mendapat hak istimewa dari kerajaan-kerajaan
Hindu yang pengaruhnya semakin kecil. Dakwah dilancarkan
kepada para elit penguasa setempat.
2. Wali Songo Konsolidasi kekuatan pedagang muslim membentuk
konsorsium bersama membidani berdirinya kerajaan Demak
dengan Aswaja sebagai dasar negara, sistem kasta secara
bertahap dihapus dan Islamisasi dengan media kebudayaan.
Terciptanya asimilasi dan pembauran Islam dengan budaya
lokal bercorak Hindu-Budha. Usaha perlawanan terhadap
Portugis gagal.
3. Pasca Wali Penyatuan Jawa oleh Trenggana menyebabkan dikuasainya
Songo – jalur laut Nusantara oleh Portugis dan kekuatan Islam masuk ke
Kolonialisme padalaman. Kerajaan Mataram melahirkan corak baru Islam
Eropa Nusantara yang bersifat agraris-sinkretik.
Mulai terbentuknya struktur masyarakat feodal yang
berkelindan dengan struktur kolonial mengembalikan struktur
kasta dengan gaya baru.
Kekuatan tradisionalis terpecah belah, kekuatan orisinil Aswaja

No Periode Momen sejarah


hadir dalam bentuk perlawanana agama rakyat dan perjuangan
menentang penjajahan. Arus Pembaruan Islam muncul di
minangkabau melalui kaum Padri.
Politik etis melahirkan kalangan terpelajar pribumi, Ide
nasionalisme mengemuka dan kekuatan Islam mulai
terkonsolidasi dalam Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah
berdiri sebagai basis muslim modernis.
4. Kelahiran NU Komite Hijaz dan kekuatan modernis yang muncul menjadi
motivasi Ulama‟ tradisional untuk terkonsolidasi dengan
semangat meluruskan tuduhan tahayyul, bid‟ah, dan khurafat,
Qanun Asasi disusun sebagai landasan organisasi NU, Aswaja
(tradisi) sebagai basis perlawanan terhadap kolonialisme, fatwa
jihad mewarnai revolusi kemerdekaan.
5. NU Pasca NU menjadi partai politik, masuk dalam aliansi Nasakom,
Kemerdekaan PMII lahir sebagai underbow di wilayah mahasiswa. Berada di
barisan terdepan pemberantasan PKI. Turut andil dalam
lahirnya Orde Baru.
Deklarasi Munarjati menandai independennya PMII dari NU.
NU kemudian bergabung dengan PPP pada pemilu 1977.
kekecewaan akan politik menumbuhkan kesadaran akan
penyimpangan terhadap Qanun Asasi dan perlunya Khittah.
6. NU Pasca NU Kembali menjadi organisasi kemasyaratan, menerima
Khittah Pancasila sebagai asas tunggal.
Menjadi kekuatan utama civil society di Indonesia, dalam
kondisi vis a vis negara bergabung dalam aliansi nasional
memulai reformasi menjatuhkan rezim orde baru.
7. NU Pasca Berdirinya PKB sebagai wadah politik nahdliyyin dan Gus Dur
Reformasi menjadi Presiden.
NU mengalami kegamangan orientasi dan PMII memulai tahap
baru interdependensi. Pasca Gus Dur sampai saat ini, kekuatan
tradisionalis menjadi terkotak-kotak oleh kepentingan politis.
V. Implementasi Aswaja Sebagai Manhajul fikr
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja
sebagai Manhajul Fikr sejak tahun 1995. Begitu juga dengan Nahdlatul Ulama
menilai bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki
metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan
berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleran. Seperti
Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj katakan bahwa Aswaja bukan sebuah madzhab,
melainkan sebuah manhaj dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-
persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan, dan gagasan itulah yang
merupakan konsep Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr.
Hal yang mendasari imunitas (daya tahan) keberadaan paham Aswaja
adalah sebagaimana dikutip oleh Said Aqil Siradj, bahwa Aswaja adalah “Ahlu
minhajil fikri ad-dini al-musytamili ala syu’uunil hayati wa muqtadhayatiha
alqaimi ‘ala asasit tawassuthu wat tawazzuni wat ta‟adduli wat tasamuh”,
atau “orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup
semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga
keseimbangan, adil dan toleransi”. Definisi di atas meneguhkan kekayaan
intelektual dan peradaban yang dimiliki Aswaja, karena tidak hanya bergantung
kepada al- Qur‟an dan al-Hadits, tapi juga mengapresiasi dan mengakomodasi
warisan pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang saleh yang
sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi.
Dalam perekembangannya, akhirnya rumusan Prof. Dr. KH Said Aqil
Siradj diratifikasi menjadi konsep dasar Aswaja di PMII. Prinsip dasar dari
Aswaja sebagai manhajul fikri meliputi :
1. Tawasuth (moderat)
2. Tasamuh (toleran)
3. Ta’adul (adil)
4. Dan tawazun (seimbang).
Aktualisasi dari prinsip ke empat nilai Manhajul Fiqr yang terkandung
dalam nilai-nilai Aswaja, yang harus kader PMII tafsirkan ulang sesuai dengan
perkembangan teori-teori sosial dan ideologi-ideologi dunia zaman sekarang salah
satunya:
1. Tawassuth sebagai pola pikir, harus kita maknai sebagai tidak mengikuti nalar
kapitalisme- liberal di satu sisi dan nalar sosialisme di sisi lain. Kita harus
memiliki cara pandang yang otentik tentang realitas yang selalu berinteraksi
dalam tradisi. Pemaknaannya ada dalam paradigma yang dipakai oleh PMII yaitu
paradigma kritis transformatif.
2. Tasamuh sebagai pola sikap harus kita maknai sebagai bersikap toleran dan
terbuka terhadap semua golongan selama mereka bisa menjadi saudara bagi
sesama. Sudah bukan waktunya lagi untuk berkotak-kotak dalam kebekuan
golongan, apalagi agama. Seluruh gerakan dalam satu napas pro-demokrasi harus
bahu membahu membentuk aliansi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik,
bebas dari segala bentuk penindasan dan penjajahan. PMII harus bersikap inklusif
terhadap sesama pencari kebenaran dan membuang semua bentuk primordialisme
dan fanatisme keagamaan.
3. Tawazun sebagai pola relasi dimaknai sebagai usaha mewujudkan egalitarianisme
dalam ranah sosial, tidak ada lagi kesenjangan berlebihan antara sesama manusia,
antara laki-laki dan perempuan, antar kelas atas dan bawah. Di wilayah ekonomi
PMII harus melahirkan model gerakan yang mampu menyeimbangkan posisi
negara, pasar dan masyarakat. Berbeda dengan kapitalisme yang memusatkan
orientasi ekonomi ditangan pasar sehingga fungsi negara hanya sebagai obligator
belaka dan masyarakat ibarat robot yang harus selalu menuruti kehendak pasar;
atau sosialisme yang menjadikan negara sebagai kekuatan tertinggi yang
mengontrol semua kegiatan ekonomi, sehingga tidak ada kebebasan bagi pasar
dan masyarakat untuk mengembangkan potensi ekonominya. Di wilayah politik,
isu rakyat dan negara. PMII tidak menolak kehadiran negara, karena negara
melalui pemerintahannya merupakan implementasi dari kehendak rakyat. Maka
yang perlu dikembalikan adalah fungsi negara sebagai pelayan dan pelaksana
setiap kehendak dan kepentingan rakyat. Di bidang ekologi, PMII harus menolak
setiap bentuk eksploitasi alam hanya semata-mata demi memenuhi kebutuhan
manusia yang berlebihan. Maka, kita harus menolak nalar positivistik yang
diusung oleh neoliberalisme yang menghalalkan ekploitasi berlebihan terhadap
alam demi memenuhi kebutuhan bahan mentah, juga setiap bentuk pencemaran
lingkungan yang justru dianggap sebagai indikasi kemajuan teknologi dan
percepatan produksi.
4. Ta’adul sebagai pola integral mengandaikan usaha PMII global, untuk mencapai
keadilan bagi seluruh umat manusia. Keadilan dalam berpikir, bersikap, dan
relasi. Keadilan dalam ranah ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan
seluruh ranah kehidupan. Dan perjuangan menuju keadilan universal itu harus
dilaksanakan melalui usaha sungguh-sungguh, bukan sekedar menunggu anugerah
dan pemberian turun dari langit.

VI. Aswaja Sebagai Manhajul Harokah


Bagaimanakah membumikan Aswaja dalam praksis gerakan?. Pertanyaan ini
menjadi penting untuk di jawab, agar Aswaja selalu menjadi landasan dan
pedoman dalam praksis kehidupan sehari-hari. Ahlussunnah wal Jama’ah
sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan diatas, bukan hanya sebagai
konsep teologi, melainkan juga sebagai konsep berpikir dan bergerak. Oleh karena
itu, harus ada hubungan sinergis antara ajaran, landasan, sikap, pola pikiran dan
tindakan sehingga manjadi satu kesatuan yang integral sebagai wujud dari
pembuman Aswaja. Tentu dalam mewujudkan Aswaja sebagai manhajul harokah
memerlukan panduan dalam bergerak diantaranya
1. Melakukan aMengembangkan aspek-aspek Maslahah
dvokasi kebijakan, meminimalisir bahaya, menghindari kerusakan, melakukan
gerakan preventif, menjadi kader pelopor, mewujudkan multi effect maslahat
2. Melakukan pembelaan terhadap kaum Mustadh’afin
Melakukan pembelaan terhadap kelompok/ perorangan yang dilemahkan dan
ditindas secara struktur sosial-budaya, ekonomi dan politik serta memberdayakan,
memperkuat dan mengembangkan sepuluh kelompok; faqir, miskin, ‘amil,
mu’allaf qulubuhum, riqab, gharim, fi sabilillah, ibnu sabil, sa’il dan mahrum,
dan yatim.
transformasi dan internalisasi nilai-nilai Aswaja agar lebih dapat dipahami, dan
bagi Kader PMII yang kemudian dapat menjadi panduan dalam berfikir dan
bertindak. Pada kenyataannya konsep-konsep ini bukan hanya sebatas
menjelaskan pada aturan-aturan keagamaan, tetapi juga menyentuh pada persoalan
kebudayaan, kebangsaan, politik, dan ekonomi. Hanya saja rumusan-rumusan ini
terkadang tidak disertai dengan turunan konsep yang utuh sehingga menjadi
agenda gerakan PMII yang aplikatif. Maka untuk mempermudah memahami
Aswaja sebagai manhajul harokah, akan disegmentasikan kedalam beberapa
perspektif masalah.

1. Perpektif Sosial Ekonomi


Dalam perspektif sosial-ekonomi menyangkut bagaimana Ahlu Sunnah wa al-
Jama’ah dikerangkakan sebagai alat baca, perlu kiranya kita mulai pembacaan
dan identifikasi persoalan yang dilanjutkan dengan perumusan kerangka teoritis
dengan dilengkapi kerangka tawaran langkah-langkah yang akan kita ambil baik
strategis maupun taktis. perlunya pembacaan yang cukup cermat atas realitas
sosial ekonomi Indonesia. Ini diperlukan terutama untuk mengurai lapis-lapis
persoalan yang ada dan melingkupi kehidupan social-ekonomi kita.
Hal lain yang juga menyangkut persoalan ekonomi adalah perlunya elaborasi atas
rujukan-rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh) bagi kerangka-kerangka
operasional Ahlu Sunnah wa al- Jama’ah sebagai manhaj al-fikr. Kebutuhan akan
elaborasi ini dirasa sangat mendadak, terutama mengingat adanya kebingungan di
beberapa tempat menyangkut ideologi dasar PMII dan kerangka paradigmanya
terlebih jika dikaitkan dengan kemapuan Ahlu Sunnah wa al- Jama’ah untuk
menyediakan kerangka operatif yang akan memandu kader-kader PMII
dilapangan masing-masing.

2. Perspektif Sosial Politik, Hukum, dan HAM


Dalam perspektif sosial politik, hukum, dan HAM. Akar permasalahan sosial,
politik, hukum dan HAM terletak pada masalah kebijakan (policy). Satu kebijakan
seyogyanya berdiri seimbang di tengah relasi “saling sadar” antara pemerintah,
masyarakat dan pasar. Tidak mungkin membayangkan satu kebijakan hanya
menekan aspek kepentingan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Dalam
satu kebijakan harus senantiasa melihat dinamika yang bergerak di orbit pasar.
Dalam kasus yang lain tidak bias jika kemudian pemerintah hanya
mempertimbangkan selera pasar tanpa melibatkan masyarakat didalamnya.
Persoalan muncul ketika: Pertama. kebijakan dalam tahap perencanaan,
penetapan, dan pelaksanaannya seringkali monopoli oleh pemerintah. Dan selama
ini kita melihat sedikit sekali preseden yang menunjukan keseriusan pemerintah
untuk melibatkan masyarakat. Kedua, kecendrungan pemerintah untuk selalu
tunduk kepada kepentingan pasar, sehingga pada beberapa segi seringkali
mengabaikan kepentingan masyarakat.
Kemudian kaitannya dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang juga menjadi nilai
dasar (NDP) PMII, dimana substansinya adalah jalan tengah, maka sudah
sepatutnya bahwa PMII memposisikan diri di tengah untuk mencari titik temu
sebagai solusi. Dengan sikap seperti itu, PMII mengikuti nilai Ahlussunnah wal
Jama’ah. Nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tawazun, akan dapat
melahirkan nilai Ahlussunnah wal Jama’ah yang ta’adul. Dalam hal ini, yang
menjadi titik tekan adalah dengan strategi dapat meruntuhkan kekuasaan dominan
dan otoriter yang pada akhirnya bermuara menjadi gerakan revolusiner.

3. Perspektif Sosial Budaya


Sedangkan dalam menyoroti persoalan social-budaya di Indonesia dapat dilihat
dengan menggunakan; Pertama, analisa terhadap kondisi social budaya
masyarakat, baik pada tingkatan lokal atau pada tingkat global. Kedua, analisa
nilai-nilai budaya yang kemudian didalamnya terdapat nilai-nilai ke-Ahlussunnah
wal Jama’ah-an sebagai nilai yang terpatri untuk melakukan perubahan ketika
kondisi sosial budaya menjadi dasar pijakan. Dari itu semua, pembentukan
karakter budaya menjadi tujuan akhirnya.
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks sosial budaya dijadikan nilai-nilai yang
kemudian menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial budaya. Ekplorasi
terhadap permasalahan lokal maupun global merupakan cara untuk mengetahui
akar persoalan sosial budaya yang terjadi. Bahwa pada kenyataannya globalisasi
ternyata mengikis budaya lokal didalam seluruh aspek kehidupan. Globalisasi
tanpa kita sadari telah merusak begitu dalam sehingga mengaburkan tata sosial
budaya Indonesia. Ironsnya, masyarkat menikmati produk-produk globalisasi
sementara produk lokal menjadi teralienasi. Berangkat dari kondisi tersebut, perlu
adanya strategi budaya untuk melakukan perlawanaan ketika hegemoni
kapitalisme global semakn “menggila”. Salah satu straegi itu mnejadikan nilai-
nilai Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai dasar strategi gerakan. Strategi yang
dimaksud bisa dalam bentuk penguatan budaya-budaya lokal.

VII. Aswaja dalam Gerakan PMII


Ahlusunnah wal jamaah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis dan sangat
terbuka bagi pembaruan-pembaruan. Sebagai sebuah metode pemahaman dan
penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat disamakan dengan metode
akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas
pendekatan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi prosedur yang teliti dan
nyaris pasti. Namun demikian dalam ruang akademis pembaruan dan perubahan
sangat mungkin terjadi. Upaya pemahaman Aswaja yang lebih komprehensif dan
mendalam perlu diupayakan secara maksimal pada proses pengembangan
pemikiran.
Hal ini yang kemudian bahwa Aswaja tidak hanya dapat dijadikan sebagai
doktrin atau Aswaja sebagai madzhab, karena dapat menjadikan Aswaja sebagai
sesuatu yang kaku/beku. Pemaknaannya hanya dibatasi pada produk pemikiran
saja, padahal produk pemikiran, secanggih apapun, selalu tergantung pada waktu
dan tempat (konteks) yang menghasilkannya. Untuk menjadi dasar sebuah
pergerakan, Aswaja harus senantiasa fleksibel dan terbuka untuk ditafsir ulang
dan disesuaikan dengan konteks saat ini dan yang akan datang. Pergeseran realita
sosial ini memerlukan tajdid, yakni Ahlussunnah wal Jama‟ah tidak lagi
dipandang sebagai manhaj qauli (kebenaran ortodoksi), tetapi dijadikan sebagai
manhajul fikr (metode berfikir).
Pemaknaan Aswaja sebagai manhajul fikr (metode berpikir) yang
digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi‟in yang sangat erat kaitannya dengan
situasi politik dan sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu (Said Aqil
Siradj, 1996). Dari manhajul fikr inilah lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik
di bidang aqidah, syari‟ah, maupun akhlaq/tasawuf, yang walaupun beraneka
ragam tetap berada dalam satu ruh. Inti yang menjadi ruh dari Aswaja baik
sebagai manhajul fikr adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah : ma
ana „alaihi wa ashabi (segala sesuatu yang datang dari rasul dan para
sahabatnya). Inti itu diwujudkan dalam empat nilai: tawassuth (moderat),
tasammuh (toleran), tawazzun (keseimbangan), dan ta‟addul (keadilan).
Proses reformulasi Ahlussunnah wal Jama‟ah telah berjalan dari masa ke
masa, bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Tahun 1994, dimotori oleh KH.
Said Aqil Siradj muncul gugatan terhadap Aswaja yang sampai saat itu
diperlakukan sebagai sebuah madzhab, sedang perkembangan zaman yang sangat
cepat membutuhkan respon yang kontekstual dan cepat pula. Dari latar belakang
tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan isi Aswaja sebagaimana
selama ini digunakan, lahirlah gagasan Ahlussunnah wal Jama‟ah sebagai
manhaj al-fikr (metode berpikir). Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai
sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja
tanpa adanya diskursus panjang, dan dalam perkembangannya, akhirnya rumusan
baru Kang Said diratifikasi menjadi konsep dasar Aswaja di PMII.
PMII melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan
perkembangan zaman, selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja selama ini
yang terkesan terlalu kaku. Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih fleksibel dan
memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreativitas dan
menciptakan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman. Bagi
PMII Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama
yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk
sebuah masa dan tempat tertentu, kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan
akan selalu relevan. Namun relevansi dan makna tersebut sangat tergantung
kepada kita, tergantung bagaimana pemeluk dan penganutnya memperlakukan
dan mengamalkan Islam.
VIII. Kontekstualisasi Aswaja dalam PMII

Secara singkat posisi Aswaja di PMII dapat dilihat sebagai berikut. Dalam
upaya memahami, menghayati, dan mengamalkan Islam, PMII menjadikan
Ahlussunnah wal Jama‟ah sebagai manhaj al-fikr sekaligus manhaj al-
Taghayyural-Ijtima‟i (perubahan sosial) untukmendekonstruksikan sekaligus
merekonstruksi bentuk-bentuk
pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama
yang toleran, humanis, anti-kekerasan, dan kritis-transformatif.
Bagi PMII, Aswaja merupakan basis dasar nilai organisasi. Hal ini
berarti kehidupan dan gerakan PMII senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai tersebut
sehingga secara langsung membentuk identitas komunitas. Lebih dari itu, Aswaja
merupakan inspirasi gerakan dan sekaligus alat bergerak yang membimbing para
aktivisnya dalam memperjuangkan cita-cita kebangsaan dan kemanusiaan. Ini
sudah dibuktikan misalnya komitmen gerakan yang tidak melenceng dari cita-cita
kebangsaan itu, sementara di sisi lain tetap berkomitmen dengan cita- cita Islam
yang humanis, pluralis, demokratis, egaliter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan.
Dengan landasan Aswaja pula organisasi PMII bergerak membangun jati
diri komunitasnya dan arah gerakannya. Kontekstualisasi nilai-nilai yang
terkandung dalam Maqosidu al-Syar`iy: 1) Hifdzunnafs, Menjaga hak hidup (hak
asasi manusia); 2) Hifdzuddin, pluralisme (kebebasan berkeyakinan); 3) Hifdzul
`aqli (kebebasan berfikir);
4) Hifdzulmaal (kebebasan mencari penghidupan); 5) Hifdzul nasab (keturunan
atau kearifan lokal).
Di zaman perkembangan arus informasi dan teknologi yang bergerak
sangat cepat menuntut kader PMII selalu berdekatan dengan realitas, membaca,
mengkaji serta melakukan eksplorasi pengetahuan, sehingga mampu memberikan
kontribusi dalam pembaharuan pemikiran serta memberikan sumbangsih gerakan-
gerakan produktif demi menjaga eksistensi organisasi, negara, dan bangsa. Basis
pengetahuan maupun praktis yang dikembangkan tidak boleh terlepas dari koridor
nilai-nilai dasar pergerakan serta prinsip Ahlussunah wal jamaah. Perkembangan
di segala bidang harus dilakukan semaksimal mungkin, spesialisasi keilmuan juga
perlu ditekankan pada proses kader PMII, sehinggap PMII kedepan dapat
mewujudkan suatu tatanan dunia sebagaimana cita-cita PMII, serta gencar
mengabdikan pikiran, jiwa, dam raga pada perlawanan terhadap golongan yang
menindas kaum-kaum mustad’afin.

Anda mungkin juga menyukai