Tujuan Materi
1. Peserta mampu mengetahui pengertian Aswaja
2. Peserta mampu memahami akar sejarah Aswaja
3. Peserta mampu memahami aswaja sebagai manhajul fikr wal harokah
4. Peserta mampu mengkontekstualisasikan aswaja dalam PMII
Pokok Bahasan
I. Latar Belakang
II. Pengertian Aswaja
III. Sejarah Ahlussunnah wal Jama‟ah
IV. Sejarah dan Perkembangan Aswaja di Indonesia
V. Impelementasi Aswaja sebagai Manhajul fikr
VI. Aswaja Sebagai Manhajul Harokah
VII. Aswaja dalam PMII
VIII. Kontekstualisasi Aswaja dalam PMII
I. Latar Belakang
“Theology is nothing, if not rooted in particular situation and transcends
it. It is the tension between its rootedness and transcendence that makes it
creative. Theology is both contextual and normative.” (Engineer, 1990, p. 138)
Demikian pernyataan Asghar Ali Engineer terkait teologi. Tidak ada produk
pemikiran yang berkembang di dunia ini yang dikemas dalam sebuah tatanan
kebahasaan yang bisa terlepas dari faktor-faktor sosial budaya, termasuk teologi.
Walaupun wacana teologi selalu identik dengan hal-hal yang bernuansa metafisik,
spekulatif, dan transenden, tetap saja dia tidak bisa hadir begitu saja dari ruang
hampa yang terlepas dari konteks ruang dan waktu saat pemikiran tersebut
diproduksi. Proses dialektis antara sesuatu yang transenden dan mengakarnya
pada situasi dan realitas seperti itulah yang memungkinkan teologi menjadi
dinamis dan kreatif.
Sebuah produk pemikiran (teologi) tidak bisa lepas dari pergulatan
iterpretasi, dan setiap iterpretasi sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang
membentuk sistem berpikir tertentu. Karenanya dalam mengkaji suatu produk
pemikiran harus menyertakan pemahaman terhadap realitas dimana sistem budaya
tersebut terbentuk. Dengan demikian, memahami kehidupan sosok yang
memproduksi pemikiran tertentu melalui pendekataan kebudayaan menjadi suatu
keharusan. Kendati demikian, sesungguhnya tidak ada satu pun yang memahami
secara persis apa yang dimaksudkan oleh allah sehingga semuanya hanya berupa
usaha pendekatan kepada yang paling sempurna saja.
Teologi Islam Ahlussunah Wal Jama’ah (ASWAJA) oleh PMII kemudian
diadopsi sebagai sebuah ideologi dalam beragama dan menjadi nafas pergerakan
organisasi. ASWAJA dijadikan sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) dan
metode bergerak (manhaj al-harakah) organisasi PMII karena paradigma
ASWAJA yang tidak ekstrim kanan atau pun ekstrim kiri dianggap lebih moderat
dan transformatif terhadap kehidupan sosial politik.
Secara singkat posisi Aswaja di PMII dapat dilihat sebagai berikut. Dalam
upaya memahami, menghayati, dan mengamalkan Islam, PMII menjadikan
Ahlussunnah wal Jama‟ah sebagai manhaj al-fikr sekaligus manhaj al-
Taghayyural-Ijtima‟i (perubahan sosial) untukmendekonstruksikan sekaligus
merekonstruksi bentuk-bentuk
pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama
yang toleran, humanis, anti-kekerasan, dan kritis-transformatif.
Bagi PMII, Aswaja merupakan basis dasar nilai organisasi. Hal ini
berarti kehidupan dan gerakan PMII senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai tersebut
sehingga secara langsung membentuk identitas komunitas. Lebih dari itu, Aswaja
merupakan inspirasi gerakan dan sekaligus alat bergerak yang membimbing para
aktivisnya dalam memperjuangkan cita-cita kebangsaan dan kemanusiaan. Ini
sudah dibuktikan misalnya komitmen gerakan yang tidak melenceng dari cita-cita
kebangsaan itu, sementara di sisi lain tetap berkomitmen dengan cita- cita Islam
yang humanis, pluralis, demokratis, egaliter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan.
Dengan landasan Aswaja pula organisasi PMII bergerak membangun jati
diri komunitasnya dan arah gerakannya. Kontekstualisasi nilai-nilai yang
terkandung dalam Maqosidu al-Syar`iy: 1) Hifdzunnafs, Menjaga hak hidup (hak
asasi manusia); 2) Hifdzuddin, pluralisme (kebebasan berkeyakinan); 3) Hifdzul
`aqli (kebebasan berfikir);
4) Hifdzulmaal (kebebasan mencari penghidupan); 5) Hifdzul nasab (keturunan
atau kearifan lokal).
Di zaman perkembangan arus informasi dan teknologi yang bergerak
sangat cepat menuntut kader PMII selalu berdekatan dengan realitas, membaca,
mengkaji serta melakukan eksplorasi pengetahuan, sehingga mampu memberikan
kontribusi dalam pembaharuan pemikiran serta memberikan sumbangsih gerakan-
gerakan produktif demi menjaga eksistensi organisasi, negara, dan bangsa. Basis
pengetahuan maupun praktis yang dikembangkan tidak boleh terlepas dari koridor
nilai-nilai dasar pergerakan serta prinsip Ahlussunah wal jamaah. Perkembangan
di segala bidang harus dilakukan semaksimal mungkin, spesialisasi keilmuan juga
perlu ditekankan pada proses kader PMII, sehinggap PMII kedepan dapat
mewujudkan suatu tatanan dunia sebagaimana cita-cita PMII, serta gencar
mengabdikan pikiran, jiwa, dam raga pada perlawanan terhadap golongan yang
menindas kaum-kaum mustad’afin.