Anda di halaman 1dari 11

Kelembagaan Kopri

A. Pendahuluan
Citra bahwa laki-laki itu kuat dan rasional sementara perempuan lemah dan
emosional merupakan konstruksi budaya. Citra tersebut bukanlah kodrat. Pembeda laki-
laki dan perempuan terletak pada biologisnya, itulah yang disebut kodrat.
Konstruksi budaya di atas seringkali disalahartikan sebagai kodrat sehingga
menimbulkan rantai ketidakadilan yang cenderung menindas baik laki-laki dan
khususnya perempuan. Ketidakadilan tersebut telah berlangsung selama berabad-abad,
setua peradaban manusia.
PMII memiliki komitmen terhadap keadilan gender, dan diwujudkan melalui
pelembagaan gerakan perempuan bernama KOPRI. Dalam perjalanan, KOPRI melewati
berbagai dinamika. Sempat dibekukan kemudian dalam KONGRES di Kutai (2003)
direkomendasikan untuk diaktifkan kembali.

B. Kelembagaan Kopri
PMII menyadari bahwa anggotanya perlu diberdayakan semaksimal mungkin.
Selama ini kader putri PMII dirasa belum banyak yang diberi kesempatan untuk
memaksimalkan potensinya, padahal jumlah anggota putri PMII terbilang banyak. Untuk
itu, konstitusi PMII mensyaratkan keberadaan kader putri dalam setiap tingkatan
kepengurusan PMII diberi kuota minimal 1/3 (dari PB sampai Rayon).
1. Landasan Normatif
Dalam Bab VII Anggaran Rumah Tangga (ART) PMII tentang Kuota Kepengurusan,
Pasal 20 dinyatakan, ayat (1) Kepengurusan di setiap tingkat harus menempatkan
anggota perempuan minimal 1/3 keseluruhan anggota pengurus; dan ayat (2) Setiap
kegiatan PMII harus menempatkan anggota perempuan minimal 1/3 dari keseluruhan
anggota.
Penjelasan soal pemberdayaan anggota perempuan PMII ada dalam bab VIII Pasal 21
ayat (1) Pemberdayaan Perempuan PMII diwujudkan dengan pembentukan wadah
perempuan yaitu KOPRI (Korp PMII Putri), dan ayat (2) Wadah Perempuan tersebut
diatas selanjutnya diataur dalam Peraturan Organisasi (PO).
Adapun wadah pemberdayaan anggota putri PMII ditegaskan dengan pembentukan
lembaga khusus bernama Korp PMII Putri (KOPRI) sebagaimana dalam Bab IX
tentang Wadah Perempuan. Dalam Pasal 22, ayat (1): Wadah perempuan bernama
KOPRI; ayat (2) KOPRI adalah wadah perempuan yang didirikan oleh kader-kader
Putri PMII melalui Kelompok Kerja sebagai keputusan Kongres PMII XIV; ayat (3)
KOPRI didirikan pada 29 September 2003 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta dan
merupakan kelanjutan sejarah dari KOPRI yang didirikan pada 26 November 1967;
dan ayat (4) KOPRI bersifat semi otonom dalam hubungannya dengan PMII.
Struktur KOPRI sebagaimana struktur PMII, terdiri dari : PB KOPRI, PKC KOPRI
dan PC KOPRI.

2. Visi dan Misi KOPRI


Visi KOPRI adalah Terciptanya masyarakat yang berkeadilan berlandaskan
kesetaraan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Misi KOPRI adalah Mengideologisasikan nilai keadilan gender dan
mengkonsolidasikan gerakan perempuan di PMII untuk membangun masyarakat
berkeadilan gender.

3. Sejarah Kopri
Perjalanan sejarah organisasi yang bernama Korps PMII Putri yang disingkat KOPRI
mengalami proses yang panjang dan dinamis. KOPRI berdiri pada kongres III PMII
pada tanggal 7-11 Februari 1967 di Malang Jawa Timur dalam bentuk Departemen
Keputrian dengan berkedudukan di Surabaya Jawa Timur dan lahir bersamaan
Mukernas II PMII di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 25 September 1976.
Musyawarah Nasional pertama Korp PMII Putri pada kongres IV PMII 1970. Kopri
mengalami keputusan yang pahit ketika status KOPRI dibubarkan melalui voting
beda suara pada kongres VII di Medan.
Merasa pengalaman pahit itu terasa, bahwa kader-kader perempuan PMII pasca
kongres di Medan mengalami stagnasi yang berkepanjangan dan tidak menentu, oleh
sebab itu kader-kader perempuan PMII mengganggap perlu dibentuknya wadah
kembali, kongres XIII di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur pada tanggal 16-21
April 2003 sebagai momentum yang tepat untuk memprakarsai adanya wadah. Maka,
terbentuklah POKJA perempuan dan kemudian lahirlah kembali KOPRI di Jakarta
pada tanggal 29 September 2003 karena semakin tajam semangat kader perempuan
PMII maka pada kongres di Bogor tanggal 26-31 Mei tahun 2005 terjadi perbedaan
kebutuhan maka terjadi voting atas status KOPRI dengan suara terbanyak
menyatakan KOPRI adalah Otonom sekaligus memilih ketua umum PB KOPRI
secara langsung sehingga terpilih dalam kongres sahabati Ai maryati Shalihah.

4. Ketua Umum KOPRI dari Masa ke Masa


Berikut ini daftar nama-nama Ketua Umum PB KOPRI sepanjang masa (1967-
sekarang).
1) Mahmudah Nahrowi 1967-1968
2) Tien Hartini 1968-1970
3) Ismi Maryam BA 1970
4) Zazilah Rahman BA 1971
5) Siti Fatimah Bsc 1972
6) Adiba Hamid 1973
7) Wus'ah Suralaga 1973-1977
8) Choirunnisa Yafishsham 1977
9) Fadilah Suralaga 1977-1981
10) Ida Farida 1981
11) Lilis Nurul Husna 1981-1984
12) Iis Kholila 1985-1988
13) Iriani Suaida 1988
14) Dra. Khofifah Indar parawansa 1988-1991
15) Dra. Ulha Soraya 1991
16) Jauharoh Haddad 1991-1994
17) Diana Mutiah 1994-1997
18) Luluk Nur Hamidah 1997-2000
19) Umi Wahyuni 2000-2003
20) Efri Nasution 2003
21) Winarti 2003-2005
22) Ai’ Maryati Shalihah 2005-2007
23) Eem Marzu Hiz 2008-2010
C. STRATEGI PENGEMBANGAN KOPRI
Korp PMII Putri, sebagai wadah kader perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia meyakini perannya sebagai khalifatullah fil ardl dan keberadaannya akan
menjadi rahmat bagi segenap alam. Karenanya keberadaan KOPRI harus bisa menjadi
sesuatu yang bisa dirasakan kemanfaatannya tidak hanya oleh kader-kader PMII baik
laki-laki maupun perempuan tetapi juga bagi seluruh Umat yang ada di bumi ini, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Relasi PMII dan KOPRI sebenarnya tidak berbenturan, hanya secara gerakan, perempuan
mempunyai wilayah sendiri. Hanya koordinasi yang sifatnya tidak begitu prinsip. Yang
penting selama tidak bertentang ini harus tetap didukung. KOPRI menempatkan teori
gender hanya sebagai analisa saja agar kita tidak terbelenggu dengan budaya patriarkal
sehingga perempuan bisa menentukan gerakannya sesuai dengan kebutuhan perempuan
tersebut. Wacana gender sebagai alat saja bukan sebagai tujuan. Dan wacana gender
disesuaikan dengan wacana keislaman dan kearifan lokal.
Prosentase perempuan di setiap Mapaba PMII ada 60%. Cukup banyak namun dalam
pengkaderan kita belum mumpuni mengggarapnya. Paling banter hanya bisa survive 5
kader di setiap cabang. Karena kita akhir-akhir ini kehilangan sosok-sosok kepemipinan
perempuan di tingkat cabang, kota, dan kabupaten se-Jawa Tengah yang bisa
berkomunikasi dengan PB dan basis.
Tugas utama KOPRI PMII adalah bagaimana mensinergikan kader perempuan PMII
yang cukup banyak dengan wadah yang berbeda-beda. Yakni, sesuai dengan local genius
yang berbeda di masing-masing cabang. Juga mensinergikan antara PB dan pengurus di
bawahnya (PKC, PC, PK dan PR).

D. GENDER
1. Pengertian Gender
Menurut bahasa, kata gender diartikan sebagai “the grouping of words into
masculine, feminine, and neuter, according as they are regarded as male, female or
without sex” yang artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat,
maskulin, feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender
adalah perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan. Konsep gender
sendiri harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin).
Kata gender jika ditinjau secara terminologis merupakan kata serapan yang diambil
dari bahasa Inggris. Kata Gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”
(John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, cet. XII, 1983, hlm.
265). Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku
(Victoria Neufeldt (ed), Webster’s New World Dictionary, 1984, hlm. 561). Di dalam
Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep
kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat (Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encylopedia,
vol. I, New York: Green Wood Press,, h.153.).
Karena istilah gender masih sangat baru dipergunakan dalam blantika
perbendaharaan kata di Indonesia, maka kata tersebut tidak dijumpai dalam kamus-
kamus bahasa Indonesia. Namun, kata ini terus melakukan proses asimilasi dengan
bahasa Indonesia. Pengaruh kuat dari sosialisasi dalam masyarakat maka kata
tersebut tidak lagi ditulis dengan huruf italik karena sudah seakan-akan dianggap
bagian dari bahasa Indonesia, demikian juga dalam penulisan sebagian telah
menggunakan kata gender menjadi gender.
Kata gender ini jika dilihat posisinya dari segi struktur bahasa (gramatikal) adalah
bentuk nomina (noun) yang menunjuk kepada arti jenis kelamin, sex (Peter Salim,
Advance English-Indonesia Dictionary, edisi ketiga, Jakarta: Modern English Press,
1991, h. 384), atau disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab Hans (Wehr, A
Dictionary of Modern Written Arabic, cet. III, London: McDonald & Evans Ltd.,
1980, h. 141. Lihat pula Munir Ba’albakiy, Al-Maurid: Qāmūs Injilizīy Arabīy,
Beirūt: Dār al- ‘Ilm li al-Malāyīn, 1985, h. 383). Sehingga jika seseorang menyebut
atau bertanya tentang gender maka yang dimaksud adalah jenis kelamin––dengan
menggunakan pendekatan bahasa. Kata ini masih terbilang kosa kata baru yang
masuk ke dalam khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Istilah ini menjadi
sangat lazim digunakan dalam beberapa dekade terakhir.
Pengertian gender secara terminologis cukup banyak dikemukakan oleh para feminis
dan pemerhati perempuan. Julia Cleves Musse dalam bukunya Half the World, Half a
Chance mendefinisikan gender sebagai sebuah peringkat peran yang bisa diibaratkan
dengan kostum dan topeng pada sebuah acara pertunjukan agar orang lain bisa
mengidentifikasi bahwa kita adalah feminim atau maskulin (Lihat Julia Cleves
Mosse, Half the World, Half a Chance: an Introduction to Gender and Development,
terjemahan Hartian Silawati dengan judul Gender dan Pembangunan, cet. I
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 3.)
Suke Silverius memberi pengertian tentang gender sebagai pola relasi hubungan
antara laki-laki dan wanita yang dipakai untuk menunjukkan perangkat sosial dalam
rangka validitasi dan pelestarian himpunan hubungan-hubungan dalam tatanan sosial
(Lihat Suke Silberius, Gender dalam Budaya Dehumanisasi dari Proses Humanisasi,
Kajian Dikbud, No. 013, Tahun IV, Juni 1998, http://.www.gender.or.id.).
Ivan Illich mendefinisikan gender dengan pembeda-bedaan tempat, waktu, alat-alat,
tugastugas, bentuk pembicaraan, tingkah laku dan persepsi yang dikaitkan dengan
perempuan dalam budaya sosial. Illich dianggap sebagai orang yang pertama
menggunakan istilah gender dalam analisis ilmiahnya untuk membedakan segala
sesuatu di dalam masyarakat yang tidak hanya terbatas pada penggunaan jenis
kelamin semata (Lihat Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Gender dalam Persfektif Islam:
Studi terhadap Hal-hal yang Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam Islam”,
dalam Mansour Fakih et al, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif
Islam, cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 23. Ivan Illich menulis buku Gender,
diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi dengan judul Gender, cet. I (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998.
Zaitunah Subhan mengemukakan bahwa yang dimaksud gender adalah konsep
analisis yang dipergunakan untuk menjelaskan sesuatu yang didasarkan pada
pembedaan laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial budaya (Lihat Zaitunah
Subhan, “Gender dalam Perspektif Islam”, dalam jurnal Akademika, vol. 06, No. 2,
Maret, h. 128).
Pengertian yang lebih kongkrit dan lebih operasioanal dikemukakan oleh Nasaruddin
Umar bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi
identifikasi perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa
sosial (Lihat Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender dalam Islam”, jurnal
Paramadina, Vol. I. No. 1, Juli–Desember 1998, h. 99).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa gender adalah sebuah konsep yang
dijadikan parameter dalam pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan yang
didasarkan pada pengaruh sosial budaya masyarakat (social contruction) dengan
tidak melihat jenis biologis secara equality dan tidak menjadikannya sebagai alat
pendiskriminasian salah satu pihak karena pertimbangan yang sifatnya biologis.
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: An Introduction
mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan
perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan
pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan
masyarakat prihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah
termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminim
is a componen of gender) (Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological
Perspective, New Jersey: Prentice Hall, 1990, h. 2.)
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk
menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan
laki-laki dan perempuan (H. T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense or
Civilization, Leiden, New York: Kobenhavn, Koln: E. J. Brill, 1989, h. 2.). Agak
sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari
sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya,
tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa yang dapat digunakan untuk
menjelaskan sesuatu (Gender is an anality concept whose meanings we work to
elucidate, and subject matter we proceed to study as we try to define it) (Elaine
Showalter (ed), Speaking of Gender, New York & London: Routledge, 1989, h. 3).
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dengan istilah “gender”. Gender diartikan sebagai
interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan
perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja
yang dianggap tetap bagi laki-laki dan perempuan (Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender, 1992, h. 3).
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep
yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa
masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Sedangkan pengertian paham kesetaraan gender -seperti yang dikutip Nasaruddin
Umar dari Women's Studies Encyclopedia-, adalah "konsep kultural yang berupaya
membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat".
Ada beberapa definisi gender lainnya yang dia kutip, namun mempunyai pengertian
yang tidak jauh berbeda, yang pada intinya tidak terlepas dari tiga kata kunci: laki-
laki, perempuan dan kebudayaan.

2. Gender dalam Islam


Di dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun as-Sunnah Nabi yang merupakan sumber
utama ajaran Islam, terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi
kehidupan manusia dulu, kini dan akan datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai
kemanusiaan, keadilan, kemerdekaan, kesetaraan dan sebagainya. Berkaitan dengan
nilai keadilan dan kesetaraan, Islam tidak pernah mentoleri adanya perbedaan atau
perlakuan diskriminasi diantara umat manusia. Berikut ini beberapa hal yang perlu
diketahui mengenai kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70 yang berbunyi (ditulis al-Qur’annya dalam
buku perempuan sebagai kepala rumah tangga hal 41) bahwa Allah SWT telah
menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik
dengan kedudukan yang paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan
memiliki akal, perasaan dan menerima petunjuk. Oleh karena itu Al-quran tidak
mengenal pembedaan antara lelaki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT,
lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, dan yang
membedakan antara lelaki dan perempuan hanyalah dari segi biologisnya.
Islam mengajarkan umatnya untuk saling menghargai dan menghormati. Menurut
Lily Zakiyah Munir (Kompas, 20 Oktober 2005) "Ada sekitar 30 ayat Al Quran yang
mengacu pada kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dan hak perempuan. Lebih
lanjut Lily Zakiyah Munir juga menyebutkan bahwa Al Quran juga melarang paling
tidak enam bentuk kekerasan terhadap perempuan yang lumrah terjadi di masyarakat
Arab pada saat itu. (Asrizal Lutfi, 2008).
Adapun dalil-dalil dalam al-Qur’an yang mengatur tentang kesetaraan gender adalah:
a. Tentang hakikat penciptaan lelaki dan perempuan
Surat Ar-Rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, surat Hujurat ayat 13 yang pada
intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan
yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang dan tentram, agar saling
mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar
banyak laki-laki dan perempuan serta agar mereka saling mengenal. Ayat -ayat
diatas menunjukkan adanya hubungan yang saling timbal balik antara lelaki dan
perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu
jenis atas jenis lainnya.
b. Tentang kedudukan dan kesetaraan antara lelaki dan perempuan
Surat Ali-Imran ayat 195, surat An-Nisa ayat 124, surat An-nahl ayat 97, surat
Ataubah ayat 71-72, surat Al-Ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa
Allah SWT secara khusus menunjuk baik kepada perempuan maupun lelaki untuk
menegakkan nilai-nilai islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah SWT
juga memberikan peran dan tanggung jawab yang sama antara lelaki dan
perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan Allah pun
memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan lelaki untuk semua
kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya kedudukan dan derajat antara
lelaki dan perempuan dimata Allah SWT adalah sama, dan yang membuatnya
tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.
c. Prinsip Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an
Menurut D.R. Nasaruddin Umar dalam "Jurnal Pemikiran Islam tentang
Pemberdayaan Perempuan" (2000) ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa
prinsip-prinsip kesetaraan gender ada di dalam Qur’an, yakni:
1) Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Sebagai Hamba
Menurut Q.S. al-Zariyat (51:56), (ditulis al-Qur’annya dalam buku argumen
kesetaraan gender hal 248) Dalam kapasitas sebagai hamba tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan
peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Qur’an
biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa (mutaqqun), dan untuk
mencapai derajat mutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin,
suku bangsa atau kelompok etnis tertentu, sebagaimana disebutkan dalam
Q.S. al-Hujurat (49:13).
2) Perempuan dan Laki-laki sebagai Khalifah di Bumi
Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fi al’ard)
ditegaskan dalam Q.S. al-An’am(6:165), dan dalam Q.S. al-Baqarah (2:30)
Dalam kedua ayat tersebut, kata ‘khalifah" tidak menunjuk pada salah satu
jenis kelamin tertentu, artinya, baik perempuan maupun laki-laki mempunyai
fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan
tugas-tugas kekhalifahannya di bumi.
3) Perempuan dan Laki-laki Menerima Perjanjian Awal dengan Tuhan
Perempuan dan laki-laki sama-sama mengemban amanah dan menerima
perjanjian awal dengan Tuhan, seperti dalam Q.S. al A’raf (7:172) yakni ikrar
akan keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para malaikat. Sejak awal
sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin.
Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.
Qur’an juga menegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam
tanpa pembedaan jenis kelamin. (Q.S. al-Isra’/17:70)
4) Adam dan Hawa Terlibat secara Aktif Dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang
keadaan Adam dan Hawa di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan
keterlibatan keduanya secara aktif, dengan penggunaan kata ganti untuk dua
orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, yang terlihat dalam
beberapa kasus berikut:

1) Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Q.S.al-


Baqarah/2:35).

2) Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q.S.al-A’raf/7:20)

3) Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (Q.S.al A’raf/7:23)

4) Setelah di bumi keduanya mengembangkanketurunan dan saling melengkapi dan saling


membutuhkan (Q.S.al Baqarah/2:187)

e. Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi

Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-
laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: Q.S. Ali Imran /3:195; Q.S.an-
Nisa/4:124; Q.S.an-Nahl/16:97. Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang
ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual
maupun karier profesional, tidak mesti didominasi oleh satu jenis kelamin saja.

Karena adanya implementasi yang salah dari ajaran agama tersebut yang di sebabkan oleh
pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat didalam masyarakat,
sehingga menimbulkam sikap dan prilaku individual yang secara turun-temurun menentukan
status kaum perempuan dan ketimpangan Gender tersebut. Hal inilah yang kemudian
menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran
agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan melemahkan kaum perempuan.

Adapun pandangan dasar atau mitos-mitos yang menyebabkan munculnya ketidakadilan


terhadap perempuan adalah :

a) Keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga


perempuan dianggap sebagai mahluk kedua yang tidak akan mungkin ada tanpa kehadiran
laki-laki. karenanya keberadaan perempuan hanya sebagai pelengkap dan diciptakan hanya
untuk tunduk di bawah kekuasaan laki-laki.

b) Keyakinan bahwa perempuan sebagai sumber dari terusirnya manusia (laki-laki) dari
surga, sehingga perempuan dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik, bahkan lebih jauh
lagi perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka

Bias gender yang mengakibatkan kesalahpahaman terhadap ajaran Islam terkait pula dengan
hal-hal lain seperti: Pembakuan Tanda Huruf, Tanda Baca dan Qira’ah, Pengertian Kosa Kata
(Mufradat), Penetapan Rujukan Kata Ganti (damir), Penetapan Arti Huruf ‘Atf, Bias Dalam
Struktur Bahasa Arab, Bias Dalam Terjemahan Qur’an, Bias Dalam Metode Tafsir, Pengaruh
Riwayat Isra’iliyyat, serta bias dalam Pembukuan maupun Pembakuan Kitab-kitab Fikih.
(Nasaruddin Umar, 2002).

Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia.
Dihadapan Allah SWT lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama.
Oleh karena itu pandangan-pandangan yang menyudutkan posisi perempuan sudah
selayaknya diubah, karena Qur’an selalu menyerukan keadilan (Q.S.al-Nahl/16:90);
keamanan dan ketentraman (Q.S. an-Nisa/4:58); mengutamakan kebaikan dan mencegah
kejahatan (Q.S.Ali Imran/3:104) Ayat-ayat inilah yang dijadikan sebagai maqasid al-syari’ah
atau tujuan-tujuan utama syariat. Jika ada penafsiran yang tidak sejalan dengan prinsip-
prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka penafsiran itu harus ditinjau kembali.

Anda mungkin juga menyukai