A. Pendahuluan
Citra bahwa laki-laki itu kuat dan rasional sementara perempuan lemah dan
emosional merupakan konstruksi budaya. Citra tersebut bukanlah kodrat. Pembeda laki-
laki dan perempuan terletak pada biologisnya, itulah yang disebut kodrat.
Konstruksi budaya di atas seringkali disalahartikan sebagai kodrat sehingga
menimbulkan rantai ketidakadilan yang cenderung menindas baik laki-laki dan
khususnya perempuan. Ketidakadilan tersebut telah berlangsung selama berabad-abad,
setua peradaban manusia.
PMII memiliki komitmen terhadap keadilan gender, dan diwujudkan melalui
pelembagaan gerakan perempuan bernama KOPRI. Dalam perjalanan, KOPRI melewati
berbagai dinamika. Sempat dibekukan kemudian dalam KONGRES di Kutai (2003)
direkomendasikan untuk diaktifkan kembali.
B. Kelembagaan Kopri
PMII menyadari bahwa anggotanya perlu diberdayakan semaksimal mungkin.
Selama ini kader putri PMII dirasa belum banyak yang diberi kesempatan untuk
memaksimalkan potensinya, padahal jumlah anggota putri PMII terbilang banyak. Untuk
itu, konstitusi PMII mensyaratkan keberadaan kader putri dalam setiap tingkatan
kepengurusan PMII diberi kuota minimal 1/3 (dari PB sampai Rayon).
1. Landasan Normatif
Dalam Bab VII Anggaran Rumah Tangga (ART) PMII tentang Kuota Kepengurusan,
Pasal 20 dinyatakan, ayat (1) Kepengurusan di setiap tingkat harus menempatkan
anggota perempuan minimal 1/3 keseluruhan anggota pengurus; dan ayat (2) Setiap
kegiatan PMII harus menempatkan anggota perempuan minimal 1/3 dari keseluruhan
anggota.
Penjelasan soal pemberdayaan anggota perempuan PMII ada dalam bab VIII Pasal 21
ayat (1) Pemberdayaan Perempuan PMII diwujudkan dengan pembentukan wadah
perempuan yaitu KOPRI (Korp PMII Putri), dan ayat (2) Wadah Perempuan tersebut
diatas selanjutnya diataur dalam Peraturan Organisasi (PO).
Adapun wadah pemberdayaan anggota putri PMII ditegaskan dengan pembentukan
lembaga khusus bernama Korp PMII Putri (KOPRI) sebagaimana dalam Bab IX
tentang Wadah Perempuan. Dalam Pasal 22, ayat (1): Wadah perempuan bernama
KOPRI; ayat (2) KOPRI adalah wadah perempuan yang didirikan oleh kader-kader
Putri PMII melalui Kelompok Kerja sebagai keputusan Kongres PMII XIV; ayat (3)
KOPRI didirikan pada 29 September 2003 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta dan
merupakan kelanjutan sejarah dari KOPRI yang didirikan pada 26 November 1967;
dan ayat (4) KOPRI bersifat semi otonom dalam hubungannya dengan PMII.
Struktur KOPRI sebagaimana struktur PMII, terdiri dari : PB KOPRI, PKC KOPRI
dan PC KOPRI.
3. Sejarah Kopri
Perjalanan sejarah organisasi yang bernama Korps PMII Putri yang disingkat KOPRI
mengalami proses yang panjang dan dinamis. KOPRI berdiri pada kongres III PMII
pada tanggal 7-11 Februari 1967 di Malang Jawa Timur dalam bentuk Departemen
Keputrian dengan berkedudukan di Surabaya Jawa Timur dan lahir bersamaan
Mukernas II PMII di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 25 September 1976.
Musyawarah Nasional pertama Korp PMII Putri pada kongres IV PMII 1970. Kopri
mengalami keputusan yang pahit ketika status KOPRI dibubarkan melalui voting
beda suara pada kongres VII di Medan.
Merasa pengalaman pahit itu terasa, bahwa kader-kader perempuan PMII pasca
kongres di Medan mengalami stagnasi yang berkepanjangan dan tidak menentu, oleh
sebab itu kader-kader perempuan PMII mengganggap perlu dibentuknya wadah
kembali, kongres XIII di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur pada tanggal 16-21
April 2003 sebagai momentum yang tepat untuk memprakarsai adanya wadah. Maka,
terbentuklah POKJA perempuan dan kemudian lahirlah kembali KOPRI di Jakarta
pada tanggal 29 September 2003 karena semakin tajam semangat kader perempuan
PMII maka pada kongres di Bogor tanggal 26-31 Mei tahun 2005 terjadi perbedaan
kebutuhan maka terjadi voting atas status KOPRI dengan suara terbanyak
menyatakan KOPRI adalah Otonom sekaligus memilih ketua umum PB KOPRI
secara langsung sehingga terpilih dalam kongres sahabati Ai maryati Shalihah.
D. GENDER
1. Pengertian Gender
Menurut bahasa, kata gender diartikan sebagai “the grouping of words into
masculine, feminine, and neuter, according as they are regarded as male, female or
without sex” yang artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat,
maskulin, feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender
adalah perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan. Konsep gender
sendiri harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin).
Kata gender jika ditinjau secara terminologis merupakan kata serapan yang diambil
dari bahasa Inggris. Kata Gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”
(John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, cet. XII, 1983, hlm.
265). Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku
(Victoria Neufeldt (ed), Webster’s New World Dictionary, 1984, hlm. 561). Di dalam
Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep
kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat (Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encylopedia,
vol. I, New York: Green Wood Press,, h.153.).
Karena istilah gender masih sangat baru dipergunakan dalam blantika
perbendaharaan kata di Indonesia, maka kata tersebut tidak dijumpai dalam kamus-
kamus bahasa Indonesia. Namun, kata ini terus melakukan proses asimilasi dengan
bahasa Indonesia. Pengaruh kuat dari sosialisasi dalam masyarakat maka kata
tersebut tidak lagi ditulis dengan huruf italik karena sudah seakan-akan dianggap
bagian dari bahasa Indonesia, demikian juga dalam penulisan sebagian telah
menggunakan kata gender menjadi gender.
Kata gender ini jika dilihat posisinya dari segi struktur bahasa (gramatikal) adalah
bentuk nomina (noun) yang menunjuk kepada arti jenis kelamin, sex (Peter Salim,
Advance English-Indonesia Dictionary, edisi ketiga, Jakarta: Modern English Press,
1991, h. 384), atau disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab Hans (Wehr, A
Dictionary of Modern Written Arabic, cet. III, London: McDonald & Evans Ltd.,
1980, h. 141. Lihat pula Munir Ba’albakiy, Al-Maurid: Qāmūs Injilizīy Arabīy,
Beirūt: Dār al- ‘Ilm li al-Malāyīn, 1985, h. 383). Sehingga jika seseorang menyebut
atau bertanya tentang gender maka yang dimaksud adalah jenis kelamin––dengan
menggunakan pendekatan bahasa. Kata ini masih terbilang kosa kata baru yang
masuk ke dalam khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Istilah ini menjadi
sangat lazim digunakan dalam beberapa dekade terakhir.
Pengertian gender secara terminologis cukup banyak dikemukakan oleh para feminis
dan pemerhati perempuan. Julia Cleves Musse dalam bukunya Half the World, Half a
Chance mendefinisikan gender sebagai sebuah peringkat peran yang bisa diibaratkan
dengan kostum dan topeng pada sebuah acara pertunjukan agar orang lain bisa
mengidentifikasi bahwa kita adalah feminim atau maskulin (Lihat Julia Cleves
Mosse, Half the World, Half a Chance: an Introduction to Gender and Development,
terjemahan Hartian Silawati dengan judul Gender dan Pembangunan, cet. I
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 3.)
Suke Silverius memberi pengertian tentang gender sebagai pola relasi hubungan
antara laki-laki dan wanita yang dipakai untuk menunjukkan perangkat sosial dalam
rangka validitasi dan pelestarian himpunan hubungan-hubungan dalam tatanan sosial
(Lihat Suke Silberius, Gender dalam Budaya Dehumanisasi dari Proses Humanisasi,
Kajian Dikbud, No. 013, Tahun IV, Juni 1998, http://.www.gender.or.id.).
Ivan Illich mendefinisikan gender dengan pembeda-bedaan tempat, waktu, alat-alat,
tugastugas, bentuk pembicaraan, tingkah laku dan persepsi yang dikaitkan dengan
perempuan dalam budaya sosial. Illich dianggap sebagai orang yang pertama
menggunakan istilah gender dalam analisis ilmiahnya untuk membedakan segala
sesuatu di dalam masyarakat yang tidak hanya terbatas pada penggunaan jenis
kelamin semata (Lihat Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Gender dalam Persfektif Islam:
Studi terhadap Hal-hal yang Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam Islam”,
dalam Mansour Fakih et al, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif
Islam, cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 23. Ivan Illich menulis buku Gender,
diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi dengan judul Gender, cet. I (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998.
Zaitunah Subhan mengemukakan bahwa yang dimaksud gender adalah konsep
analisis yang dipergunakan untuk menjelaskan sesuatu yang didasarkan pada
pembedaan laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial budaya (Lihat Zaitunah
Subhan, “Gender dalam Perspektif Islam”, dalam jurnal Akademika, vol. 06, No. 2,
Maret, h. 128).
Pengertian yang lebih kongkrit dan lebih operasioanal dikemukakan oleh Nasaruddin
Umar bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi
identifikasi perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa
sosial (Lihat Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender dalam Islam”, jurnal
Paramadina, Vol. I. No. 1, Juli–Desember 1998, h. 99).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa gender adalah sebuah konsep yang
dijadikan parameter dalam pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan yang
didasarkan pada pengaruh sosial budaya masyarakat (social contruction) dengan
tidak melihat jenis biologis secara equality dan tidak menjadikannya sebagai alat
pendiskriminasian salah satu pihak karena pertimbangan yang sifatnya biologis.
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: An Introduction
mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan
perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan
pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan
masyarakat prihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah
termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminim
is a componen of gender) (Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological
Perspective, New Jersey: Prentice Hall, 1990, h. 2.)
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk
menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan
laki-laki dan perempuan (H. T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense or
Civilization, Leiden, New York: Kobenhavn, Koln: E. J. Brill, 1989, h. 2.). Agak
sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari
sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya,
tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa yang dapat digunakan untuk
menjelaskan sesuatu (Gender is an anality concept whose meanings we work to
elucidate, and subject matter we proceed to study as we try to define it) (Elaine
Showalter (ed), Speaking of Gender, New York & London: Routledge, 1989, h. 3).
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dengan istilah “gender”. Gender diartikan sebagai
interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan
perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja
yang dianggap tetap bagi laki-laki dan perempuan (Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender, 1992, h. 3).
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep
yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa
masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Sedangkan pengertian paham kesetaraan gender -seperti yang dikutip Nasaruddin
Umar dari Women's Studies Encyclopedia-, adalah "konsep kultural yang berupaya
membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat".
Ada beberapa definisi gender lainnya yang dia kutip, namun mempunyai pengertian
yang tidak jauh berbeda, yang pada intinya tidak terlepas dari tiga kata kunci: laki-
laki, perempuan dan kebudayaan.
Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-
laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: Q.S. Ali Imran /3:195; Q.S.an-
Nisa/4:124; Q.S.an-Nahl/16:97. Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang
ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual
maupun karier profesional, tidak mesti didominasi oleh satu jenis kelamin saja.
Karena adanya implementasi yang salah dari ajaran agama tersebut yang di sebabkan oleh
pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat didalam masyarakat,
sehingga menimbulkam sikap dan prilaku individual yang secara turun-temurun menentukan
status kaum perempuan dan ketimpangan Gender tersebut. Hal inilah yang kemudian
menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran
agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan melemahkan kaum perempuan.
b) Keyakinan bahwa perempuan sebagai sumber dari terusirnya manusia (laki-laki) dari
surga, sehingga perempuan dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik, bahkan lebih jauh
lagi perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka
Bias gender yang mengakibatkan kesalahpahaman terhadap ajaran Islam terkait pula dengan
hal-hal lain seperti: Pembakuan Tanda Huruf, Tanda Baca dan Qira’ah, Pengertian Kosa Kata
(Mufradat), Penetapan Rujukan Kata Ganti (damir), Penetapan Arti Huruf ‘Atf, Bias Dalam
Struktur Bahasa Arab, Bias Dalam Terjemahan Qur’an, Bias Dalam Metode Tafsir, Pengaruh
Riwayat Isra’iliyyat, serta bias dalam Pembukuan maupun Pembakuan Kitab-kitab Fikih.
(Nasaruddin Umar, 2002).
Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia.
Dihadapan Allah SWT lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama.
Oleh karena itu pandangan-pandangan yang menyudutkan posisi perempuan sudah
selayaknya diubah, karena Qur’an selalu menyerukan keadilan (Q.S.al-Nahl/16:90);
keamanan dan ketentraman (Q.S. an-Nisa/4:58); mengutamakan kebaikan dan mencegah
kejahatan (Q.S.Ali Imran/3:104) Ayat-ayat inilah yang dijadikan sebagai maqasid al-syari’ah
atau tujuan-tujuan utama syariat. Jika ada penafsiran yang tidak sejalan dengan prinsip-
prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka penafsiran itu harus ditinjau kembali.