2. Tasamuh (Toleran)
Pengertian tasamuh adalah toleran. Sebuah pola sikap yanng menghargai
perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur
bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan
beragama dan bermasyarakat.
Sebagai pola sikap kita harus maknai sebagai bersikap toleran dan terbuka terhadap
semua golongan selama mereka bisa menjadi saudara bagi sesama. Sudah bukan
waktunya lagi terkotak-kotak dalam kebekuan golongan, apalagi agama. Seluruh gerkan
dalam satu nafas pro-demokrasi harus bahu membahu membentuk aliansi bagi
terbentuknya masyarakat yang lebih baik, bebas dari segala bentuk penindasan dan
penjajahan. PMII harus bersikap inklusif terhadap sesama pencari kebenaran dan
membuang semua benntuk primordialisme dan fanatisme keagaman.
3. Tawwazun (Seimbang)
Tawwazun artinya keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi baik yang
bersifat antar individu, antar struktur sosial, antara Negara dan Rakayatnya, maupun
antara manusia dengan alam. Keseimbangan disini adalah bentuk hubungan yang tidak
berat sebelah, tidak menguntungkan pihak tertentu dan merugikan piha yang lain.
Tetapi, masing-masing pihaak mampu menempatkaan dirinya sesuai dengan fungsinya
tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah
terciptanya kedinamisan hidup.
Sebagai pola relasi dapat dimaknai usaha mewujudkan egalitarianisme dalam ranah
sosial, tidak ada lagi kesenjangan berlebihan antara sesama manusia, antara laki-laki dan
perempuan, antara kelas atas dan kelas bawah. Di wilayah ekonomi PMII harus
melahirkan model gerakan yang mampu menyeimbangkan posisi Negara, pasar, dan
masyarakat. Di wilayah politik, isu yang diusung adalah mengembalikan posisi
seimbang antara rakyat dan negara. PMII tidak menolak kehadiran negara,, karena
Negara melalui pemerintahannya merupakan implementasi dari kehendak rakyat. Maka
yang perlu dikembalikan adalah fungsi negara sebagai pelayan dan pelaksana setiap
kehendak dan kepentingan rakyat.
4. Ta’addul (Adil)
Yang dimaksud dengan ta’’addul adalah keadilan, yang merupakan pola pola
integral dari tawassuth, tasamuh, dan tawazun. Keadilan inilah yang merupakan ajaran
universal Aswaja. Setiap pemikiran, sikap, dan relasi harus diselaraskan dengan nilai ini.
Pemaknaan keadilan yang dimaksud disini adalah keadian sosial. Yaitu nilai kebenaran
yang menngatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan
sebagainya.
Sebagai pola integral mengandaikan usaha PMII bersama seluruh komponen
masyarakat, baik nasional maupun global, untuk mencapai keadilan bagi seluruh umat
manusia. Keadilan dalam berpikir, bersikap, dan relasi. Dan perjuangan menuju
keadilan universal itu harus dilaksanakan melalui usaha sunggguh-sungguh, bukan
sekedar menunggu anugerah dan pemberian turun dari langit.
a) Tidak adanya keberpihakan Negara kepada rakyat. Ini bisa kita tengarai dengan
keberpihakan yang begitu besar terhadap kekeutan-kekuatan modal internasional yang
pada satu segi berimbas pada marjinalisasi besar-besaran terhadap kepentingan umat.
Terhadap persoalan tersebut kita perlu mengerangkan sebuah model pengukuran
pemihakan kebijakan. Dalam khazanah klasik kita mengenal satu kaidah yang
menyatakan bahwa kebijakan seorang imam harus senantiasa mengarah kepada
tercapainya kemaslahatan umat (Tasarruf al-Imam ‘ala al-Raiyati manuntun bi al-
maslahah).
b) Tidak terwujudnya keadilan ekonomi secara luas. Arus investasi yang mendorong laju
industrialisasi pada satu segi memang positif dalam hal mampu menyerap tenaga kerja
dalam negeri. Namun pada segi yang lain menempatkan pekrja pada sebagi pihak yang
sangat dirugikan. Dalam point ini kita menemukan tidak adanya keseimbngan distribusi
hasil antara pihak investor dengan tenaga kerja. Investor selalu berada dalam posisi yang
diuntungkan, sementara pekerja selalu dalam posisi yang dirugiakn. Sebuah kondisi yang
akan mendorong terjadinya konglomerasi secara besar-besaran. Sehingga diperlukan
pemikiran untuk menawarkan jalan penyelesaian melalui apa yang kita kenal dengan
profit sharing. Yang dalam khazanah klasik kita kenal dengan mudharabah ataupun
mukhabarah. Sehingga secara opertif pemodal dan pekerja terikat satu hubungan yang
saling menguntungkan dan selanjutnya berakibat pada produktifitaas kerja.
c) Pemberian reward kepada pekerja tidak bisa menjawab kebutuhan yang ditanggung oleh
pekerja. Standarisasi UMR sangat mungkin dimanipulasi oleh perusahaan dan segi
tertentu mengkebiri hak-hak pekerja. Ini terjadi karena hanya didasarkan pada nilai
nominal dan bukan kontribusi dalam proses produksi. Dalam persoalan ini kita ingin
menawarkan modal manajemen upah yang didasarkan pada prosentasi kontribusi yang
diberikan oleh pekerja kepada perusahaan ataupun proses produksi secara umum.
Standarisasi yang kita sebut dengan UPH (upah prosentasi hasil) pada seluruh sektor
ekonomi. Salah satu pertimbangan usulan ini adalah kaidah atau sebuah ayat bahwa
harus ada distribusi kekayaan dalam tubuh umat itu secara adil dan merata untuk
mencegah adanya konglomerasi ekonomi.
d) Tidak adanya perlindungan hukum terhadap pekerja. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya
kasus PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan. Ataupun contoh lain yang
mengindikasikan satu kecenderungan bahwa kebijakan-kebijakan Negara lebih banyak
diorientasikan semata untuk menarik investasi sebesar-besarnya tanpa pernah
memikirkan implikasi yang akan muncul dilapangan. Termasuk potensi dirugikannya
masyarakat baik secara ekologis (lingkungan dalam kaitannya dengan limbah industri),
ekonomis (tidak berimbangnya penghasilan dengan daya beli), ataupun secara geografis
(dalam hal semakin berkurangnya lahan pertanian ataupun perkebunan). Hampir tidak
ada klausul level ini kita menuntut pemberlakuan undang-undang pasal 28b UUD 1945
serta perlakuan perlindungan hak pekerja yang dicetuskan kepada konferensi ILO.
Hal lain yang juga menyangkut persoalan ekonomi adalah perlunya elaborasi atas
rujukan-rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh) bagi kerangka-kerangka operasional
Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah sebagai manhaj al-fikr. Kebutuhan akan elaborasi ini dirasa
sangat mendadak, terutama mengingat adanya kebingungan di beberapa tempat
menyangkut ideologi dasar PMII dan kerangka paradigmanya terlebih jika dikaitkan
dengan kemapuan Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah untuk menyediakan kerangka operatif
yang akan memandu kader-kader PMII dilapangan masing-masing. Pembicaraan
mengenai berbagai persoalan tersebut mengantar kita untuk menawarkan langkah
praktis berupa kerangka pengembangan ekonomi yang kemudian kita sebut sebagai
konsep ekonomi bedikari. Konsep ini secara umum bisa kita definisikan sebagai konepsi
pengelolaan ekonomi yang dibangun di atas kemampuan kita sebagai sebuah
Negara.untuk mendukung tawaran tersebut, lima langkah stategis diusulkan;
a) Adanya penyadaran terhadap masyarakat tentang struktur penindasan yang terjadi.
b) Penghentian hutang luar negeri
c) Adanya internalisasi ekonomi Negara.
d) Pemberlakuan ekonomi political dumping.
e) Maksimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dengan pemanfaatan tekhnologi
berbasis
masyarakat lokal (society-based technology).
Pada wilayah penggalian hukum fiqh, Aswaja (sebagaimana diwakili oleh Imam yang
empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) bersepakat menggunakan empat sumber hukum:
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas; dan tidak bersepakatan dalam menggunakan sumber-
sumber yang lain semisal: istihsan, Maslahah mursalah, amal ahl al madinah dan lain-lain.
Setelah melalui evolusi sejarah panjang, Aswaja sekarang ini menjadi mayoritas umat Islam
yang tersebar mulai dari Jakarta (Indonesia) hingga Casablanca (Maroko), disusul oleh
Syi’ah di Iran, Bahrain, Lebanon Selatan; dan sedikit Zaidiyah (pecahan Mu’tazilah) di
Sejumlah tempat di Yaman. Dengan mengacu pada ajaran Muhammad Bin Abdulwahhab,
rezim Saudi Arabia berafiliasi kepada apa yang disebut Wahabi. Sementara di Asia Selatan
(Afganistan dan sekitarnya) reinkarnasi Khawarij menemukan tanah pijaknya dengan sikap-
sikap keras dalam mempertahankan dan menyebarkan keyakinan.
Di Indonesia, Aswaja kurang lebih sama dengan nahdliyin (sebutan untuk jamaah
Nahdlatul Ulama), meskipun jamaah Muhammadiyah adalah juga Aswaja dengan sedikit
perbedaan pada praktik hukum-hukum fiqh. Artinya, arus besar umat Islam di Indonesia
adalah Aswaja. Yang paling penting ditekankan dalam internalisasi ajaran Aswaja di
Indonesia adalah sikap keberagamaan yang toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), moderat
(tawassuth) dan konsisten pada sikap adil (i’tidal). Ciri khas sikap beragama macam inilah
yang menjadi kekayaan arus besar umat Islam Indonesia yang menjamin kesinambungan
hidup Indonesia sebagai bangsa yang plural dengan agama, suku dan kebudayaan yang
berbeda-beda.
Ada dua kekuatan besar yang menjadi tantangan Aswaja di Indonesia sekarang ini dan
di masa depan: kekuatan liberal di satu pihak dan kekuatan Islam politik garis keras di pihak
yang lain. Kekuatan liberal lahir dari sejarah panjang pemberontakan masyarakat Eropa (dan
kemudian pindah Amerika) terhadap lembaga-lembaga agama sejak masa pencerahan
(renaissance) yang dimulai pada abad ke-16 Masehi; satu pemberontakan yang melahirkan
bangunan filsafat pemikiran yang bermusuhan dengan ajaran (dan terutama lembaga) agama;
satu bangunan pemikiran yang melahirkan modernitas; satu struktur masyarakat kapital yang
dengan globalisasi menjadi seolah banjir bandang yang siap menyapu masyarakat di negara-
negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Sebagai reaksinya, sejak era perang dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet,
Islam diposisikan sebagai “musuh” terutama oleh kekuatan superpower: Amerika Serikat dan
sekutunya. Tentu saja bukan umat Islam secara umum, namun sekelompok kecil umat Islam
yang menganut garis keras dan secara membabi-buta memusuhi non muslim. Peristiwa
penyerangan gedung kembar pusat perdagangan di New York, Amerika, 11 September 2001,
menjadikan dua kekuatan ini behadap-hadapan secara keras. Akibatnya, apa yang disebut
‘perang terhadap terorisme’ dilancarkan Amerika dan sekutunya dimana-mana di muka bumi
ini.
Yang patut digaris bawahi: dua kekuatan ini, yang liberal dan yang Islam politik garis
keras, bersifat transnasional, lintas negara. Kedua-duanya menjadi ancaman serius bagi
kesinambungan praktik keagamaan Aswaja di Indonesia yang moderat, toleran, seimbang
dan adil itu. Gempuran kekuatan liberal menghantam sendi-sendi pertahanan nilai yang
ditanamkan Aswaja selama berabad-abad dari aspeknya yang sapu bersih dan meniscayakan
nilai-nilai kebebasan dalam hal apapun dengan manusia (perangkat nalarnya) sebagai pusat,
dengan tanpa perlu bimbingan wahyu. Gempuran Islam politik garis keras menghilangkan
watak dasar Islam (Aswaja lebih khusus lagi) yang ramah dan menyebar rahmat bagi seluruh
alam semesta.